PERMASALAHAN KERUANGAN DALAM PEMBANGUNAN PROPINSI SUMATERA BARAT BERWAWASAN LINGKUNGAN
Oleh : Ahyuni, ST, M.Si Dosen Geografi UNP Abstrak Propinsi Sumatera Barat secara keruangan memiliki permasalahan seperti keterbatasan lahan, konflik pemanfaatan lahan, kerawanan terhadap bencana dan pencemaran air akibat pemanfaatan lahan. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor keruangan yang menjadi karakteristik geografis Propinsi Sumatera Barat. Implikasinya terhadap strategi perencanaan pembangunan wilayah yaitu pembangunan wilayah harus bertumpu pada kelestarian lingkungan, pengembangan kegiatan ekonomi yang memiliki daya saing, bernilai ekonomi dan bernilai tambah tinggi serta menata permukiman yang terbebas dari permasalahan yang ditimbulkan oleh faktor keruangan. Pendahuluan Propinsi Sumatera Barat memiliki luas 42.297,30 Km2 dengan jumlah penduduk 4,5 juta jiwa terdiri atas 12 (dua belas) kabupaten dan 7 (tujuh) kota. Di Propinsi Sumatera Barat terdapat beberapa gunung seperti Gunung Merapi, Singgalang, Sago, Talang, Tandikat, Talamau dan juga empat danau besar yaitu : Danau Singkarak, Danau Maninjau, Danau Diatas dan Danau Dibawah. Wilayah Sumatera Barat terbagi atas 30 DAS. Sungai yang mengaliri DAS tersebut bermuara ke arah pantai barat Pulau Sumatera, dan kearah timur melalui Propinsi Riau dan Propinsi Jambi. Propinsi Sumatera Barat mempunyai beragam bentang alam mulai dari bentang alam pesisir pantai, dataran rendah, dataran sedang perbukitan hingga dataran tinggi pegunungan. Bentuk wilayah terbagi atas : datar seluas 578.000 Ha (13,41%), datar berombak seluas 186.000 Ha (4,31%), bergelombang seluas 316.000 Ha (7,33%), berbukit seluas 964.000 Ha (22,36%), dan bergunung seluas 2.267.000 Ha (52,59 %). Lebih dari setengah luas lahan merupakan dataran tinggi pegunungan Bukit Barisan yang membelah Propinsi Sumatera Barat dalam arah utara selatan. Kawasan sekitar lereng Gunung Merapi, Singgalang, Sago, Talang, Tandikat, Talamau merupakan kawasan vulkanik subur yang cocok untuk pengembangan berbagai komoditi hortikultura, tanaman pangan dan perkebunan. Selain itu, pada kawasan yang berada sepanjang Bukit Barisan ini terdapat berbagai potensi komoditi yang bersifat endemik seperti ikan bilih yang potensial untuk dikembangkan secara ekonomis. Kondisi geologi menyebabkan Propinsi Sumatera Barat memiliki potensi mineral-mineral berharga seperti emas, perak, bijih besi, mangan, timah hitam, obsidian dan lainnya, tanah yang subur, alam yang indah dan banyaknya sumber air termasuk air panas yang berasal dari kawasan gunung api yang masih aktif maupun yang tidak aktif. Akan tetapi selain potensi fisik yang tergambar diatas, Propinsi Sumatera Barat merupakan wilayah yang memiliki beberapa permasalahan fisik yang harus dihadapi dalam pembangunan. Permasalahan fisik ini merupakan sisi lain dari potensi fisik sumber daya alam yang terbentuk akibat proses geologi yang sama. Potensi kesuburan tanah, mineral, keragaman bentang alam dan potensi sumber daya air timbul akibat proses geologi yang juga menimbulkan berbagai permasalahan seperti terbatasnya lahan yang dapat dibudidayakan, kerawanan terhadap bencana alam dan ancaman dampak lingkungan dari berbagai aktifitas pemanfaatan lahan. Peta Wilayah