Tampilkan postingan dengan label PERGERAKAN NASIONAL. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PERGERAKAN NASIONAL. Tampilkan semua postingan

Tabir Asap Kerusuhan Mei 1998 (1)

“Salah satu di antara kekerasan dalam kerusuhan Mei 1998 yang paling mendapat perhatian, terutama oleh kalangan internasional kala itu, adalah kekerasan seksual yang menimpa perempuan-perempuan etnis cina. Namun, yang paling ditutup-tutupi oleh kalangan pemerintah di bawah BJ Habibie yang mengganti posisi Soeharto sebagai presiden, adalah mengenai kekerasan seksual tersebut. Semua pengungkapan cenderung dibantah, termasuk data dari sumber yang layak dipercaya karena dikenal memiliki integritas yang tinggi”.
DUABELAS tahun telah berlalu, tapi tabir asap yang menyelimuti kerusuhan 13-15 Mei 1998 yang berlangsung dalam ruang dan momentum yang berimpit dengan penembakan mahasiswa Universitas Trisakti di Grogol Jakarta 12 Mei, tetap tak terkuak. Dengan demikian, kebenaran dalam peristiwa itu belum berhasil dibuat ‘terang benderang’ –meminjam kata majemuk yang lazim digunakan kalangan penguasa dan politisi belakangan ini untuk penggambaran suatu keadaan clear atau sepenuhnya terungkap– sehingga dengan sendirinya tak pernah ada pihak yang bisa dimintai pertanggunganjawab, khususnya dari kalangan jenderal para pengendali keamanan kala itu.
Tak satupun dari para pejabat tinggi bidang keamanan –mulai dari Panglima ABRI Jenderal Wiranto, Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsuddin dan Kepala Staf Kodam Jaya Brigjen Sudi Silalahi, sampai Kapolda Mayjen Polisi Hamami Nata atau Panglima Kostrad Letjen Prabowo Subianto yang disebut-sebut mengerahkan pasukan dalam peristiwa– yang secara serius diproses untuk dimintai pertanggungjawaban. Begitu pula kalangan intelejen, yang semestinya harus bisa menguasai informasi, seperti Kepala BIA Mayjen Zacky Makarim, serta komandan-komandan satuan intel di berbagai angkatan dan kepolisian.
Kecurigaan tentang adanya konspirasi dan skenario dalam rangka pergulatan kekuasaan, muncul dalam berbagai analisis, namun dalam kenyataannya tak pernah ada sentuhan lanjut untuk mengungkap peristiwa. Ini sedikit banyak merupakan pertanda bahwa dalam tubuh kekuasaan hingga kini, mereka yang terlibat dalam konspirasi politik dan kekuasaan –yang namanya sudah tercium di tengah khalayak maupun yang masih tersembunyi– yang menyebabkan meletupnya kerusuhan Mei 1998 itu, beberapa di antaranya masih bercokol dalam posisi kunci kekuasaan pemerintahan maupun dalam kekuasaan politik. Sudah berapa masa kepresidenan ganti berganti, tanpa memperlihatkan upaya yang cukup berarti untuk mengungkap kejahatan kemanusiaan, kejahatan politik dan kejahatan kekuasaan yang terjadi di bulan Mei 1998. Barangkali, sampai suatu hari para keluarga yang kehilangan anak atau suami menangis dengan air mata darah pun para penguasa tetap takkan tergerak mencari kebenaran, karena pekerjaan mencari kebenaran seperti itu lebih musykil dan bisa membahayakan kepentingan kekuasaan itu sendiri.
Kerusuhan dalam konteks keadaan dan dinamika sosial politik
TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) yang dibentuk segera setelah peristiwa, diketuai Marzuki Darusman SH dari Komnas HAM, menemukan berbagai kejanggalan dalam aspek pertanggungjawaban keamanan. Dari hasil verifikasi saksi dan korban, testimoni para pejabat ABRI dan mantan pejabat terkait, dari aspek keamanan TGPF menemukan fakta bahwa koordinasi antara satuan keamanan kurang memadai, adanya keterlambatan antisipasi, adanya aparat keamanan di berbagai tempat tertentu membiarkan kerusuhan terjadi, ditemukan adanya bentrokan antar-pasukan di beberapa wilayah dan adanya kesimpangsiuran penerapan perintah dari masing-masing satuan pelaksana. Menurut laporan TGPF yang terdiri beberapa jilid dengan jumlah halaman hampir seribu, di  beberapa tempat didapatkan bukti bahwa jasa-jasa keamanan dikomersilkan, suatu penggunaan kesempatan dalam kesempitan, dengan konsumen tentu saja etnis keturunan cina yang berduit banyak. Begitu pula TGPF menemukan adanya kesenjangan persepsi antara masyarakat dan aparat keamanan. “Masyarakat beranggapan bahwa di beberapa lokasi telah terjadi vakum kehadiran aparat keamanan, atau bila ada, tidak berbuat apa-apa untuk mencegah atau meluasnya kerusuhan. Sebaliknya, para pejabat keamanan berkeyakinan tidak terjadi vakum kehadiran aparat keamanan, meskipun disadari kenyataan menunjukkan bahwa untuk lokasi tertentu masih tetap terjadi kerusuhan (di luar prioritas pengamanan), hal ini disebabkan oleh karena terbatasnya kekuatan pasukan”.
Dalam bukunya ‘Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando’ (Penerbit Kompas, 2009), Letnan Jenderal Purnawirawan Sintong Pandjaitan mempersoalkan tindak-tanduk Jenderal TNI Wiranto di seputar peristiwa. Salah satunya, adalah bahwa “pada tanggal 14 Mei 1998 Menteri Hankam/Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto tetap berangkat ke Malang Jawa Timur untuk bertindak sebagai Inspektur upacara dalam serah terima tanggung jawab Pasukan Pemukul Reaksi Cepat ABRI dari Divisi I kepada Divisi II Kostrad”. Bagi Sintong ini menjadi tanda tanya besar. “Alangkah tidak masuk akal , sampai hari ini pun sangat tidak masuk akal. Mengapa sebagian besar pimpinan ABRI pada waktu itu berada di Malang? Kalau mereka tahu akan terjadi kerusuhan yang begitu dahsyat tetapi memutuskan tetap pergi ke Malang, maka mereka membuat kesalahan. Tetapi kalau mereka tidak tahu akan terjadi kerusuhan, mereka lebih salah lagi. Mengapa mereka sampai tidak tahu? Kerusuhan yang terjadi di Jakarta bukan hanya merupakan masalah Kodam Jaya, tetapi sudah menjadi masalah nasional”.
TGPF berkeyakinan, bahwa peristiwa tanggal 13-15 Mei 1998 tidak dapat dilepaskan dari konteks keadaan dan dinamika sosial-politik masyarakat Indonesia pada periode waktu itu, serta dampak ikutannya. Peristiwa-peristiwa sebelumnya seperti Pemilihan Umum 1977, penculikan sejumlah aktivis, krisis ekonomi, Sidang Umum MPR-RI 1998, unjukrasa/demonstrasi mahasiswa yang terus menerus, serta tewas tertembaknya mahasiswa Universitas Trisakti, semuanya berkaitan erat dengan peristiwa tanggal 13-15 Mei 1998. Kejadian-kejadian tersebut merupakan rangkaian tindakan kekerasan yang menuju pada pecahnya peristiwa kerusuhan yang menyeluruh pada tanggal 13-15 Mei 1998. Dalam abstraksi laporannya, TGPF menyatakan keyakinannya, bahwa salah satu dampak utama peristiwa kerusuhan tersebut adalah terjadinya pergantian kepemimpinan nasional pada tanggal 21 Mei 1998. Dampak ikutan lainnya ialah berlanjutnya kekerasan berupa intimidasi dan kekerasan seksual termasuk perkosaan yang berhubungan dengan kerusuhan 13-15 Mei 1998.
Bila keyakinan TGPF ini dilanjutkan dengan suatu analisis lebih jauh, bisa ditemukan bahwa rangkaian peristiwa Mei 1998 –yang mengambil tumbal nyawa empat mahasiswa Universitas Trisakti dan kalangan masyarakat lainnya serta terenggutnya kehormatan sejumlah perempuan– tidak boleh tidak adalah bagian dari permainan perebutan kekuasaan, bertujuan akhir menggulingkan kekuasaan Soeharto yang sudah berlangsung 32 tahun lamanya. Sementara itu, sikap para ‘pendukung’ Soeharto yang umumnya adalah kaum opportunis, kalau tidak tiarap, cepat-cepat menyeberang ke barisan yang ingin menjatuhkan Soeharto melalui pembusukan membuka lebar pintu kejatuhan Soeharto. Gerakan-gerakan mahasiswa kritis dalam konteks ini adalah suatu kondisi objektif yang dimanfaatkan di ‘luar’ pengetahuan para mahasiswa itu sendiri, suatu hal yang juga dialami dalam peralihan kekuasaan tahun 1966-1967, saat gerakan kritis mahasiswa dimanfaatkan dalam penciptaan peluang lanjut setelah peluang yang diakibatkan Peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Tapi sayang analisa seperti ini tak mendapat bukti perkuatan karena memang pencarian kebenaran masalah yang sesungguhnya, tak pernah dilakukan. Bila kebenaran terungkap seluas-luasnya, akan sangat banyak pihak terseret, dan sebagian di antaranya merupakan bagian dari rezim demi rezim kekuasaan pasca Soeharto dan atau bagian dari pelaku kehidupan politik saat ini yang masih sedang berkiprah. Masalahnya, sebagian besar dari pelaku kekuasaan negara dan kekuasaan politik maupun kekuasaan ekonomi di Indonesia adalah spesis manusia berkulit loreng abu-abu yang bergelimang perilaku korup dan dosa masa lampau. Banyak tokoh penting di segala lini kehidupan saat ini, memiliki rekam jejak yang sewaktu-waktu bisa diungkapkan dan dipermasalahkan. “Kau tahu apa yang aku tahu mengenai kau. Tetapi aku juga tahu bahwa kau tahu mengenai aku” telah menciptakan suatu keseimbangan yang terus menerus diperbaharui.
“Di semua wilayah yang dikaji oleh TGPF didapati adanya kesamaan waktu pecahnya kerusuhan”. Temuan ini menunjukkan adanya faktor perencanaan. “Kedekatan, bahkan kesamaan pola kejadian mengindikasikan kondisi dan situasi sosial-ekonomi-politik yang potensial memungkinkan pecahnya suatu kerusuhan”. Kondisi objektif tersebut pada gilirannya menurut TGPF sebagian memang pecah secara alamiah dan sebagian lagi dibuat pecah melalui sarana-sarana pemicu. Pola kerusuhan bervariasi, mulai dari yang bersifat spontan, lokal, sporadis, hingga yang terencana dan terorganisir. Para pelakunya pun beragam, mulai dari massa ikutan yang mula-mula pasif tetapi kemudian menjadi pelaku aktif kerusuhan, provokator, “termasuk ditemukannya anggota aparat keamanan”.
TGPF mendefinisikan bahwa kerusuhan adalah keseluruhan bentuk dan rangkaian tindak kekerasan yang meluas, kompleks, mendadak dan eskalatif dengan dimensi-dimensi kuatitatif dan kualitatif. Skala kerusuhan 13-15 Mei 1998 mencakup aspek-aspek sosial, politik, keamanan, ekonomi bahkan kultural. Dilihat dari kerangka waktu atau time frame, kerusuhan ini membawa dampak ikutan. Dengan demikian, rentang kerusuhan harus dirujuk pada dinamika krisis nasional, sehingga dampak-dampak pasca kerusuhan, dalam lingkup geografis yang berskala nasional. Enam kota yang dikaji merupakan cerminan dari skala nasional kerusuhan yang terjadi. Secara ringkas, kerusuhan 13-15 Mei 1998 harus diletakkan dalam rentang waktu sebelum dan sesudahnya, dimensinya menyeluruh dan multi aspek, serta wilayah cakupannya bersifat nasional. Dari sudut aktivitas, klasifikasi kerusuhan yang ditetapkan TGPF mencakup rangkaian tindak perusakan, penjarahan, pembakaran, kekerasan seksual, penganiayaan, pembunuhan, penculikan dan intimidasi yang menjurus.
Salah satu di antara kekerasan dalam kerusuhan Mei 1998 yang paling mendapat perhatian, terutama oleh kalangan internasional kala itu, adalah kekerasan seksual yang menimpa perempuan-perempuan etnis cina. Namun, yang paling ditutup-tutupi oleh kalangan pemerintah di bawah BJ Habibie yang mengganti posisi Soeharto sebagai presiden, juga adalah mengenai kekerasan seksual tersebut. Semua pengungkapan cenderung dibantah, termasuk data dari sumber yang layak dipercaya karena dikenal memiliki integritas yang tinggi.
Beberapa kasus yang ada dalam tabel TGPF adalah sebagai berikut ini. Seorang isteri jaksa yang beralamat di Taman Galaxi Bekasi melaporkan menyaksikan seorang perempuan diperkosa beramai-ramai di belakang rumahnya. Seorang suami yang sudah diverifikasi oleh Bakom PKB melaporkan bahwa isterinya yang berusia 26 tahun diperkosa 5 orang, setelah itu secara keji kemaluannya dijejali dengan botol. Seorang suami lainnya, menceritakan bahwa ia bersama isterinya yang juga berusia 26 tahun (namanya disebut jelas dalam laporan) pada tanggal 14 siang berangkat menuju Bandara Soekarno-Hatta untuk berangkat ke Singapore. Dalam perjalanan, mobil yang mereka tumpangi dicegat belasan laki-laki yang kemudian masuk ke mobil dan memaksa berjejal ikut ke Bandara. Pukul 14.30 di bawah tangga terminal F, isteri dan anaknya yang berusia 9 tahun diperkosa. Isterinya lalu dibunuh. Anaknya sempat dibawa ke Singapura, dibawa ke rumah sakit, namun akhirnya meninggal dunia. Para pelakunya umumnya berbadan tegap. Pada hari yang sama pukul 15.00. di Jalan A. Yani Jakarta Timur, saat terjadi amuk massa, seorang ibu dan dua anak gadisnya ditelanjangi sejumlah lelaki dan sudah akan diperkosa, namun berhasil diselamatkan oleh anggota Marinir. Pada tempat dan waktu yang hampir bersamaan, seorang anak roboh dengan luka tembakan di kepalanya. Bukan hanya yang hidup mengalami pelecehan. Seorang saksi pegawai Rumah Duka di Pluit yang sudah diverifikasi, menceritakan penyerbuan ke tempat kerjanya, dan ada sejumlah orang mempermainkan dan melakukan pelecehan terhadap tiga jenazah yang ada di rumah duka tersebut.
Bila mereka yang berkompeten dalam penegakan hukum dan ketertiban bersungguh-sungguh, kasus-kasus yang sudah hampir terang benderang jalan peristiwanya, saksi dan pelakunya, semestinya bukan hal yang sulit untuk ditangani lanjut secara hukum.

