Tampilkan postingan dengan label RPP DAN SILABUS KARAKTER BANGSA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label RPP DAN SILABUS KARAKTER BANGSA. Tampilkan semua postingan

Prinsip Pengembangan Silabus

Silabus adalah rencana pembelajaranpada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakupstandar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar.
Adapun Prinsip Pengembangan Silabus :
1 Ilmiah
Keseluruhan materi dan kegiatan yang menjadi muatan dalam silabus harus benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. 
2 Relevan
Cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran dan urutan penyajian materi dalam silabussesuai dengan tingkat perkembangan fisik, intelektual, sosial, emosional, dan spiritualpeserta didik.
3 Sistematis 
Komponen-komponen silabus saling berhubungan secara fungsional dalam mencapaikompetensi.
4 Konsisten
Adanya hubungan yang konsisten (ajeg, taat asas) antara kompetensi dasar, indikator, materi pokok/pembelajaran, pengalaman belajar, sumber belajar, dan sistem penilaian.
5 Memadai
Cakupan indikator, materi pokok/pembelajaran, pengalaman belajar, sumber belajar, dan sistem penilaian cukup untuk menunjang pencapaian kompetensi dasar.
6 Aktual dan Kontekstual
Cakupan indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber belajar, dan sistem penilaian memperhatikan perkembangan ilmu, teknologi, dan seni mutakhir dalam kehidupan nyata, dan peristiwa yang terjadi.
7 Fleksibel
Keseluruhan komponen silabus dapat mengakomodasi keragaman peserta didik, pendidik, serta dinamika perubahan yang terjadi di sekolah dan tuntutan masyarakat.
8 Menyeluruh
Komponen silabus mencakup keseluruhan ranah kompetensi (kognitif, afektif, psikomotor).

MAKNA LAMBANG GARUDA PANCASILA DAN PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA



Pendahuluan


Bung Karno pernah berpesan kepada kita bangsa Indonesia, bahwa tugas berat untuk mengisi kemerdekaan adalah membangun karakter bangsa. Apabila pembangunan karakter bangsa ini tidak berhasil, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli (.H. Soemarno Soedarsono, 2009: sampul). Pernyataan Bung Karno ini menunjukkan pentingnya pendidikan dan pembangunan karakter demi tegak dan kokohnya jati diri bangsa agar mampu bersaing di dunia global.

Karakter dan jati diri bangsa Indonesia sebenarnya lahir dan terbentuk melalui proses sejarah yang cukup panjang, sejak zaman neolitikum, zaman Hindu Budha, era perkembangan kerajaan-kerajaan Islam, sampai kemudian datangnya bangsa asing yang menguasai masyarakat/bangsa di wilayah Kepulauan Nusantara ini. Pada periode-periode itu, beratus-ratus tahun lamanya, masyarakat telah membangun kehidupan atas dasar spiritualisme, kegotongroyongan, musyawarah untuk mufakat, toleransi, saling menghargai dan tolong menolong antarsesama, ditambah etos juang yang tinggi melalui berbagai perlawanan untuk menemukan jati dirinya sebagai bangsa, dan ini terus berlanjut pada masa pergerakan nasional. Masyarakat ini terus berjuang untuk mewujudkan sebagai bangsa merdeka, mandiri atas dasar prinsip yang tersimpul dalam padangan dan falsafah hidup bangsa. Setelah melalui proses panjang itu maka sampailah kepada saat yang berbahagia untuk menemukan jati diri sebagai bangsa setelah terjadinya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, dengan berbagai nilai dan ciri khas, sifat dan karakter bangsa yang berbeda dengan bangsa lain. Oleh para pendiri negara, nilai, ciri khas dan karakter itu dirumuskan secara simpel dalam lima prinsip yang disebut Pancasila. Pancasila inilah yang menjadi karakter dan kepribadiannya bangsa Indonesia.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini yang kebetulan berada di era global, bangsa Indonesia harus memiliki visi prospektif dan pandangan hidup yang kuat agar tidak didekte, dan diombang-ambingkan oleh kekuatan asing. Visi pembangunan jangka panjang tahun 2005-2025: “Indonesia yang maju, mandiri, adil dan makmur,” memerlukan landasan yang kokoh, dan suasana yang kondusif. Namun kondisi yang kondusif dan landasan yang kokoh itu kalau dikaitkan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara di lingkungan sebagian masyarakat terutama kaum remajanya, masih mengkhawatirkan. Kita menghadapi kondisi kehidupan dan masalah sosio kebangsaan yang meprihatinkan. Kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini ternyata belum seperti yang dicita-citakan. Peristiwa politik tahun 1998 yang telah mengakhiri kekuasaan Orde Baru dengan berbagai euforianya ternyata masih menyisakan luka mendalam di berbagai aspek kehidupan. Berbagai bentuk pelanggaran masih terus terjadi. Tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM, perilaku amoral dan runtuhnya budi pekerti luhur, semau gue dan tidak disiplin, anarkhisme dan ketidaksabaran, korupsi, ketidakjujuran dan budaya nerabas, rentannya kemandirian dan jati diri bangsa, terus menghiasai kehidupan bangsa kita. (Sardiman AM, 2010: 148). Semangat kebangsaan kita turun tajam dan di mata masyarakat internasional seperti kita telah kehilangan karakter yang selama beratus-ratus tahun bahkan berabad-abad kita bangun. Pancasila yang merupakan dasar negara dan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menjadi tidak aplikatif. Nilai-nilai Pancasila yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia menjadi terabaikan. Lambang ataunn simbol-simbol kenegaraan yang sebenarnya menjadi instrumen penting untuk menumbuhkan kecerdasan emosional, mempertajam nurani, mengembangkan motivasi dan semangat serta menggerakkan rasa cinta kepada tanah air menjadi terlupakan. Terkait dengan itu, pada tulisan singkat ini ingin menelaah tajuk: “Lambang Garuda Pancasila dan Pembentukan Karakter Bangsa.”.

