19FEB
Asrori S. Karni dan Amalia K. Mala
SALAH satu daya tarik sekaligus kekuatan Presiden Soekarno terletak pada kemampuannya berpidato. Pada zamannya, orang rela berdesakan demi mendengarkan pidato sang Pemimpin Besar yang disiarkan radio. Ribuan rakyat selalu antusias menghadiri rapat raksasa yang menampilkan orasi Bung Karno. Ketika komunikasi lisan lebih populer, pidato Bapak Proklamator itu mendapat tempat untuk didengarkan, juga dipatuhi.
Namun, menjelang kejatuhannya, pidato Bung Karno bagai seruan di padang gurun. Suaranya tak lagi didengar. Perintahnya tak lagi dipatuhi. Arus balik itu bergulir sejak meletus Gerakan 30 September (G-30-S) 1965. Sisa-sisa koran yang masih diizinkan terbit waktu itu lebih sering memelintir pernyataannya atau membiarkan suaranya hilang bersama angin lalu. Penulisan sejarah nasional pun kemudian melupakan pidato Bung Karno sebagai salah satu sumber penting.
Rabu pekan lalu, Penerbit Mesiass, Semarang, meluncurkan buku yang memuat pidato terpilih Bung Karno pada kurun 1965-1967. Inilah tahun-tahun kritis menjelang berakhirnya kekuasaan Soekarno. “Pidato selama dua tahun itu sangat berharga sebagai sumber sejarah,” kata Asvi Warman Adam, pembicara dalam peluncuran buku di Hotel Regent Jakarta itu. “Ia mengungkapkan berbagai hal yang ditutupi, bahkan diputarbalikkan selama Orde Baru,” sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu menambahkan.
Selain Asvi, tampil juga Nurcholish Madjid, Eep Saefulloh Fatah, Adi Sasono, dan Eros Djarot. Acara digelar oleh Soegeng Sarjadi Syndicated. Dua jilid buku berjudul Revolusi Belum Selesai itu memuat 61 pidato yang dipilih dari 103 naskah yang ditemukan. Bonnie Triyana, editor buku itu, mendapat data mentah pidato tersebut dari kantor Arsip Nasional, Jakarta. Mahasiswa Universitas
Buku kumpulan pidato Soekarno sebenarnya pernah diterbitkan ketika peringatan 100 tahunnya, pada 2001. Namun, hampir semuanya berupa pidato sebelum peristiwa G-30-S 1965. Tidak banyak yang tahu isi 100-an pidato Soekarno pada rentang 1965-1967. Paling-paling hanya pidato pada malam 30 September 1965 dan pidato pertanggungjawaban “Nawaksara” dalam Sidang Umum MPRS, 22 Juni 1966.
Isi pidato sepanjang 1965-1967 itu, dalam amatan Asvi, tidak hanya menggambarkan sengitnya peralihan kekuasaan, melainkan juga kegetiran presiden yang ucapannya tidak didengar lagi oleh para jenderal yang dulu sangat patuh. “Soekarno marah dan bahkan sangat geram. Ia sering memaki dengan bahasa Belanda,” kata Asvi, yang juga menulis pengantar untuk buku itu.
Kemarahan Bung Karno, misalnya, tampak dalam pidato di depan empat panglima angkatan di Istana Bogor, pada 20 November 1965. Ia menyatakan ada perwira yang mbregudul alias kepala batu. Perwira yang dimaksud sepertinya Soeharto. Paling tidak, hal itu tergambar pada bagian lain pidatonya yang menyatakan, “Sayalah yang ditunjuk MPRS menjadi Pemimpin Besar Revolusi. Terus terang bukan Subandrio, bukan Nasution… bukan engkau Roeslan Abdulgani, bukan engkau Soeharto, bukan engkau Soeharto….” Hanya nama Soeharto yang disebut sampai dua kali.