Administratif Propinsi Sumatera Barat Permasalahan Keruangan Dalam Pembangunan Propinsi Sumatera Barat a. Keterbatasan Pemanfaatan Lahan Lahan untuk pengembangan budidaya di Propinsi Sumatera Barat relatif terbatas. Lahan dengan kelerengan lebih dari 40 % mencapai luas 1.650.918 Ha (39,03%). Luas kawasan hutan mencapai 2.599.386 Ha (61,46%) yang terbagi atas kawasan hutan berfungsi lindung seluas 1.756.608 Ha dan hutan produksi seluas 842.778 Ha. Luas keseluruhan kawasan lindung di Propinsi Sumatera Barat mencapai luas 1.910.679 Ha (45,17%). Hanya 54,83 % lahan di Propinsi Sumatera Barat yang dapat dibudidayakan termasuk didalamnya kawasan hutan produksi. Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan Propinsi Sumatera Barat Sumber : Draft RTRW Propinsi Sumbar 2005 - 2019 Dengan karakteristik alam yang berbukit dan bergunung serta dengan luas kawasan lindung yang mencapai 45,17 %, maka lahan yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya terbatas. Beberapa daerah kabupaten seperti Kabupaten Solok, Kabupaten Pasaman, Kabupaten Pesisir Selatan memiliki luas kawasan budidaya memiliki proporsi kawasan budidaya sangat kecil yaitu kurang dari setengah luas wilayah administratif yaitu masing-masingnya 17,91 % dan 16,12%, dan 41,34% (tabel 1). Kalau dikaitkan dengan jumlah keluarga miskin, persentasi kemiskinan pada kabupaten ini termasuk tinggi yaitu masing-masingnya 31,50 % ,48,89 % dan 39,27 %, diatas rata-rata Propinsi Sumatera Barat yaitu sebesar 28 %. Keterbatasan lahan dan keterisoliran menjadi diantara penyebab dari kemiskinan penduduk. Di Propinsi Sumatera Barat masih terdapat desa terisolir atau daerah tertinggal dan akses antar daerah terhambat karena kendala geografis atau karena larangan membuka akses melewati kawasan hutan lindung. Pada daerah dengan proporsi kawasan lindung yang besar banyak terdapat kantong-kantong permukiman terisolir ini. Kawasan terisolir tersebut banyak terdapat di Kabupaten Solok Solok Selatan, Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Limapuluh Kota, Kabupaten Pasaman, dan Kabupaten Pasaman Barat dan Kepulauan Mentawai. Tabel 1: Proporsi Luas Kawasan Budidaya Terhadap Luas Wilayah No Kabupaten/Kota Luas (Ha) Proporsi Luas Kawasan Budidaya Terhadap Luas Wilayah Wilayah Administrasi Kawasan Budidaya Kawasan Lindung Kabupaten 1 Kepulauan Mentawai 601.135 392.380 208.755 65,27% 2 Pesisir Selatan 579.495 239.551 339.944 41,34% 3 Solok 373.800 66.933 306.867 17,91% 4 Solok Selatan 334.620 227.075 107.545 67,86% 5 Sawahlunto/Sijunjung 313.080 160.287 152.793 51,20% 6 Dharmasraya 296.113 256.657 39.456 86,68% 7 Tanah Datar 133.600 93.645 39.955 70,09% 8 Padang Pariaman 132.879 103.679 29.200 78,03% 9 Agam 223.230 150.156 73.074 67,27% 10 Limapuluh Kota 335.430 165.570 169.860 49,36% 11 Pasaman 444.763 71.703 373.060 16,12% 12 Pasaman Barat 338.777 321.377 17.400 94,86% Kota 1 Padang 69.496 26.430 43.066 38,03% 2 Solok 5.764 5.100 664 88,48% 3 Sawahlunto 27.345 19.035 8.310 69,61% 4 Padang Panjang 2.300 2.037 263 88,57% 5 Bukitinggi 2.524 2.090 434 82,81% 6 Payakumbuh 8.043 8.010 33 99,59% 7 Pariaman 7.336 7.336 - 100,00% Propinsi Sumbar 4.229.730 2.319.051 1.910.679 54,83% Sumber : Draft RTRW Propinsi Sumatera Barat 2005 - 2019 Tabel 2: Kepadatan