Tabir Asap Kerusuhan Mei 1998 (2)

“Dari segi intensitas kekerasan terhadap sebagian korban yang menjadi sasaran serangan, dimensi sentimen anti rasial terhadap golongan etnik cina yang laten merupakan faktor penyebab dominan yang mudah dieksploitir untuk menciptakan kerusuhan”. “Terkait faktor sosial-ekonomi, dapat dicatat bahwa tekanan dan kesenjangan sosial-ekonomi yang diperparah oleh kelangkaan bahan pokok yang dialami masyarakat, rawan terhadap eksploitasi sehingga melahirkan dorongan-dorongan destruktif untuk melakukan tindak-tindak kekerasan. Sebagian besar mereka yang terlibat ikut-ikutan dalam kerusuhan, pada dasarnya adalah korban dari keadaan serta struktur yang tidak adil. Mereka berasal dari lapisan rakyat kebanyakan”.
KERUSUHAN 13-15 Mei 1998 “mempunyai pola umum yang dimulai dengan berkumpulnya massa pasif yang terdiri dari massa lokal dan massa pendatang tak dikenal”. Kemudian muncul sekelompok provokator yang memancing massa dengan berbagai modus tindakan seperti membakar dan atau memancing perkelahian, meneriakkan yel-yel yang memanaskan situasi, merusak rambu-rambu lalu lintas, dan sebagainya. Setelah itu, provokator mendorong massa untuk mulai melakukan perusakan barang dan bangunan, disusul dengan tindakan menjarah barang, dan di beberapa tempat diakhiri dengan membakar gedung atau barang-barang lain. Pada beberapa lokasi juga beberapa variasi, yaitu kelompok provokator langsung melakukan perusakan, baru kemudian mengajak massa untuk ikut merusak lebih lanjut.
TGPF membagi para pelaku kerusuhan 13-15 Mei 1998 atas dua golongan, yakni, pertama, massa pasif yang adalah pendatang lalu diprovokasi sehingga berubah menjadi massa aktif, dan kedua, provokator. Provokator umumnya bukan dari wilayah setempat, secara fisik tampak terlatih, sebagian memakai seragam sekolah seadanya (tidak lengkap), tidak ikut menjarah, dan segera meninggalkan lokasi setelah gedung atau barang terbakar. Para provokator ini juga yang membawa dan menyiapkan sejumlah benda untuk keperluan merusak dan membakar, seperti jenis benda logam pendongkel, bahan bakar cair, kendaraan, bom molotov dan sebagainya.
Dari sudut urutan peristiwa, TGPF menemukan bahwa titik picu paling awal kerusuhan di Jakarta terletak di wilayah Jakarta Barat, tepatnya wilayah seputar Universitas Trisakti pada tanggal 13 Mei 1998. Sementara pada tanggal 14 Mei 1998, kerusuhan meluas dengan awal titik waktu hampir bersamaan, yakni rentang waktu antara pukul 08.00 WIB sampai pukul 10 WIB. Dengan demikian untuk kasus Jakarta, jika semata-mata dilihat dari urutan waktu, ada semacam aksi serentak. TGPF menemukan bahwa faktor pemicu (triggering factor) terutama untuk kasus Jakarta ialah tertembak matinya mahasiswa Universitas Trisakti pada sore hari tanggal 12 Mei 1998. Dalam derajat yang lebih rendah, tertembaknya mahasiswa Trisakti tersebut juga menjadi faktor pemicu kerusuhan di lima daerah yang dipilih TGPF, terkecuali kerusuhan di Medan dan sekitarnya yang telah terjadi sebelumnya. Sasaran kerusuhan adalah pertokoan, fasilitas umum (pompa bensin, tanda dan rambu lalu lintas dan lain-lain), kantor pemerintah (termasuk kantor polisi) yang menimbulkan kerusakan berat termasuk pembakaran gedung, rumah dan toko, serta kendaraan bermotor umum dan pribadi. Sasaran kerusuhan kebanyakan etnis cina.
Kelompok pelaku, korban dan kerugian
Para pelaku kerusuhan menurut TGPF dapat dibagi atas tiga kelompok sebagai berikut.
Kelompok pertama, kelompok provokator. Kelompok inilah yang menggerakkan massa, dengan memancing keributan, memberikan tanda-tanda tertentu pada sasaran, melakukan perusakan awal, pembakaran, mendorong penjarahan. Kelompok ini datang dari luar, tidak berasal dari penduduk setempat, dalam kelompok kecil yang jumlahnya belasan orang, terlatih dan mempunyai kemampuan serta terbiasa menggunakan alat kekerasan. Mereka bergerak dengan mobilitas tinggi, menggunakan sarana transpor sepeda motor atau mobil yang umumnya jenisjeep, dan memiliki pula sarana komunikasi seperti handy talkie atau HP. Kelompok ini juga menyiapkan alat-alat perusak seperti batu, bom molotov, cairan pembakar, linggis dan lain-lain. Pada umumnya kelompok ini sulit dikenal, walau pada beberapa kasus ada pelaku dari kelompok sebuah organisasi pemuda. TGPF memberi contoh di Medan tentang ditemukannya keterlibatan langsung Pemuda Pancasila. Diketemukan pula fakta keterlibatan anggota aparat keamanan, seperti yang terjadi di Jakarta, Medan dan Solo.
Kelompok kedua adalah massa aktif. Massa dalam jumlah puluhan hingga ratusan, mulanya adalah massa pasif pendatang yang sudah terprovokasi sehingga menjadi agresif, melakukan perusakan lebih luas, termasuk pembakaran. Massa ini juga melakukan penjarahan pada toko-toko dan rumah. Mereka bergerak secara terorganisir.
Kelompok ketiga adalah massa pasif. Pada awalnya massa pasif lokal berkumpul untuk menonton dan ingin tahu apa yang (akan) terjadi. Sebagian dari mereka lalu terlibat ikut-ikutan merusak dan menjarah setelah dimulainya kerusuhan, tetapi tidak sedikit pula yang hanya menonton sampai akhir kerusuhan. Sebagian dari mereka menjadi korban kebakaran.
Pada mulanya kecenderungan perhatian utama pemerintah, masyarakat maupun media massa, adalah pada aspek korban akibat kekerasan seksual. Tidak mengherankan, karena setelah sekian lama barulah terjadi suatu kerusuhan yang diiringi peristiwa perkosaan seintensif dan sespektakuler kali ini. Penjarahan, pembakaran dan kekerasan lainnya sudah amat sering terjadi dan masyarakat cukup terbiasa mengalami dan menyaksikannya. TGPF mencatat dalam suatu ringkasan eksekutif, “Fakta menunjukkan bahwa yang disebut korban dalam kerusuhan Mei 1998 adalah orang-orang yang telah menderita secara fisik dan psikis karena hal-hal berikut, yaitu: kerugian fisik/material (rumah atau tempat usaha dirusak atau dibakar dan hartanya dijarah), meninggal dunia saat terjadinya kerusuhan karena berbagai sebab (terbakar, tertembak, teraniaya dan lain-lain), kehilangan pekerjaan, penganiayaan, penculikan dan menjadi sasaran tindak kekerasan seksual”.
Korban dalam kerusuhan Mei 1998 dibagi dalam beberapa kategori.
Kategori pertama adalah kerugian material. Kerugian ini meliputi kerugian bangunan, seperti toko, swalayan, atau rumah yang dirusak, termasuk harta benda berupa mobil, sepeda motor, barang-barang dagangan dan barang-barang lainnya yang dijarah dan atau dibakar massa. Temuan TGPF menunjukkan bahwa korban material ini bersifat lintas kelas sosial, tidak hanya menimpa etnis cina, tetapi juga warga lainnya. Namun memang, yang paling banyak menderita kerugian material adalah dari etnis cina.
Korban kehilangan pekerjaan, adalah kategori kedua. Termasuk dalam kategori ini adalah orang-orang yang akibat terjadinya kerusuhan, karena gedung atau tempat kerjanya dirusak, dijarah dan dibakar, membuat mereka kehilangan pekerjaan atau sumber kehidupan. Yang paling banyak kehilangan pekerjaan adalah anggota masyarakat biasa.
Kelompok korban kategori ketiga, adalah yang meninggal dunia dan luka-luka saat terjadinya kerusuhan. Mereka adalah korban yang terjebak dalam gedung yang terbakar, korban penganiayaan, korban tembak dan kekerasan lainnya.
Sedang kategori keempat adalah mereka yang menjadi korban penculikan. Mereka diculik saat kerusuhan terjadi, dan kehilangan mereka dilaporkan ke YLBHI/Kontras. Setidaknya saat itu ada 4 orang yang dilaporkan hilang/diculik, yakni Yadin Muhidin (23 tahun) hilang di daerah Senen, Abdun Nasir (33) hilang di daerah Lippo Karawaci, Hendra Hambali (19) hilang di daerah Glodok Plaza dan Ucok Siahaan (22) yang hilangnya tidak jelas di daerah mana.
Korban yang meninggal dunia di Jakarta menurut data Tim Relawan adalah 1.190 orang akibat terbakar atau dibakar, 27 karena senjata, sedang yang luka-luka 91 orang. Data Polda maupun data Pemda DKI, menunjukkan angka-angka yang jauh lebih rendah. Ada kecenderungan instansi resmi mengecilkan angka. Tetapi mengenai korban luar Jakarta, data Polri dan data Tim Relawan relatif sama, yakni 32 dan 33 yang meninggal dunia. Dikembangkan opini bahwa mereka yang meninggal adalah akibat kesalahannya sendiri, tetapi menurut TGPF ditemukan banyak orang meninggal bukan karena kesalahannya sendiri.
Korban karena kekerasan seksual menunjukkan angka-angka yang cukup tinggi. TGPF membagi bentuk-bentuk kekerasan seksual dalam beberapa kategori, yakni perkosaan, perkosaan dengan penganiayaan, penyerangan seksual/penganiayaan dan pelecehan seksual. TGPF memverifikasi  52 korban perkosaan baik berdasarkan keterangan yang didengar langsung dari korban, keterangan dokter medis yang memeriksa, keterangan orang tua korban, keterangan saksi (perawat, psikiater, psikolog) maupun kesaksian rokhaniawan/pendamping (konselor). Korban perkosaan dengan penganiayaan tercatat 14 orang berdasarkan keterangan dokter, saksi mata/keluarga dan konselot. Korban penyerangan/penganiayaan seksual ada 10 orang berdasarkan keterangan dokter, keterangan rohaniawan, keterangan korban atau saksi (keluarga). Dan ada 9 orang korban pelecehan seksual menurut keterangan korban maupun saksi. Selain korban-korban kekerasan seksual yang terjadi dalam kerusuhan Mei, terdapat juga korban sebelum dan sesudah kerusuhan Mei. Kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 mayoritas terjadi di dalam rumah, selain di jalan dan di tempat usaha. TGPF menemukan bahwa sebagian besar kasus perkosaan adalah gang rape, yakni korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama dan di tempat yang sama. “Kebanyakan kasus perkosaan juga dilakukan di hadapan orang lain”. Meskipun korban kekerasan seksual tidak semuanya berasal dari etnis cina, namun sebagian besar kasus kekerasan seksual dalam kerusuhan 13-15 Mei 1998 diderita oleh perempuan etnis cina. Korban kekerasan seksual ini pun bersifat lintas kelas sosial.
Khusus mengenai kekerasan seksual ini, TGPF menganalisis bahwa kekerasan seksual yang telah terjadi selama kerusuhan, merupakan satu bentuk serangan terhadap manusia yang telah menimbulkan penderitaan yang dalam, serta rasa takut dan trauma yang luas. Kekerasan seksual terjadi karena adanya niat tertentu, peluang, serta pembentukan psikologi massa yang seolah-olah membolehkan tindakan tersebut dilakukan, sehingga melipatgandakan terjadinya perbuatan tersebut. Dan soal kenapa etnis cina menjadi sasaran utama? “Dari segi intensitas kekerasan terhadap sebagian korban yang menjadi sasaran serangan, dimensi sentimen anti rasial terhadap golongan etnik cina yang laten merupakan faktor penyebab dominan yang mudah dieksploitir untuk menciptakan kerusuhan”. Faktor lain yang telah menyebabkan penyerangan terhadap kelompok etnis cina, karena penyerangan awal memang ditujukan terhadap toko-toko dan rumah-rumah milik golongan etnis tersebut yang terkonsentrasi di beberapa wilayah tertentu.
Terkait faktor sosial-ekonomi, dapat dicatat bahwa tekanan dan kesenjangan sosial-ekonomi yang diperparah oleh kelangkaan bahan pokok yang dialami masyarakat, rawan terhadap eksploitasi sehingga melahirkan dorongan-dorongan destruktif untuk melakukan tindak-tindak kekerasan (perusakan, pembakaran, penjarahan dan lain-lain). Sebagian besar mereka yang terlibat ikut-ikutan dalam kerusuhan, pada dasarnya adalah korban dari keadaan serta struktur yang tidak adil. Mereka berasal dari lapisan rakyat kebanyakan.

Tabir Asap Kerusuhan Mei 1998 (3)

“Martir diciptakan lebih cepat, bukan di Yogya tapi di Jakarta, dan kemudian disusul kerusuhan yang amat terorganisir. Perencananya bisa sama, bisa juga berbeda. Yang menciptakan martir lain, yang melakukan kerusuhan dengan pengorganisasian provokasi secara sistematis lain lagi, dalam suatu pola pertarungan kekuasaan. Hasil akhirnya, Presiden yang sedang berkuasa tak tahan lagi, lalu mundur. Sebenarnya semua hal ini menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Tetapi kenyataannya para decision makers per momentum maupun pasca momentum senantiasa menghindari suatu penelusuran lanjut. Hingga kini”.
KESIMPULAN terpenting dari TGPF mengenai kerusuhan 13-15 Mei 1998 adalah bahwa kerusuhan terjadi karena disengaja. Kerusuhan diciptakan sebagai bagian dari pertarungan politik di tingkat elite. Menurut TGPF, terdapat sejumlah ‘mata rantai yang hilang’ (missing link), yaitu hilang atau sukarnya diperoleh bukti-bukti atau informasi yang merujuk pada hubungan secara jelas antara pertarungan antar elite dengan arus massa. Namun, terdapat indikasi yang kuat adanya hubungan semacam itu, terutama di Solo dan sebagian wilayah Jakarta.
Dari temuan lapangan, TGPF juga berkesimpulan, bahwa banyak sekali pihak yang ‘bermain’ untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun kelompok atau golongan, dari terjadinya kerusuhan. Lebih jauh disimpulkan  bahwa semua pihak yang terlibat bermain pada semua tingkat. Kesimpulan TGPF ini merupakan penegasan bahwa terdapat keterlibatan semua pihak, mulai dari preman lokal, hingga kelompok-kelompok di dalam ABRI pada kerusuhan tersebut. Mereka mendapatkan keuntungan bukan saja dari upaya secara sengaja untuk ‘menumpangi’ kerusuhan, melainkan juga dengan cara tidak melakukan apa-apa. Dalam konteks inilah, ABRI dianggap bersalah karena ‘tidak cepat bertindak’ untuk mencegah terjadinya kerusuhan, padahal memiliki sarana dan tanggungjawab untuk itu.
Setelah berjalannya waktu hingga 12 tahun lamanya, tabir asap yang menutupi peristiwa dan peran dalam kerusuhan Mei 1998 masih belum ‘terkuak’ secara formal. Apa sebenarnya yang terjadi dalam rangka pergulatan kekuasaan, masih selalu ditutup-tutupi. Ketua Kontras Munir, yang mencoba mengungkit dan mengungkap peranan busuk sejumlah kalangan kekuasaan, khususnya dalam rangkaian penculikan sejumlah aktivis menjelang peristiwa dan kemudian mengenai peran-peran dalam peristiwa, mati dibunuh. Siapa dalang pembunuhan Munir itu sendiri tetap ‘dibuat’ gelap, sehingga terjadi kegelapan ganda.
Dari berkas testimoni para jenderal dan sejumlah perwira lainnya yang dimintai keterangan oleh TGPF, terlihat betapa para jenderal itu cenderung memberi keterangan yang berbelit-belit kepada pewawancara TGPF. Beberapa di antaranya ‘berlagak pilon’, sementara yang lainnya menyampaikan penjelasan-penjelasan normatif yang tak berguna untuk memperjelas persoalan. Bahasa dan kalimat para jenderal itu juga seringkali kurang jelas, tidak fix, entah sengaja entah tidak. Terlihat pula ada situasi saling ‘melemparkan’ tanggungjawab, padahal nyata-nyata secara formal tanggungjawab keamanan itu ada di tangannya. Sayang pula, umumnya para pemeriksa TGPF terkesan kurang berhasil ‘mengejar’ para jenderal itu dengan pertanyaan-pertanyaan mereka, entah karena kekurangan data atau entah apa. Dan yang paling sulit, Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto sebagai puncak komando kala itu, justru tidak bersedia, tegasnya tidak mau memberi keterangan kepada TGPF.
Para jenderal dan perwira yang dimintai keterangan oleh TGPF, antara lain adalah Mayjen TNI Sjafrie Sjamsuddin yang saat peristiwa terjadi menjabat selaku Panglima Kodam Jaya yang bertanggungjawab atas keamanan ibukota. Sebelum Mei 1998 ia dianggap punya kedekatan dengan Letnan Jenderal Prabowo Subianto, menantu Presiden Soeharto. Setelah itu, khususnya pada saat peristiwa berlangsung terlihat bahwa ia ‘beralih’ menjadi lebih dekat dengan Pangab Jenderal Wiranto. Sementara per saat itu, Letnan Jenderal Prabowo Subianto diposisikan ‘berseberangan’ kepentingan dengan Jenderal Wiranto. Letnan Jenderal Prabowo, yang saat peristiwa adalah Panglima Kostrad, juga diperiksa TGPF. Jenderal lain yang ikut diperiksa TGPF adalah Mayjen Zacky Makarim, Kepala BIA (Badan Intelijen ABRI), yang juga dikenal punya kedekatan khusus dengan Letjen Prabowo Subianto. Berturut-turut yang ikut diperiksa TGPF adalah, Gubernur DKI Letjen Sutiyoso, Kastaf Kodam Jaya Brigjen Sudi Silalahi, Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol Hamami Nata, Komandan Korps Marinir Mayjen Marinir Suharto, KSAD Jenderal Subagyo HS, Drs Fahmi Idris, serta sejumlah perwira menengah dari Kodam Jaya maupun Polda Metro Jaya.
TGPF memberikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah. Namun baik pemerintahan Presiden BJ Habibie maupun pemerintahan-pemerintahan Presiden sesudahnya, tak pernah memperlihatkan kesungguhan untuk menuntaskan peristiwa. Sejumlah nama yang justru disorot, belakangan malahan masuk ke dalam kekuasaan pemerintahan maupun dalam kekuasaan politik. Terbunuhnya empat mahasiswa Universitas Trisakti sempat disidangkan dengan terdakwa sejumlah perwira bawahan dan bintara, tanpa menyentuh para penanggungjawab yang ada pada tingkat lebih tinggi.
Mereka yang disorot namun tak pernah tuntas dalam proses pertanggungjawaban, terutama adalah Jenderal Wiranto dan Letnan Jenderal Prabowo Subianto. Bekas Panglima Kostrad ini memang sempat diajukan ke Dewan Kehormatan Perwira, dan setelah itu ia diberi penugasan ‘samping’ untuk akhirnya pensiun dini dan sempat hidup di luar Indonesia untuk beberapa tahun. Ia terjun ke dalam kancah politik dan mendirikan Partai Gerindra menyongsong Pemilihan Umum 2009. Sempat tampil sebagai calon Wakil Presiden berpasangan dengan Megawati Soekarnoputeri dalam Pemilihan Presiden yang lalu, namun dikalahkan SBY-Budiono dalam satu putaran. Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsudin yang juga menjadi fokus sorotan, hanya ‘terparkir’ sejenak sebelum berturut-turut menjabat sebagai Sekjen Departemen Pertahanan kemudian Wakil Menteri Pertahanan dalam Kabinet terbaru Presiden SBY.
Mayjen Zacky Makarim terkena ‘pukulan’ lebih telak, keluar gelanggang meninggalkan karir militernya setelah peristiwa Mei 1998. Sebagai Kepala BIA Zacky mengaku sudah memberi early warning ke berbagai pihak. Misalnya kepada Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsuddin. “Saya sudah bilang khusus kepada Pangdam Jaya dan Kapolda Metro Jaya agar mewaspadai aksi-aksi yang turun ke jalan akan menuju ke Istana Presiden, Merdeka Utara, dan Merdeka Selatan dan simbol kenegaraan lainnya”. Zacky Makarim mengaku memberi early warning pada 11 Mei kepada semua pihak yang berwewenang, agar mencegah jangan sampai ada korban jatuh dan menjadi martir, seraya menyebut tanggal-tanggal yang perlu diwaspadai yakni 14, 16, 18 dan 20 Mei 1998 akan terjadi tindakan-tindakan destruktif. “Hindari adanya martir, karena akan dicerca rakyat”, ujar Zacky yang mengaku mengira martirnya jatuh di Yogya, tapi ternyata di Universitas Trisakti dan terjadi lebih cepat, 12 Mei 1998. “Saya tidak tahu bahwa tanggal 14 Mei 1998 akan dijadikan bancaan habis”.
Apakah bahan-bahan informasi BIA memang lemah dan menyebabkan perkiraan-perkiraannya pun dengan sendirinya meleset sehingga serba tertinggal sekian langkah? Atau, ada pihak di dalam tubuh kekuasaan sendiri yang sengaja ‘mewujudkan’ apa yang justru dikuatirkan dan diperingatkan BIA dan mempercepat, sehingga segala sesuatunya terjadi bagai bola liar di luar perkiraan? Martir diciptakan lebih cepat, bukan di Yogya tapi di Jakarta, dan kemudian disusul kerusuhan yang amat terorganisir. Perencananya bisa sama, bisa juga berbeda. Yang menciptakan martir, lain. Dan yang melakukan kerusuhan dengan pengorganisasian provokasi secara sistematis, lain lagi, dalam suatu pola pertarungan kekuasaan. Hasil akhirnya, Presiden yang sedang berkuasa tak tahan lagi, lalu mundur. Sebenarnya semua hal ini menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Tetapi kenyataannya para decision maker per momentum maupun pasca momentum senantiasa menghindari suatu penelusuran lanjut. Hingga kini.
Awal Oktober 1965 enam jenderal dan satu perwira pertama jadi tumbal, tercipta alasan bagi penumpasan PKI. Tahun 1966, Arief Rahman Hakim gugur sebagai martir bersama wartawan mahasiswa Zainal Zakse, membuat mahasiswa marah, dan bola salju lalu menggelinding ke arah Presiden Soekarno. Tahun 1998 giliran empat mahasiswa Trisakti jadi tumbal, Jenderal Soeharto terpaksa turun. Akan adakah peristiwa-peristiwa baru dengan tumbal-tumbal baru?