Beberapa sisi sejarah yang cenderung ditutupi pada masa Orde Baru juga tergambar dalam rangkaian pidato ini. Asvi mencatat, minimal ada tiga hal. Pertama, tentang peristiwa G-30-S. Bila Orde Baru hanya menunggalkan peran Partai Komunis Indonesia (PKI), komentar Soekarno sudah mencakup semua teori yang saat ini berkembang. Menurut Soekarno, ada tiga faktor yang menyebabkan G-30-S: keblingernya pemimpin PKI, adanya subversi neokolonialisme (nekolim), dan oknum yang tidak bertanggung jawab.
Soekarno mengakui, ada oknum PKI yang bersalah. Tapi, dia ingin menyelidiki dulu secara menyeluruh sebelum mengambil keputusan tentang tragedi itu. Ia mengibaratkan, kalau ada tikus yang mencuri kue di rumah, jangan sampai rumahnya dibakar. Tentang nekolim, belakangan terjabarkan lewat teori keterlibatan CIA. Sedangkan oknum tidak bertanggung jawab lebih dekat dengan teori konflik internal Angkatan Darat.
Kedua, tentang Supersemar. Saat melantik Kabinet Ampera pada 28 Juli 1966, Soekarno berkali-kali menegaskan bahwa Supersemar bukanlah penyerahaan kekuasaan. “Pers asing mengatakan bahwa perintah ini adalah a transfer of authority to General Soeharto. Tidak. It is not a transfer of authority to General Soeharto… I repeat again, it is not a transfer of authority,” ujar Bung Karno.
Tidak hanya pada masa itu keberadaan Supersemar dispekulasikan sebagai bentuk kudeta halus. Sampai saat ini pun masih berkembang analisis bahwa Supersemar adalah salah satu fase “kudeta merangkak” yang dilakukan Soeharto. Dimulai pada Oktober 1965 sampai 1967, ketika Soeharto ditetapkan sebagai penjabat presiden.
Ketiga, tentang peristiwa pembantaian G-30-S. Ketika berpidato dalam rangka ulang tahun kantor berita Antara di Bogor, pada 11 Desember 1965, Bung Karno menyatakan bahwa berdasarkan visum dokter, tidak ada kemaluan yang dipotong dalam peristiwa di Lubang Buaya. Juga tidak ada mata yang dicukil seperti ditulis pers.
Esok harinya, 13 Desember 1965, di depan gubernur se-Indonesia, Soekarno menyatakan, pisau yang dihebohkan sebagai pencukil mata tak lain adalah pisau penyadap lateks pohon karet. Soal visum et repertum dokter itu beberapa tahun kemudian juga diungkapkan Bennedict R.O.G. Anderson, guru besar sejarah politik Unversitas Cornell, Amerika Serikat, bahwa tak satu pun jenderal yang disilet kemaluannya.
Masih banyak soal lain yang terungkap dari kumpulan pidato ini. Misalnya, mengapa Soekarno yang hingga 1967 masih didukung Korps Komando Operasi Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan sebagian Kodam Brawijaya dan Diponegoro tidak memerintahkan perlawanan? Di situ terungkap bahwa Soekarno tidak mau terjadi petumpahan darah sesama bangsa, meski taruhannya dia jatuh.
Memang, data-data yang terungkap berskala kecil, tak menghebohkan, toh Asvi menilainya tetap penting bagi penulisan sejarah Indonesia. “Bagaimanapun, itu data otentik dari seorang presiden,” katanya. Tapi, data itu tidak bisa berdiri sendiri, perlu diperkuat sumber sejarah yang lain. Asvi tidak memungkiri kemungkinan materi pidato itu bias kepentingan Soekarno membela diri. Sebab, itu juga pidato seorang pemimpin politik yang tentu mengandung kepentingan politik tertentu.
Namun, kata Asvi, Soekarno tidak seperti Soeharto. “Apa yang disampaikan Soekarno adalah pidatonya sendiri yang kadang bersifat spontan,” katanya. “Lagi pula, saat itu ia tidak punya kekuasaan lagi. Yang ia sampaikan adalah apa yang ia rasakan.” Sementara pidato Soeharto kebanyakan dibuatkan staf yang cenderung kurang menggambarkan kenyataan apa adanya.
