Oleh-Oleh dari Rote (2): Dawai Sasando Berdenting Sayup
by Reynold SumaykuDi Rote ada dua Matahari, begitu kalau boleh meminjam sebuah guyonan lama. Panasnya top. Tetapi ini sekaligus juga sebuah pulau yang indah di mata saya. Dengan suka hati saya menghabiskan hari-hari tambahan di sana, sambil meraba-raba tujuan dan target.
Persoalan siapa yang menjadi teman saya terpecahkan begitu seseorang bernama Yeremi Pah menyatakan kesediaannya mengantar. Om Yeremi, begitu saya memanggil dia, dikenalkan kepada saya di sela-sela acara pelepasliaran kura-kura leher ular di Danau Peto, Kecamatan Rote Tengah. “Karena saya orang Rote dan rasanya saya tahu di mana bisa menemukan hal-hal yang kamu cari,” katanya.
Bepergian dalam tim yang terdiri dari dua orang saja selalu terasa ideal buat saya. Akan lebih leluasa, lebih cepat bergerak. Maka jadilah Om Yeremi memboncengi saya dengan motornya selama dua hari yang tersisa. Saya tinggal menaruh pantat di jok. Tapi tidak selamanya nyaman karena dalam 1-2 jam saja akan terasa bahwa ransel kamera mulai membuat punggung dan pinggang pegal. Padahal perjalanan kami paling tidak akan berlangsung 5-6 jam setiap hari.
Di hari kedua, menjelang sore, saya minta kami berhenti di tepi sebuah danau yang kami lewati, Danau Tua. Danau itu dangkal dan berlumpur tebal. Belasan kerbau tampak sedang berkubang, sampai ke tengah danau. Di tepian itu ada jaring ikan sedang dijemur pada batang sebuah pohon.
Di pohon itu jugalah kami beristirahat. “Duduk di sini dulu Om, saya mau ambil gambar. Sekalian istirahat. Punggung saya sakit gendong tas itu terus.” Tak lama kemudian Om Yeremi kelihatan sibuk. Dia menggendong ransel kamera saya kemudian mencoba-coba menaruhnya di bagian depan motor. Ternyata bisa. “Hehe.. Kenapa nggak dari kemarin saja ya, Om,” kata saya. Om Yeremi ikut tertawa.
Di mana-mana di pulau ini kelihatannya ada pohon lontar. Tak heran jika ada yang menjuluki Rote sebagai Nusa Seribu Lontar. (Sejuta juga cocok, sepertinya). Sayangnya, tidak di mana-mana ada sasando–walaupun Rote identik pula dengan alat musik berdawai yang dibuat dengan material sebagian dari pohon lontar itu.
Pencarian sasando di pulau asalnya ini tidak begitu mudah, kalau tidak tahu dari mana memulainya. Saya tidak tahu dari mana memulainya, tapi cukup yakin bagaimana mencarinya.
Informasi dari seseorang di dermaga Ba’a, ibu kota Kabupaten Rote Ndao, Bapak Yusuf Nggebu sudah meninggal dunia. Ia adalah seniman sasando yang beberapa tahun lalu pernah ditulis profilnya oleh Kompas. Akhirnya modal kami adalah bertanya-tanya. Ke sana-ke sini. Adakah lagi pemain sasando tradisional di Rote? Adakah pembuatnya yang tradisional?
Di sinilah makin jelas pentingnya peran Om Yeremi. Sebagai orang Rote, ia sangat membantu dalam pencarian informasi. Akhirnya kami tiba di kediaman Hance Pah yang sederhana di Desa Lalu Koen, Kecamatan Rote Barat Daya. Hance disebut-sebut sebagai salah satu pembuat sasando yang masih tersisa di Rote. Lainnya rata-rata sudah merantau dan menjadikan sasando sebagai komoditi, terutama untuk cenderamata.
Hance mulai membuat sasando sejak 1982. Belakangan, ia membuat sasando tradisional yang bisa dilipat. Ia juga membuat topi tradisional Rote yang disebut ti’i langga. Kalau melihat suasana di rumahnya, kemudian diakuinya pula, tidak setiap hari ia membuat sasando dan menjadikannya seperti industri. Ia hanya membuat sasando andaikan ada yang memesan. “Terkadang pesanan datang dari dinas pariwisata,” ucapnya.
Meski mampu membuat sasando tradisional, Hance tidak bisa memainkannya. Hal ini berbeda dengan sosok yang kami temui setelahnya, yakni Yusuf Messah (52) dari Desa Meoain. Siang ketika kami mampir ke rumahnya, Pak Yusuf tidak berada di rumah. Kami hanya bertemu dengan istrinya.
Namun, malamnya ketika kami kembali ke sana, Pak Yusuf mengenakan pakaian tradisional Rote dan menyenandungkan beberapa tembang tradisional. “Itu lagu tentang suasana pada tahun 1940-an, ciptaan almarhum ayah saya, Benyamin Messah,” kata Pak Yusuf setelah menyelesaikan sebuah lagu. “Lagu itu ditujukan kepada orang-orang yang pulang bertani, biasanya sebagai hiburan malam.”
Syair lagu yang dinyanyikan oleh Pak Yusuf dengan iringan petikan sasandonya itu menggunakan bahasa halus yang berbeda dengan bahasa tradisional sehari-hari.
Pak Yusuf tidak setuju jika dikatakan sasando menjelang punah. “Masih ada anak-anak yang memiliki minat terhadap sasando,” kata orang yang mengaku bisa memainkan puluhan tembang tradisional dengan sasando ini. Ia lantas menunjuk anak lelakinya yang bernama Yendro Messah, siswa SMA, seraya berkata, “Ia sudah bisa main sasando sejak kelas 1 SMP.”
Lusa keesokan harinya saya sudah di Kupang (Pulau Timor) dan bersiap kembali ke Jakarta. Tetapi masih ada waktu untuk melihat pusat kerajinan seni Oesafa di jalan raya Timor. Di sana terdapat kerajinan sasando Dalekesa (berarti satu hati) yang dikelola oleh Zakarias Ndaong.
Di tempat ini dibuat sasando-sasando berukuran kecil, yang dimaksudkan sebagai cenderamata. Tapi yang ingin saya lihat adalah kepiawaian Zakarias dalam memainkan sasando elektrik. Disebut demikian, karena sudah mengalami sejumlah modifikasi dibanding sasando gong yang tradisional (baca majalah NG Indonesia edisi Oktober 2009).
“Yang sulit adalah bagaimana memadukan tangan kiri dan kanan dengan perasaan,” kata Zakarias yang telah kondang sebagai pemain dan berpengalaman pentas ke Jepang atau negara-negara Eropa. Saya tetap tidak mengerti. Tak lama setelah kabel dicolok ke pengeras suara, melantunlah intro lagu Wonderful Tonight karya Eric Clapton dari sasandonya. Bukan sekadar intro ternyata, karena Zakarias memainkannya sampai selesai. Kemudian lagu-lagu lain.
“Di Jepang banyak orang berminat mempelajari cara bermain sasando,” ucap Zakarias. Bagaimana di sini, di tanah air? “Kalau sasando elektrik yang diatonik ini rasanya prospeknya cukup baik. Dinas pariwisata sering mengadakan acara dan pementasan,” katanya.
Bagaimanapun, di Pulau Rote sendiri, kenyataannya sulit mencari pemain sasando. Terutama yang tradisional. Dalam kesan saya, denting sasando tradisional terdengar makin sayup-sayup.
0 komentar:
Posting Komentar