PKI Sejak 23 Mei 1920: Dari Konflik ke Konflik (1)


PKI sebenarnya adalah masa lampau dalam kehidupan politik Indonesia. Bahkan komunisme yang dianut sebagai ideologi oleh partai tersebut pun sudah menjadi bagian dari masa lampau di dunia, sejak hancurnya Uni Soviet. Negara komunis tersisa hanyalah Kuba, dan di Republik Rakyat Cina yang makin moderat dalam kehidupan sosial-ekonominya. Tapi tentu saja, akan selalu terdapat kelompok-kelompok di bekas negara-negara bekas Soviet yang masih menyimpan obsesi reinkarnasi ideologi tersebut sebagai alternatif terhadap ideologi kapitalisme liberalisme yang dianut negara-negara barat. Sementara negara-negara barat sendiri justru makin banyak memasukkan nuansa sosialistis dalam kehidupan sosial-politik dan sosial-ekonomi mereka. Apakah obsesi reinkarnasi juga dimiliki oleh sejumlah generasi muda yang kebetulan orangtua mereka sampai 45 tahun yang lampau berkiprah dalam kehidupan politik Indonesia hingga tahun 1965 melalui PKI? Hari Minggu 23 Mei yang lalu, mereka mengadakan pertemuan untuk ‘memperingati’ 90 tahun PKI yang lahir tahun 1920. Sebagai referensi sejarah mengenai kiprah PKI di Indonesia, berikut ini adalah tulisan Dr Anhar Gonggong, yang pernah dimuat dalam buku Simptom Politik 1965, PKI dalam Perspektif Pembalasan dan Pengampunan, Jakarta 2008.
MEMASUKI awal abad ke-20, dalam setting waktu historis Indonesia, perlawanan terhadap kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda berubah bersama waktu. Kalau sepanjang awal kedatangannya sampai pada akhir abad 19, dan awal abad ke 17 dengan pembentukan organisasi dagang (VOC) yang mempunyai kekuatan militer untuk penaklukan, yang kemudian dilanjutkan pada abad 18, 19 dan awal ke-20, Belanda menghadapi perlawanan yang dilakukan dengan fisik atau strategi otot, maka pada awal abad ke-20, bentuk dan cara perlawanan yang dihadapi itu berubah. Perlawanan bentuk baru menggunakan cara-cara yang dilandasi pemikiran-pemikiran rasional (strategi otak). Kalau perlawanan strategi otot menggunakan kekuatan-kekuatan fisik –dari Perang Gowa pimpinan Sultan Hasanuddin, kemudian Perang Pattimura, Perang Jawa pimpinan Pangeran Diponegoro, Perang Batak pimpinan Sisingamangaraja dan Perang Aceh dan Perang Sawitto pimpinan Lasinrang yang dikalahkan pada 1912– maka ketika memasuki abad ke-20, cara perlawanan tidak lagi menggunakan senjata fisik semata, melainkan dengan senjata yang dilandasi oleh rasio atau otak.
Dalam perlawanan abad ke-20 itu, 1908-1942, senjata-senjata yang digunakan adalah senjata yang bertumpu pada kemampuan-kekuatan rasio, otak, yaitu organisasi, media massa, ideologi dan dialog. Perubahan cara perlawanan terhadap pemerintahan kolonial itu dilakukan oleh “kelompok-kelompok” warga anak-anak negeri jajahan Nederlandsch-Indie yang telah menikmati pendidikan yang diadakan oleh pemerintah kolonial. Warga terdidik tetapi tidak sekedar terdidik, melainkan terutama juga karena mereka tercerahkan. Mereka terdiri dari pelbagai asal tempat kelahiran dan suku bangsa dan menetap di kota-kota besar ketika itu, seperti  Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Surabaya dan lain-lain. Dari lingkungan warga terdidik-tercerahkan itulah awal terjadinya perubahan strategi perlawanan dalam bentuk strategi otak dengan senjata baru “tanpa kekerasan fisik bersenjata”.
Pemula ide dari perlunya perubahan di lingkungan anak-anak negeri jajahanNederlandsch-Indie ialah dr. Wahidin (Soedirohusodo), seorang dokter pensiunan yang menghendaki diadakannya fonds, dana pendidikan untuk “anak-anak bangsa Jawa”. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, dr. Wahidin berusaha melakukan pendekatan kepada sejumlah bupati dan bangsawan Jawa “yang berpengaruh” agar bersedia membantu menyediakan dana pendidikan yang diharapkannya itu. Untuk itu, terkadang ia berjalan kaki, naik andong untuk mengunjungi bupati atau tokoh yang diharapkannya. “Para bupati dan bangsawan yang dihubunginya” tampak tidak berminat atas idenya itu, bahkan menolak ide yang memang akan berdampak besar bagi tatanan kehidupan masyarakat Jawa di negeri jajahan Nederlandsch-Indie.
“Senjata” organisasi untuk “pertama kalinya” diciptakan oleh sejumlah mahasiswa “sekolah kedokteran Jawa”, STOVIA, yang menerjemahkan ide dr. Wahidin menjadi sebuah organisasi “modern” yang berdasar pada etnis Jawa dengan “ideologi pendidikan dan kebudayaan”. Mereka melakukan rapat di Gedung STOVIA pada 20 Mei 1908 dan dari rapat itulah disepakati untuk membentuk sebuah organisasi dengan nama Boedi Oetomo dan dr. Soetomo sebagai ketua pertamanya. Setelah terbentuknya Boedi Oetomo itu, maka “secara berantai” sejumlah tokoh terdidik-tercerahkan mengambil insiatif untuk membentuk organisasi dengan nama dan landasan-anutan ideologi masing-masing. Terbentuklah Indische Partij pada 1911, kemudian Sarekat Islam (SI); Kalau Indische Partij dibentuk dengan ideologi nasionalisme Hindia, maka Sarekat Islam berideologi Islam. Dalam kaitannya dengan SI ini, ada hal yang perlu dicatat, yaitu SI dibentuk oleh sejumlah pedagang batik di Solo yang berusaha mempertahankan kelangsungan hidupnya karena adanya saingan yang datang dari para pedagang Cina.
Para pedagang batik itu memang pada umumnya beragama Islam, sehingga ketika membentuk organisasi, untuk menyatukan visi organisasinya, maka Haji Samanhudi mengajak rekan-rekannya untuk menjadikan agama Islam sebagai landasan sekaligus sebagai ideologi organisasi. Dalam kaitan dengan pertumbuhan SI di kemudian hari, seorang tokoh, yang juga pedagang di Surabaya, Oemar Said Tjokroaminoto, menjadi anggota SI dan kemudian tampil menjadi pemimpin utama SI yang kemudian berkembang menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia atau PSII (AK Pringgodigdo, 1986).
Awal Kelahiran PKI dan Dampak Tragis Perlawanannya
Dalam perkembangan SI yang dibentuk pada tahun 1912 itu, tampil pula fakta-fakta peristiwa yang berkaitan dengan berkembang dan terbentuknya organisasi dari ideologi yang Marxis-Komunis atau yang lebih populer dikenal dengan istilahkomunisme. Ia bermula dengan datangnya seorang aktivis Komintern, Sneevliet ke Indonesia, Surabaya. Tokoh berbangsa Belanda ini kemudian dapat berinteraksi dengan sejumlah tokoh Sarekat Islam di pelbagai kota, termasuk dengan Semaun yang menjadi ketua organisasi Buruh Kereta Api di Semarang, dan sekaligus juga Ketua dan tokoh SI di kota ini. Dari interaksi antar pimpinan SI yang memiliki visi dengan ideologi yang saling berbeda dan bertentangan, maka perkembangan SI mengalami arah yang “bersilangan cabang” dilihat dari ideologi; yaitu di satu sisi, sejak awal SI berideologi Islam dan memang dibentuk oleh pedagang-pedagang Islam di Solo untuk menghadapi pedagang Cina saingannya, di lain pihak, SI juga mempunyai tokoh-tokoh penting yang mulai menerima ideologi lain, yaitu ideologiMarxisme-Komunisme.
Tampak bahwa perkembangan kelompok Marxis-Komunis di dalam tubuh SI telah berkembang dengan cukup berarti dengan pengaruh yang mulai memberikan arti embriotik yang tidak dapat diabaikan. Berkembang “pesatnya” aliran Marxisme-Komunisme di dalam tubuh SI karena kemampuan mereka melakukan “penyebaran” ajarannya di dalam tubuh SI; Terjadi “penggerogotan” dari dalam dengan melakukan yang oleh seorang ahli sejarah tentang Indonesia, Ruth McVey, disebut Block Within; yaitu membentuk “blok-blok aliran Marxis-Komunis” di dalam tubuh SI itu sendiri.
Tentu saja adanya dua kekuatan ideologi di dalam satu organisasi, akan melahirkan pertentangan yang setiap saat berkembang menjadi makin tajam. Hal itu juga segera terjadi di dalam tubuh Sarekat Islam. Apalagi Semaun dan kawan-kawan makin menunjukkan sikap agresivitasnya untuk melawan kaum kapitalisme, termasuk kapitalis yang ada di lingkungan warga pribumi Nederlandsch-Indie ketika itu. Terjadinya pertentangan di antara kedua kekuatan ideologi di dalam tubuh SI digambarkan sebagai berikut:
“Telah dalam tahun 1916, Semaun sebagai wakil cabang Surabaya, menentang sikap Pengurus Besar SI di Kongres SI yang diadakan di Bandung. Dalam tahun 1917 sebagai pimpinan baru SI cabang Semarang, ia meneruskan perlawanannya itu di dalam kongres yang diadakan pada tahun 1917 itu. Pada tahun 1918 ia menjadi Komisaris Pengurus Besar SI untuk Semarang, maka dapatlah ia dengan lebih baik lagi mempergunakan pengaruhnya terhadap pemimpin-pemimpin yang tulen daripada SI itu. Karena takut akan adanya perpecahan dalam SI, maka pemimpin-pemimpin ini berlomba-lombalah mengatasi Semaun dalam hal sikap ‘kiri’! Oleh karena itulah, maka kelihatan di atas tadi dengan nyata aliran pelajaran marxis juga pada pemimpin-pemimpin SI yang lain-lain itu”.
Dalam pertentangan di antara kedua kekuatan ideologis itu, tampak adanya persaingan untuk memasukkan pikiran-pikiran ideologis mereka ke dalam rumusan hasil kongres, termasuk dalam Anggaran Dasar Organisasi. Tampaknya “kekuatan kiri” berhasil memasukkan dalam Anggaran Dasar Central Sarekat Islam (CSI) rumusan antara lain “…perjuangan menentang kapitalisme yang berdosa”. Tetapi dalam perkembangannya kemudian, apalagi setelah kekuatan kiri itu mengorganisasikan diri dalam satu partai, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI), maka pengurus SI “yang asli berideologi Islam” melakukan langkah-langkah tindak yang membatasi gerak kekuatan kiri-PKI di dalam tubuh organisasi mereka, antara lain dengan cara menerapkan Disiplin Partai yaitu tidak memperkenankan seseorang – termasuk anggota PKI – untuk menjadi anggota SI dan pada saat yang bersamaan juga menjadi anggota organisasi lain. Adanya disiplin partai yang dikeluarkan SI itu, tentu saja sangat merugikan posisi PKI dari segi penyebaran ideologi. Disiplin partai ini telah ditetapkan pada kongres tahun 1921 yang kemudian lebih dipertegas lagi pada 1923.
Tetapi terlepas dari adanya disiplin partai SI yang dikenakan bagi warga PKI itu, pimpinan PKI –Semaun, Dharsono, Alimin, Tan Malaka dan lain-lain– tetap berusaha melanjutkan kegiatan-kegiatan mereka untuk memperluas pengaruh di tengah-tengah warga negeri jajahan Nederlandsch-Indie dengan pelbagai kegiatan, termasuk mengorganisasi kekuatan-kekuatan buruh dan kekuatan lainnya. Bahkan juga melakukan propaganda ke lingkungan warga beragama Islam dengan “mensejajarkan” ajaran Islam dengan ajaran-ajaran Marxisme-Komunisme dengan mengutip ayat-ayat Al Qur’an dan hadist Nabi Muhammad, yang antara lain dilakukan oleh Haji Misbach. Dengan menggunakan kekuatan massa yang mendukung organisasi mereka, para pemimpin PKI melakukan tindakan-tindakan yang “bersifat revolusioner” dalam bentuk pemogokan, demonstrasi dan lain-lain. Dengan tindakan-tindakan itu, PKI mendapat pengawasan yang sangat ketat dari pemerintah kolonial.

