21FEB
Tan Malaka (1943)
IKLIM
Mokojobi, 15-6-2602. tanggal opisil kini, waktu saya menulis “Madilog’’. Dalam perhitungan “tuan’’ yang sekarang sedang jatuh dari tahta pemerintahan Indonesia itu bersamaan dengan Donderdag Juli 15, 1942. Murid bangsa Indonesia yang bersekolah Arab dekat tempat saya menulis ini, menarikkan pada hari kamis, bulan Radjab 30, 1362.
Semua itu memberi gambaran, bahwa Indonesia sebenarnya belum bertanggal berumur sendiri. Indonesia tulen belum timbul dari tenggelamnya berabad-abad itu.
11 Juli 1942 petang, saya sampai di Jakarta. Saya meninggalkan Telokbetong pada 7 Juli. Rupanya sama dengan tanggal Ir Sukarno meninggalkan Palembang. Tetapi ada perbedaan. Kapal yang saya tumpangi cuma perahu layar tak lebih dari 4 ton, tua dan bocor walaupun namanya merdu bunyinya “Sri Renyet’’. Perahu layar ini sama sekali menjadi permainan angin saja. Kalau angin dari belakang majulah dia. Kalau dari muka berlabuhlah dia, walaupun dekat karang, kalau dia tak mau dibalikkan kembali atau ditenggelamkan. Kapal Ir. Sukarno kabarnya ditarik oleh kapal motor Jepang. Sebab itu walaupun sama waktu berjalan dan saya dua kali lebih dekat dari Ir. Sukarno ke tempat yang dituju, saya dua kali selama dia di jalan baru sampai.
Ada lagi perbedaan. Walaupun pembuangan saya dua kali pula selama pembuangan Ir. Sukarno yang 10 tahun itu dan saya sebetulnya bukan dikembalikan dengan resmi, melainkan kembali sendiri saya belum boleh bekerja dengan terbuka. Sedangkan Ir. Sukarno sudah “diberi’’ izin buat membikin “propaganda’’. Dalam “Sinar Matahari’’ diterbitkan oleh Kepala Bagian Umum dari barisan propaganda Dai Nippon Palembang dalam No. 49, Kayobi atau Selasa, 23-6-2602, dalam artikel “Di Barisan Depan’’ tuan Sukarno menganjurkan pada Rakyat Indonesia bekerja bersama-sama sekuat-kuat tenaga dengan Dai Nippon. Sebab, hanya dengan bekerja bersama-sama dengan Nippon, kita akan dapat mencapai cita-cita kita Indonesia Raya dalam lingkungan Asia Raya’’. Senin 13 Juli (jangan takut sama angka 13), Ir. Sukarno berjabatan tangan dengan Drs. Muhammad Hatta pemimpin Nasionalis Indonesia yang setingkat tingginya dengan Ir. Sukarno sama-sama cerdik pandai, terpelajar, berani, tahan dan rela menderita kesukaran hidup, yakni sampai Jepang masuk.
Disamping gambar tertulis : “Ir. Sukarno dan Drs. Muhammad Hatta berjabatan tangan sebagai pengakuan bekerja bersama-sama guna masyarakat.”
Dengan hampa tangan saya cari tulisan kedua pemimpin tadi yang bersangkutan dengan persoalan. 1. bagaimana tata negara Asia Raya, 2. Bagaimana kedudukan Indonesia Raya dalam Asia Raya cetakan militer Jepang itu, 3. Bagaimana tata negara Indonesia Merdeka sendiri, 4, 5…………ad.infinitum, yakni tidak berhenti seterusnya …………Kesimpulan: kedua pemimpin nasionalis sudah mulai menjalankan cita-citanya, ialah di bawah ujung pedang Samurai.
Akhirnya perbedaan yang ketiga. Sedangkan kedua pemimpin tersebut disambut dengan kegirangan oleh pengikutnya secara resmi, seperti “bever’’ (berang-berang – catatan editor) yang terkenal tinggal di lubang yang dibikinnya di bawah air itu, saya masuk mesti memakai segala anggota keawasan, yang memang sudah terlatih dalam pelarian yang lebih dari 20 tahun lamanya. Apabila kelak sudah pasti bahwa golongan (klas) yang saya pertahankan selama ini boleh menjalankan haknya, maka barulah kelak saya akan meninggalkan “sarang’’.
Tetapi sarang sekarang memang lebih baik tempatnya dari yang sudah-sudah. Letaknya tidak lagi di Tiongkok atau di tepi tapal batas Jajahan Belanda, walaupun di Indonesia juga seperti 4 tahun yang lalu, tetapi di tengah-tengah Rakyat dan kaum yang sebentuk badan dan mukanya dengan saya dan yang lekas saya bisa mengerti perkataan dan tingkah lakunya. Tetangga saya tiada lagi cerewet mencampuri, siapa saya, dan dari mana saya datang sebab bentuk badan, muka dan bahasa semuanya sama………..
Dari sini saya bisa mempelajari sikap dan perbuatan tentara Jepang, serta sikap dan perbuatan pemimpin Indonesia Raya dalam lingkungan Asia raya. Tetapi saya tiada boleh mengharapkan lebih dari mempelajarinya saja.
Saya kenal Rakyat Jelata Jepang di masa damai. Mereka tahu membedakan yang buruk dengan yang baik tentang hal yang datang dari barat. Mereka bersifat berani dan berlaku ramah tamah terhadap bangsa lain. Tetapi tentara Jepang yang sekarang mengawasi musuh dengan pedang terhunus, dan sering hilang kesabaran terhadap kaum pekerja bangsa Indonesia, tiadalah satu organisasi yang patut diajak berembuk tentang politik yang berdasarkan ke-proletar-an.
Ketua Kota Jakarta (H. Dachlan Abdullah) ini duduk sebangku dengan saya, ketika belajar di Indonesia dan sering sekamar tidur dan makan di Indonesia dan Eropa. Drs Mohammad Hatta bukan asing buat saya. Saya belum bertemu muka dengan Ir. Sukarno. Tetapi perkataan simpati terhadap saya dulu banyak saya baca. Ketiganya mereka ada disini, dekat dan kalau saya menemui mereka, saya bisa ambil kembali uang saya yang dulu tersimpan dalam Bank Belanda (Javasche Bank) sebelum pergi keluar negeri. Saya bisa longgarkan kehidupan saya, dijumpai keluarga saya yang masih hidup dan cari kuburan ibu dan bapa yang keduanya meninggal di waktu saya bertualang. Tetapi tentu susah, mungkin mustahil buat saya melalui pagar Besi Dai Nippon berkeliling rumah mereka. Seandainya bisa, tentulah “sarang’’ saya tak akan aman lagi …………..
Begitulah iklim, suasana politik ketika saya mulai melahirkan “Madilog’’ di atas kertas. Saya berada di tengah-tengah rakyat Jelata Indonesia, dekat keluarga dan para sahabat. Tetapi keadaan dan paham saya memaksa saya tinggal sendiri di tengah-tengah masyarakat yang sering menyebut-nyebut nama, tetapi tak mengenal rupa saya.
Terbitlah mulanya pertanyaan dalam diri saya; buku manakah yang pertama mesti ditulis yang paling cocok dengan keadaan diri dan luar diri saya.
Ada tiga buku yang sudah bertahun-tahun saya kandung dalam fikiran, tetapi belum bisa dilahirkan.
- Undang kaum Proletar berpikir, yang sekarang saya namai Madilog.
- Federasi Aslia ialah potongan dari Asia-Australia, yakni Federasi dari segala Negara pada jembatan antara Asia dan Australia dengan kepalanya di Asia dan Australia.
- Beberapa pengalaman saya yang boleh menjadi pengetahuan dan nasehat buat mereka yang suka menerima.
Dalam keadaan biasa, ketiganya boleh dicetak pada satu waktu, yaitu berdikit-dikit. Karena memang isinya sudang dikandung, Cuma belum diatur sebab waktu dan tempat selamanya ini tak mengijinkan buat melahirkan.
Dalam hal menghasilkan buah fikiran, kita juga berjumpa dengan soal-soal seperti yang dijumpai kalau orang menghasilkan barang dagangan. Orang tidak saja mesti memikirkan perkara belanja (ongkos) buat menghasilkan, tetapi juga perkara permintaan orang ramai (demand). Ongkos boleh saya cari. Di Tiongkok saya mempunyai pencaharian sendiri. Ketika kapal terbang Jepang sampai di Amoy penghabisan bulan Agustus 1937, saya mesti tinggalkan “School of Foreign Languages’’ yang saya dirikan sendiri, yang pesat majunya itu. Saya mesti pindah ke Selatan, terutama sebab semua murid saya lari dan penduduk Amoy cerai-berai.
Di Singapura dalam masyarakat Tionghoa dengan nama dan pasport Tionghoa (sudah tentu di luar pengetahuan Inggris yang asik mencium jejak saya), saya beruntung bisa memanjat dari sekolah rendah sampai kepala sekolah menengah tinggi yang tertinggi di Asia Selatan, yaitu Nanyang Chinese Normal School (NCNS). Disini saya menyamar sebagai Tan Ho Seng jadi guru bahasa Inggris, sampai sekolahnya ditutup ketika Jepang masuk. Jadi kalau perkara ongkos saja saya dapat mencetak buku-buku yang perlu. Pendapatan (uang) saya sebagai guru inggris siang dan malam lebih dari cukup buat diri sendiri.
Tetapi perkara pembagian ada lain hal. Ini rapat bergantung pada kekuatan di luar diri saya.
Walaupun dari tahun 1925-1935 otak saya seolah-olah lumpuh, karena kesehatan sangat terganggu, tetapi karena permintaan ramai ada keras, saya, dalam kesehatan dan keamanan hidup amat terganggu dan terpaksa saja lari kesana-sini, bisa juga mencetakkan “Naar de Republiek Indonesia’’, “Massa Aksi’’ dan “Semangat Muda’’. Semuanya perlu buat nasehat para pergerakan di Indonesia.
Sukarnya perhubungan dan jauh tempat saya, maka sedikit sekali buku-buku itu sampai di tangan yang mempertanggung jawabkan di Indonesia. Barangkali 99 % dari semua buku tersebut masih cerai berai atau lapuk di luar Indonesia. Tetapi di mana sampai, hasilnya ada juga menyenangkan.
Demikianlah sesudah saya sendiri ditangkap di Hongkong pada penghabisan tahun 1932 – inilah yang ke-3 kali – dan semua teman seperjuangan ditangkap di Singapura dan di-Digulkan (diasingkan – catatat editor) maka perhubungan saya dengan sahabat dan teman seperjuangan di semua tempat sama sekali terputus. Beberapa kali saya coba mengadakan perhubungan dengan Rakyat Indonesia dari Singapura, tetapi semuanya itu gagal. Di Singapura dari tahun 1937 sampai 1942 saya saksikan dan sedihi bagaimana besarnya kesukaran yang dihadapai oleh Rakyat dan proletar dalam hal mendirikan susunan politik, terlebih-lebih pula dalam hal mengatur susunan tersembunyi. Jauh terbelakangnya Indonesia dalam hal mengatur susunan tersembunyi dari Tiongkok umpamanya.
Saya percaya permintaan kepada buku-buku ada cukup keras serta nafsu dan keberanian buat mencari atau membagikan buku-buku terlarang cukup besar, tetapi Rakyat Indonesia belum lagi sanggup mengatasi tamparan reaksi Belanda. Percumalah kalau buku itu dicetak, walaupun semua alat pencetak dan ongkos bisa didapat. Berhubung dengan itu terpaksalah saya mengundurkan maksud saya, bertahun-tahun sampai sekarang.
Banyak Proletar mesin (baca buruh industri – catatan editor) dan tanah (baca buruh pertanian – catatan editor) di Indonesia dan kekuatannya yang tersembunyi memang sudah cukup kuat buat merebut kekuasaan dari imperialisme Belanda. Tetapi didikannya masih sangat tipis dan tiada cocok dengan keperluan dan kewajiban klasnya di hari depan. Mereka kekurangan pandangan dunia (Weltanschauung). Kekurangan Filsafat. Mereka masih tebal diselimuti ilmu buat akhirat dan tahyul campur aduk. Mereka tiada sadar akan kekuasaan klasnya. Belum insyaf sendiri, bahwa tak dengan pertolongan proletar mesin, semuanya percobaan buat merebut dan membentuk Indonesia merdeka adalah perbuatan sia-sia belaka. Dua puluh tahun dulu saya sudah yakin akan kekuatan kaum proletar yang tersembunyi itu. Kini tiada kurang malah lebih yakin dari itu.
Filsafat kaum proletar memang sudah ada, yaitu di barat. Tetapi dengan menyalin semua buku dialektis-materialisme dan menyorongkan buku-buku itu pada proletar Indonesia kita tiada akan dapat hasil yang menyenangkan. Saya pikir otak proletar mesin Indoensia tak bisa mencernakan paham yang berurat dan tumbuh pada masyarakat Indonesia dalam hal iklim, sejarah, keadaan jiwa dan idamannya.
Proletar Indonesia mesti setidaknya dalam permulaan ini, mempunyai pembacaan yang berhubungan dengan pahamnya sekarang, pembacaan yang kelak bisa menjadi jembatan kepada filsafatnya Proletar Barat.
Saya percaya ada otak di Indonesia sekarang yang lebih terlatih dari saya dan pena yang lebih tajam dari pena yang berkarat, karena tiada dipakai lebih dari 10 tahun belakangan ini. Akhirnya ada ahli bahasa Indonesia yang bisa lebih tangkas merebut jiwa dan semangat Indonesia dari bahasa saya yang terpendam di luar negeri dalam lebih dari setengah umur saya.