Pemunculan pidato ini juga penting untuk menjadi pembanding opini yang dikembangkan sebuah rezim yang cenderung manipulatif. Setiap kekuasaan punya kecenderungan menonjolkan peran kesejarahan tertentu dan menenggelamkan sisi sejarah yang lain. “Penguasa kerap mengontrol wacana kita,” kata peneliti sejarah, Fachry Ali, kepada Bernadetta Febriana dari GATRA. Penguasa juga merasa berhak menentukan mana yang harus diingat dan mana yang harus dilupakan.
Dengan ungkapan lain, sejarawan Taufik Abdullah menyatakan, “Sejarah bukan hanya catatan masa lalu, melainkan juga alat legitimasi kekuasaan.” Taufik enteng saja menilai naskah pidato Bung Karno. “Teks-teks itu harus dibaca, tapi dia bukan Al-Quran yang harus diterima,” ujar Taufik. Naskah pidato itu, katanya, harus dibandingkan dengan teks dan kesaksian yang lain. “Paling tinggi derajat teks pidato tersebut adalah ‘ini yang dikatakan Soekarno’,” kata Taufik.
Sejarawan dari Universitas Indonesia, Anhar Gonggong, menilai pidato Bung Karno itu tidak memiliki pengaruh apa-apa bagi perubahan sejarah Indonesia. Sebab, eksistensi Soekarno tidak bergantung pada pidato itu. Toh, katanya, saat ini nama Soekarno tetap dihormati. “Untuk penulisan sejarah pergerakan sampai 1965 memang perlu mendengarkan pidato itu,” kata Anhar. “Tapi, bukan berati kita hanya melihat Soekarno, salah! Kan juga ada Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka.”
Bagi Anhar, penerbitan pidato Soekarno tidak akan membawa pengaruh berarti pada masyarakat. “Kalau mempengaruhi Soekarnois, iya,” katanya. Anhar menilai tidak ada yang dihilangkan dari sejarah Soekarno pada masa Orde Baru. “Memang ditutupi, tapi tidak dihilangkan. Buktinya, nama bandar udara pakai Soekarno-Hatta. Tidak mungkin menghilangkan nama Soekarno dari proklamasi, sama tidak mungkinnya dengan upaya PKI menghapus nama Hatta sebagai proklamator,” ujarnya.
Yang dilakukan Orde Baru, menurut Anhar, adalah ikhtiar menonjolkan peran Soeharto. Upaya penyimpangan penulisan sejarah tidak hanya terjadi pada zaman Soeharto, melainkan juga pada masa Soekarno. G. Moedjanto, sejarawan dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, pernah menulis artikel “Meluruskan Sejarah Nasional”, pada Agustus 2001. Ia menyebut beberapa contoh kasus penyimpangan yang perlu diluruskan.
Misalnya soal rekayasa Soekarno tentang mitos proklamasi. Diceritakan dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, Soekarno berbincang dengan Sukarni Kartodiwiryo. Soekarno bilang, “Di Saigon saya sudah merencanakan proklamasi tanggal 17.” Mengapa? Soekarno menjawab, “Angka 17 adalah angka sakti. Lebih memberi harapan. Angka 17 keramat. Al-Quran diturunkan pertama tanggal 17. Orang Islam sembahyang 17 rakaat sehari. Maka hari Jumat Legi tanggal 17 Agustus saya pilih untuk menyelenggarakan proklamasi.”
Kemudian perihal lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Ada pendapat, ide Pancasila pertama kali dicetuskan Muhamad Yamin pada 29 Mei 1945 di depan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Lebih dari 30 tahun zaman Orde Baru, sejarawan dan penatar P4 tidak berani menyatakan 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila. Padahal, Yamin dalam enam tulisannya mengakui bahwa ide Pancasila sebagai dasar negara diperkenalkan pertama kali oleh Bung Karno dalam sidang BPUPKI, 1 Juni 1945.
Ada juga polemik golongan tua dan muda dalam proklamasi. Golongan tua, diwakili Hatta, menyatakan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia membuat skenario proklamasi pada 16 Agustus 1945. Gara-gara ulah golongan muda, proklamasi tertunda satu hari, menjadi 17 Agustus. Golongan muda, diwakili Adam Malik, menyatakan, kalau tidak didesak golongan muda, sampai September pun belum tentu proklamasi dikumandangkan.
Lantas tentang Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berarti kembali ke UUD 1945. Ada yang menuduh Soekarno melakukan kudeta. Namun, sumber lain, Hardi, SH, mantan Wakil Perdana Menteri Kabinet Karya, menyangkal. Menurut Hardi, Bung Karno sebenarnya tidak meminati UUD 1945 karena mengharuskannya bertanggung jawab kepada MPR. Hanya karena dukungan banyak partai dan Angkatan Darat, yang dipimpin A.H. Nasution, Soekarno bersedia mengeluarkan dekrit.
Peristiwa kontroversial semacam itu, menurut Moedjanto, perlu diluruskan. Tapi, Taufik Abdullah menolak istilah pelurusan sejarah. “Istilah ‘pelurusan sejarah’ itu istilah politik,” kata Taufik kepada Luqman Hakim Arifin dari GATRA. “Orang sejarah tidak ngomong pelurusan, sebab sejarah itu selalu direvisi,” mantan Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ini menambahkan. Menulis sejarah, kata dia, tergantung ada tidaknya sumber dan cara memahami sumber itu. Sumber juga perlu dikritik tingkat kebenarannya.
Taufik kini memimpin tim yang akan menyusun edisi baru sejarah nasional Indonesia. Dari inventarisasi timnya, ada beberapa peristiwa sejarah yang diakui masih kontroversial. Sebagian sama dengan yang dikemukakan Moedjanto tadi. Yaitu lahirnya Pancasila, Serangan Umum 1 Maret 1949, G-30-S, Supersemar, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), tokoh yang dipolemikkan sebagai pejuang atau pemberontak seperti Tan Malaka, dan masuknya Timor Timur.
Pada masalah PDRI yang dipimpin Sjafruddin Prawiranegara, kata Taufik, Soekarno selalu menghapus sejarah itu. “Tidak pernah sekali pun Soekarno menyebut tentang PDRI,” katanya. Soekarno tidak ingin melupakan kenyataan bahwa ia tahanan Belanda. Soeharto juga melupakan PDRI karena tidak ingin mengingat bahwa yang memimpin PDRI adalah sipil. Nasution pun begitu.
Apa pun, upaya pemunculan fakta sejarah secara proporsional, seperti pidato Bung Karno ini, penting untuk menyadarkan setiap penguasa. Bahwa sudah bukan zamannya lagi menutup-nutupi peran tokoh sejarah yang berjasa pada negara. Upaya itu hanya akan menimbulkan dendam sejarah. Tidak hanya Bung Karno –sebagaimana rekomendasi Sidang Tahunan MPR 2003 untuk merehabilitasi para pahlawan– nama lain seperti Sjafruddin Prawiranegara, Sjahrir, dan Moh. Natsir juga penting dibebaskan dari manipulasi sejarah.
Pembongkaran pidato Bung Karno ini pun bukan melulu soal penjernihan peristiwa penting di masa lalu. Juga penyegaran wasiat Bung Karno kepada banyak pihak. Termasuk kepada putrinya, Megawati, yang kini menjadi presiden. Dalam Musyawarah Nasional Teknik di Istora Senayan, Jakarta, 30 September 1965, Bung Karno mengisahkan pesannya kepada Mega yang dipanggil Dis.
“Dis, engkau harus bantu usaha rakyat mendatangkan sosialisme Indonesia yang cukup sandang, cukup pangan, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja,” ujar Bung Karno. Pesan ini relevan dengan kondisi saat ini, ketika banyak rakyat kekurangan pangan akibat kekeringan dan musibah lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar