PKI sebenarnya adalah masa lampau dalam kehidupan politik Indonesia. Bahkan komunisme yang dianut sebagai ideologi oleh partai tersebut pun sudah menjadi bagian dari masa lampau di dunia, sejak hancurnya Uni Soviet. Negara komunis tersisa hanyalah Kuba, dan di Republik Rakyat Cina yang makin moderat dalam kehidupan sosial-ekonominya. Tapi tentu saja, akan selalu terdapat kelompok-kelompok di bekas negara-negara bekas Soviet yang masih menyimpan obsesi reinkarnasi ideologi tersebut sebagai alternatif terhadap ideologi kapitalisme liberalisme yang dianut negara-negara barat. Sementara negara-negara barat sendiri justru makin banyak memasukkan nuansa sosialistis dalam kehidupan sosial-politik dan sosial-ekonomi mereka. Apakah obsesi reinkarnasi juga dimiliki oleh sejumlah generasi muda yang kebetulan orangtua mereka sampai 45 tahun yang lampau berkiprah dalam kehidupan politik Indonesia hingga tahun 1965 melalui PKI? Hari Minggu 23 Mei yang lalu, mereka mengadakan pertemuan untuk ‘memperingati’ 90 tahun PKI yang lahir tahun 1920. Sebagai referensi sejarah mengenai kiprah PKI di Indonesia, berikut ini adalah tulisan Dr Anhar Gonggong, yang pernah dimuat dalam buku Simptom Politik 1965, PKI dalam Perspektif Pembalasan dan Pengampunan, Jakarta 2008.
MEMASUKI awal abad ke-20, dalam setting waktu historis Indonesia, perlawanan terhadap kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda berubah bersama waktu. Kalau sepanjang awal kedatangannya sampai pada akhir abad 19, dan awal abad ke 17 dengan pembentukan organisasi dagang (VOC) yang mempunyai kekuatan militer untuk penaklukan, yang kemudian dilanjutkan pada abad 18, 19 dan awal ke-20, Belanda menghadapi perlawanan yang dilakukan dengan fisik atau strategi otot, maka pada awal abad ke-20, bentuk dan cara perlawanan yang dihadapi itu berubah. Perlawanan bentuk baru menggunakan cara-cara yang dilandasi pemikiran-pemikiran rasional (strategi otak). Kalau perlawanan strategi otot menggunakan kekuatan-kekuatan fisik –dari Perang Gowa pimpinan Sultan Hasanuddin, kemudian Perang Pattimura, Perang Jawa pimpinan Pangeran Diponegoro, Perang Batak pimpinan Sisingamangaraja dan Perang Aceh dan Perang Sawitto pimpinan Lasinrang yang dikalahkan pada 1912– maka ketika memasuki abad ke-20, cara perlawanan tidak lagi menggunakan senjata fisik semata, melainkan dengan senjata yang dilandasi oleh rasio atau otak.
Dalam perlawanan abad ke-20 itu, 1908-1942, senjata-senjata yang digunakan adalah senjata yang bertumpu pada kemampuan-kekuatan rasio, otak, yaitu organisasi, media massa, ideologi dan dialog. Perubahan cara perlawanan terhadap pemerintahan kolonial itu dilakukan oleh “kelompok-kelompok” warga anak-anak negeri jajahan Nederlandsch-Indie yang telah menikmati pendidikan yang diadakan oleh pemerintah kolonial. Warga terdidik tetapi tidak sekedar terdidik, melainkan terutama juga karena mereka tercerahkan. Mereka terdiri dari pelbagai asal tempat kelahiran dan suku bangsa dan menetap di kota-kota besar ketika itu, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Surabaya dan lain-lain. Dari lingkungan warga terdidik-tercerahkan itulah awal terjadinya perubahan strategi perlawanan dalam bentuk strategi otak dengan senjata baru “tanpa kekerasan fisik bersenjata”.
Pemula ide dari perlunya perubahan di lingkungan anak-anak negeri jajahanNederlandsch-Indie ialah dr. Wahidin (Soedirohusodo), seorang dokter pensiunan yang menghendaki diadakannya fonds, dana pendidikan untuk “anak-anak bangsa Jawa”. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, dr. Wahidin berusaha melakukan pendekatan kepada sejumlah bupati dan bangsawan Jawa “yang berpengaruh” agar bersedia membantu menyediakan dana pendidikan yang diharapkannya itu. Untuk itu, terkadang ia berjalan kaki, naik andong untuk mengunjungi bupati atau tokoh yang diharapkannya. “Para bupati dan bangsawan yang dihubunginya” tampak tidak berminat atas idenya itu, bahkan menolak ide yang memang akan berdampak besar bagi tatanan kehidupan masyarakat Jawa di negeri jajahan Nederlandsch-Indie.
“Senjata” organisasi untuk “pertama kalinya” diciptakan oleh sejumlah mahasiswa “sekolah kedokteran Jawa”, STOVIA, yang menerjemahkan ide dr. Wahidin menjadi sebuah organisasi “modern” yang berdasar pada etnis Jawa dengan “ideologi pendidikan dan kebudayaan”. Mereka melakukan rapat di Gedung STOVIA pada 20 Mei 1908 dan dari rapat itulah disepakati untuk membentuk sebuah organisasi dengan nama Boedi Oetomo dan dr. Soetomo sebagai ketua pertamanya. Setelah terbentuknya Boedi Oetomo itu, maka “secara berantai” sejumlah tokoh terdidik-tercerahkan mengambil insiatif untuk membentuk organisasi dengan nama dan landasan-anutan ideologi masing-masing. Terbentuklah Indische Partij pada 1911, kemudian Sarekat Islam (SI); Kalau Indische Partij dibentuk dengan ideologi nasionalisme Hindia, maka Sarekat Islam berideologi Islam. Dalam kaitannya dengan SI ini, ada hal yang perlu dicatat, yaitu SI dibentuk oleh sejumlah pedagang batik di Solo yang berusaha mempertahankan kelangsungan hidupnya karena adanya saingan yang datang dari para pedagang Cina.
Para pedagang batik itu memang pada umumnya beragama Islam, sehingga ketika membentuk organisasi, untuk menyatukan visi organisasinya, maka Haji Samanhudi mengajak rekan-rekannya untuk menjadikan agama Islam sebagai landasan sekaligus sebagai ideologi organisasi. Dalam kaitan dengan pertumbuhan SI di kemudian hari, seorang tokoh, yang juga pedagang di Surabaya, Oemar Said Tjokroaminoto, menjadi anggota SI dan kemudian tampil menjadi pemimpin utama SI yang kemudian berkembang menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia atau PSII (AK Pringgodigdo, 1986).
Awal Kelahiran PKI dan Dampak Tragis Perlawanannya
Dalam perkembangan SI yang dibentuk pada tahun 1912 itu, tampil pula fakta-fakta peristiwa yang berkaitan dengan berkembang dan terbentuknya organisasi dari ideologi yang Marxis-Komunis atau yang lebih populer dikenal dengan istilahkomunisme. Ia bermula dengan datangnya seorang aktivis Komintern, Sneevliet ke Indonesia, Surabaya. Tokoh berbangsa Belanda ini kemudian dapat berinteraksi dengan sejumlah tokoh Sarekat Islam di pelbagai kota, termasuk dengan Semaun yang menjadi ketua organisasi Buruh Kereta Api di Semarang, dan sekaligus juga Ketua dan tokoh SI di kota ini. Dari interaksi antar pimpinan SI yang memiliki visi dengan ideologi yang saling berbeda dan bertentangan, maka perkembangan SI mengalami arah yang “bersilangan cabang” dilihat dari ideologi; yaitu di satu sisi, sejak awal SI berideologi Islam dan memang dibentuk oleh pedagang-pedagang Islam di Solo untuk menghadapi pedagang Cina saingannya, di lain pihak, SI juga mempunyai tokoh-tokoh penting yang mulai menerima ideologi lain, yaitu ideologiMarxisme-Komunisme.
Tampak bahwa perkembangan kelompok Marxis-Komunis di dalam tubuh SI telah berkembang dengan cukup berarti dengan pengaruh yang mulai memberikan arti embriotik yang tidak dapat diabaikan. Berkembang “pesatnya” aliran Marxisme-Komunisme di dalam tubuh SI karena kemampuan mereka melakukan “penyebaran” ajarannya di dalam tubuh SI; Terjadi “penggerogotan” dari dalam dengan melakukan yang oleh seorang ahli sejarah tentang Indonesia, Ruth McVey, disebut Block Within; yaitu membentuk “blok-blok aliran Marxis-Komunis” di dalam tubuh SI itu sendiri.
Tentu saja adanya dua kekuatan ideologi di dalam satu organisasi, akan melahirkan pertentangan yang setiap saat berkembang menjadi makin tajam. Hal itu juga segera terjadi di dalam tubuh Sarekat Islam. Apalagi Semaun dan kawan-kawan makin menunjukkan sikap agresivitasnya untuk melawan kaum kapitalisme, termasuk kapitalis yang ada di lingkungan warga pribumi Nederlandsch-Indie ketika itu. Terjadinya pertentangan di antara kedua kekuatan ideologi di dalam tubuh SI digambarkan sebagai berikut:
“Telah dalam tahun 1916, Semaun sebagai wakil cabang Surabaya, menentang sikap Pengurus Besar SI di Kongres SI yang diadakan di Bandung. Dalam tahun 1917 sebagai pimpinan baru SI cabang Semarang, ia meneruskan perlawanannya itu di dalam kongres yang diadakan pada tahun 1917 itu. Pada tahun 1918 ia menjadi Komisaris Pengurus Besar SI untuk Semarang, maka dapatlah ia dengan lebih baik lagi mempergunakan pengaruhnya terhadap pemimpin-pemimpin yang tulen daripada SI itu. Karena takut akan adanya perpecahan dalam SI, maka pemimpin-pemimpin ini berlomba-lombalah mengatasi Semaun dalam hal sikap ‘kiri’! Oleh karena itulah, maka kelihatan di atas tadi dengan nyata aliran pelajaran marxis juga pada pemimpin-pemimpin SI yang lain-lain itu”.
Dalam pertentangan di antara kedua kekuatan ideologis itu, tampak adanya persaingan untuk memasukkan pikiran-pikiran ideologis mereka ke dalam rumusan hasil kongres, termasuk dalam Anggaran Dasar Organisasi. Tampaknya “kekuatan kiri” berhasil memasukkan dalam Anggaran Dasar Central Sarekat Islam (CSI) rumusan antara lain “…perjuangan menentang kapitalisme yang berdosa”. Tetapi dalam perkembangannya kemudian, apalagi setelah kekuatan kiri itu mengorganisasikan diri dalam satu partai, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI), maka pengurus SI “yang asli berideologi Islam” melakukan langkah-langkah tindak yang membatasi gerak kekuatan kiri-PKI di dalam tubuh organisasi mereka, antara lain dengan cara menerapkan Disiplin Partai yaitu tidak memperkenankan seseorang – termasuk anggota PKI – untuk menjadi anggota SI dan pada saat yang bersamaan juga menjadi anggota organisasi lain. Adanya disiplin partai yang dikeluarkan SI itu, tentu saja sangat merugikan posisi PKI dari segi penyebaran ideologi. Disiplin partai ini telah ditetapkan pada kongres tahun 1921 yang kemudian lebih dipertegas lagi pada 1923.
Tetapi terlepas dari adanya disiplin partai SI yang dikenakan bagi warga PKI itu, pimpinan PKI –Semaun, Dharsono, Alimin, Tan Malaka dan lain-lain– tetap berusaha melanjutkan kegiatan-kegiatan mereka untuk memperluas pengaruh di tengah-tengah warga negeri jajahan Nederlandsch-Indie dengan pelbagai kegiatan, termasuk mengorganisasi kekuatan-kekuatan buruh dan kekuatan lainnya. Bahkan juga melakukan propaganda ke lingkungan warga beragama Islam dengan “mensejajarkan” ajaran Islam dengan ajaran-ajaran Marxisme-Komunisme dengan mengutip ayat-ayat Al Qur’an dan hadist Nabi Muhammad, yang antara lain dilakukan oleh Haji Misbach. Dengan menggunakan kekuatan massa yang mendukung organisasi mereka, para pemimpin PKI melakukan tindakan-tindakan yang “bersifat revolusioner” dalam bentuk pemogokan, demonstrasi dan lain-lain. Dengan tindakan-tindakan itu, PKI mendapat pengawasan yang sangat ketat dari pemerintah kolonial.
0 komentar:
Posting Komentar