Tetapi karena otak, pena dan bahasa semacam itu saya belum lihat keluarnya, maka terpaksalah saya mempelopori. Tentulah saya berharap akan hati lapang dan sikap menolong memperbaiki dari pihak umum, kalau berjumpa dengan kesalahan.
PERPUSTAKAAN
Kita masih ingat berapa sindiran dihadapkan pada almarhum Leon Trotsky, karena ia membawa buku berpeti-peti ke tempat pembuangan yang pertama di Alma Ata. Saya masih belum lupa akan beberapa tulisan yang berhubungan dengan peti-peti buku yang mengiringi Drs. Mohammad Hatta ke tempat pembuangannya. Sesungguhnya saya maklumi sikap kedua pemimpin tersebut dan sebetulnya saya banyak menyesal karena tiada bisa berbuat begitu dan selalu gagal kalau mencoba berbuat begitu.
Bagi seseroang yang hidup dalam pikiran yang mesti disebarkan, baik dengan pena maupun dengan mulut, perlulah pustaka yang cukup. Seorang tukang tak akan bisa membikin gedung, kalau alatnya seperti semen, batu tembok dan lain-lain tidak ada. Seorang pengarang atau ahli pidato, perlu akan catatan dari buku musuh, kawan ataupun guru. Catatan yang sempurna dan jitu bisa menaklukan musuh secepat kilat dan bisa merebut permufakatan dan kepercayaan yang bersimpati sepenuh-penuhnya. Baik dalam polemik, perang-pena, baik dalam propaganda, maka catatan itu adalah barang yang tiada bisa ketinggalan, seperti semen dan batu tembok buat membikin gedung. Selainnya dari pada buat dipakai sebagai barang bahan ini, buku-buku yang berarti tentulah besar faedahnya buat pengetahuan dalam arti umumnya.
Ketka saya menjalankan pembuangan yang pertama, yaitu dari Indonesia, pada 22 Maret 1922, saya cukup diiringi oleh buku, walaupun tiada lebih dari satu peti besar. Disini ada buku-buku agama, Qur’an dan Kitab Suci Kristen, Budhisme, Confusianisme, Darwinisme, perkara ekonomi yang berdasar liberal, sosialistis, atau komunistis, perkara politik juga dari liberalisme sampai ke komunisme, buku-buku riwayat Dunia dan buku sekolah dari ilmu berhitung sampai ilmu mendidik. Pustaka yang begitu lama jadi kawan dan pendidik terpaksa saya tinggalkan di Nederland karena ketika saya pergi ke Moskow saya mesti melalui Polandia yang bermusuhan dengan Komunisme. Dari beberapa catatan nama buku di atas, orang bisa tahu kemana condongnya pikiran saya.
Di Moskow saya cocokkan pengetahuan saya tentang komunisme. Dalam waktu 8 bulan disini saya sedikit sekali membaca, tetapi banyak mempelajari pelaksanaan komunisme dalam semua hal dengan memperhatikan segala perbuatan pemerintah komunis Rusia baik politik ataupun ekonomi, didikan ataupun kebudayaan dan dengan percakapan serta pergaulan dengan bermacam-macam golongan. Disini saya juga banyak menulis perkara Indonesia buat laporan Komintern. Ketika saya meninggalkan Rusia, memang saya tiada membawa buku apapun, sedang buku peringatanpun tidak. Pemeriksaan di batas meninggalkan Rusia keras sekali.
Tetapi sampai di Tiongkok dan kemudian di Indonesia, saya dengan giat mengumpulkan buku-buku yang berhubung dengan ekonomi, politik, sejarah, ilmu pengetahuan, science (sajans), buku-buku baru yang berdasar sosialisme dan komunisme. Mengunjungi toko buku adalah pekerjaan yang tetap dan dengan giat saya jalankan. Nafsu membeli buku baru, lebih-lebih yang berhubungan dengan ekonomi Asia, membikin kantong saya seperti boneka yang tiada berdaya apa-apa. Tetapi tiada banyak bahagia yang saya peroleh. Sebab kelumpuhan otak seperti saya sebutkan di atas, maka tak lebih dari satu jam sehari saya bisa membaca buku bertimbun-timbun itu. Saya terpaksa menunggu sampai kesehatan membenarkan, tetapi rupanya pustaka tak bisa mengawani saya.
Pada perang Jepang – Tiongkok di Shanghai penghabisan tahun 1937, tiga hari lamanya saya terkepung di belakang jalan bernama “North Su Chuan Road’’, tepat di tempat peperangan pertama meletus. Dari North Su Chuan Road tadi Jepang menembak kearah Pao Shan Road dan tentara Tiongkok dari sebaliknya. Di antaranya di kampung Wang Pan Cho saya dengan pustaka saya terpaku. Sesudah dua atau tiga hari tentara Jepang memberi izin kepada kampung tempat saya tinggal berpindah rumah, pergi ke tempat yang lebih aman dalam waktu 5 menit saja. Saya turut pindah tergopoh-gopoh. Tentulah pustaka saya mesti tinggal. Ketika saya kunjungi rumah saya sesudah habis perang yakni sesudah sebulan lamanya, maka sehelai kertaspun tak ada yang tinggal. Begitulah rapinya “lalilong’’ alias tukang copet bekerja. Hal ini tidak membikin saya putus asa. Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.
Sampai saya ditangkap di Hongkong pada 10-10-1932, saya sudah punya satu peti pula. Sesudah dua bulan di dalam penjara, saya dilepaskan buat dipermainkan seperti kucing mempermainkan tikus. Maka dekat Amoy, saya bisa melepaskan diri. Tetapi dengan melepaskan pustaka saya sendiri. Pustaka saya, tanpa saya, berlayar menuju ke Foechow. Saya terlepas dari bahaya, tetapi juga terlepas dari pustaka. Saya berhasil menyamar masuk ke Amoy dan terus ke daerah dalam Hok Kian tiga-empat-tahun lamanya, terputus dengan dunia luar sama sekali, beristirahat, berobat sampai sembuh sama sekali.
Pustaka baru yang saya kumpulkan di Amoy dari tahun 1936 sampai 1937, juga sekarang, juga sekarang terpendam disana, ketika tentara Jepang masuk pada tahun 1937. Malah dua tiga buku-buku peringatan yang penting sekali yang bahannya diperoleh dengan mata sendiri, ialah: catatan penting, buat buku-buku yang sekarang saya mau tulis, mesti saya lemparkan ke laut dekat Merqui, sebelum sampai di Ranggoon.
Putusan bercerai dengan dua buku catatan itu diambil dengan duka cita sekali. Tetapi putusan itu belakangan ternyata benar. Duanne Ranggoon memeriksa buku-buku saya yang masih ada dalam peti seperti “English Dictionary’’ dengan teliti sekali, malah kulitnya diselidiki betul-betul. Kantongpun tak aman. Di antara Merqui dan Ranggoon di pantai laut, disanalah terletak beberapa buku peringatan cukup dengan rancangan, catatan dan suggesti atau nasehat buat pekerjaan sekarang.
Dalam permulaan 3 tahun di Singapura saya amat miskin sekali. Gaji yang diperoleh sedikit sekali – enam setengah rupiah sebulan. Dengan tak ada diploma-Singapura, tak lahir di Singapura, memakai pasport Tiongkok, walaupun bisa bercakap Tionghoa, tetapi tiada bisa membaca huruf Tionghoa susah mendapat kerja yang berhasil besar pada perusahaan Tionghoa. Susah pula mendapat izin mengajar bahasa Inggris dari tuan Inspektur, sedangkan masyarakat Indonesia tak berarti sama sekali di bekas kota “Tumasek’’ (nama Singapura sekarang di Jaman Majapahit) Ini uang buat makan secukupnya saja, pakaian jangan disebut lagi. Masuk jadi anggota pustaka (Library) tiada mampu. Disini pengetahuan saya walaupun kesehatan sempurna kembali, cuma bisa ditambah dengan isi surat kabar, dan pengamatan mata dan telinga sendiri. Tetapi lama kelamaan atas usaha sendiri saya mendapatkan pekerjaan dan hasil pekerjaan yang baik sekali.
Seperti saya sebut diatas, akhirnya saya dapat bekerja pada sekolah Normal Tinggi (Nanyang Chinese Normal School) sebagai guru Inggris dan belakangan juga sebagai guru Matematika dalam dan luar sekolah tersebut. Saya mulai kumpulkan catatan buat buku-buku yang mau saya tulis sekarang. Rafles Library memberi kesempatan dan minat yang besar. Buku yang paling belakang saya pinjam ialah Capital, Karl Marx. Tetapi armada udara Jepang tak berhenti datangnya hari-hari. Sebentar-sebentar saya mesti lari sembunyi. Cuma dalam lubang perlindungan saya bisa baca Capital, buat mengumpulkan bahan yang sebenarnya saya ulangi membacanya. Sampai 15 Febuari 1942 saya masih pegang Capital itu dengan beberapa catatan. Tetapi sesudah Singapura menyerah, semua penduduk laki-perempuan, tua-muda dihalaukan dengan pedang terhunus kiri-kanan, dengan ancaman tak putus-putusnya menuju ke satu lapangan. Disini ratusan penduduk Tionghoa ditahan satu hari buat diperiksa. Disini saya juga turut menghadapi senapan mesin. Di belakang hari kami mendengar bahwa maksud tentara jepang yang bermula ialah memusnahkan semua penduduk Tionghoa yang ada di Singapura. Tetapi dibatalkan oleh pihak Jepang yang masih mempunyai pikiran sehat dan rasa tanggung jawab terhadap dunia lainnya.
Sebelum kami dikirim ke padang tersebut, saya sudah maklum bahwa tak ada pelosok rumah atau halaman rumah yang mesti kami tinggalkan selama pemeriksaan diri dijalankan, yang kelak akan dilupakan oleh Kempei Jepang. Sepeninggalan kami rumah tempat saya tinggal diperiksa habis-habisan. Barang berharga habis di copet.
Sebelum meninggalkan rumah menuju ke lapangan pemeriksaan saya beruntung mendapat kesempatan menyembunyikan buku Capital ke dalam air. Di “upper Seranggoon Road’’ di muka rumah tuan Tan Kin Tjan, disanalah sekarang di dalam tebat (empang) bersemayam buku Capital terjemahan “Das Kapital’’ ke bahasa Inggris, pinjaman saya, Tan Ho Seng, dari Raffles Library di Singapura.
Sesudah dua atau tiga minggu Singapura menyerah, saya coba dengan perahu menyebrang ke Sumatra, tetapi gagal karena angin sakal. Saya terpaksa mengambil jalan Penang-Medan. Hampir dua bulan saya di jalan antara Singapura dengan Jakarta, melalui semenanjung Malaka, Penang, selat Malaka (perahu layar) Medan, Padang, Lampung, selat Sunda (perahu) dan Jakarta. Di jalan saya bisa beli buku karangan Indonesia. Di antaranya Sejarah Indonesia, yang mesti saya sembunyikan pula baik-baik, sebab dalamnya ada potret saya sendiri.
Inilah pustaka saya dulu dan sekarang. Ada niatan buat membeli sekarang, tetapi banyak keberatan. Pertama uang, kemudian banyak buku mesti datang dari luar negeri, dan ketiga dari pada dicatat dari satu atau dua buku lebih baik jangan dicatat atau catat dari luar buku ialah ingatan sama sekali, seperti maksud saya tentang Madilog ini. Biasanya buku-buku reference yang dipetik, atau pustaka itu ditulis di bawah pendahuluan. Biasanya diberi daftar pustaka yang dibaca oleh pengarang. Tetapi dalam hal saya, dimana perpustakaan tak bisa dibawa, saya minta maaf untuk menulis pasal terkhusus tentang perpustakaan itu.
Dengan ini saya mau singkirkan semua persangkaan bahwa buku Madilog ini semata-mata terbit dari otak saya sendiri. Sudah tentu seorang pengarang atau penulis manapun juga dan berapapun juga adalah murid dari pemikir lain dari dalam masyarakatnya sendiri atau masyarakat lain. Sedikitnya ia dipengaruhi oleh guru, kawan sepaham, bahkan oleh musuhnya sendiri.
Ada lagi! Walaupun saya tidak akan dan tidak bisa mencatat dengan persis dan cukup, perkataan, kalimat, halaman dan nama bukunya, pikiran orang lain yang akan dikemukakan, saya pikir tiada jauh berbeda maknanya dari pada yang akan saya kemukakan.
Al Gazali pemikir dan pembentuk Islam, kalau saya tiada keliru pada satu ketika kena samun. Penyamun juga rampas semua bukunya. Sesudah itu Al Gazali memasukan semua isi bukunya ke dalam otaknya dengan mengapalkannya. Bahagia (gunanya) mengapal itu buat Al Gazali, sekarang sudah terang sekali kepada kita.
Pada masa kecil memang saya juga mengapal, tetapi bukan dalam bahasa ibu, melainkan dalam bahasa Arab dan Belanda. Tetapi ketika sudah sedikit berakal, saya sesali dan saya bantah kebisaan saya itu. Pada ketika itu saya sadar, bahwa kebiasaan mengapal itu tiada menambah kecerdasan, malah menjadikan saya bodoh, mekanis, seperti mesin. Yang saya ingat bukan lagi arti sesuatu kalimat, melainkan bunyinya atau halaman buku, dimana kalimat tadi tertulis. Pula kalau pelajaran itu terlalu banyak, sudahlah tentu tak bisa diapalkan lagi. Tetapi saya juga mengerti gunanya pengetahuan yang selalu ada dalam otak. Begitulah saya ambil jalan tengah: padu yang baik dari kedua pihak.