PKI Sejak 23 Mei 1920: Dari Konflik ke Konflik (4)


“Seharusnya kita semua –terutama generasi baru, angkatan muda bangsa-negara ini, termasuk yang berada di lingkungan Angkatan Bersenjata– menghilangkandendam sejarah, dan salah satu yang mungkin menjadi cara-jalannya ialahmemaafkan tanpa melupakan!”.
SETELAH mengeluarkan ide dasarnya berupa Konsepsi Presiden itu, maka Presiden Soekarno melangkah lebih jauh, yaitu dengan merumuskan sebuah sistem demokrasi alternatif yang kemudian disebut dengan Demokrasi Terpimpin. Demokrasi alternatifnya itu dimaksudkan untuk menggantikan sistem Demokrasi Liberal yang dianut dan dijalankan selama 8 tahun, yang memang sangat tidak disukai Presiden Soekarno. Sistem ini sudah tidak disukainya sejak masih duduk sebagai pemimpin PNI dan Partindo. Demikianlah, walaupun mendapat kritikan tajam, bahkan juga dengan adanya sejumlah sikap penentangan terhadap Konsepsi Presiden dan Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno tetap melangkah untuk mewujudkan ide dan konsep yang dikemukakannya. Terlebih lagi waktu itu rumusan Demokrasi Terpimpinnya telah diterima oleh Sidang Kabinet Karya. Persoalan penggantian UUD Negara 1950 yang tentu saja tidak sesuai dengan nafas Demokrasi Terpimpin itu, memang tampak akan menjadi kendala. Demikian pula dengan ketidakberhasilan Dewan Konstituante menciptakan UUD negara yang baru. Namun, Presiden Soekarno dapat mengatasi kendala itu dengan dilatari oleh adanya dukungan yang sangat kuat dari sejumlah kekuatan politik, antara lain TNI-Angkatan Darat dan PKI.
Singkat kata, setelah mendapatkan dukungan kuat dari pelbagai pihak selain TNI-Angkatan Darat dan PKI, maka Presiden Soekarno mengambil jalan inkonstitusionaluntuk memberlakukan kembali UUD negara yang dirumuskan pada 1945 sebagai UUD negara Republik Indonesia. Dengan itu, sistem Demokrasi Terpimpin pun dapat dijalankan dengan berpegang pada UUD negara, yaitu UUD negara 1945 (UUD ’45). Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu, maka berkuasalah Presiden Soekarno sebagai Presiden konstitusional yang tidak hanya sebagai Kepala Negara melainkan juga sekaligus sebagai Kepala Pemerintahan (Perdana Menteri, PM) negara. Dengan demikian, berarti juga jalan ”mulus” terbuka bagi PKI untuk memasuki lembaga pemerintah, yaitu memasuki bidang pemerintahan eksekutif. Selama pemerintahan dengan sistem Demokrasi Terpimpin dengan UUD ’45, digambarkan adanya tiga kekuatan utama yang menguasai arena pemerintahan negara, yaitu TNI-Angkatan Darat yang ”bersaing” dengan PKI dan di antara kedua kekuatan itu bertegaklah Soekarno sebagai kekuatan utama yang berusaha mengatasi kedua kekuatan yang saling bertentangan itu.
Selama periode 1959-1965 –yang juga digambarkan dengan slogan revolusi belum selesai– tampak situasi belum juga menjadi lebih baik bagi berlangsungnya sebuah pemerintahan yang dapat melaksanakan tugas kepemerintahannya sebagaimana yang digambarkan Presiden Soekarno dengan slogan revolusi belum selesai tersebut; Dan untuk menyelesaikannya, Soekarno disebut juga sebagaiPresiden/Pemimpin Besar Revolusi! Tetapi, dalam periode itu tampil sejumlah krisis, tidak hanya krisis politik, melainkan juga krisis ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Di tengah-tengah slogan untuk menyelesaikan revolusi, pertentangan di antara kekuatan-kekuatan politik makin berkembang secara nyata. PKI tidak hanya bertentangan dengan TNI-Angkatan Darat, melainkan juga dengan kekuatan-kekuatan agamis seperti Islam dan Katolik, bahkan terjadi pertentangan antara PNI dan PKI, dan juga dengan kekuatan Marxis, antara PKI dengan Partai Murba. Pertentangan-pertentangan itu, dalam periode 1960-1964, melahirkan tindakan-tindakan fisik yang bahkan tidak jarang melahirkan tindakan kekerasan yang ”saling membunuh”.
Sejalan dengan itu, salah satu cara yang tampak akan digunakan untuk mendapatkan kesempatan politik ialah pelaksanaan land reform. Langkah untuk pelaksanaan land reform itu, digunakan oleh PKI untuk ”memaksakan” kehendaknya. Cerita tentang adanya tindakan pendukung pelaksanaan land reform itu dengan jalan kekerasan, terdengar dari pelbagai daerah, seperti Jawa Timur, Sumatera Utara, Bali dan Tana Toraja, misalnya, sampai sekarang masih hidup seorang anak yang ketika menyebut nama ayahnya, ia tidak menyebut nama yang biasa digunakan ketika ayahnya masih hidup, melainkan menggantikannya dengan: dia yang dicincang. Sebutan itu digunakan setelah ayahnya meninggal dicincang oleh rombongan orang BTI/PKI yang hendak merebut tanah warisan milik keluarganya. Itu hanya salah satu cerita tentang pertentangan yang melahirkan gambaran kekejaman pada ketika itu.
Di tengah-tengah makin meningkatnya situasi krisis dengan slogan revolusi, untuk menghadapi ’lawan’nya PKI menggunakan istilah ofensif revolusioner dan atau jor-joran manipolis. Penggunaan slogan-slogan itu tampaknya dimaksudkan untuk identitas kekuatan diri sebagai bagian dari kekuatan utama pendukung pemimpin besar revolusi dalam rangka menyelesaikan revolusi yang belum selesai itu. Tetapi di tengah-tengah situasi yang menampakkan kekuasaan otoriter dari presiden, maka terjadi suatu pembalikan situasi, yaitu melalui tindakan Letnan Kolonel Untung –salah seorang komandan pasukan di Resimen Cakrabirawa– yang mengumumkan apa yang disebut sebagai Dewan Revolusi dengan sejumlah nama pemimpin bangsa ketika itu sebagai anggota. Tetapi posisi dan nama Presiden Soekarno dalam Dewan Revolusi itu tidak disebutkan!
Dewan Revolusi menyatakan bahwa gerakan yang dicanangkannya itu bernama: Gerakan 30 September (G30S). G30S itu tentu saja telah merancang pelbagai hal yang akan menopang pencapaian tujuan mereka. Namun, para pemimpin G30S yang dikomandani oleh Letnan Kolonel Untung ternyata tidak memperhitungkan secara cermat kekuatannya, sehingga hanya dalam waktu yang sangat singkat, kekuatan gerakan Dewan Revolusi G30S itu dapat dilumpuhkan. Mayor Jenderal Soeharto tampaknya tidak diperhitungkan sebagai perwira tinggi yang membahayakan gerakan mereka, walaupun menduduki jabatan strategis sebagai Panglima Kostrad – tetapi memang Kostrad waktu itu tidak dapat disamakan dengan posisi dan kekuatan Kostrad sekarang. Dan salah ’menghitung’ posisi Mayor Jenderal Soeharto itulah tampaknya yang merupakan salah satu faktor utama dari kegagalan rencana G30S itu.
Setelah kekuatan anti PKI di bawah pimpinan Mayor Jenderal Soeharto berhasil menguasai keadaan setelah pengumuman Dewan Revolusi yang mengambil alih kekuasaan pemerintahan yang digagalkan, sejak tanggal 2 Oktober 1965, maka diketahui bahwa yang berada di belakang G30S itu ialah Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan Dipa Nusantara (DN) Aidit. Dengan adanya ”bukti-bukti” yang ditemukan oleh kekuatan anti PKI itu, maka G30S yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung dengan Dewan Revolusinya, dan dianggap telah melakukan kudeta itu, akhirnya dikaitkan –dalam arti sebagai dalang dan pelaku gerakan kudeta– dengan PKI; Dan karena itu, selama pemerintahan Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto, 1966-1998, maka penulisan G30S selalu dikaitkan dengan PKI, yaitu G30S/PKI. Dengan adanya bukti-bukti itu –tentu saja bukti-bukti yang dimaksud itu menurut pendapat para pendukung Jenderal Soeharto dan kelompok Anti Komunis PKI, yang kemudian menyebut dirinya dengan: Orde Baru (Orba)– maka para pendukung Jenderal Soeharo dan Orde Baru yang telah menguasai pemerintahan negara melakukan pembersihan terhadap PKI dan organisasi-organisasi pendukungnya.
Para pendukung PKI itu –karena dianggap sebagai dalang dan terkait dengan G30S– dianggap sebagai pemberontak, bahkan sebagai ”pengkhianat” terhadap pemerintah yang sah dan negara Republik Indonesia. Dengan adanya anggapan yang demikian itu, hak-hak kewarganegaraan mereka sebagai warga negara Republik Indonesia,dibatasi, bahkan dihilangkan. Mereka yang dianggap terlibat dalam G30S/PKI itu, dikategorikan dalam tiga kategori, yatiu golongan A, B dan C, yang masing-masing mempunyai tingkat sanksi yang berbeda-beda karena tingkat keterlibatannya di dalam kepengurusan PKI dan organisasi massanya dan G30S. Golongan A dan B dianggap terlibat langsung dalam kepengurusan PKI dan juga diduga terlibat pula di dalam kegiatan-kegiatan G30S/PKI itu. Mereka itu biasanya mendapat hukuman di penjara dalam waktu yang sangat panjang, sampai seumur hidup dan atau dihukum mati. Sebagian dari mereka dipindahkan ke tempat tahanan yang lebih terpencil, yaitu ke Pulau Buru. Sedang golongan C jauh lebih ringan dan biasanya bisa dibebaskan, tetapi dengan persyaratan tertentu, antara lain dengan melapor ke kantor Kodim (Komando Distrik Militer) atau kantor polisi yang telah ditentukan.
Dalam perkembangan selama kekuasaan pemerintahan Orde Baru, diciptakan pelbagai undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang membatasi hak-hak kewarganegaraan dari pengurus atau anggota PKI dan atau organisasi atau orang-orang yang dianggap terkait dengan PKI dan G30S, baik langsung maupun tidak langsung. Sebagai akibat dari adanya peraturan-peraturan  itu, yang selalu dan harus mengacu kepada  Tap MPRS No XXV/1966 maka semua lembaga negara dari semua tingkatan, demikian pula pada semua lembaga pendidikan, misalnya lembaga-lembaga pendidikan instansional, seperti AKABRI dan yang lainnya di lingkungan Angkatan Bersenjata –Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian– harus melewati seleksi yang sangat ketat, sehingga lembaga-lembaga itu tidak ”tersusupi” oleh orang-orang PKI dan G30S. Tetapi yang sangat menyulitkan ialah setelah G30S/PKI itu melewati jarak waktu puluhan tahun, maka anak-anak keturunan mereka pun tetap kehilangan hak kewarganegaraannya karena sangkaan terhadap orang-orang tuanya sebagai pengurus atau anggota PKI atau G30S. Keadaan yang demikian ini berlangsung terus, selama kurang lebih 32 tahun di bawah pemerintahan Orde Baru pimpinan Jenderal dan Presiden Soeharto.
Persoalan Sejarah, Memaafkan Tanpa Melupakan
Terlepas dari setuju atau tidaknya kita terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru pimpinan Jenderal, Presiden Soeharto, maka persoalan yang akan dihadapi oleh bangsa-negara kita, ialah persoalan sejarah. Yang saya maksudkan ialah bahwa dengan G30S/ PKI pada tahun 1965 itu, maka bangsa-negara kita telah membelah dirinya dengan dilatari oleh ”dendam” sejarah. Anak-anak PKI/G30S itu yang lahir pada tahun 1970-an, 1980-an dan 1990-an adalah tetap merupakan warga negara Republik Indonesia, dengan hak kewarganegaraannya yang sama dengan yang lainnya, anak-anak warga negara yang dahulu anti PKI dan G30S itu.
Sejalan dengan itu, bagaimanapun juga terjadinya keterbelahan akibat dari G30 S/PKI itu, seharusnya tidak berlanjut ke hari-hari depan, dalam kehidupan bersama kita sebagai bangsa dan di dalam negara Republik Indonesia. Karena itu, seharusnya kita semua –terutama generasi baru, angkatan muda bangsa-negara ini, termasuk yang berada di lingkungan Angkatan Bersenjata– menghilangkan dendam sejarah, dan salah satu yang mungkin menjadi cara-jalannya ialah memaafkan tanpa melupakan! Karena apa yang pernah kita lakukan sejak puluhan tahun yang lalu itu, adalah sejarah yang seharusnya dipahami sebagai milik bersama, dan seharusnya dapat menjadi landasan yang akan saling memperkuat kita semua –dalam arti sebagai warga negara– menopang kelangsungan hidup berbangsa-negara, di tengah-tengah bangsa-negara lainnya di muka bumi ini.
*Anhar Gonggong. Aktif dalam pergerakan mahasiswa sejak masa kuliah di UGM. Sejarawan dan budayawan yang bergelar doktor ilmu sejarah ini, pernah menjabat sebagai Deputi Menteri bidang Sejarah dan Purbakala di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Sekarang mengajar Sejarah Ekonomi dan Bisnis di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Atmajaya Jakarta, mengajar Agama dan Nasionalisme di Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.

PKI Sejak 23 Mei 1962: Dari Konflik ke Konflik (3)


Ketika pemerintah belum dapat mengatasi masalah-masalah keamanan yang terus berlangsung di pelbagai daerah, kembali pemerintah harus menghadapi pelbagai permasalahan. Salah satu yang sangat rumit ialah pergolakan yang terjadi di beberapa daerah, seperti Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan. Di daerah-daerah ini berkembang sikap yang menentang kebijakan-kebijakan yang dijalankan pemerintah pusat.
DALAM periode 1953-1955, menjelang Pemilihan Umum I di alam kemerdekaan, banyak peristiwa yang terjadi yang melahirkan krisis di dalam negeri karena adanya konflik ideologi. Yang dimaksudkan ialah adanya ”pemberontakan” yang dilakukan oleh gerakan DI/TII yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo di Jawa Barat yang bertujuan untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Gerakan ini dapat memperluas wilayah pengaruhnya sampai ke Aceh, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan. Di tengah-tengah masih berlangsungnya krisis karena pelbagai peristiwa itu, pemerintah tetap merencanakan melaksanakan Pemilu I di Republik Indonesia. Rencana itu dengan sendirinya melahirkan kegiatan-kegiatan politik yang berkaitan dengan Pemilu I tersebut.
Sejak 1953, persoalan ideologi negara dan Indonesia sebagai negara apa dalam artian ideologi, menjadi pembicaraan. Tidak kurang dari seorang Presiden Soekarno menyampaikan pernyataan yang memancing perdebatan dan ”keributan politik” ketika itu.  Dalam salah satu kunjungannya ke Kalimantan (Tengah) pada 1953, ia memberikan pernyataan bahwa Indonesia ”seharusnya” adalah negara nasional. Pernyataan  Presiden Soekarno ini melahirkan reaksi yang tidak saja ”ramai” bahkan juga tampak ”amat keras”. Ada pernyataan yang menyebutkan –terutama para pemimpin partai politik Islam– bahwa pernyataan Presiden Soekarno itu telah melanggar Undang-undang negara, karena sebagai kepala negara ia tidak boleh mengeluarkan pernyataan yang memihak. Oleh sejumlah pemimpin partai politik Islam, pernyataan Presiden Soekarno itu dianggap sebagai pemihakan dalam arti dengan menggunakan istilah negara nasional, Presiden seakan-akan memihak pada kekuatan golongan yang menganut paham kebangsaan-sekuler.  Pernyataan Presiden Soekarno di Kalimantan itu telah memicu perdebatan yang lama dan terbuka melalui media massa.
Di tengah-tengah ”keributan politik” karena perbedaan interpretasi terhadap isi pidato Presiden itu, PKI tampaknya menggunakan kesempatan itu untuk mengkonsolidasikan kekuatannya untuk menghadapi Pemilu 1955. Di bawah pimpinan DN Aidit, kader generasi baru PKI itu, ternyata PKI dapat mempertahankan keberadaannya di tengah-tengah konflik yang terjadi di negara kita. Langkah-langkah konsolidasi yang dilakukan –dengan hasil Pemilu sebagai tolok ukurnya– tampak berhasil. Hal itu dapat dibuktikan dengan perolehan suara cukup, bahkan mungkin dapat dikatakan ”sangat” meyakinkan jika dibandingkan dengan partai-partai lain yang sebelum Pemilu memiliki jumlah anggota yang lebih banyak dari PKI di dalam parlemen (sementara) seperti PSI, PSII, dan lain-lain. Juga tokoh partai seperti Sutan Syahrir yang mantan Perdana Menteri sangat populer ketika itu. Namun yang terjadi PKI mendapat suara dari rakyat Indonesia jauh lebih banyak. Dari hasil Pemilu 1955 itu, PKI mendapatkan kursi dalam parlemen sebanyak 35 buah, jauh di atas perolehan kursi PSI dan PSII, tetapi di bawah PNI, Masyumi dan NU. ”Kemenangan” atau lebih tepat perolehan suara yang cukup meyakinkan itu tentu saja seharusnya memberi posisi yang lebih kuat kepada PKI sebagai partai politik, khususnya yang berideologi kiri.
Apa yang ditampakkan dari hasil Pemilu I itu juga mempunyai permasalahan dalam kelangsungan politik pengaturan pemerintahan dan bangsa-negara Indonesia yang merdeka. Sebagaimana kita ketahui, Pemilu yang diadakan pada 1955 itu, diharapkan akan melahirkan stabilitas politik, setidaknya stabilitas kabinet yang menjalankan pemerintahan negara, karena ternyata sejak kita merdeka pada 1945 sampai dengan sebelum Pemilu 1955 itu, lebih kurang 10 tahun kemerdekaan, pemerintahan negara tidak pernah dapat menjalankan pemerintahan secara lebih lama dan stabil. Hal itu dikarenakan kenyataan bahwa setiap saat, kabinet yang berkoalisi dapat dijatuhkan, karena keretakan di antara partai-partai yang berkoalisi membentuk kabinet itu. Dengan diadakannya Pemilu I itu, diharapkan terwujudlah sebuah kabinet yang mampu memimpin dan menjalankan pemerintahan secara baik dalam jangka waktu yang pantas, misalnya selama 4-5 tahun. Namun, yang terjadi tidaklah demikian. Situasi keberadaan kabinet yang memerintah sebelum dansesudah pemilu sama saja, yaitu tidak ada kabinet yang dapat memerintah dalam waktu yang cukup, sebagaimana seharusnya.
Setelah Pemilu yang menempatkan PKI sebagai partai urutan 4 dalam perolehan suara rakyat, ketika pembentukan kabinet akan dilakukan dengan menunjuk salah satu pemimpin partai tertentu dengan memperhatikan keseimbangan kekuatan jumlah anggota yang terdapat dalam parlemen, PKI selalu ’disisihkan’. Dalam kaitan dengan jumlah perolehan suaranya, posisi PKI tentunya ”patut diperhatikan”. Namun ternyata PKI tidak pernah mendapat perhatian untuk turut duduk dalam pemerintahan. Dalam jangka waktu 1955-1958, tidak pernah Presiden menunjuk PKI untuk menjadi formatur kabinet. Demikian pula dalam pembentukan kabinet koalisi partai-partai, tidak pernah ada formatur kabinet yang mengajak partai Marxis-Komunis itu untuk menjadi anggota koalisinya.
Tampaknya kenyataan ini diperhatikan oleh Presiden Soekarno. Hal ini diungkapkan oleh formatur Kabinet Ali II yaitu PM Ali Sastroamijoyo ketika akan menyampaikan susunan kabinetnya kepada Presiden. Setelah Presiden Soekarno membaca susunan kabinet yang dibentuknya sebagai formatur dari PNI yang diharapkan akan disetujui dan dilantik, ternyata Presiden memberi reaksi dalam kaitannya dengan PKI. Tentang ini Ali Sastroamijoyo mengungkapkan bahwa setelah datang ke Istana Merdeka dan menyerahkan susunan kabinet, Presiden Soekarno menyatakan kepada formatur kabinet bahwa ia tidak adil kepada PKI karena ia tidak menempatkan orang PKI dalam kabinetnya. Terhadap reaksi Presiden terkait dengan tidak diajaknya orang PKI dalam kabinet koalisi yang dibentuknya, Ali Sastroamijoyo mengatakan: ”Sulit untuk mengajak PKI ke dalam kabinetnya. Penolakan itu tidak hanya oleh partai-partai Islam, melainkan juga oleh PNI, partainya sebagai formatur kabinet”. Dengan reaksi Presiden itu, maka kabinet susunan formatur Ali Sastroamijoyo ditunda pelantikannya pada hari itu.
Tampaknya Presiden Soekarno mengadakan pendekatan terhadap partai-partai yang menolak PKI agar bersedia menerima PKI dalam kabinet yang dibentuk oleh Ali Sastroamijoyo dari PNI itu. Namun, usaha presiden itu gagal, dan susunan kabinet yang disusun oleh Ali Sastroamijoyo itulah yang dilantik seminggu kemudian. Adanya sikap ”penolakan terhadap PKI” untuk memasuki pemerintahan memang dapat saja terjadi dalam bentuk kabinet yang bersifat koalisi yang memperhitungkan keseimbangan kekuatan partai-partai di dalam parlemen. Artinya, kalau PNI atau Masyumi membentuk kabinet dan mengajak partai-partai lain tetapi tidak mengajak PKI, toh kabinet tanpa PKI itu dapat tetap terbentuk dan bekerja karena jumlah suara dalam parlemen adalah cukup untuk mempertahankan bertegaknya kabinet koalisi tersebut. Dengan keadaan seperti itu, maka sejak 1950, baik sebelum maupun sesudah Pemilu 1955, PKI selalu berada di luar pemerintahan, sebagai partai oposisi.
Dalam periode 1955-1958, terjadi pelbagai peristiwa yang pada saatnya melatari peristiwa-peristiwa selanjutnya di tahun-tahun kemudian. Ketika pemerintah belum dapat mengatasi masalah-masalah keamanan yang terus berlangsung di pelbagai daerah, kembali pemerintah harus menghadapi pelbagai permasalahan. Salah satu yang sangat rumit ialah pergolakan yang terjadi di beberapa daerah, seperti Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan. Di daerah-daerah ini berkembang sikap yang menentang kebijakan-kebijakan yang dijalankan pemerintah pusat. Terbentuk sejumlah institusi dengan nama dewan, misalnya, Dewan Permesta, Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Lambung Mangkurat, dan lain-lain. Terjadinya pergolakan di daerah-daerah itu, tidak hanya dilatari oleh lemahnya kabinet yang gonta-ganti, melainkan juga karena adanya konflik internal di antara perwira-perwira Angkatan Perang, khususnya di lingkungan Angkatan Darat. Suatu pergolakan yang nantinya berkembang menjadi gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang kemudian bergabung bersama Permesta di Sulawesi (Utara). Gerakan ini dikenal sebagai PRRI/Permesta. Demikianlah keadaan negara pada saat itu, dan semua ini melatarbelakangi langkah-langkah yang diambil Presiden Soekarno untuk mencari alternatif yang kiranya dapat mengakhiri kemelut pertentangan yang justru menyebabkan ”kemandegan” pemerintah negara.
Untuk alternatif penyelesaian masalah yang dihadapi negara, maka Presiden mengumumkan rumusan idenya, yang dikenal dengan Konsepsi Presiden pada 1957. Sejak pengunduran diri Bung Hatta dari kursi Wakil Presiden pada November 1956, tampak ruang gerak Presiden Soekarno makin luas untuk mengembangkan sekaligus merealisasikan ide-idenya itu. Namun, Konsepsi Presiden itu tidaklah sepenuhnya mendapatkan dukungan dan persetujuan dari pelbagai kekuatan politik. Konsepsi itu memiliki dua hal utama yaitu (anjuran) membentuk sebuah dewan nasional yang keanggotaannya dapat menghimpun kekuatan-kekuatan politik tanpa mempersoalkan latar belakang politiknya. Dalam kaitan itu, berarti orang-orang PKI juga akan masuk menjadi anggota dewan nasional. Yang kedua, membentukkabinet Gotong Royong yang berarti semua kekuatan politik yang penting dan mempunyai kekuatan ril dalam masyarakat, dapat ditunjuk menjadi pembantu Presiden, menjadi Menteri. Tentu saja PKI pun dapat menjadi anggota kabinet yang memerintah.

PKI Sejak 23 Mei 1920: Dari Konflik ke Konflik (2)


Dengan pemberontakan di Madiun pada bulan-bulan akhir tahun 1948 itu, PKI telah memberi tanda babak baru kepemimpinan partai mereka, yaitu dengan tampilnya “generasi baru” yang dipimpin oleh Dipa Nusantara (DN) Aidit, seorang kader muda kelahiran Sumatera, kepulauan Bangka-Belitung.
DI TENGAH situasi pengawasan dan tekanan pemerintah terhadapnya, para pemimpin PKI tampak melakukan “persiapan-persiapan” untuk melakukan tindakan revolusioner yang ditujukan kepada kekuasaan pemerintah kolonial. Dengan diawali oleh gerakan-gerakan revolusioner dalam bentuk pemogokan buruh di pabrik-pabrik, maka sejak 1925 para pemimpin PKI mempersiapkan suatu “perlawanan-pemberontakan” terhadap pemerintah kolonial Belanda di Nederlandsch-Indie. Tampak bahwa langkah untuk melakukan pemberontakan itu dipersiapkan dengan serangkaian rapat pengurus, antara lain yang diadakan di Prambanan. Namun, sebenarnya rencana pemberontakan PKI tidaklah sepenuhnya disepakati oleh seluruh pimpinan utama mereka. Tan Malaka misalnya, ia tidak setuju atas rencana pemberontakan PKI itu, karena alasan “belum siapnya” kekuatan yang dimiliki untuk menghadapi kekuatan kekuasaan pemerintah kolonial. Di samping itu, untuk melakukan tindakan revolusioner sepenting itu, yang berupa pemberontakan, pemimpin PKI tidak boleh melakukannya tanpa sepengetahuan dan seizin pusat kekuasaan Komunis Internasional di Moskow, pemimpin Partai Komunis Republik Sosialis Uni Sovyet, Kamerad Joseph Stalin. Karena itu diutuslah Alimin ke Moskow untuk melaporkan rencana pimpinan PKI melaksanakan pemberontakan revolusioner terhadap pemerintah kolonial di Nederlandsch-Indie.
Sementara itu, rencana pemberontakan PKI itu mulai “tercium” oleh para penguasa pemerintah kolonial, sehingga mereka pun tentu juga sudah melakukan langkah-langkah pencegahan dan penghancuran. Di tengah-tengah situasi yang makin tegang dan penuh kecurigaan, akhirnya PKI tidak dapat lagi menunda rencana revolusioner mereka yaitu pemberontakan di Banten-Batavia pada akhir 1926 dan pemberontakan di Silungkang, Sumatera Barat pada awal 1927. Tentu saja pemberontakan itu tidak berlangsung lama, hanya sekitar satu minggu, pemberontakan itu sudah dipatahkan oleh pasukan pemerintah kolonial. Sementara itu, ketika Alimin bertemu dengan Stalin di Moskow, ternyata pemimpin komunis “dunia” itu juga tidak setuju dengan rencana pemberontakan PKI diNederlandsch-Indie. Berita ketidaksetujuan Stalin itu tidak sempat disampaikan Alimin kepada rekan-rekannya di Nederlandsch-Indie, karena sebelum tiba kembali di Jawa, pemberontakan telah dilakukan. Dengan itu, sebuah langkah revolusioner telah gagal mencapai tujuannya.
Perlu diberi catatan di sini  pemberontakan PKI itu merupakan ‘penyimpangan’ dari gerakan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial di Nederlandsch-indie pada periode Pergerakan Nasional yang menggunakan strategi otak ‘tanpa’ kekerasan fisik. Walaupun perlu juga dicatat bahwa secara doktriner pemberontakan PKI yang “saya anggap” menyimpang dari pola umum perlawanan Pergerakan Nasional itu, tentu bukanlah hal yang memang tidak boleh dilakukan oleh PKI. Bukankah setiap partai komunis mengorganisasikan rakyat untuk kemudian melakukan pemberontakan fisik, merupakan jalan revolusioner untuk merebut kekuasaan? Jadi secara doktriner, pemberontakan PKI pada tahun 1926/1927 itu, “mungkin merupakan langkah coba-coba” untuk mengukur pengaruh dan kekuatan yang telah mereka peroleh dan miliki di tengah-tengah masyarakat negerinya yang berstatus jajahan itu, tetapi karena kekuatan yang tidak terorganisasikan dengan baik dan tidak seimbang –dalam arti kekuatan kolonial lebih kuat dengan persiapan yang jauh lebih baik– maka hasil dari langkah “coba-coba” itu, tidak saja gagal, melainkan juga berakhir tragis dan berakibat “melumpuhkan”, karena yang dianggap terlibat dalam pemberontakan itu mengalami hukuman pembuangan ke Digul, sebuah tempat amat terpencil, yang sering digambarkan sebagai tempat “yang mengerikan”!
Dari Semaun ‘Berpindah’ ke tangan Muso
Setelah pemberontakan PKI 1926/1927 sampai dengan proklamasi kemerdekaan, partai Marxis-Leninis ini telah menjadi partai terlarang. Dengan demikian, PKI menjadi partai yang bersifat “illegal” dan “bergerak di bawah tanah”. Para pemimpinnya pun sebagian lari ke luar negeri. Semaun berhasil melarikan diri ke Moskow, ibukota Uni Sovyet. Demikian pula halnya dengan Muso dan Tan Malaka. Walaupun para pemimpin PKI tetap melakukan gerakan perlawanan di bawah tanah, namun efektivitas keberhasilannya tidak dapat diperkirakan. Pada periode 1930-an, pimpinan gerakan Komunis Internasional menempuh garis Dimitrov, yaitu garis yang tidak melakukan tindakan-tindakan revolusioner terhadap kekuasaan setempat. Tampaknya PKI juga menerima garis itu. PKI tetap tidak dapat berbuat lebih banyak untuk menghadapi kekuasaan kolonial Belanda di Nederlandsch-Indie.
Dalam perkembangannya kemudian, kepemimpinan PKI setelah pemberontakan PKI di Banten dan Silungkang juga mengalami perubahan. Para pemimpin PKI di pengasingan tampak pula telah mengalami perubahan. Tampaknya, peranan dan kepemimpinan Semaun telah “berpindah” ke tangan Muso. Pada periode 1927-1942, PKI tidak dapat melakukan kegiatan yang dapat “mengganggu ketentraman” pemerintah kolonialis di Nederlandsch-Indie. Demikian pula selama pemerintahan fasisme Jepang yang memang tidak memungkinkan organisasi-organisasi politik untuk bergerak. Hal itu dikarenakan kebijakan pemerintah fasis Jepang yang melarang semua aktivitas organisasi/partai politik.
Memasuki bulan Agustus 1945, terjadilah situasi yang melahirkan perubahan mendasar-radikal di Indonesia. Pada 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta –atas nama bangsa Indonesia– memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia dan pada 18 Agustus 1945 PPKI menetapkan pembukaan dan UUD negara, memilih Presiden dan Wakil Presiden. Dengan itu, bangsa Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya, membentuk dan menegakkan sebuah negara baru yang bernama Republik Indonesia. Kekuatan-kekuatan politik pun kembali mengorganisasikan diri, tampil kembali ke permukaan dan bergerak secara legal. Demikian pula halnya dengan partai politik Marxis-Leninis, PKI. Ia tampil kembali menjalankan peranan politiknya sebagaimana organisasi politik lainnya.
Pada periode Mempertahankan Kemerdekaan, 1945-1949, karena keangkuhan kolonialis Belanda yang tidak bersedia mengakui proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia dan negara yang telah ditegakkan ini, terjadi pelbagai pertentangan di antara kekuatan-kekuatan politik di dalam negeri Indonesia. Di samping itu juga, konstalasi politik dunia yang berubah dengan berakhirnya Perang Dunia II, muncul dua kekuatan ideologi yang saling bertentangan dan saling berebut pengaruh. Kedua kekuatan ini ialah kekuatan ideologi liberalis-kapitalis yang disebut dengan blok Barat-kapitalis yang dipimpin Amerika Serikat (AS) bersama dengan negara-negara Eropa Barat berhadapan dengan kekuatan komunis-sosialis yang dipimpin Uni Sovyet yang didukung negara-negara Eropa Timur yang disebut dengan blok Timur-sosialis. Karena itu, ketika kita memperbincangkan pelbagai masalah yang dihadapi secara internal dalam negeri, kita tidak dapat mengabaikan kemungkinan adanya pengaruh dari konflik antara dua kekuatan ideologis dunia itu. Kedua kekuatan ini, blok Barat dan blok Timur, memang melahirkan perang baru dengan sebutan Perang Dingin yang berlangsung pada 1945-1985. Dalam periode itu, negara-negara berkembang yang pada umumnya baru melepaskan diri dari belenggu penindasan negara-negara kolonialis –termasuk Republik Indonesia– sangat dipengaruhi oleh arus kedua kekuatan yang memang saling berebut pengaruh itu.
Pada periode awal kemerdekaan, 1945-1949, bangsa-negara Republik Indonesia tidak hanya harus menghadapi sejumlah permasalahan dan pertentangan di dalam negeri, tetapi juga harus menghadapi usaha tarikan untuk berada dalam pengaruh salah satu kekuatan blok besar itu. Hal ini telah kita hadapi sejak awal kemerdekaan pada bulan Agustus 1945 itu. Salah satu peristiwa yang sangat kuat tarikan ideologisnya itu ialah “pemberontakan” PKI di Madiun. Pemberontakan PKI di Madiun itu terjadi pada 1948. Setelah PD II yang kemudian berganti menjadi Perang Dingin itu, tampaknya kekuatan komunis melakukan gerakan ofensif untuk memperluas wilayah pengaruhnya. Di tengah-tengah situasi itu, langkah-gerak PKI di Indonesia pun tidak dapat melepaskan diri dari konflik dengan kaum Marxis yang lain, yaituMarxis-Trotzkys. Sebenarnya, yang berhadapan pada pemberontakan di Madiun itu antara lain ialah kekuatan PKI yang menyebut dirinya Stalinis dengan Murba yang Trotzkys. Seperti kita ketahui, pemberontakan PKI di Madiun pada 1948 itu tidak berlangsung lama karena berhasil diakhiri oleh Angkatan Perang Republik Indonesia. Di samping itu, juga karena sikap Presiden Soekarno yang sangat tegas dan ditunjukkan dengan meminta masyarakat untuk memberikan pilihannya, yaitu pilih Soekarno-Hatta atau Muso/PKI. Tentu saja wibawa Soekarno dan Hatta jauh dan jauh lebih besar dari Muso dan Amir Syarifuddin. Selanjutnya, sejumlah pengamat dan ahli menempatkan pemberontakan PKI Madiun itu di dalam kerangka Perang Dingin.
Terlepas dari apakah pemberontakan PKI di Madiun itu memang ada dalam kerangka skenario Perang Dingin atau memang karena ”murni” konflik internal kekuatan-kekuatan ideologi dan politik Indonesia, yang pasti pemberontakan PKI di Madiun itu menunjukkan adanya “benih besar” konflik yang telah tampak pada tahun-tahun awal kemerdekaan bangsa-negara Indonesia. Luka yang telah membekas pada diri mereka yang terlibat tampak tidak mudah –untuk tidak menyatakan “tidak mungkin”– untuk dihilangkan. Bahkan –ini masih terus terlihat sampai sekarang– tampak bekas-bekas luka itu tetap menjadi bibit-bibit besar yang menjadi kenangan, tidak saja menjadi kenangan tragis, melainkan juga sebagai tragedi yang menanamkan dendam yang tetap melekat di dalam diri!
Dengan pemberontakan di Madiun pada bulan-bulan akhir tahun 1948 itu, PKI telah memberi tanda babak baru kepemimpinan partai mereka, yaitu dengan tampilnya “generasi baru” yang dipimpin oleh Dipa Nusantara (DN) Aidit, seorang kader muda kelahiran Sumatera, kepulauan Bangka-Belitung.
PKI: Dari Konflik ke Konflik untuk Mempertahankan Keberadaannya
Ketika memasuki tahun 1950, PKI tampil sebagai salah satu partai “kiri” yang mampu menunjukkan kegiatan-kegiatannya sebagai partai yang terorganisir dengan baik. Itu tampak dalam pelbagai kegiatan dan pernyataan politik pimpinannya. Tetapi sebagai negara yang baru saja mendapatkan “pengakuan kedaulatan“ dari negara bekas penjajahnya melalui KMB, negara ini masih harus “belajar” menjalankan pemerintahannya sendiri dan bekerja berdasar prinsip-prinsip demokrasi. Dalam kaitan itu, pada tahun 1951, PKI melakukan pelbagai kegiatan revolusioner. Oleh pemerintahan di bawah kepemimpinan PM Soekiman, PKI dianggap melanggar peraturan pemerintah. Sejalan dengan itu, pemerintah melakukan penangkapan dan penggeledahan terhadap para tokoh dan pemimpin PKI. Tindakan itu dikenal denganrazia Soekiman. Dengan razia Soekiman itu, dapat dikatakan bahwa para pemimpin PKI untuk sementara ”bergerak di bawah tanah”. Tetapi setelah pemerintahan  Soekiman digantikan oleh pemimpin partai lain, PNI, maka para pemimpin PKI dapat bernafas dengan lebih lega, karena razia terhadap pemimpin-pemimpin PKI tidak berlanjut.

Peristiwa Pemberontakan PKI Madiun 1948


Peristiwa_madiunPERISTIWA Madiun (Madiun Affairs) adalah sebuah konflik kekerasan atau situasi chaosyang terjadi di Jawa Timur bulan September – Desember 1948. Peristiwa ini diawali dengan diproklamasikannya negara Soviet Republik Indonesia pada tanggal 18 September 1948 di Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan saat itu, Amir Sjarifuddin.
Pada saat itu hingga era Orde Lama peristiwa ini dinamakan Peristiwa Madiun (Madiun Affairs), dan tidak pernah disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Baru di era Orde Baru peristiwa ini mulai dinamakan pemberontakan PKI.
Bersamaan dengan itu terjadi penculikan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Madiun, baik itu tokoh sipil maupun militer di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh masyarakat dan agama.
Masih ada kontroversi mengenai peristiwa ini. Sejumlah pihak merasa tuduhan bahwa PKI yang mendalangi peristiwa ini sebetulnya adalah rekayasa pemerintah Orde Baru (dan sebagian pelaku Orde Lama).
Tawaran bantuan dari Belanda
Pada awal konflik Madiun, pemerintah Belanda berpura-pura menawarkan bantuan untuk menumpas pemberontakan tersebut, namun tawaran itu jelas ditolak oleh pemerintah Republik Indonesia. Pimpinan militer Indonesia bahkan memperhitungkan, Belanda akan segera memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan serangan total terhadap kekuatan bersenjata Republik Indonesia. Memang kelompok kiri termasuk Amir Syarifuddin Harahap, tengah membangun kekuatan untuk menghadapi Pemerintah RI, yang dituduh telah cenderung berpihak kepada AS.
Latar belakang
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, muncul berbagai organisasi yang membina kader-kader mereka, termasuk golongan kiri dan golongan sosialis. Selain tergabung dalam Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), Partai Sosialis Indonesia (PSI) juga terdapat kelompok-kelompok kiri lain, antara lain Kelompok Diskusi Patuk, yang diprakarsai oleh Dayno, yang tinggal di Patuk, Yogyakarta. Yang ikut dalam kelompok diskusi ini tidak hanya dari kalangan sipil seperti D.N. Aidit, Syam Kamaruzzaman, dll., melainkan kemudian juga dari kalangan militer dan bahkan beberapa komandan brigade, antara lain Kolonel Joko Suyono, Letkol Sudiarto (Komandan Brigade III, Divisi III), Letkol Soeharto (Komandan Brigade X, Divisi III. Kemudian juga menjadi Komandan Wehrkreis III, dan menjadi Presiden RI), Letkol Dahlan, Kapten Suparjo, Kapten Abdul Latief dan Kapten Untung Samsuri.
Pada bulan Mei 1948 bersama Suripno, Wakil Indonesia di Praha, Musso, kembali dari Moskow, Rusia. Tanggal 11 Agustus, Musso tiba di Yogyakarta dan segera menempati kembali posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak politisi sosialis dan komandan pasukan bergabung dengan Musso, antara lain Mr. Amir Sjarifuddin Harahap, dr. Setiajid, kelompok diskusi Patuk, dll.
Aksi saling menculik dan membunuh mulai terjadi, dan masing-masing pihak menyatakan, bahwa pihak lainlah yang memulai. Banyak perwira TNI, perwira polisi, pemimpin agama, pondok pesantren di Madiun dan sekitarnya yang diculik dan dibunuh.
Tanggal 10 September 1948, mobil Gubernur Jawa Timur RM Ario Soerjo (RM Suryo) dan mobil 2 perwira polisi dicegat massa pengikut PKI di Ngawi. Ketiga orang tersebut dibunuh dan mayatnya dibuang di dalam hutan. Demikian juga dr. Muwardi dari golongan kiri, diculik dan dibunuh. Tuduhan langsung dilontarkan, bahwa pihak lainlah yang melakukannya. Di antara yang menjadi korban juga adalah Kol. Marhadi yang namanya sekarang diabadikan dengan Monumen yang berdiri di tengah alun-alun Kota Madiun dan nama jalan utama di Kota Madiun.
Kelompok kiri menuduh sejumlah petinggi Pemerintah RI saat itu, termasuk Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta telah dipengaruhi oleh Amerika Serikat untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia, sejalan dengan doktrin Harry S. Truman, Presiden AS yang mengeluarkan gagasanDomino Theory. Truman menyatakan, bahwa apabila ada satu negara jatuh ke bawah pengaruh komunis, maka negara-negara tetangganya akan juga akan jatuh ke tangan komunis, seperti layaknya dalam permainan kartu domino. Oleh karena itu, dia sangat gigih dalam memerangi komunis di seluruh dunia.
Kemudian pada 21 Juli 1948 telah diadakan pertemuan rahasia di hotel “Huisje Hansje” Sarangan, dekat Madiun yang dihadiri oleh Soekarno, Hatta, Sukiman, Menteri Dalam negeri, Mohamad Roem (anggota Masyumi) dan Kepala Polisi Sukanto, sedangkan di pihak Amerika hadir Gerald Hopkins (penasihat politik Presiden Truman), Merle Cochran (pengganti Graham yang mewakili Amerika dalam Komisi Jasa Baik PBB). Dalam pertemuan Sarangan, yang belakangan dikenal sebagai “Perundingan Sarangan”, diberitakan bahwa Pemerintah Republik Indonesia menyetujui Red Drive Proposal (proposal pembasmian kelompok merah). Dengan bantuan Arturo Campbell, Sukanto berangkat ke Amerika guna menerima bantuan untuk kepolisian RI. Campbell yang menyandang gelar resmi Atase Konsuler pada Konsulat Jenderal Amerika di Jakarta, sesungguhnya adalah anggota Central Intelligence Agency – CIA
Diisukan, bahwa Sumarsoso tokoh Pesindo, pada 18 September 1948 melalui radio di Madiun telah mengumumkan terbentuknya Pemerintah Front Nasional bagi Karesidenan Madiun. Namun Soemarsono kemudian membantah tuduhan yang mengatakan bahwa pada dia mengumumkan terbentuknya Front Nasional Daerah (FND) dan telah terjadi pemberontakan PKI. Dia bahwa FND dibentuk sebagai perlawanan terhadap ancaman dari Pemerintah Pusat
Pada 19 September 1948, Presiden Soekarno dalam pidato yang disiarkan melalui radio menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk memilih: Musso-Amir Syarifuddin atau Soekarno-Hatta. Maka pecahlah konflik bersenjata, yang pada waktu itu disebut sebagai Madiun Affairs (Peristiwa Madiun), dan di zaman Orde Baru terutama di buku-buku pelajaran sejarah kemudian dinyatakan sebagai pemberontakan PKI Madiun.
Akhir konflik
Kekuatan pasukan pendukung Musso digempur dari dua arah: Dari barat oleh pasukan Divisi II di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel Sungkono, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal 19 September 1948, serta pasukan Mobiele Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin.
Panglima Besar Sudirman menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI dapat menumpas pasukan-pasukan pendukung Musso dalam waktu 2 minggu. Memang benar, kekuatan inti pasukan-pasukan pendukung Musso dapat dihancurkan dalam waktu singkat.
Tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat dikuasai seluruhnya. Pasukan Republik yang datang dari arah timur dan pasukan yang datang dari arah barat, bertemu di Hotel Merdeka di Madiun. Namun pimpinan kelompok kiri beserta beberapa pasukan pendukung mereka, lolos dan melarikan diri ke beberapa arah, sehingga tidak dapat segera ditangkap.
Baru pada akhir bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung Musso tewas atau dapat ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Mr. Amir Syarifuddin Harahap, mantan Perdana Menteri RI, dieksekusi pada 20 Desember 1948, atas perintah Kol. Gatot Subroto.