“Salah satu di antara kekerasan dalam kerusuhan Mei 1998 yang paling mendapat perhatian, terutama oleh kalangan internasional kala itu, adalah kekerasan seksual yang menimpa perempuan-perempuan etnis cina. Namun, yang paling ditutup-tutupi oleh kalangan pemerintah di bawah BJ Habibie yang mengganti posisi Soeharto sebagai presiden, adalah mengenai kekerasan seksual tersebut. Semua pengungkapan cenderung dibantah, termasuk data dari sumber yang layak dipercaya karena dikenal memiliki integritas yang tinggi”.
DUABELAS tahun telah berlalu, tapi tabir asap yang menyelimuti kerusuhan 13-15 Mei 1998 yang berlangsung dalam ruang dan momentum yang berimpit dengan penembakan mahasiswa Universitas Trisakti di Grogol Jakarta 12 Mei, tetap tak terkuak. Dengan demikian, kebenaran dalam peristiwa itu belum berhasil dibuat ‘terang benderang’ –meminjam kata majemuk yang lazim digunakan kalangan penguasa dan politisi belakangan ini untuk penggambaran suatu keadaan clear atau sepenuhnya terungkap– sehingga dengan sendirinya tak pernah ada pihak yang bisa dimintai pertanggunganjawab, khususnya dari kalangan jenderal para pengendali keamanan kala itu.
Tak satupun dari para pejabat tinggi bidang keamanan –mulai dari Panglima ABRI Jenderal Wiranto, Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsuddin dan Kepala Staf Kodam Jaya Brigjen Sudi Silalahi, sampai Kapolda Mayjen Polisi Hamami Nata atau Panglima Kostrad Letjen Prabowo Subianto yang disebut-sebut mengerahkan pasukan dalam peristiwa– yang secara serius diproses untuk dimintai pertanggungjawaban. Begitu pula kalangan intelejen, yang semestinya harus bisa menguasai informasi, seperti Kepala BIA Mayjen Zacky Makarim, serta komandan-komandan satuan intel di berbagai angkatan dan kepolisian.
Kecurigaan tentang adanya konspirasi dan skenario dalam rangka pergulatan kekuasaan, muncul dalam berbagai analisis, namun dalam kenyataannya tak pernah ada sentuhan lanjut untuk mengungkap peristiwa. Ini sedikit banyak merupakan pertanda bahwa dalam tubuh kekuasaan hingga kini, mereka yang terlibat dalam konspirasi politik dan kekuasaan –yang namanya sudah tercium di tengah khalayak maupun yang masih tersembunyi– yang menyebabkan meletupnya kerusuhan Mei 1998 itu, beberapa di antaranya masih bercokol dalam posisi kunci kekuasaan pemerintahan maupun dalam kekuasaan politik. Sudah berapa masa kepresidenan ganti berganti, tanpa memperlihatkan upaya yang cukup berarti untuk mengungkap kejahatan kemanusiaan, kejahatan politik dan kejahatan kekuasaan yang terjadi di bulan Mei 1998. Barangkali, sampai suatu hari para keluarga yang kehilangan anak atau suami menangis dengan air mata darah pun para penguasa tetap takkan tergerak mencari kebenaran, karena pekerjaan mencari kebenaran seperti itu lebih musykil dan bisa membahayakan kepentingan kekuasaan itu sendiri.
Kerusuhan dalam konteks keadaan dan dinamika sosial politik
TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) yang dibentuk segera setelah peristiwa, diketuai Marzuki Darusman SH dari Komnas HAM, menemukan berbagai kejanggalan dalam aspek pertanggungjawaban keamanan. Dari hasil verifikasi saksi dan korban, testimoni para pejabat ABRI dan mantan pejabat terkait, dari aspek keamanan TGPF menemukan fakta bahwa koordinasi antara satuan keamanan kurang memadai, adanya keterlambatan antisipasi, adanya aparat keamanan di berbagai tempat tertentu membiarkan kerusuhan terjadi, ditemukan adanya bentrokan antar-pasukan di beberapa wilayah dan adanya kesimpangsiuran penerapan perintah dari masing-masing satuan pelaksana. Menurut laporan TGPF yang terdiri beberapa jilid dengan jumlah halaman hampir seribu, di beberapa tempat didapatkan bukti bahwa jasa-jasa keamanan dikomersilkan, suatu penggunaan kesempatan dalam kesempitan, dengan konsumen tentu saja etnis keturunan cina yang berduit banyak. Begitu pula TGPF menemukan adanya kesenjangan persepsi antara masyarakat dan aparat keamanan. “Masyarakat beranggapan bahwa di beberapa lokasi telah terjadi vakum kehadiran aparat keamanan, atau bila ada, tidak berbuat apa-apa untuk mencegah atau meluasnya kerusuhan. Sebaliknya, para pejabat keamanan berkeyakinan tidak terjadi vakum kehadiran aparat keamanan, meskipun disadari kenyataan menunjukkan bahwa untuk lokasi tertentu masih tetap terjadi kerusuhan (di luar prioritas pengamanan), hal ini disebabkan oleh karena terbatasnya kekuatan pasukan”.
Dalam bukunya ‘Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando’ (Penerbit Kompas, 2009), Letnan Jenderal Purnawirawan Sintong Pandjaitan mempersoalkan tindak-tanduk Jenderal TNI Wiranto di seputar peristiwa. Salah satunya, adalah bahwa “pada tanggal 14 Mei 1998 Menteri Hankam/Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto tetap berangkat ke Malang Jawa Timur untuk bertindak sebagai Inspektur upacara dalam serah terima tanggung jawab Pasukan Pemukul Reaksi Cepat ABRI dari Divisi I kepada Divisi II Kostrad”. Bagi Sintong ini menjadi tanda tanya besar. “Alangkah tidak masuk akal , sampai hari ini pun sangat tidak masuk akal. Mengapa sebagian besar pimpinan ABRI pada waktu itu berada di Malang? Kalau mereka tahu akan terjadi kerusuhan yang begitu dahsyat tetapi memutuskan tetap pergi ke Malang, maka mereka membuat kesalahan. Tetapi kalau mereka tidak tahu akan terjadi kerusuhan, mereka lebih salah lagi. Mengapa mereka sampai tidak tahu? Kerusuhan yang terjadi di Jakarta bukan hanya merupakan masalah Kodam Jaya, tetapi sudah menjadi masalah nasional”.
TGPF berkeyakinan, bahwa peristiwa tanggal 13-15 Mei 1998 tidak dapat dilepaskan dari konteks keadaan dan dinamika sosial-politik masyarakat Indonesia pada periode waktu itu, serta dampak ikutannya. Peristiwa-peristiwa sebelumnya seperti Pemilihan Umum 1977, penculikan sejumlah aktivis, krisis ekonomi, Sidang Umum MPR-RI 1998, unjukrasa/demonstrasi mahasiswa yang terus menerus, serta tewas tertembaknya mahasiswa Universitas Trisakti, semuanya berkaitan erat dengan peristiwa tanggal 13-15 Mei 1998. Kejadian-kejadian tersebut merupakan rangkaian tindakan kekerasan yang menuju pada pecahnya peristiwa kerusuhan yang menyeluruh pada tanggal 13-15 Mei 1998. Dalam abstraksi laporannya, TGPF menyatakan keyakinannya, bahwa salah satu dampak utama peristiwa kerusuhan tersebut adalah terjadinya pergantian kepemimpinan nasional pada tanggal 21 Mei 1998. Dampak ikutan lainnya ialah berlanjutnya kekerasan berupa intimidasi dan kekerasan seksual termasuk perkosaan yang berhubungan dengan kerusuhan 13-15 Mei 1998.
Bila keyakinan TGPF ini dilanjutkan dengan suatu analisis lebih jauh, bisa ditemukan bahwa rangkaian peristiwa Mei 1998 –yang mengambil tumbal nyawa empat mahasiswa Universitas Trisakti dan kalangan masyarakat lainnya serta terenggutnya kehormatan sejumlah perempuan– tidak boleh tidak adalah bagian dari permainan perebutan kekuasaan, bertujuan akhir menggulingkan kekuasaan Soeharto yang sudah berlangsung 32 tahun lamanya. Sementara itu, sikap para ‘pendukung’ Soeharto yang umumnya adalah kaum opportunis, kalau tidak tiarap, cepat-cepat menyeberang ke barisan yang ingin menjatuhkan Soeharto melalui pembusukan membuka lebar pintu kejatuhan Soeharto. Gerakan-gerakan mahasiswa kritis dalam konteks ini adalah suatu kondisi objektif yang dimanfaatkan di ‘luar’ pengetahuan para mahasiswa itu sendiri, suatu hal yang juga dialami dalam peralihan kekuasaan tahun 1966-1967, saat gerakan kritis mahasiswa dimanfaatkan dalam penciptaan peluang lanjut setelah peluang yang diakibatkan Peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Tapi sayang analisa seperti ini tak mendapat bukti perkuatan karena memang pencarian kebenaran masalah yang sesungguhnya, tak pernah dilakukan. Bila kebenaran terungkap seluas-luasnya, akan sangat banyak pihak terseret, dan sebagian di antaranya merupakan bagian dari rezim demi rezim kekuasaan pasca Soeharto dan atau bagian dari pelaku kehidupan politik saat ini yang masih sedang berkiprah. Masalahnya, sebagian besar dari pelaku kekuasaan negara dan kekuasaan politik maupun kekuasaan ekonomi di Indonesia adalah spesis manusia berkulit loreng abu-abu yang bergelimang perilaku korup dan dosa masa lampau. Banyak tokoh penting di segala lini kehidupan saat ini, memiliki rekam jejak yang sewaktu-waktu bisa diungkapkan dan dipermasalahkan. “Kau tahu apa yang aku tahu mengenai kau. Tetapi aku juga tahu bahwa kau tahu mengenai aku” telah menciptakan suatu keseimbangan yang terus menerus diperbaharui.
“Di semua wilayah yang dikaji oleh TGPF didapati adanya kesamaan waktu pecahnya kerusuhan”. Temuan ini menunjukkan adanya faktor perencanaan. “Kedekatan, bahkan kesamaan pola kejadian mengindikasikan kondisi dan situasi sosial-ekonomi-politik yang potensial memungkinkan pecahnya suatu kerusuhan”. Kondisi objektif tersebut pada gilirannya menurut TGPF sebagian memang pecah secara alamiah dan sebagian lagi dibuat pecah melalui sarana-sarana pemicu. Pola kerusuhan bervariasi, mulai dari yang bersifat spontan, lokal, sporadis, hingga yang terencana dan terorganisir. Para pelakunya pun beragam, mulai dari massa ikutan yang mula-mula pasif tetapi kemudian menjadi pelaku aktif kerusuhan, provokator, “termasuk ditemukannya anggota aparat keamanan”.
TGPF mendefinisikan bahwa kerusuhan adalah keseluruhan bentuk dan rangkaian tindak kekerasan yang meluas, kompleks, mendadak dan eskalatif dengan dimensi-dimensi kuatitatif dan kualitatif. Skala kerusuhan 13-15 Mei 1998 mencakup aspek-aspek sosial, politik, keamanan, ekonomi bahkan kultural. Dilihat dari kerangka waktu atau time frame, kerusuhan ini membawa dampak ikutan. Dengan demikian, rentang kerusuhan harus dirujuk pada dinamika krisis nasional, sehingga dampak-dampak pasca kerusuhan, dalam lingkup geografis yang berskala nasional. Enam kota yang dikaji merupakan cerminan dari skala nasional kerusuhan yang terjadi. Secara ringkas, kerusuhan 13-15 Mei 1998 harus diletakkan dalam rentang waktu sebelum dan sesudahnya, dimensinya menyeluruh dan multi aspek, serta wilayah cakupannya bersifat nasional. Dari sudut aktivitas, klasifikasi kerusuhan yang ditetapkan TGPF mencakup rangkaian tindak perusakan, penjarahan, pembakaran, kekerasan seksual, penganiayaan, pembunuhan, penculikan dan intimidasi yang menjurus.
Salah satu di antara kekerasan dalam kerusuhan Mei 1998 yang paling mendapat perhatian, terutama oleh kalangan internasional kala itu, adalah kekerasan seksual yang menimpa perempuan-perempuan etnis cina. Namun, yang paling ditutup-tutupi oleh kalangan pemerintah di bawah BJ Habibie yang mengganti posisi Soeharto sebagai presiden, juga adalah mengenai kekerasan seksual tersebut. Semua pengungkapan cenderung dibantah, termasuk data dari sumber yang layak dipercaya karena dikenal memiliki integritas yang tinggi.
Beberapa kasus yang ada dalam tabel TGPF adalah sebagai berikut ini. Seorang isteri jaksa yang beralamat di Taman Galaxi Bekasi melaporkan menyaksikan seorang perempuan diperkosa beramai-ramai di belakang rumahnya. Seorang suami yang sudah diverifikasi oleh Bakom PKB melaporkan bahwa isterinya yang berusia 26 tahun diperkosa 5 orang, setelah itu secara keji kemaluannya dijejali dengan botol. Seorang suami lainnya, menceritakan bahwa ia bersama isterinya yang juga berusia 26 tahun (namanya disebut jelas dalam laporan) pada tanggal 14 siang berangkat menuju Bandara Soekarno-Hatta untuk berangkat ke Singapore. Dalam perjalanan, mobil yang mereka tumpangi dicegat belasan laki-laki yang kemudian masuk ke mobil dan memaksa berjejal ikut ke Bandara. Pukul 14.30 di bawah tangga terminal F, isteri dan anaknya yang berusia 9 tahun diperkosa. Isterinya lalu dibunuh. Anaknya sempat dibawa ke Singapura, dibawa ke rumah sakit, namun akhirnya meninggal dunia. Para pelakunya umumnya berbadan tegap. Pada hari yang sama pukul 15.00. di Jalan A. Yani Jakarta Timur, saat terjadi amuk massa, seorang ibu dan dua anak gadisnya ditelanjangi sejumlah lelaki dan sudah akan diperkosa, namun berhasil diselamatkan oleh anggota Marinir. Pada tempat dan waktu yang hampir bersamaan, seorang anak roboh dengan luka tembakan di kepalanya. Bukan hanya yang hidup mengalami pelecehan. Seorang saksi pegawai Rumah Duka di Pluit yang sudah diverifikasi, menceritakan penyerbuan ke tempat kerjanya, dan ada sejumlah orang mempermainkan dan melakukan pelecehan terhadap tiga jenazah yang ada di rumah duka tersebut.
Bila mereka yang berkompeten dalam penegakan hukum dan ketertiban bersungguh-sungguh, kasus-kasus yang sudah hampir terang benderang jalan peristiwanya, saksi dan pelakunya, semestinya bukan hal yang sulit untuk ditangani lanjut secara hukum.
0 komentar:
Posting Komentar