Penduduk dan Jumlah Penduduk Miskin No Kabupaten/Kota Kepadatan penduduk bersih (jiwa/Ha) Jumlah KK Miskin Keterangan jumlah KK miskin Kabupaten 1 Kepulauan Mentawai 0,17 80,33 % Diatas rata-rata (+) 2 Pesisir Selatan 1,74 39,27 % Diatas rata-rata (+) 3 Solok 5,24 31,50 % Diatas rata-rata (+) 4 Solok Selatan 0,59 28,43 % Diatas rata-rata (+) 5 Sawahlunto/Sijunjung 1,11 28,94 % Diatas rata-rata (+) 6 Dharmasraya 0,66 22,25 % Dibawah rata-rata (-) 7 Tanah Datar 3,62 21,49 % Dibawah rata-rata (-) 8 Padang Pariaman 3,62 30,46 % Diatas rata-rata (+) 9 Agam 2,85 25,83 % Dibawah rata-rata (-) 10 Limapuluh Kota 1,96 23,99 % Dibawah rata-rata (-) 11 Pasaman 3,39 48,89 % Diatas rata-rata (+) 12 Pasaman Barat 0,90 45,10 % Diatas rata-rata (+) Kota 1 Padang 29,69 23,12 % Dibawah rata-rata (-) 2 Solok 10,92 22,47 % Dibawah rata-rata (-) 3 Sawahlunto 2,83 17,29 % Dibawah rata-rata (-) 4 Padang Panjang 21,94 13,76 % Dibawah rata-rata (-) 5 Bukitinggi 49,94 16,58 % Dibawah rata-rata (-) 6 Payakumbuh 13,03 21,17 % Dibawah rata-rata (-) 7 Pariaman 10,28 20,90 % Dibawah rata-rata (-) Rata-Rata Propinsi Sumbar 1,96 28,00 % Sumber : BPS Propinsi Sumatera Barat Catatan : kepadatan penduduk bersih adalah rasio jumlah penduduk terhadap luas kawasan budidaya b. Konflik Pemanfaatan Lahan Potensi pertambangan yang ada terkandung di dalam kawasan hutan lindung itu, seperti biji besi, logam dasar dan emas. Kabupaten yang mempunyai tingkat ekonomi yang relatif tertinggal dibanding kabupaten lain seperti Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Solok Selatan yang memiliki lahan budidaya terbatas merupakan daerah potenial untuk mengembangkan kegiatan pertambangan. Kalau potensi tersebut dapat digarap maka kabupaten tersebut dapat menjadi kabupaten yang maju perekonomiannya dibanding kabupaten lain di Propinsi Sumatera Barat. Akan tetapi permasalahannya lahan tambang umumnya terdapat pada kawasan berstatus lindung dan merupakan lahan tambang terbuka sedangkan eksploitasi tambang terbuka tidak dibolehkan dilakukan di kawasan lindung. c. Kerawanan terhadap Bencana Alam Lahan di Propinsi Sumatera Barat lebih dari 52 % adalah dataran tinggi pegunungan dan sekitar 92 % mempunyai landform atau posisi geomorfik volkan. Sebagian besar menurut umur geologi tergolong batuan muda yang berasal dari jaman kuarter (Fiantis, 2007). Faktor kelerengan yang besar, curah hujan yang tinggi dan kondisi geologi menyebabkan Sumatera Barat merupakan daerah yang rawan terhadap bencana gerakan tanah. Di Sumatera, terdapat Patahan Besar Sumatera (Great Sumatra Fault) di sepanjang pesisir barat Sumatera yang membentuk Bukit Barisan dan Patahan Mentawai (Mentawai Fault) di kepulauan Mentawai. Propinsi Sumatera Barat merupakan salah satu wilayah di Kepulauan Indonesia yang memiliki tatanan geologi sangat kompleks. Kondisi ini disebabkan letaknya yang berada pada daerah tumbukan 2 lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia di bagian selatan dan lempeng Euroasia di bagian utara yang ditandai dengan terdapatnya pusat-pusat gempa tektonik di Kepulauan Mentawai dan sekitarnya. Akibat tumbukan kedua lempeng besar ini selanjutnya muncul gejala tektonik lainnya yaitu busur magmatik yang ditandai dengan munculnya rangkaian pegunungan Bukit Barisan beserta gunung apinya dan sesar/patahan besar Sumatera yang memanjang searah dengan zona tumbukan kedua lempeng. Berdasarkan data yang diperoleh, luas lahan kritis hasil identifikasi citra landsat Badan Planologi Kehutanan pada tahun 2001 yaitu 551.387 Ha yang terdiri dari 339.748 Ha didalam kawasan hutan dan 211.639 Ha diluar kawasan hutan. Sampai saat ini baru kurang lebih 30% yang telah direboisasi dan direhabilitasi. Lahan kritis ini menjadi penyebab meningkatnya kerawanan terhadap bencana banjir. Propinsi Sumatera Barat dengan demikian merupakan daerah yang rawan terhadap berbagai bahaya bencana alam seperti tanah longsor, gempa bumi, bahaya letusan gunung api, banjir dan tsunami. Peta Sesar (fault) di Propinsi Sumatera Barat Sumber : http//www.pirba.ristek.go.id, didownload tgl 17 November 2008 d. Pencemaran Sungai Propinsi Sumatera terbagi atas 6 Satuan Wilayah Sungai (SWS), 30 DAS dan 13 Sub DAS. SWS tersebut yaitu Anai Sualang, Rokan, Kampar, Indragiri, Silaut, dan Batang Hari. SWS yang bermuara di Pantai Barat yaitu Anai Sualang dan Silaut dan SWS lainnya bermuara di pantai timur Pulau Sumatera. Sungai-sungai yang bermuara di pantai timur merupakan satu sistem jaringan sungai dimana SWS Rokan, SWS Kampar dan SWS Inderagiri mengalir melalui Propinsi Riau dan SWS Batang Hari mengalir melalui Propinsi Jambi. Dengan demikian terpeliharanya sumber air di Propinsi Sumatera Barat merupakan hal penting bukan saja untuk kepentingan propinsi sendiri tetapi juga untuk propinsi tetangga. Beberapa sungai di Propinsi Sumatera Barat terindikasi telah tercemar. Zat pencemar kimia anorganik yang ditemukan seperti cuprum, nitrit, zinc, O2 terlarut, dan Hg (air raksa). Zat pencemar mikrobiologi fecal coliform dan total coliform. Zat pencemar tersebut dihasilkan oleh kegiatan pertambangan, industri dan permukiman penduduk sepanjang alur sungai. Air sungai Batang Hari di Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Dharmasraya dan air Sungai Batang Bubus/Malandu di Kabupaten Pasaman (Bapedalda Propinsi Sumatera Barat dan Dinas PSDA Propinsi Sumbar) terindikasi telah tercemar air raksa (Hg) akibat pertambangan emas yang dilakukan. Hal ini menjadi masalah penting karena air sungai tersebut sebagian menjadi sumber air bersih penduduk pinggir sungai yang bukan saja di Propinsi Sumatera Barat tetapi juga propinsi Jambi. Penutup : Implikasi Untuk Pengembangan Wilayah Pengembangan wilayah Propinsi Sumatera Barat perlu mempertimbangkan berbagai kendala dan potensi spesifik yang dihadapi. Dengan keterbatasan lahan dan ancaman bahaya bencana, maka pengembangan lahan perlu dilakukan dengan dasar keserasian pemanfaatan lahan. Pemanfaatan lahan budidaya perlu dilakukan seoptimal mungkin dengan mengembangkan berbagai komoditi unggulan pertanian yang bernilai ekonomi tinggi dan pariwisata didukung prasarana yang lengkap. Untuk merumuskan strategi pengembangan wilayah dapat dipakai model yang dikembangkan oleh Glikson(Golany,1976). Model tersebut merupakan adaptasi dari model pengembangan ruang yang dibuat oleh Patrick Geddes (gambar 1). Aspek keruangan menurut Patrick Geddes dapat dilihat sebagai interaksi antara tiga variabel : penduduk (P), lokasi (L), dan kegiatan ekonomi (KE). Ketiga variabel tersebut saling