Apalkan, ya, apalkan, tetapi perkara barang yang sudah saya mengerti betul, saya apalkan kependekan “intinya’’ saja. Pada masa itulah di sekolah Raja Bukit Tinggi, saya sudah lama membikin dan menyimpan dalam otak, perkataan yang tidak berarti buat orang lain, tetapi penuh dengan pengetahuan buat saya.
Buat keringkasaan uraian ini, maka perkataan yang bukan perkataan ini, saya namakan “jembatan kedelai’’ (ezelbruggece) walaupun tidak sama dengan ezelbruggece yang terkenal. Buat menjawab pertanyaan siapa yang akan menang di antara dua negara umpamanya, saya pakai jembatan keledai saya : “AFIAGUMMI’’.
A huruf yang pertama mengandung perkataan Inggris, ialah (A)rmament. Artinya ini kekuatan udara kekuatan darat, dan laut. Masing-masing tentu mempunyai cerita sendiri dan A huruf pertama itu bisa membawa “jembatan keledai’’ yang lain seperti ALS, ialah susunan huruf pada perkataan (A)ir (udara), (L)and (darat) dan (S)ea (laut) forces (tentara). Sesudah dibandingkan perkara Armament diantara kedua negeri itu, maka harus diuji perkara yang kedua, yakni Finance, terpotong oleh huruf “F’’. keuangan dsb.
Demikianlah “jembatan keledai’’ AFIAGUMMI ini saja boleh jadi meminta seperempat atau setengah brosure kalau dituliskan. Dalam ekonomi, politik, muslihat perang, science dan sebagainya saya ada menyimpan “jembatan keledai. Kalau buku penting yang saya baca ada dalam bahasa Inggris, maka “jembatan keledai’’ saya, susunannya tentu dari permulaan atau sebagian perkataan inggris.
Kalau tidak beratus, niscaya berpuluh ada “jembatan keledai’’ di dalam kepala saya. “ONIFMAABYCI AIUDGALOG’’ yang berbunyi bahasa Sanskreta, bukanlah bahasa Sanskreta atau bahasa Hindu, melainkan teori ekonomi yang bertentangan dengan teori ekonomi Mahatma Gandhi.
Kalau badan saya ada sehat, maka perkataan guru itu biasanya mudah saya tangkap. Isinya saya ternakkan dan masukkan ke dalam “jembatan keledai’’. Kalau kertas atau buku peringatan saya umpamanya dibeslah (disita – catatan editor) di Manila atau Hongkong oleh polisi, maka hal itu tiada berarti dia tahu membaca perkataan itu, malah sudah pernah menjadikan mereka pusing kepala berhari-hari, mengira yang tidak-tidak.
Dalam buku yang akan ditulis di belakang hari (kalau umur panjang!) saya kelak bisa meneruskan cerita “jembatan keledai’’ saya ini. Saya angap “jembatan keledai’’ itu penting sekali buat pelajar di sekolah dan paling penting buat seseorang pemberontak pelarian-pelarian. Bukankah seseorang pelarian politik itu mesti ringan bebannya, seringan-ringannya? Ia tak boleh diberatkan oleh benda yang lahir, seperti buku ataupun pakaian. Hatinya terutama tak boleh diikat oleh anak isteri, keluarga serta handai tolan. Dia haruslah bersikap dan bertindak sebagai “marsuse’’ (angkatan militer siap gempur – catatan editor) yang setiap detik siap sedia buat berangkat, meninggalkan apa yang bisa mengikat dirinya lahir dan batin.
Ringkasnya walaupun saya tiada berpustaka, walaupun buku-buku saya terlantar cerai-berai dan lapuk atau hilang di Eropa, Tiongkok, Lautan Hindia atau dalam tebat di muka rumah tuan Tan King Cang di Upper Seranggoon Road, Singapura, bukanlah artinya itu saya kehilangan “isinya’’ buku-buku yang berarti.
Tetapi barang yang lama itu tentu boleh jadi rusak. Catatan atau makna yang saya kemukakan dari pikiran orang lain boleh jadi tiada cukup atau bertukar arti. Dalam hal ini sekali lagi saya minta maaf dan simpati.
INGATAN
Kitab ini adalah bentuk dari paham yang sudah bertahun-tahun tersimpan di dalam pikiran saya, dalam kehidupan yang bergelora. Disinilah dikerangkakan arti dan daerahnya materialisme, arti dan daerahnyadialektika, serta arti dan daerahnya Logika. Selain dari pada itu, akan dijelaskan pula seluk-beluk dan kena-mengenanya materialisme, dialektika dan logika, satu sama lainnya.
Baikpun materialisme ataupun dialektika, bahkan juga logika, masing-masing mempunyai lapangan dan tafsiran berjenis-jenis. Materialisme itu bisa ditafsirkan dengan cara yang mekanis secara mesin mati atau kematian mesin. Malah kaum mistika, kaum gaibpun bisa mempergunakan materialisme itu, buat memperlihatkan keulungan-sulapnya atau sulap-keulungannya.
Dialektika yang berdasarkan pikiran dan kegaiban, yang pada Hegelisme melambung sampai ke puncak, masih terus menerus dipakai sebagai perkakas buat meluhurkan rohani dan merohanikan keluhuran. Pemikir borjuis dan pemikir feodal bergantung pada dialektika mistika itu seperti seekor semut hanyut bergantung pada sepotong rumput yang diayun-ayunkan gelombang.
Logika memuncak pada ilmu bukti (Science) zaman sekarang dengan berjenis-jenis cabangnya ilmu itu. Hasilnya berjenis-jenis ilmu itu meulungkan dan menunggalkan kemanjurannya logika sebagai cara berpikir. Dengan begitu logika menyilaukan mata para pemakai penonton logika itu serta melupakan batas dan kelemahannya logika itu.
Sebaliknya pula beberapa kitab yang berdasarkan materialisme dialektika di Eropa dalam keadaan menantang logika itu, lupa akan atau sedikit sekali memperhatikan kepentingan logika itu. Buat Timur umumnya dan Indonesia khususnya, yang sampai pada saat saya menulis kitab ini, masih gelap gulita, diselimuti macam-macam ilmu kegaiban, maka logika itu masih barang baru, hangat perlu diketahui dan dipahamkan bersama-sama dengan dialektika dan materialisme.
Tetapi jangan pula kita sesat karena me-ulung logika dan menunggalkan logika itu dengan tidak mengenal batas dan kelemahannya. Dalam kita ini logika dibentuk di dalam iklim dialektik! keduanya, logika dan dialektika bergantung pada materialisme. Sebaliknya pula materialisme ini bersangkut paut dengan logika dan dialektika, seperti: materi, benda itu mempunyai sifat bergerak dan berhenti, takluk pada hukumnya gerakan, yakni dialektika, serta hukum berhenti, yakni logika.
Sampai lebih dari pertengahan kitab ini, sampai kira-kira ke ujung bahagian logika, satu bukupun, buat reference – catatan – tiada dipakai, karena memang tidak ada. Semua catatan dipetik dari ingatan semata-mata. Di belakangnya saya mendapatkan bermacam-macam buku yang perlu buat dipetik, dari peringatan tadi, bukunya tiada terdapat di seluruh Jakarta. Bermula saya sandarkan seluruh isi kitab ini pada ingatan jembatan keledai semata-mata, karena memang saya tiada berjumpa dengan buku yang berkenaan. Tetapi sesudah lebih dari seperdua buku ditulis, saya mendapatkan bahan tulisan yang bisa diperiksa benar tidaknya sewaktu-waktu, yang bisa dipanjangkan atau dipendekkan menurut pilihan.
Dengan berlainnya keadaan memilih dan menguji bahan itu sudahlah tentu isi seluruh buku bukan sifatnya, melainkan bentuknya saja tidaklah lagi seimbang, harmonis dan tiada lagi sesuara. Walaupun saya mau merubah, saya tiada berdaya, karena bermacam-macam buku buat bahan dari bahagian pertama itu, memang tiada bisa didapatkan. Saya mesti menunggu sampai perang selesai, baru bisa didapatkan beberapa buku itu …….yaitu kalau ada bahan penting pula fulus.
Tetapi kalau Madilog masih kekurangan bentuk, saya pikir dia tidak kekurangan sifat.
MENINJAU KE MUKA
Baru saya sampai di Jakarta, masuki sebuah toko buku Belanda salah satu toko buku yang terbesar di Asia Timur ini. Saya mau beli sebuah buku tentang logika. Di kota besar mana saja di Asia Timur ini. Di Shanghai atau Manila, Hongkong atau Singapura, gampang sekali kita dapatkan buku semacam itu. Di toko buku tuapun tak perlu lama kita mencari buku logika karangan Jevons atau Mill (Inggris) atau pun Jones (Amerika) dsb-nya. Di Jerman, lebih-lebih rusia, mudah sekali mendapatkan buku perkara dialektika.
Tetapi dalam toko buku Belanda di ibu kota “Hindia Belanda’’ yang berpenduduk 70.000.000 jiwa itu, tak ada satupun buku (popular atau tidak) perkara undang berpikir, logika. Apalagi dalam toko-toko yang lebih kecil! Satu gambar dari semangatnya suatu negara yang hanya menghasilkan keju dan bloembollen itu, tetapi terkaya di dunia. Saya percaya bahwa dalam sekolah tinggi di Belanda dan di Indonesia ada terkhusus atau tersambil diajarkan logika. Tetapi saya pikir saya tak jauh dari kebenaran kalau berkata bahwa English speaking nations (bangsa-bangsa yang berbicara bahasa Inggris terutama Amerika) lebih mementingkan didikan buat rakyat murba, buat pemuda yang berotak, tetapi tak mampu, baik dengan jalan Sekolah Tinggi Rakyat ataupun kursus dan buku popular. Salah satu sifat rakyat Belanda yang terlihat pada saya adalah sifatdemogogisch, ialah sifat berkilah, sifat suka mempertentangkan perkara kecil-kecil dengan melupakan pokok yang besar. Tiada heran kalau negara kecil berpenduduk kira-kira seperdua puluh dari Amerika dan berkeluasan sepertiga ratus tujuh puluh lima (1/375) dari Amerika mempunyai partai politik lima puluh dua buah (menurut berita seorang jurnalis Inggeris yang berada di Holland ketika diserang oleh Jerman (10-5-1940), jadi kira-kira 17 kali sebanyak partai yang ikut dalam pemilihan di Amerika. Menurut ukuran Belanda, Amerika itu mestinya mempunyai lebih kurang 1040 partai, baru ia bsia menyamai Belanda dalam hal percekcokan perkara tetek benger. Logika, apalagi dialektika, bukanlah ilmu yang dipopulerkan, dijadikan ilmu umum, dimana raja minyak (Colyn) dan raja tembakau (Cremer) bersimaharajarela.
Sudah bertahun-tahun saya tak punya buku, tak ada salahnya buat saya sekarang, sebelum menulis buku “Madilog’’ ini, sebentar mengincarkan mata pada daftar, isi dan halaman buku-buku yang mengandung dialektika dan logika. Tetapi sebab toko buku yang terbesar di Asia Timur dan toko-toko buku nyamuk di Jakarta tak punya satupun buku perkara itu saya sama sekali disesakkan kepada “Jembatan keledai’’ yang tersimpan dalam otak saya. Sekali lagi maaf ! Tetapi perlu pula dicatat disini dalam bibliotheek Bataviase Genootshap, sesudah hampir habis “Madilog’’ ditulis berjumpa juga dengan beberapa buku tentang logika dalam bahasa Belanda, Inggris, Jerman dan Perancis.
MADILOG, ialah paduan dari permulaan suku kata : (MA)-TTER, (DI)-ALECTICA dan (LOG)-ICA “Mater’’ saya terjemahkan dengan “benda’’,dialektika dengan pertentangan atau pergerakan dan logika dengan undang berpikir. Paduan dalam bahasa Indonesia tiadalah begitu enak didengar dan tiada pula membuka pikiran baru seperti “jembatan keledai’’ saya. Sebab segala kata di atas sudah begitu umum dalam bahasa negara besar-besar di Eropa, walaupun bahasa cangkokan dari bahasa Latin dan Yunani, maka tiadalah perlu kita segan mencangkok kata itu ke dalam bahasa kita.
“Madilog’’ saya maksudkan terutama ialah cara berpikir. Bukanlah suatu Waltanschauung, pemandangan dunia walaupun cara berpikir dan pemandangan dunia atau filsafat adalah seperti tangga dengan rumah, yakni rapat sekali. Dari cara orang berpikir itu kita dapat duga filsafatnya dan dari filsafatnya kita dapat tahu dengan cara dengan methode apa dia sampai ke filsafat itu.
Murid yang cerdik juga insyaf, bahwa kalau dia sudah tahu satu cara, satu undang, satu kunci buat menyelesaikan satu golongan persoalan, maka tiadalah ia mengapal berpuluh-puluh persoalan atau jawabannya puluhan atau ratusan persoalan itu, tetapi dia pegang cara atau kuncinya persoalan tadi saja.
Kebanyakan persoalan bisa diselesaikan dengan logika, undang berpikir saja. Dalam kehidupan kita sehari-hari yang berhubungan dengan makan minum, pulang pergi, jual beli dan 1001 perkara berhubung dengan pergaulan kita dengan sahabat, anak dan istri, tiadalah kita dipusingkan oleh dialektika.
Kenyang tiadalah mengandung arti lapar, seperti menurut dialektika. Kalau si anak menangis, si ibu memberikan air teteknya dengan segera. Dia tiadalah pikirkan lebih dahulu bahwa pengertian menangis itu mengandung pengertian tertawa, dan lapar itu ada terkandung pengertian kenyang. Yang satu sama lainnya tiada boleh dipisahkan, seperti dalam cara berpikir yang berdasarkan dialektika.
Dalam sekolah rendah atau menengahpun kita berkali-kali bertarung pada cara berpikir yang berdasarkan logika. Hitungan yang kita mesti jalankan, pengalaman, experimenten, dalam ilmu alam dan ilmu pisah yang sang guru lakukan di depan kita, semuanya mengandung logika. Walaupun dalam dialektika pada satu saat uap itu sama dengan air jadi tiada berpisah melainkan berpadi, jadi air sama dengan uap tiadalah kita mengadakan perhitungan atas dasar dialektika ini. Air tetap air buat kita dan mempunyai sifat air, bukan uap yang mempunyai sifat uap pula.
Tetapi kalau kita mengaji lebih dalam, kalau kita mengaji ada atau tak-adanya barang, mengaji seluk-beluk, asal dan akibatnya sesuatu barang, tegasnya kalau kita tenggelam dalam ombak gelora filsafat, ke dalam persoalan yang berhubungan dengan alam, masyarakat politik, yang hilang atau timbul, bergerak dan berhenti, pada waktu yang singkat atau lama, pada perkara yang berseluk-beluk, maka kita tiada bisa sampai ke ujung dengan perkakas logika semata-mata. Kita mesti memakai dialektika. Malah dialektikalah yang terutama.
Ahli filsafat yang jawa, ahli politik atau ahli siasat yang cerdas ahli ekonomi yang sempurna, mesti memakai senjata-pertentangan, seperti senjata dalam pepatah Indonesia: yang tajam balik bertimbal, kalau tak ujung pangkal mengena. Ahli filsafat mesti selalu berjalan di antara kedua kutub, utara dan selatan, ujung dan pangkal, ya dan tidak, ada dan tak-ada. Sebentar dia bisa cemplungkan otaknya ke dalam ada, sebentar lagi ke dalam tak ada, dan pada tempat masing-masing memakai logika, tetapi pada pemandangan jauh mempunyai waktu lama, dia mesti pikirkan ada itu terletak di kutub tak-ada, tak boleh bercerai satu sama lainnya.
Si-ekonomis dan ahli politik, sebentar boleh memakai Logika, dalam menyelidiki beberapa perkara dalam golongan proletar atau kapitalis, tetapi dalam filsafat masyarakat sekarang, masyarakat kapitalisme, dia tidak boleh melupakan kedua kutub, kaum modal dikutub utara, kaum buruh di kutub selatan. Satu sama lain bertentangan, tak boleh dipadu. Disini dialektika yang merajalela.
Tetapi sebelum kita memilih cara berpikir mana yang terutama kita pakai, dialektika-kah atau logika-kah, maka haruslah lebih dahulu kita bertanya kepada diri sendiri, apakah persoalan itu berdasarkan matter, benda ataukah idea, bayangan pikiran semata-mata, roh semata-mata.
Kalau persoalan itu berdasar atas benda, barang yang nyata yang bisa diperiksa dengan panca indera anggota yang lima, boleh diperalamkan, diexperimentkan, barulah persoalan itu kita taruh di bawah pemeriksaan kita. Segala bukti yang nyata yang bisa diperalamkan itulah yang akan menjadi premisses, menjadi lantainya undang atau paham yang kita cari itu.
Sebab itulah kita namakan Madilog karena berdasarkan matter, benda. Dari penjuru matter inilah kita memandang. Inilah buat kita yang jadi lantai, yang menjadi tingkat pertama dalam sesuatu penyelidikan. Boleh jadi resultant atau hasil penyelidikan itu tiada mencukupi atau salah sama sekali. Tetapi hal ini tidak disebabkan salahnya cara berfikir. Boleh jadi kepala kita sedang pusing atau bukti belum semuanya terkumpul atau akhirnya kita salah memakai cara tadi.
Sudah lazim kita dengar dialektika-materialisme atau historisch-materialisme. Perkataan ini memang cukup tangkas dan selalu dipakai dalam kalangan Marxisten tetapi nama ini lahir di dunia barat di antara Marxisten di masa kebanyakan logika, buat menentang sikap yang terlampau banyak mengutamakan logika. Kita yang lahir di dunia mistika, mistika Hindu pula, mistika yang tak gampang dikikis, di cuci bersih, maka sebagai tongkat pertama dalam dunia berpikir, perlulah kita sekadarnya memajukan logika. Di antara ahli pikir borjuis barat ada yang menyanggah nama dialektika materialisme dan memajukan kritis-materialisme, ialah logisch-materialisme, tetapi nama ini sama sekali melenyapkan dialektika, jadi bertentangan dengan Madilog.
Walaupun dalam bagian badan kita, otak kita itu adalah barang yang perlu dan penting, hati, jantung, usus, dsb juga penting, tetapi kalau tak-bertulang belakang kita tak bisa berdiri. Klas tani itu penting, klas saudagar di dunia sekarang berguna, klas intelek berguna-penting, tetapi tak-ber-klas pekerja-mesin, Indonesia merdeka pasti tak akan bisa berdiri dan kalau berdiri tak akan bisa teguh dan lama.
Beginilah paham saya sebelum dibuang keluar Negara lebih dari 20 tahun yang lampau. Di bawah bendera Dai Nippon paham itu tak bertambah lemah, malah sebaliknya bertambah kuat. Perjuangan nasionalis setelah robohnya PKI (1927), yang dipimpin oleh kaum intelek sudah lebih dari pada cukup memberi bukti yang nyata, bahwa perjuangan yang tiada berdasarkan pekerja-murba tidak akan mendapat Indonesia Merdeka. Sikap keras terhadap para pemimpin prajurit pekerja, jauh lebih kejam dari pada sikap yang diambilnya terhadap para pemimpin nasionalis adalah sikap yang sangat jitu sekali menggambarkan taksirannya imperialisme Belanda terhadap berbagai golongan Masyarakat Indonesia yang mengancam dirinya itu.
Paham saya tentang segala golongan di Indonesia, sudah cukup saya terangkan dalam beberapa brosur, yang saya sebut diatas tadi. PARI, yang didirikan sesudah hancurnya PKI berdiri atas perhitungan kekuatan terbuka dan tersembunyi Rakyat Murba dan pekerja Indonesia.
Pentingnya, hidup matinya negara pada dunia kapitalisme dan imperialisme ini, bergantung pada bermacam-macam hal, persenjataan, perindustrian, terutama senjata, letak negara, persatuan serta banyak penduduknya, semangat rakyat, kecerdasan dsb.
Kalau semua hal yang lain bersamaan (letak negara, kecerdasan dan banyak penduduk dsb), maka dalam satu perjuangan keadaan perindustrianlah yang akan memberi putusan. Yang kuat perindustriannya, itulah pihak yang mesti menang. Perusahaan sekarang berdasar atas Ilmu-bukti (science) dan teknik, pesawat. Pesawat itu bendanya ialah besi baja dan kodrat atau rohaninya terutama minyak tanah. Kalau tak ada baja dan minyak, kapal terbang tak bisa naik, tank dan auto tak bisa lari dan kapal-selam tak bisa maju. Kalau besi dan baja itu tidak terdapat dalam negara, melainkan pada negara lain, maka buat menyampaikan maksud imperialismenya negara itu, dia mesti menguasai semua benda yang penting itu kalau satu negara penuh dengan benda tadi, tetapi lemah semangat rakyatnya, lemah intelek, tiada bersatu dan tiada pula merdeka, maka negara itulah yang akan menjadi umpan atau makanan negara yang gagah perkasa.
Di dunia ini tak ada letaknya negara yang lebih berbahagia dari letaknya Indonesia. Buat siasat perang tak ada tempat yang lebih teguh. Barang siapa yang mendudukinya, walaupun hal lain bersamaan, dia mesti menang perang. Siapa yang tiada mendapat kedudukan itu lambat laun akan kalah. Lihatlah saja peta bumi. Dulupun hal ini sudah saya majukan. Besi yang paling banyak dan paling baik sifatnya menurut laporan dalam Bataviasche Nieuwsblad tahun 1935 (?) – kalau saya tak lupa – ialah di Indonesia Utara, Filipina. Tambang besi di Malaka dan Filipina memang sudah berjalan. Sulawesi dan Kalimantan banyak sekali tanah mengandung besi.
Minyak di Sumatra, Kalimantan, Irian sudah begitu kesohor di seluruh dunia, tak perlu dibicarakan lebih panjang lagi. Bauksite dan aluminium keduanya buat melebur baja yang kuat keras sudah dikerjakan di Riau dan akan dikerjakan di Asahan. Benda perang yang lain-lain, seperti: timah, getah dan kopra (buat bom TNT yang maha dahsyat itu minyak kelapalah yang dipakai) didapati di Indonesia lebih dari di seluruh bagian dunia lain digabung jadi satu.
Sudah pernah seorang pengarang buku di Amerika meramalkan, bahwa kalau satu negara seperti Amerika mau menguasai samudra dan dunia, dia mesti rebut Indonesia lebih dahulu buat sendi kekuasaan. Si Amerika tadi tiada meramalkan mungkin kelak rakyat Indonesia sendiri menguasai negaranya sendiri, tak mau menjadi umpan atau makanan negara lain, seperti lebih dari 300 tahun belakangan ini.
Saya sudah kenal sama tambang besi di Malaka dan Indonesia utara, Filipina. Baru ini saja saya kagumi tambang minyak yang besar di Pangkalan bradan, Pelaju dan sungai Gerang. Saya tahu adanya tambang minyak di Tarakan dan Balikpapan, batu arang di Malaka, Sawah Lunto, Bukit Assam dsb, tambang timah di Bangka dan Belitung. Saya tahu ratusan ribu pekerja yang terikat oleh kereta api, tram, mobil, kapal laut dan udara, pos, telepon, telegram dan radio. Ratusan ribu pekerja pada bengkel, pabrik besi, kimia, gula, teh, kain, sabun, dan lain-lain. Pada masa saya berangkat ketika lebih dari 20 tahun dahulu jumlah kaum pekerja itu sudah 2 atau 3 juta orang. Sekarang sudah tentu lebih dari itu. Banyaknya dan sifatnya perusahaan dalam 20 tahun belakangan ini memang sudah bertambah. Begitu juga banyaknya serta sifatnya prajurit pekerja.
Pekerja di dalam tambang minyak, besi, timah, bengkel dan pabrik dan pada pengangkutan inilah tulang belakangnya ekonomi Indonesia. Inilah kaum yang bisa dikerahkan buat menyokong berdirinya dan majunya Indonesia Merdeka yang sejati dan terus-menerus mempertahankan kemerdekaan itu. Dekatilah golongan pekerja ini! Masuklah klasnya! Dengan klas ini bersama dengan golongan lain, maka klas pekerja seolah-olah akan menjadi klas, sebagai “teras’’ yang dikelilingi kayu dan kulit, kalau ia terus maju ke muka buat mencapai kemerdekaan sejati dan mendirikan negara yang cocok dengan kemakmuran sama-rata dan persaudaraan.
Tetapi tuan mesti kupas masyarakat sekarang, dengan cara berpikir yang beralasan benda, bukan roh, yang bertentangan, bukan perdamaian, memakai undang berpikir yang bukan fantastis, bertahyul, sembarangan. Jelaskan pentingnya benda buat kesehatan kecerdasan, kebudayaan, kemerdekaan dan kesenangan. Kupaslah pertentangan upah dan untung, pertentangan proletar dan kapitalis. Pertentangan politik buruh dan politik majikan dan akhirnya pertentangan kebudayaan kaum pekerja dengan kebudayaan kaum hartawan yang menganggur itu. Jelaskanlah kedudukan proletar dalam dunia kapitalisme ini. Peringatkanlah, bahwa mereka pekerjalah, yang menduduki lantai ekonomi perekonomian Indonesia. Bangunkanlah semangat kritis – menentang – dalam masyarakat yang memang berdiri atas beberapa golongan yang bertentangan. Dengan begitu bangunkanlah semangat menyerang buat meruntuhkan yang lama – usang – dan mendirikan masyarakat yang baru – kokoh – kuat.
Janganlah dihampiri mereka, pekerja ini dengan “logika mistika’’. Atau kalau tuan begitu gemar akan logika mistika atau dialektika mistika tuan berlaku jujur. Jalankanlah akibatnya yang sebenarnaya dari logika atau dialektika mistika tadi. Bilanglah saja terus terang, bahwa benda itu tak berarti apa-apa, kalau dibanding akhirat. Propagandakanlah bahwa benda dan nikmat di akhirat lebih banyak, lebih lezat dan lebih kekal. Atau cocok dengan filsafatnya Gautama Budha, katakanlah bahwa benda itu adalah satu rantai, satu karma yang merantai hidup kita, hidup sengsara ini. Dengan demikian cocokilah dan ikutilah sikap dan tindakannya beberapa sekte atau mashap mistika, yang mencari cara yang baik buat membatalkan dunia ini, cara yang baik buat………mati, yang buat mereka berarti mati-hidup. Bilanglah terus-terang mati lebih baik dari pada hidup. Berlakulah begitu, supaya teori cocok dengan praktek, kata dengan laku. Dengan terus terang dan konsekwen bercakap begitu, kaum pekerja bisa memilih mana yang baik di antara Madilog atau Logika Mistika.
0 komentar:
Posting Komentar