Nilai-nilai pada Lambang Garuda Pancasila

Keberadaan lambang Garuda Pancasila disahkan dalam sidang Dewan Menteri Republik Indonesia (RI) yang dilaksanakan pada tanggal 10 Juli 1951. Lambang ini diciptakan oleh Panitia Lambang Negara RI dengan susunan, Ketua: Prof. Mr. Muhammad Yamin, dengan anggota: Ki Hadjar Dewantara, M.A. Pellaupessy, Muhammad Natsir, dan Prof. Dr. R.M.Ng. Purbotjaroko (Pariata Westra dkk., 1995: 175).
Lambang Garuda Pancasila merupakan lambang negara yang begitu lengkap. Lambang ini terdiri atas kumpulan lambang-lambang yang masing-masing memiliki arti dan maksud baik tersurat maupun yang tersirat. Namun demikian masing-masing bagian lambang itu tidak bendiri sendiri-sendiri, tetapi merupakan satu kesatuan sebuah lambang Garuda Pancasila yang utuh. Berikut ini akan dijelaskan makna dari lambang Garuda Pancasila (lih. Pariata Westra, 1995: 175-183).

1. Burung Garuda


Kerangka dasar lambang Garuda Pancasila berujud Burung Garuda. Burung Garuda adalah raja dari segala burung. Burung Garuda juga dikenal sebagai Burung Sakti Elang Rajawali. Terkait dengan ini, Burung Garuda melambang kekuatan dan gerak yang dinamis yang terlihat dari sayapnya yang mengembang, siap terbang ke angkasa. Burung Garuda dengan sayap mengembang siap terbang ke angkasa, melambangkan dinamika dan semangat untuk menjunjung tinggi nama baik bangsa dan negara.

2. Seloka, bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika


Kedua kaki Burung Garuda yang kokoh mencengkeram pita putih yang bertuliskan seloka yang berbunyi: Bhinneka Tunggal Ika. Seloka ini diambil dari buku buku Sutasoma, karangan Empu Tantular. Bhinneka Tunggal Ika, berarti ”berbeda-beda tetapi satu jua”. Dalam konteks keindonesiaan, kata-kata itu memiliki makna yang sangat mendalam. Negara Indonesia terdiri atas pulau-pulau yang dihuni oleh berbagai suku bangsa dengan adat istiadat dan bahasanya sendiri-sendiri. Bangsa Indonesia juga menganut berbagai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dengan realitas itu menunjukkan bahwa kehidupan di Indonesia begitu beragam, terdapat berbagai perbedaan di antara yang satu dengan yang lain. Namun kenyataannya, Indonesia merupakan negara kesatuan, satu nusa, satu bangsa, dan menjunjung satu bahasa persatuan, Indonesia. Bangsa Indonesia itu juga satu jiwa dan satu pandangan hidup. Keadaan yang berbeda-beda tetapi dapat bersatu ini, berarti masing-masing pihak ada toleransi, ada kegotongroyongan, ada nilai saling harga menghargai dan hormat menghormati, sehingga tercipta persatuan dan kesatuan.

3. Warna


Warna pokok dari Burung Garuda, adalah kuning emas. Warna kuning emas melambangkan keagungan. Bangsa Indonesia senantiasa menjunjung tinggi martabat bangsa yang bersifat agung dan luhur. Bangsa Indonesia diharapkan menjadi bangsa yang bermartabat, besar (disegani dan dihormati bangsa lain), dan semua warganya berbudi pekerti luhur. Warna merah putih pada perisai seperti halnya warna bendera Sang Saka Merah Putih, merah melambangkan keberanian dan putih berati kesucian. Merah putih juga melambangkan kebenaran dan kejujuran. Merah juga melambangkan semangat juang yang tak kunjung padam. Warna hijau pada pohon beringin dan kelopak/tangkai padi dan kapas bermakna kesuburan dan harapan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang makmur dan sejahtera.

4. Jumlah Bulu Burung Garuda


Jumlah bulu yang berada pada Garuda Pancasila terkait dengan kelahiran NKRI. Bulu pada sayap kanan dan kiri, masing-masing berjumlah 17 helai (menunjukkan tanggal 17); bulu ekor berjumlah delapan helai (menunjukkan bulan 8/Agustus. Kemudian di bawah kalung perisai yang menghubungkan dengan ekor terdapat bulu berjumlah 19 dan bulu pada leher berjumlah 45 (menunjukkan angka tahun 1945). Angka-angka yang menunjuk tanggal 17 Agustus 1945 ini bermakna historis untuk membangun proses penyadaran bagi setiap warga negara Indonesia agar menghargai waktu dan selalu mengingat sejarahnya. Orang yang melupakan sejarahnya selamanya tidak akan pernah dewasa.

5. Perisai

Perisai merupakan lambang perjuangan dan perlindungan, karena perisai sering dibawa ke medan perang oleh para prajurit untuk melindungi diri dari serangan musuh. Garis melintang yang membagi perisai menjadi ruang atas dan bawah melambangkan garis Katulistiwa yang memang membelah Kepulauan Indonesia. Perisai yang merupakan lambang perjuangan dan perlindungan ini terbagi atas lima bagian, yang masing-masing melambangkan sila-sila dalam Pancasila.

a. Perisai kecil yang terletak di tengah-tengah perisai besar. Di tengah-tengah perisai kecil terdapat gambar bintang untuk melambangkan sila pertama: ”Ketunanan Yang Maha Esa”. Ini mengandung maksud agar warga negara Indonesia terus meningkatkan keimanan dan ketakwaannya atas dasar agama dan kepercayaan masing-masing. Hal ini sesuai dengan pandangan hidup dan perpektif kehidupan berbangsa yang bersifat religius. Nilai-nilai yang dikembangkan untuk membangun warga bangsa Indonesia yang bermartabat, yakni nilai keimanan dan ketakwaan, toleransi dan kerukunan antar umat beragama, saling hormat menghormati.

b. Gambar rantai yang berwarna kuning emas, menunjukkan sila kedua: ”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Rantai ini terdiri atas dua macam yakni yang berbentuk persegi empat dan berbentuk cincin. Hal ini melambangkan makhluk yang terdiri pria dan wanita yang saling sambung menyambung. Bangsa Indonesia menyadari bahwa manusia di dunia ini sama antara yang satu dengan yang lain, tidak bangsa yang lebih tinggi kedudukannya dibanding bangsa lain. Oleh karena itu, antarmanusia dan antarbangsa harus saling kasih sayang, saling mencintai tidak semena-mena, tenggang rasa, saling harga menghargai, dan saling tolong menolong, membela kebenaran dan keadilan (Bahan Penataran UUD-45, P-4 dan GBHN, 1988).


c. Pohon Beringin, melambangkan sila ketiga: ”Persatuan Indonesia”. Pohon Beringin yang lebat daunnya, hijau, rimbun sehingga bisa digunakan untuk berteduh dan berlindung siapa saja. Nilai-nilai yang termaktub di dalam lambang ini misalnya persatuan dan kesatuan, saling melindungi, rela berkorban, rasa cinta pada tanah air, bangga sebagai bangsa Indonesia sekaligus bangga dengan budaya bangsanya.

d. Kepala Banteng, melambangkan sila keempat: ”Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.” Rakyat dalam hal ini merupakan komunitas yang masing-masing individu memiliki kedudukan yang sama, memiliki kewajiban dan hak yang sama. Inilah inti dari kehidupan demokrasi, yang di Indonesia memiliki ciri yang khas, yakni musyawarah untuk mufakat, yang dijalankan secara jujur dan tanggung jawab. Nilai-nilai yang terkandung pada sila keempat ini, antara laian: demokrasi, persamaan, mengutamakan kepentingan negara, tidak memaksakan kehendak, musyawarah untuk mufakat, gotong royong dan semangat kekeluargaan, kesantunan dalam menyampaikan pendapat, jujur dan tanggung jawab.

e. Padi dan kapas, melambangkan sila kelima: ”Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Sila ini memberikan semangat dan motivasi bagi pimpinan dan seluruh rakyat Indonesia untuk mengusahakan kemakmuran dan kesejateraan yang merata (adil) bagi bangsa Indonesia. Padi melambangkan pangan dan kapas melambangkan sandang. Dengan lambang ini diharapkan semua rakyat Indonesia dapat menikmati kemakmuran, kesejahteraan, cukup pangan, cukup sandang. Oleh karena itu, sila kelima ini sekaligus memberikan semangat dan motivasi para pimpinan dan semua unsur masyarakat untuk mengusahakan kemakmurn dan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah prinsip keadilan sosial yang perlu diwujudkan sesuai dengan amanat sila kelima Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya antara lain: keadilan, gotong-royong dan saling tolong menolong, tanggung jawab, kerja keras dan kemandirian.
Di samping hal-hal yang dijelaskan di atas, secara simbolik filosofis, karakter atau ciri Lambang Garuda Pancasila itu diciptakan sesuai dengan jiwa, kebudayaan, tradisi dan nilai-nilai agama yang berkembang di Indonesia. Dalam konteks ini Lambang Garuda Pancasila itu sudah melambangkan kebaikan/keutamaan. Sebagai contoh Burung Garuda itu menghadap kekanan. Di lingkungan masyarakat Indonesia sudah menjadi pandangan bahkan mentradisi bahwa kanan itu sesuai yang baik. Oleh karena itu, memulai sesuatu yang baik sudah seharusnya dimulai dari kanan, entah tangan kanan, kaki kanan (kecuali sesuatu keadaan yang khusus seperti kidal). Mau masuk rumah, atau masuk ruang ibadah, dimulai kaki kanan, makan dengan tangan kanan, Malaikat yang mencatat perilaku baik manusia ada pada bahu kanan manusia yang bersangkutan. Memahami uraian mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam lambang Garuda Pancasila yang berintikan nilai-nilai Pancasila, jelas merupakan instrumen yang sangat tepat untuk membangun karakter bangsa Indonesia. Berdasarkan nilai-nilai tersebut dapat dideskripsikan karakter bangsa Indonesia antara lain sebagai beriku: (1) Menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya, sehingga menjadi insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Y.M.E; (2) berlaku adil, jujur dan bertanggung jawab; (3) kasih sayang dan saling tolong menolong; (4) beradap dan mematuhi norma-norma yang berlaku dalam masyarakat; (5) memupuk sikap toleransi, saling harga-menghargai, dan hormat-menghormati; (6) menghormati perbedaan dan mengembangkan kebersamaan, persatuan dan kesatuan; (7) bersikap positif kepada bangsa dan negara, rela berkorban dan cinta pada tanah air; (8) mencintai dan melestarikan budaya bangsa sendiri, menjaga milik negara, dan menghormati budaya dan milik bangsa lain; (9 terbuka terhadap perubahan atas dasar nilai dan norma yang dimilikinya; (10) mengembangkan semangat kekeluargaan dan gotong royong, (11) demokratis, mengedepankan musyawarah untuk mencapai mufakat; (12) memiliki semangat juang yang tinggi, kerja keras dan mengembangkan kemandirian.
Karakter atau nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia yang demikian itu jelas sebagai karakter yang unggul dan kompetitif. Tetapi sayangnya nilai-nilai luhur itu “seolah sirna” ditelan oleh ganasnya pragmatisme, sekularisme dan materialisme. Secara filosofis kehidupan manusia lebih mengutamakan paradigma “memiliki” daripada “menjadi” (Erich From, 1987). Pendidikan pun larut dengan setting kekinian yang serba instan dan lupa pada esensinya sebagai investasi peradaban masa depan. Benarkah kehidupan bangsa Indonesia sedang mengarah kepada situasi yang pernah diperingatkan Bung Karno bahwa apabila kita gagal membangun karakter bangsa, maka kita akan menjadi bangsa kuli, bangsa yang tidak memiliki kemandirian dan akan didekte oleh bangsa lain?
Sikap dan Langkah
Marilah pertanyaan tersebut kita renungkan, kita jawab dan kita sikapi dengan sepenuh hati, kemudian melakukan langkah-langkah yang konstruktif. Karen, terlepas dari itu semua, kehidupan kita sebagai bangsa terasa mengalami dan menghadapi masalah sosio kebangsaan yang akut. Lihat saja bagaimana perilaku sebagian remaja dan pelajar , serta masyarakat kita yang cenderung tidak sabar, anarkhis, semau gue, wakil rakyat yang tidak tertib, pemimpin yang tidak cukup menjadi teladan, nasionalisme yang mulai luntur, korupsi yang terus meraja lela, dan seterusnya. Menteri Pendidikan Nasional kehidupan sebagian remaja dan masyarakat kita bagaikan kehidupan circus (Kedaulatan Rakyat, 3 Mei 2010: 1), yang menurut Presiden SBY sebagian masyarakat kita terlanda tragedi akhlak (Media Indonesia 11 Juli, 2010: 1). Wakil Presiden juga begitu khawatir dengan perilaku sebagian generasi muda yang cenderung negatif (Suluh Indonesia, 15 Juli 2010: 1) Itulah sebabnya sangatlah tepat kalau pemerintah mencanangkan dan melaksanakan pendidikan budaya dan karakter bangsa, yang intinya mengembalikan proses pendidikan sebagaimana hakikatnya. Artinya hakikat pendidikan yang sesungguhnya adalah pendidikan kepribadian atau pendidikan karakter itu sendiri. Pendidikan karakter itu dapat dikatakan sebagai upaya untuk mempromosikan dan menginternalisasikan nilai-nilai utama, atau nilai-nilai positif kepada warga masyarakat agar menjadi warga bangsa yang baik. Pendidikan karakter bangsa merupakan suatu proses pembudayaan dan transformasi nilai-nilai Pancasila untuk melahirkan insan atau warga negara yang baik, warga negara yang beradab dan bermartabat. Karakter bangsa adalah sebuah keunikan suatu komunitas yang mengandung perekat kultural bagi setiap warga negara. Karakter bangsa menyangkut perilaku yang mengandung core values dan nilai-nilai yang berakar pada filosofi Pancasila, dan simbol-simbol keindonesiaan seperti: Sang Saka Merah Putih, semboyan Bhineka Tunggal Ika, lambang Garuda Pancasila, Lagu Indonesia Raya (lih. ALPTKI, 2009: 3). Dengan demikian pendidikan karakter merupakan proses pembudayaan dan pemanusiaan. Sebab kegiatan pendidikan adalah proses untuk membangun kepribadian dan mendewasakan diri peserta didik menjadi manusia yang seutuhnya, baik jasmani maupun ruhani, sehingga pendidikan karakter itu sebenarnya dapat menjadi obat penyakit sosial yang sedang melanda sebagian masyarakat Indonesia (Doni Koesoemo A., 2007: 116).
Pendidikan yang berdasarkan nilai-nilai Pansacila, dengan startegi P-4nya sebenarnya langkah yang tepat. Namun program itu akhirnya lebih merupakan strategi dan program politik dari pada program pendidikan. Pancasila dijadikan emblem dan penarik dukungan kubu Letjen Suharto sejak awal memegang tampuk pimpinan. Sekutu Presiden Suharto menunjuk diri mereka sebagai kekuatan Pancasila dan ”musuh-musuhnya” dituduh sebagai pengkhianat Pancasila (David Bourcher, 2007: 339). Pancasila mulai dikultuskan. Pelaksanaan Penataran P-4 cenderung kognitif dan menjadi medan menghafal butir-butir atau nilai-nilai dalam Pancasila. Penataran P-4 yang lalu telah belum berhasil membangun karakter bangsa. Pada hal Pancasila adalah jiwa dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Oleh karena itu, perlu reaktualisasi peran Pancasila, dilakukan gerakan untuk mentrasformasikan dan menanamkan kembali nilai-nilai Pancasila kepada peserta didik sebagai bagian dari proses pendidikan karakter anak bangsa secara nasional. Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mengembangkan pendidikan karakter bangsa, untuk membudayakan nilai-nilai Pancasila sebagaimana yang terkandung dalam lambing Garuda Pancasila tersebutantar lain sebagai berikut.
1. perlu dipikirkan kembali model pelatihan dan pembudayaan Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dipadu dengan aspek-aspek bela negara.
2. perlunya penyadaran bagi para pendidik untuk mengembalikan proses pembelajaran kepada khitahnya sebagai proses pendidikan yang sesungguhnya (hakikat pendidikan),
3. melakukan pengintegrasian nilai-nilai Pancasila dalam proses pembelajaran dengan berbagai modl dan strategi yang kontekstual, kreatif-inovatif, melakukan reinforcement dan model-model pembiasaan,
4. penciptaan lingkungan pendidikan yang kondusif-edukatif, misalnya dipajang berbagai ketentuan, prosedur, slogan-slogan yang mampu memberikan motivasi dan semangat dalam hidup dan kehidupan yang lebih berkarakter,
5. pentingnya keteladanan
6. perlu penataan berita dan penyiaran di berbagai media massa, baik di media cetak maupun elektronik, 7. perlu dilakukan kerja sama dengan orang tua/wali dan masyarakat sekitar secara intensif. Menurut Bulach (2002: 80) orang tua dan guru dapat membuat kesepakatan nilai-nilai apa saja yang perlu dikembangkan untuk membentuk karakter anaknya, dan
8. adanya political will dari pemerintah.

Penutup


Telaah mengenai lambang Garuda Pancasila ini untuk mengingatkan kepada masyarakat tentang penting dan perlunya menghargai dan menghormati simbol atau lambang-lambang negara. Pembahasan mengenai lambang Garuda Pancasila tidak lain ingin menegaskan kembali tentang eksistensi nilai-nilai Pancasila sebagai instrumen pendidikan karakter untuk membangun dan mengembangkan karakter bangsa. Pendidikan karakter bangsa di Indonesia pada hakikatnya proses pembudayaan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai keindonesiaa. Oleh karena itu, perlu revitalisasi peran Pancasila sebagai pandangan hidup dan kepribadian bangsa Indonesia.  



DAFTAR PUSTAKA


ALPTKI, 2009. Pemikiran tentang Pendidikan Karakter dalam Bingkai Utuh Sistem Pendidikan Nasional, Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.
Bourchier, David, (2007), Pancasila Versi Orde dan Asal Muasal Negara Organis, alih bahasa Agus Wahyudi, Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila UGM.
Bulach, Cletus R., 2002. “Implementing a Character Education Curriculum and Assessing Its Impact on Student Behavior”, ProQuest Education Journal, Dec.2002.
Doni Koesoema A. 2007. Pendidikan Karakter, Jakarta: Grasindo.
Erich Fromm, (1976). Memiliki dan Menjadi – Tentang Dua Modus Eksistensi (alih bahasa F. Soesilohardo), Jakarta: LP3ES
Kedaulatan Rakyat, (2010) Yogyakarta, 3 Mei 2010
Media Indonesia, (2010), Jakarta, 11 Juli 2010
Pariata Westra, (1995). Ensiklopedi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa), Yogyakarta: Pusat Penerbitan Balai Pembinaan Administrasi dan Manajemen.
Sardiman AM, (2010), “Revitalisasi Peran Pembelajaran IPS dalam Pembentukan Karakter Bangsa”, Cakrawala Pendidikan, edisi khusus 2010, Yogyakarta: ISPI bekerja sama dengan UNY
Soemarno Soedarsono, H. (2009). Karakter Mengantarkan Bangsa dari Gelab Menuju Terang. Jakarta: Kompas Gramedia.
Suluh Indonesia, (2010), 15 Juli, 2010
UUD 1945, P-4 dan GBHN, (1988), bahan Penataran P-4 pola 100 jam, Jakarta: Dirtjen Dikti, Depdiknas.

MEMBANGUN KARAKTER BANGSA

  
Manusia adalah makhluk dwi-dimensi. Ia diciptakan Tuhan dari debu tanah dan ruh Ilahi. Debu tanah membentuk jasmaninya dan ruh Ilahi yang dihembuskan-Nya itu  melahirkan daya nalar, daya kalbu, dan daya hidup. Dengan mengasah daya nalar lahir kemampuan ilmiah; dengan mengasuh  daya kalbu lahir antara lain iman dan moral yang terpuji; dan dengan menempa daya hidup tercipta semangat menanggulangi  setiap tantangan  yang dihadapi.
Jati diri manusia sebagai makhluk sempurna terletak pada pembentukan karakternya berdasar keseimbangan antar unsur-unsur kejadiannya, yang tercapai melalui pengembangan daya-daya yang dianugerahkan Tuhan itu.    Jati diri yang kuat serta sesuai dengan kemanusiaan manusia, terbentuk melalui jiwa yang kuat dan konsisten, serta memiliki integritas, dedikasi, dan loyalitas terhadap Tuhan dan sesama makhluk. 
Kendati setiap individu memiliki ego dan kepentingan-kepentingan pribadi yang dapat bertentangan dengan ego individu lain, namun mereka harus menjalin hubungan kerjasama, sebab manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat berdiri sendiri guna memenuhi kebutuhannya yang demikian banyak dan beragam. Guna langgeng dan harmonisnya jalinan kerja sama itu, maka harus dibangun atas dasar manfaat dan keuntungan bersama, bukan bertujuan  untuk menang sendiri atau kepentingan kelompok tertentu. Dari sinilah diperlukan moral, di mana seseorang mengorbankan sebagian kepentingan egonya demi mencapai tujuannya, bahkan demi membantu yang lain untuk mencapai tujuannya. Perlu dicatat bahwa jiwa manusia merasakan kenikmatan rohani melebihi kenikmatan jasmani setiap berhasil mengendalikan dorongan nafsunya, selama kalbunya masih berfungsi dengan baik. Karena itu, dalam konteks meningkatkan kesadaran moral, perhatian harus banyak tertuju kepada kalbu.  
       
PEMBENTUKAN KARAKTER
Karakter berbeda dengan temperamen. Temperamen merupakan corak reaksi seseorang terhadap berbagai rangsangan dari luar dan dari dalam. Ia berhubungan erat dengan kondisi biopsikologi seseorang, sehingga sangat  sulit diubah karena ia dipengaruhi oleh unsur hormon yang bersifat biologis. Sedang kakarter terbentuk melalui perjalanan hidup seseorang. Ia dibangun oleh pengetahuan, pengalaman, serta penilaian terhadap pengalaman itu. Kepribadian dan karakter yang baik merupakan interaksi seluruh totalitas manusia. Dalam bahasa Islam, ia dinamai rusyd. Ia bukan saja nalar, tetapi gabungan  dari nalar, kesadaran moral, dan kesucian jiwa.  
Karakter terpuji  merupakan hasil internalisasi nilai-nilai  agama dan  moral pada diri seseorang yang ditandai oleh sikap dan perilaku positif. Karena itu, ia berkaitan sangat erat dengan kalbu. Bisa saja seseorang memiliki pengetahuan yang dalam, tetapi tidak memiliki karakter terpuji. Sebaliknya, bisa juga seseorang yang amat terbatas pengetahuannya, namun karakternya amat terpuji. "Sesungguhnya dalam diri manusia ada suatu gumpalan, kalau ia baik, baiklah seluruh (kegiatan) jasad dan kalau buruk, buruk pula seluruh (kegiatan) jasad. Gumpalan itu adalah hati”. 
Memang ilmu tidak mampu menciptakan akhlak atau iman, ia hanya mampu mengukuhkannya, dan karena itu pula mengasuh kalbu sambil mengasah nalar, memperkukuh karakter seseorang.
Dalam konteks membangun moral bangsa, maka diperlukan nilai-nilai yang harus disepakati dan dihayati  bersama.
Disepakati  karena kalau setiap orang diberi kebebasan untuk menentukan nilai itu, maka seorang perampok misalnya, akan menilai bahwa mengambil hak orang lain adalah tujuan dan bahwa kekuatan adalah tolok ukur hubungan antar masyarakat. Ini tentu saja akan merugikan masyarakat bahwa pada akhirnya merugikan diri yang bersangkutan sendiri.  Tetapi di sisi lain, jika kita tidak memberi kesempatan kepada manusia untuk memilih, maka ketika itu kita telah menjadikannya bagaikan mesin  bukan lagi  manusia yang memiliki kehendak, tanggung jawab, dan cita-cita.  Manusia harus memiliki pilihan, tetapi pilihan tersebut bukan pilihan orang perorang secara individu, tetapi pilihan mereka secara kolektif. Dari sini setiap masyarakat secara kolektif bebas memilih pandangan hidup, nilai-nlai, dan tolok ukur moralnya dan hasil pilihan  itulah yang dinamai  Jati diri bangsa.  Dengan demikian, jati diri bangsa terkait erat dengan kesadaran kolektif yang terbentuk melalui proses yang panjang. Memang  rumusannya dicetuskan oleh kearifan the founding  fathers bangsa, tetapi itu mereka  gali dari masyarakat dan karena itu pula maka masyarakat menyepakatinya. Jati diri bangsa Indonesia yang kita sepakati adalah Pancasila.

Nilai-nilai yang telah disepakati itu  harus dihayati, karena hanya dengan penghayatan nilai dapat berfungsi dalam kehidupan ini.  Hanya dengan penghayatan karakter dapat terbentuk. Tidak ada gunanya berteriak sekuat tenaga atau menulis panjang lebar tentang nilai-nilai dan keindahannya, jika hanya terbatas sampai di sana. Ini bagaikan seseorang yang memuji-muji kehebatan obat, tetapi obat itu  tidak  ditelannya sehingga tidak mengalir ke seluruh tubuhnya dan tidak menjadi bagian dari dirinya. Ia harus menelannya, lalu membiarkan darah mengalirkan obat itu ke seluruh tubuhnya, serta menyentuh dan mengobati bagian-bagian dirinya yang sakit,  bahkan lebih memperkuat lagi yang telah kuat.  
Selanjutnya, karena nilai-nilai yang dihayati membentuk karakter, maka nilai-nilai yang dihayati seseorang atau satu bangsa dapat   diukur melalui karakternya. Perubahan yang terjadi pada karakter, bisa jadi karena perubahan nilai yang dianut  atas dasar kesadaran mereka, dan bisa juga karena terperdaya atau lupa  oleh satu dan lain sebab. Dari sini diperlukan nation and character building.  Membangun kembali karakter bangsa mengandung arti upaya untuk memperkuat ingatan kita tentang nilai-nilai luhur yang telah kita sepakati bersama dan yang menjadi landasan pembentukan bangsa, - dalam hal ini adalah Pancasila, disamping membuka diri untuk menerima nilai-nilai baru yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pandangan bangsa.  Inilah yang dapat menjamin keuntuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta kelestarian Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa.
Semakin matang dan dewasa satu masyarakat, semakin mantap pula pengejewan-tahan nilai-nilai yang mereka anut dalam kehidupan mereka. Masyarakat yang belum dewasa, adalah yang belum berhasil dalam pengejewantahannya dan masyarakat yang sakit adalah yang mengabaikan nilai-nilai tersebut.Penyakit bila berlangsung tanpa diobati akan mempercepat kematian masyarakat. Bila penyakit masyarakat berlanjut tanpa pengobatan, maka kematian masyarakat tidak dapat terelakan.
Bila terdapat hal-hal dalam   diri angggota masyarakat yang bertentangan dengan jati diri dan tujuan itu, maka semestinya masyarakat meluruskan hal tersebut sehingga terjadi keharmonisan antara ego setiap individu dan kepentingan masyarakat. Sekali lagi terlihat disini betapa pentingnya melaklukan apa yang diistilahkan dengan  Character and Nation Building “
Masyarakat melakukan hal tersebut melalui pendidikan.  Di sinilah terukur keberhasilan dan kegagalan pendidikan.  Karena itu pula  ukuran keberhasilan lembaga pendidikan – khususnya Perguruan Tinggi-  bukan saja melalui  kedalaman ilmu dan ketajaman nalar para staf pengajarnya tetapi juga pada kecerdasan  emosi dan spiritual civitas akademikanya. Kecerdasan   intelektual-  jika   tidak dibarengi dengan kedua kecerdasan di atas, maka manusia bahkan kemanusiaan seluruhnya akan terjerumus dalam jurang kebinasaan. Sebaliknya jika kecerdasan intelektual dibarengi oleh kedua kecerdasan itu, maka keduanya akan membimbing seseorang untuk menggunakan pengetahuannya menuju kebaikan, yang pada gilirannya menghasilkan aneka buah segar yang bermanfaat bagi diri, masyarakat bahkan kemanusiaan seluruhnya.
Pembentukan karakter bangsa harus bermula dari individu anggota-anggota masyarakat bangsa, karena masyarakat adalah kumpulan individu  yang hidup di satu tempat dengan  nilai-nilai yang  merekat  mereka. Masyarakat adalah kumpulan sekian banyak individu yang terbentuk   berdasar tujuan yang hendak mereka capai. Ini karena setiap individu lahir dalam keadaan hampa budaya, lalu masyarakatnya yang membentuk budaya dan nilai-nilainya, yang lahir dari pilihan dan  kesepakatan mereka . 
Membentuk karakter individu bermula dari pemahaman tentang diri  sebagai manusia, potensi positif dan negatifnya serta  tujuan kehadirannya di pentas bumi ini. Selanjutnya karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius, ber-Ketuhan Yang Maha Esa, maka tentu saja pemahaman tentang tentang hal-hal tersebut harus bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa / ajaran agama.
Untuk mewujudkan karakter yang dikehendaki diperlukan  lingkungan yang kondusif, pelatihan dan pembiasaan, presepsi terhadap pengalaman hidup dan lain-lain. Disisi lain katrakter yang baik  harus terus diasah dan  diasuh, karena ia adalah proses pendakian tanpa akhir. Dalam bahasa agama penganugerahan hidayat Tuhan tidak terbatas, sebagaimana tidak bertepinya samudra ilmu “ Tuhan menambah hidayatnya bagi orang yang telah memperoleh hidayat” dan Tuhanpun memerintahkan manusia pilihannya untuk terus memohon tambahan pengetahuan. Praktek ibadah yang ditetapkan agama bukan saja cara untuk meraih karakter yang baik, tetapi juga cara untuk memelihara karakter itu  dari  aneka pengaruh negative yang bersumber dari dalam diri manusia dan  dari lingkungan luarnya, sekaligus ia adalah cara untuk mendaki menuju puncak karakter terbaik, -yang dalam ajaran Islam adalah upaya untuk meneladani sifat-sifat Tuhan yang tidak terbatas itu. Karena itu ibadah harus terus berlanjut hingga akhir hayat, dan karena itu pula pembentukan karakter adalah  suatu proses tanpa henti. 
Kalau merujuk kepada ajaran agama dan keberhasilan para nabi serta penganjur kebaikan, maka ditemukan sekian banyak cara yang mereka tempuh yang akhirnya mengantar kepada keberhasilan mereka.  Tentu tidak mudah hal itu  dipaparkan  secara utuh dalam kesempatan ini. Namun yang jelas, mereka tidak sekedar menyampaikan informasi tentang makna  baik dan  buruk. Memang ini diperlukan untuk mewujudkan pemahaman yang mengantar kepada perubahan positif, tetapi jika terbatas hanya sampai disana, maka  ini  hanya mengantar kepada pengetahuan yang menjadikan pemiliknya pandai berargumentasi tentang kebaikan sesuatu- walau mereka tidak mengerjakannya  atau mengeritik keburukan yang mereka jumpai –walau mereka sendiri melakukannya. Hal serupa inilah yang kini tidak jarang terjadi dalam masyarakat kita.
Pengetahuan tanpa penghayatan, tidak dapat menimbulkan apa yang diistilahkan oleh pakar-pakar agama (tashawwuf) dengan halah  yakni kondisi psikologis yang mengantar seseorang  berkeinginan kuat untuk berubah secara positif.  Boleh jadi   keinginan berubah itu tidak muncul karena yang bersangkutan telah puas dengan  keadaannya buruk, yang dalam bahasa kitab suci Al-Qur'an  telah diperindah (oleh setan) keburukan amal-amalnya sehingga memperturutkan nafsunya ( Q.S.Muhammad [47]:14) dan dengan demikian jangankan  menjadi climber - dalam  istilah  sementara psikolog – yakni pendaki ke puncak prestasi guna mengaktualisasikan diri,  menjadi camper yakni   berkemah pada pertengahan anak tangga pendakianpun,  tidak mampu dilakukannya,  karena ia telah menjadi   quiter  berhenti bergerak,   menyerah kalah sebelum berusaha. Ini dalam bahasa Al-Qur'an dilukiskan dengan kalimat istahwaza 'alaihihim Asy-Syaithan   (mereka telah dikuasai oleh setan  sehingga setan menjadikan mereka   lupa mengingat Tuhan" ( Q.S. Al-Mujadalah   [58]:19) 
Para nabi dan penganjur kebaikan di samping menjelaskan dan mengingatkan tentang baik dan buruk, mereka justeru lebih banyak melakukan olah jiwa dan  pembiasaan,  dengan aneka pengamalan yang  kalau perlu  pada mulanya dibuat-buat -- bukan oleh dorongan kemunafikan tetapi -- agar menjadi kebiasaan dan watak. Mereka juga  mengemukakan  aneka pengalaman sejarah masyarakat dan  tokoh-tokoh masa lampau.  Disamping itu, mereka  berusaha sekuat kemampuan untuk mengurangi sedapat mungkin pengaruh negative lingkungan, karena melalui lingkungan, watak dapat berubah menjadi  positif atau negatif. Hanya saja perlu dicatat bahwa pada umumnya pengaruh negatif lingkungan lebih mudah diserap daripada pengaruh positifnya. Sedang pendekatan yang mereka lakukan guna menciptakan watak masyarakat adalah pendekatan   buttom-up, yang mereka tularkan kepada keluarga, lalu sahabat dan handai tolan dalam lingkungan kecil hingga mencakup seluruh masyarakat. Wallâhu a’lamu bish-shawwâb.