berkaitan sehingga membentuk sembilan variabel. Dalam pengembangan wilayah ditambahkan variabel I (infrastruktur) yang menjadi pendukung agar seluruh variabel lain dapat saling berinteraksi. Kesepuluh variabel tersebut yaitu : 1) variabel P adalah karakteristik demografi penduduk, 2) variabel L adalah karakteristik fisik alam seperti geografi, iklim dan hidrologi, 3) variabel kegiatan ekonomi (KE) adalah berbagai usaha yang dilakukan dalam pengembangan kegiatan ekonomi, 4) variabel P/L adalah kegiatan bermukim penduduk dalam ruang, 5) P/KE adalah pengaruh faktor penduduk terhadap ekonomi seperti produktifitas tenaga kerja, 6) L/P adalah pengaruh karakteristik fisik terhadap sebaran lokasi permukiman, 7) L/KE adalah pengaruh karakteristik fisik terhadap sebaran sumber daya dan lokasi kegiatan produksi, 8) KE/L adalah pemanfaatan lahan untuk berbagai bentuk kegiatan ekonomi, 9) KE/P adalah pengaruh pembangunan ekonomi terhadap karakteristik sosio ekonomi, dan 10) variabel I adalah ketersediaan jaringan infrastruktur seperti jaringan transportasi, listrik, air bersih, telepon. Gambar 1 : Variabel Perencanaan Wilayah Berdasarkan potensi dan permasalahan keruangan pembangunan Propinsi maka pengembangan wilayah dapat difokuskan dalam beberapa strategi seperti berikut ini. Strategi Utama Strategi L : preservasi/rehabilitasi lingkungan Strategi KE : dengan kendala keterbatasan lahan maka pengembangan ekonomi perlu didasarkan pada pengembangan komoditi/produk unggulan yang memiliki daya saing, bernilai ekonomi dan bernilai tambah tinggi Strategi KE/L : pengembangan kawasan sentra produksi untuk berbagai komoditi unggulan. Strategi L/KE : kajian ekonomi lokasi untuk pengembangan kegiatan ekonomi pada lahan yang memiliki sensitifitas tinggi untuk dijadikan kawasan budidaya terutama untuk kegiatan eksploitasi pertambangan pada kawasan lindung. Strategi L/P : penataan lokasi penduduk pada kawasan rawan bencana gempa, letusan gunung api, banjir dan longsor dan resettlement kantong permukiman penduduk terisolir yang sulit untuk mendapatkan akses transportasi. Strategi I : pengembangan akses kawasan tertinggal/terisolir dan akses kawasan sentra produksi. Strategi pendukung Strategi P : pendidikan masyarakat berkaitan dengan kesadaran tentang ancaman bahaya bencana alam dan kesadaran tentang produk unggulan Propinsi Sumatera Barat. Strategi P/KE : peningkatan ketrampilan dan pengetahuan masyarakat dalam produksi. Strategi KE/P : pemberdayaan ekonomi masyarakat dalam mengembangkan komoditi/produk unggulan. Strategi P/L : penataan ruang dan pengembangan permukiman agar tercipta lingkungan yang produktif. Fokus Dalam Perencanaan Wilayah Propinsi Sumatera Barat dapat dijelaskan dalam gambar 2 berikut ini. Gambar 2 : Fokus Dalam Perencanaan Wilayah Propinsi Sumatera Barat Daftar Pustaka : ___________ , 2006, Draft RTRW Propinsi Sumatera Barat 2005 – 2019, Pemerintah Propinsi Sumatera Barat Fiantis, Dian, 2007, Sumber Daya Lahan Vulkanis Sumbar, Harian Padang Ekspress, 28 Juli Golany, Gideon, 1976, New Town Planning : Principle and Practice, John Wiley and Sons, New York Sugandhy Aca, 1999, Penataan Ruang Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Gramedia, Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar