Biologi Hewan Laut

Perbandingan Kelimpahan Ikan Karang pada Terumbu Buatan Biorock dengan Transplantasi Karang di Tanjung Lesung, Banten

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Metode terbaru yang digunakan untuk transplantasi terumbu adalah mineral accretion atau biorock. Metode ini pertama kali ditemukan oleh Prof. Wolf Hilbertz pada tahun 1974 yang kemudian sejak 1988 bekerja sama dengan Dr. Tom Goreau mencoba untuk dikembangkan di seluruh dunia antara lain di Indonesia, Jamaica, Maldives, Papua Nugini, dan Thailand (GCRA, 2007). Tujuan lainnya dari pembuatan terumbu buatan dan transplantasi karang selain untuk mempercepat regenerasi terumbu karang juga untuk membuat suatu tempat baru bagi komunitas berbagai jenis ikan karang.

Studi yang sudah ada menjelaskan bahwa komunitas ikan karang masih dalam kondisi kurang baik di wilayah terumbu buatan (Kartawijaya. 2003). Penelitian Valentino (2004) menjelaskan bahwa kondisi komunitas ikan karang di wilayah transplantasi karang masih dalam kondisi kurang baik dibandingkan lokasi sekitarnya karena pelaksanaan transplantasi masih dalam fase awal. Dari penelitian ini, penulis mencoba membandingkan komunitas ikan karang di kedua wilayah tersebut dan diharapkan kondisi komunitas ikan karang di wilayah terumbu buatan Biorock lebih baik dibandingkan komunitas ikan karang di wilayah transplantasi karang. Penulis juga ingin melihat struktur trophic level berbagai jenis ikan karang yang terdapat di stasiun terumbu buatan Biorock dan Transplantasi Karang.

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah

  1. Membandingkan kelimpahan ikan karang yang berada di kawasan terumbu buatan Biorock dan transplantasi karang
  2. Melihat struktur trophic level berbagai jenis ikan karang yang berada di kawasan terumbu Biorock dan transplantasi karang di daerah Tanjung Lesung, Banten.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini berlokasi di perairan pantai Tanjung Lesung Resort, Banten dengan koordinat dua stasiun pengamatan yaitu 06o28’41,9” LS 105o30’30,2” BT (stasiun biorock) dan 06o28’42,7” LS -105o30’30,7” BT (stasiun transplantasi karang). Pengambilan data dilakukan sebanyak 1x setiap bulannya dan dilakukan selama 4 bulan dari bulan Agustus-November 2007. Metode pengambilan data di lapangan dengan menggunakan Stationary Visual Cencus untuk data ikan karang dan Foto Transek untuk data terumbu karang (Hill and Wilkinson, 2004). Stasiun pengamatan ada 2 stasiun, yaitu stasiun Biorock dan Transplantasi Karang dimana kedua stasiun sama-sama menggunakan 5 buah transek kuadrat 2x2 m per stasiun.

Parameter fisika-kimia perairan yang diambil meliputi suhu, salinitas, kecerahan dan pH perairan. Peralatan yang digunakan selama penelitian di lapangan antara lain GPS (Global Positioning System), Termometer, Refraktometer, Secchi Disk, Kertas Lakmus, Kamera Underwater, peralatan SCUBA diving, alat tulis dan sabak untuk penulisan di bawah air. Peralatan serta bahan penelitian yang digunakan selama pengolahan data antara lain seperangkat komputer, software Image J, program Fishbase (2008) dan buku Identifikasi Ikan (Allen, G.R dan Steen, R.C. 1990 ; Allen, et.all,. 2005). Analisis data yang digunakan adalah kelimpahan, indeks komunitas (keanekaragaman, keseragaman dan dominansi) untuk data ikan karang (Odum, 1993) dan uji t untuk membandingkan keadaan kedua stasiun serta persentase penutupan terumbu karang untuk data terumbu karang.

Ikan Karang, Biorock

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III.1 Parameter fisika-kimia perairan

Parameter fisika-kimia perairan yang diukur selama penelitian berlangsung di kedua stasiun pengamatan termasuk ke dalam kondisi optimal bagi pertumbuhan terumbu karang yang ditunjukkan oleh suhu berkisar antara 28-30oC, salinitas pada masing-masing stasiun relatif stabil, yaitu berkisar antara 32-33o/oo , faktor kecerahan yang sangat mendukung, kedalaman yang masih memungkinkan untuk terumbu karang dapat tumbuh dengan baik yaitu berkisar antara 2,5-3 m dan nilai pH yang relatif stabil,yaitu 8

III.2 Struktur komunitas ikan karang

III.2.1 Jumlah spesies dan indeks komunitas

Secara keseluruhan data ikan yang diperoleh dari kedua stasiun tersebut terdiri dari 20 famili, 44 genus dan 119 spesies.

Ikan Karang, Biorock

Ikan Karang, Biorock

Berdasarkan Gambar 2 diketahui bahwa jumlah spesies ikan karang yang berada di stasiun Biorock lebih banyak dibandingkan dengan jumlah spesies ikan karang yang muncul di stasiun Transplantasi Karang. Hal ini disebabkan oleh faktor kondisi dan keadaan terumbu karang yang ditransplantasikan di stasiun Transplantasi Karang dan di sekitar kerangkeng tidak terlalu baik dibandingkan dengan terumbu karang yang berada di stasiun Biorock.

Berdasarkan Gambar 3 dapat diketahui bahwa indeks keanekaragaman (H’) rata-rata di stasiun Biorock (3.00) lebih tinggi dibandingkan indeks keanekaragaman rata-rata di stasiun Transplantasi Karang (2,58) yang menandakan keanekaragaman ikan karang di stasiun Biorock lebih baik dibandingkan di stasiun Transplantasi Karang

Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bahwa indeks keseragaman (E) rata-rata di stasiun Biorock (0,85) memiliki nilai yang sama dengan indeks keseragaman rata-rata di stasiun Transplantasi Karang (0,85). Hal ini menandakan bahwa di antara kedua stasiun keseragaman jenis ikan karang yang muncul selama penelitian berlangsung tidak ada perbedaan.

Berdasarkan Gambar 5 nilai indeks dominansi (C) diketahui bahwa indeks dominansi rata-rata di stasiun Biorock (0,07) lebih rendah dibandingkan indeks dominansi rata-rata di stasiun Transplantasi Karang (0,10). Hal ini menandakan bahwa dominansi jenis ikan karang yang muncul selama penelitian dilakukan di stasiun Biorock lebih sedikit dibandingkan dominansi jenis ikan karang yang muncul di stasiun Transplantasi Karang.

III.2.2 Struktur trophic level

Ikan Karang, Biorock

Berdasarkan Gambar 6 di atas dapat diketahui bahwa di kedua stasiun spesies yang muncul kebanyakan memiliki struktur trophic level Karnivora (K) dan paling sedikit adalah jenis ikan Planktivora. Hal ini dapat disebabkan oleh ketersediaan makanan yang melimpah di kedua stasiun sehingga jenis ikan karnivora lebih sering muncul di kedua stasiun untuk mencari makanan di sekitarnya.

III.2.3 Uji t

Ikan Karang, Biorock

Dengan menggunakan Tabel t maka dapat diperoleh nilai t tabel sebesar 3,29 untuk semua waktu pengamatan kecuali untuk bulan November pada pukul 10 menggunakan t tabel sebesar 3,41 yang diperoleh dari hasil interpolasi t tabel lainnya (Magurran, 1988). Menggunakan hipotesis yang ada dapat diketahui bahwa untuk bulan Agustus dan September seluruh waktu pengamatan memiliki nilai t hitung <> t tabel atau memiliki perbedaan nyata.

III.3 Struktur komunitas terumbu karang

Terumbu karang di sekitar wilayah pengambilan data termasuk relatif buruk yang ditandai dengan jumlah Dead coral algae (DCA) yang sangat banyak hingga mencapai 50% di stasiun Biorock dan mencapai 61% di stasiun Transplantasi Karang (Grafik 7). Hal ini disebabkan di sekitar wilayah pengambilan data merupakan kawasan wisata sehingga banyak terjadi kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh perilaku manusia. Rata-rata persen penutupan terumbu karang di stasiun Biorock yang diamati sebesar 25,78%. Rata-rata persen penutupan terumbu karang di stasiun Transplantasi Karang yang diamati sebesar 16,07%. Bentuk pertumbuhan terumbu karang yang banyak ditemukan di kedua stasiun pengambilan data adalah Acropora Branching (ACB).

Ikan Karang, Biorock

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kondisi ikan karang di stasiun Biorock lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi ikan karang di stasiun Transplantasi Karang. Hal ini dapat disebabkan oleh stasiun biorock yang memiliki penutupan terumbu karang yang cocok untuk menjadi tempat berdiam diri (shelter) beberapa jenis ikan karang. Dengan menggunakan uji t bulan Oktober dan November memiliki perbedaan yang nyata tentang keadaan komunitas ikan karang di kedua stasiun. Hal ini disebabkan bulan Oktober dan November merupakan musim peralihan dimana cuaca relatif lebih baik dibandingkan bulan Agsutus dan September yang masih termasuk musim timur. Ikan karang yang banyak muncul di kedua stasiun memiliki struktur trophic level Karnivora (K). Hal ini dapat disebabkan oleh ketersediaan makanan yang melimpah di kedua stasiun sehingga jenis ikan karnivora lebih sering muncul di kedua stasiun untuk mencari makanan di sekitarnya.

Tipe terumbu karang di perairan pantai Tanjung Lesung termasuk ke dalam tipe terumbu karang tepi (fringing reef). Kondisi terumbu karang di stasiun Biorock lebih baik dibandingkan dengan kondisi terumbu karang di stasiun Transplantasi Karang dengan nilai persentase penutupan terumbu karangnya sebesar 25,78%. Sedangkan untuk terumbu karang di stasiun Transplantasi Karang nilai persentase penutupan terumbu karangnya sebesar 16,07%.

Saran

Saran-saran yang dapat diberikan oleh penulis untuk penelitian selanjutnya adalah :

  1. Penelitian ini mengunakan durasi waktu pengamatan selama 10 menit sekali waktu pengamatan sehingga untuk penelitian selanjutnya perlu diuji coba dengan durasi waktu yang lebih lama.
  2. Dapat pula dilakukan penelitian lanjutan mengapa ikan karnivora lebih banyak diketemukan di stasiun Biorock dan Transplantasi Karang dibandingkan struktur trophic level ikan karang lainnya.
  3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kelimpahan ikan karang di stasiun Biorock dan stasiun Transplantasi Karang.

DAFTAR PUSTAKA

Fishbase. 2008.

http://www.fishbase.org/summary/spesiessummary.ID.genusname=??speciesname=??.php [17 Februari 2008]

GCRA. 2007. Biorock/Mineral Accretion Technology for Reef Restoration, Mariculture and Shore Protection. http://www.globalcoral.org. [20 Mei 2007]

Hill, Jos and Clive Wilkinson. 2004. Methods For Ecological Monitoring Of Coral Reefs : A Resource For Managers. Australian Institute of Marine Science. p : vi + 117

Magurran, Anne E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey : Princeton University Press. p : 181

Odum, E. P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Edisi ketiga. Terjemahan dari Fundamental of Ecology. Alih Bahasa oleh T. Samingan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 174-200 h.

Biodata

Ikan Karang, Biorock
Nama : Medriko Desistiano, S.Pi
Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 30 Desember 1984
Alumni Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB, Angkatan 2003

Fitoplankton

Fitoplankton

Fitoplankton adalah komponen autotrof plankton. Autotrof adalah organisme yang mampu menyediakan/mensintesis makanan sendiri yang berupa bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan energi seperti matahari dan kimia. Komponen autotrof berfungsi sebagai produsen.

Nama fitoplankton diambil dari istilah Yunani, phyton atau "tanaman" dan planktos, yang berarti "pengembara" atau "penghanyut". Sebagian besar fitoplankton berukuran terlalu kecil untuk dapat dilihat dengan mata telanjang. Akan tetapi, ketika berada dalam jumlah yang besar, mereka dapat tampak sebagai warna hijau di air karena mereka mengandung klorofil dalam sel-selnya (walaupun warna sebenarnya dapat bervariasi untuk setiap spesies fitoplankton karena kandungan klorofil yang berbeda beda atau memiliki tambahan pigmen seperti phycobiliprotein).

Fitoplankton memperoleh energi melalui proses yang dinamakan fotosintesis sehingga mereka harus berada pada bagian permukaan permukaan (disebut sebagai zona euphotic) lautan, danau atau kumpulan air yang lain. Melalui fotosintesis, fitoplankton menghasilkan banyak oksigen yang memenuhi atmosferBumi.

Kemampuan mereka untuk mensintesis sendiri bahan organiknya menjadikan mereka sebagai dasar dari sebagian besar rantai makanan di ekosistem lautan dan di ekosistem air tawar.

Disamping cahaya, fitoplankton juga sangat tergantung dengan ketersediaan nutrisi untuk pertumbuhannya. Nutrisi-nutrisi ini terutama makronutrisi seperti nitrat, fosfat atau asam silikat, yang ketersediaannya diatur oleh kesetimbangan antara mekanisme yang disebut pompa biologis dan upwelling pada air bernutrisi tinggi dan dalam. Akan tetapi, pada beberapa tempat di Samudra Dunia seperti di Samudra bagian Selatan, fitoplankton juga dipengaruhi oleh ketersediaan mironutrisi besi. Hal ini menyebabkan beberapa ilmuan menyarankan penggunaan pupuk besi untuk membantu mengatasi karbondioksida akibat aktivitas manusia di atmosfer.

Walaupun hampir semua fitoplankton adalah fotoautotrof obligat, ada beberapa fitoplankton yang miksotrofik dan ada juga spesies tak berpigmen yang merupakan heterotrof (yang ini dinamakan sebagai zooplankton). Jenis-jenis ini, yang paling dikenal adalah dinoflagellata seperti genus Noctiluca dan Dinophysis, memperoleh karbon organiknya dengan memakan organisme atau material detritus lainnya.

Oleh : Yogi Suardi

Referensi : http://id.wikipedia.org/wiki/Fitoplankton

Biologi Tumbuhan Laut

Studi Ekologi Beberapa Spesies Harmful Algal Bloom (HAB) di Perairan Teluk Hurun, Lampung Selatan

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keberadaan fitoplankton di suatu perairan memberikan kontribusi terbesar terhadap produktivitas primer di satu perairan. Menurut Steeman-Nielsen (1952), kurang lebih 95% produktivitas primer di laut disumbangkan oleh fitoplankton. Namun ternyata tidak selamanya populasi fitoplankton yang padat dapat memberikan dampak positif pada kesuburan perairan. Pada beberapa kasus, ledakan populasi fitoplankton justru menjadi bencana bagi kehidupan biota lainnya. Hal inilah yang kemudian disebut blooming atau ledakan populasi. Pada umumnya, fenomena blooming ditandai dengan berubahnya warna air laut yang dikenal dengan sebutan red tide atau pasang merah. Namun pada perkembangannya, istilah ini sering menyesatkan karena ledakan fitoplankton ternyata tidak selalu dicirikan dengan warna merah (red). Blooming fitoplankton juga dapat menyebabkan air laut berubah warna dari biru-hijau menjadi merah kecoklatan, hijau, atau kuning-hijau, bergantung pada pigmen yang dikandungnya (Nontji, 2006). Bahkan dalam beberapa kasus, ledakan fitoplankton tidak menimbulkan warna apa-apa di permukaan laut.

Istilah yang saat ini mulai sering digunakan di dunia internasional adalah HAB atau harmful algal bloom. HAB merupakan istilah untuk menyatakan ledakan populasi fitoplankton yang berbahaya karena spesies-spesies penyebab HAB menyebabkan racun atau toksik. Spesies HAB sendiri dibagi ke dalam dua kelompok, yakni penghasil racun dan penghasil biomassa tinggi. Fenomena ini sering terjadi begitu saja tanpa diketahui faktor-faktor yang menyebabkannya dan tanpa dapat diprediksi waktu terjadinya. Secara umum, penyebab terjadinya HAB juga berasal dari aktivitas manusia sehingga dapat meningkatkan pemasukan bahan organik ke perairan, transportasi dan pembuangan air ballast atau bekas pencucian kapal. Adapun penelitian ini dilakukan untuk mempelajari karakteristik beberapa spesies HAB yang ada di Teluk Hurun, Lampung Selatan, dilihat dari sudut pandang ekologi. Melalui pengukuran beberapa parameter lingkungan, dapat dilakukan analisis lebih lanjut mengenai faktor lingkungan apa yang paling berperan terhadap hadirnya spesies tersebut di perairan Teluk Hurun. Hal ini diharapkan menjadi salah satu studi awal mengenai karakteristik ekologi HAB, sehingga selanjutnya dapat dilakukan penelitian mendalam mengenai HAB.

Tujuan

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:

1. Mempelajari karakteristik HAB di perairan Teluk Hurun, Lampung Selatan.

2. Mengetahui faktor-faktor lingkungan, terutama faktor fisika dan kimia yang paling berperan terhadap keberadaan HAB di perairan Teluk Hurun, Lampung Selatan.

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di perairan Teluk Hurun, Lampung Selatan, yang berlokasi pada 105o13’45” – 105o13’0” BT dan 5o31’30” – 5o33’36” LS, dengan luas 1,5 km. Pengambilan contoh dilaksanakan pada tanggal 9 Juni 2006, meliputi 12 stasiun penelitian dengan masing-masing 2 kali pengambilan contoh, yaitu pada saat pasang dan surut. Penelitian ini dilakukan seiring dengan proyek Penelitian Terpadu Ekologi dan Strain HAB Teluk Hurun, yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Bahan dan Metode Analisis Data

Pengambilan contoh penelitian meliputi parameter biologi, fisika, dan kimia. Sebagai obyek parameter biologi diambil contoh fitoplankton menggunakan jaring Kitahara (diameter mulut jaring 30 cm, ukuran mata jaring 0,08 mm) dan contoh HAB dengan menggunakan jaring berdiameter 25 cm dan memiliki mata jaring berukuran 25 cm. Sedangkan parameter fisika dan kimia yang diobservasi beserta metode dan peralatannya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Metode pengukuran parameter fisika – kimia

Parameter

Satuan

Metode

Alat

Kecerahan

m

-

Secchi disk

Salinitas

ppt

-

CTD Model SBE 603

Suhu

oC

-

CTD Model SBE 603

Arus

cm/s

-

CM2X pada sejumlah stasiun sebaran, dan RCM8 Current Meter pada 2 stasiun harian

Pasang surut

dm

-

Wave and Tide Recorder

Oksigen terlarut

ml/l

Titrasi Winkler

Peralatan Titrasi Winkler

Nitrat

µg A/l

Spketrofotometri

Spektrofotometer

Fosfat

µg A/l

Spektrofotometri

Spektrofotometer

pH

-

-

pH meter merk Cybersca

Proses identifikasi HAB dimulai pada bulan September 2006, bertempat di Laboratorium Plankton P2O LIPI dan Laboratorium Biologi Laut, Bagian Keanekaragaman Hayati Laut, Departemen ITK, FPIK – IPB. Setelah diperoleh data kelimpahan fitoplankton, HAB, serta hasil pengukuran parameter fisika – kimia, selanjutnya dilakukan analisis data menggunakan metode Analisis Komponen Utama (AKU) atau Principal Component AnalysisSTATISTICA 6.0. Kemudian faktor – faktor utama ini dilihat sebarannya di perairan dengan menggunakan piranti lunak Surfer 8.0. (PCA) untuk mengetahui faktor – faktor yang berperan penting pada keberadaan HAB di Teluk Hurun. Pengolahan data AKU dilakukan dengan menggunakan piranti lunak

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi Kelimpahan Fitoplankton dan Perbandingannya pada Saat Pasang dan Surut

Hasil pencacahan menunjukkan diatom mendominasi hampir di semua stasiun kecuali di stasiun 1 Pasang, dimana jumlah dinoflagelata lebih banyak daripada diatom. Hal ini diperkirakan sebagai dampak dari letak stasiun yang dekat dengan mangrove karena mangrove merupakan penghasil nitrogen alami yang cukup efektif. Menurut Riegman et al. (1996), dinoflagelata umumnya kalah bersaing dengan diatom di bawah kondisi N yang terbatas. Karena itu pada kondisi ini diperkirakan jumlah NO3 yang tersedia cukup banyak sehingga dinoflagelata dapat tumbuh dengan baik. Kondisi pasang juga turut menjadi faktor pendukung karena pada saat itu umumnya nutrien akan ikut naik ke permukaan sehingga menyuplai cukup banyak makanan yang diperlukan oleh fitoplankton.

Harmful Algal Bloom (HAB, Teluk Hurun

Harmful Algal Bloom (HAB, Teluk Hurun

Rasio HAB dengan Dinoflagelata.

Sebagian besar spesies HAB berasal dari kelompok dinoflagelata. Dari sekitar 4000 jenis mikroalga laut, hanya 200 jenis yang dikategorikan berbahaya, dimana sekitar 80 jenisnya merupakan produsen toksin dan berasal dari kelompok dinoflagelata (Masó dan Garcés, 2006). Masó dan Garcés (2006) juga menambahkan bahwa kondisi blooming HAB terjadi apabila konsentrasinya di perairan mencapai 104 – 105 ind/liter dalam periode tertentu (umumnya 1 – 3 minggu). Meski demikian, terkadang blooming HAB juga terjadi dalam waktu yang sangat singkat, seperti yang pernah terjadi di Teluk Kao, yakni hanya satu hari. Berikut ini adalah grafik komposisi HAB dibandingkan dengan jumlah keseluruhan dinoflagelata yang tercacah.

Harmful Algal Bloom (HAB, Teluk Hurun

Jumlah HAB yang kecil (3%) menunjukkan bahwa pada saat penelitian tidak terjadi blooming yang signifikan. Namun bila kelompok HAB ini dirinci per spesies, maka akan terlihat beberapa spesies yang kelimpahannya cukup mendominasi, meskipun tetap belum dapat digolongkan ke dalam kejadian blooming alga. Penjelasan mengenai kelimpahan HAB akan dibahas pada sub-bab berikut ini.

Kelimpahan HAB dan Kaitannya dengan Parameter Lingkungan

1. Distribusi HAB Teluk Hurun

Harmful Algal Bloom (HAB, Teluk Hurun

Gambar 5. Distribusi spasial HAB (a) pasang dan (b) surut, dan (c) rerata kelimpahan semua stasiun

Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui penyebaran HAB di Teluk Hurun pada saat penelitian ini dilakukan. Lokasi dengan intensitas warna yang semakin tinggi menunjukkan bahwa di lokasi tersebut kelimpahan HAB-nya lebih tinggi dibandingkan di lokasi lain. Saat air pasang, HAB lebih banyak terkonsentrasi di stasiun 2,3, dan 5, sedangkan saat air surut, HAB cukup melimpah di stasiun 1 dan 2.

2. Analisis Komponen Utama

Harmful Algal Bloom (HAB, Teluk Hurun

Berdasarkan grafik AKU (sumbu 1 dan 2) saat air pasang, terlihat bahwa stasiun 3 dan 6 lebih dicirikan oleh faktor fisika, yaitu salinitas, suhu, dan arus di kedalaman 8 meter yang cukup tinggi nilainya. Namun dari ketiga parameter fisika yang mempengaruhi, salinitas tampak lebih mendominasi dibandingkan suhu dan arus. Sedangkan stasiun 4, 5, dan 7 lebih dicirikan oleh faktor kimia yakni nutrien (nitrat dan fosfat), meskipun terdapat pula pengaruh suhu yang cukup signifikan yang mencirikan stasiun 7. Stasiun 8, 9, 10, 11, dan 12 membentuk kelompok sendiri dimana kelima stasiun ini tidak dicirikan oleh parameter apapun. Sedangkan stasiun 1 dan 2 yang pada awalnya tidak tampak dicirikan oleh parameter apapun, oleh grafik sumbu 1 dan 3 terlihat dicirikan oleh tingginya kandungan oksigen terlarut (stasiun 1) dan suhu (stasiun 2). Apabila dikaitkan dengan jumlah HAB yang cukup melimpah pada stasiun 2, 3, dan 5 pada saat air pasang, maka dapat dikatakan bahwa kemunculan HAB dapat dipengaruhi oleh suhu, salinitas, dan nutrien (nitrat).

Sedangkan grafik AKU (Surut) sumbu 1 dan 2 serta sumbu 1 dan 3 menunjukkan bahwa hampir semua stasiun dicirikan oleh faktor tertentu. Stasiun 7, 9, dan 10 terlihat dicirikan oleh arus yang kuat namun dengan kandungan fosfat yang sangat rendah. Sementara itu, stasiun – stasiun yang terletak dekat dengan daratan (stasiun 1, 2, 3, 4, dan 5) dicirikan oleh parameter nutrien, suhu, dan salinitas. Stasiun 2 dan 3 dicirikan dengan kandungan nitrat dan suhu yang tinggi, namun memiliki pH rendah dan kecerahan yang tidak terlalu tinggi, sedangkan stasiun 6 cenderung memiliki kandungan fosfat yang tinggi, arus yang sangat kecil, dan kandungan nitrat serta pH sedang. Stasiun 11 dan 12 memiliki kecerahan yang tinggi karena pada saat pengambilan contoh dilakukan di stasiun ini matahari sedang bersinar terik. Apabila dikaitkan dengan kelimpahan HAB yang cukup tinggi di stasiun 1 dan 2, maka dapat dikatakan bahwa pada saat surut, kemunculan HAB dipengaruhi oleh tingginya nutrien dan suhu pada lokasi tersebut.

Untuk membandingkan kondisi perairan pada saat pasang dan surut, terutama pada stasiun – stasiun yang memiliki kelimpahan HAB yang cukup tinggi, berikut ini akan disajikan tabel hasil pengamatan parameter lingkungan dan grafik distribusi spasial dari ketiga parameter utama yang memengaruhi kelimpahan HAB, yakni suhu, salinitas, dan nitrat.

3. Distribusi spasial parameter utama (suhu, salinitas, nitrat)

3.1. Suhu

Harmful Algal Bloom (HAB, Teluk Hurun

Gambar 3. Distribusi Spasial Suhu (a) pasang (b) Surut, dan (c) rerata semua stasiun

3.2. Salinitas

Harmful Algal Bloom (HAB, Teluk Hurun

Gambar 4. Distribusi spasial salinitas (a) pasang dan (b) surut, dan (c) rerata semua stasiun

3.3. Nitrat

Harmful Algal Bloom (HAB, Teluk Hurun

Gambar 5. Distribusi spasial nitrat (a) pasang (b) surut, dan (c) rerata semua stasiun

Pada penelitian yang dilaksanakan di Teluk Hurun ini, suhu menjadi faktor lingkungan yang memberi kontribusi signifikan terhadap keberadaan HAB. Hal ini sejalan dengan beberapa hasil penelitian terhadap spesies – spesies HAB, dimana suhu juga menjadi faktor yang penting. Umumnya spesies HAB ditemukan di lokasi – lokasi tropis dengan suhu air yang cukup hangat. Suhu yang terukur di perairan Teluk Hurun menunjukkan kisaran nilai yang cukup tinggi, seperti kasus HAB yang pernah ditemukan di Teluk Kao pada bulan Maret 1994 (Wiadnyana et al, 1996). Pada saat itu suhu air berkisar antara 30.9 – 31.5 oC dan ditemukan spesies HAB jenis Pyrodinium bahamense dalam kondisi yang cukup melimpah. Melalui grafik distribusi spasial suhu, kita dapat melihat bahwa pada saat pasang, stasiun – stasiun yang kelimpahan HAB-nya tinggi adalah stasiun yang memiliki suhu cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun – stasiun lainnya. Hal ini berlaku juga pada kondisi surut dimana stasiun 1 dan 2 (kelimpahan HAB tinggi) memiliki suhu lebih hangat dibandingkan stasiun – stasiun lainnya.

Salinitas di perairan sangat penting untuk mempertahankan tekanan osmosis antara tubuh dan perairan, karena itu salinitas dapat memengaruhi kelimpahan dan distribusi plankton secara umum. Salinitas yang tinggi akan mengakibatkan tekanan osmosis tubuh terhadap lingkungan meningkat sehingga energi yang diperlukan untuk menyesuaikan diri pun meningkat. Widiarti (2000) menyatakan bahwa Pyrodinium bahamense di Teluk Hurun umumnya ditemukan di stasiun penelitian dengan rata – rata salinitas yang lebih tinggi (31) dibandingkan dengan stasiun lainnya yang nilai salinitasnya 29. Hallegraeff (1998) inPyrodinium menyukai perairan dengan salinitas tinggi, yaitu pada kisaran (30 – 35). Penelitian Koukaros dan Nikolaidis (2004) mengenai Dinophysis juga menekankan pentingnya peranan salinitas dibandingkan suhu. Widiarti (2000) juga menyatakan bahwa

Kandungan nitrat di perairan Teluk Hurun dapat dikatakan berada pada batas normal, karena nilainya cukup jauh di bawah standar yang telah ditetapkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup (46.46 ?g A/l). Berdasarkan grafik diketahui bahwa nitrat cenderung semakin tinggi nilainya di stasiun – stasiun yang dekat daratan. Hal ini dapat disebabkan oleh run-off yang berasal dari sungai, maupun aktivitas budidaya perikanan yang ada di daerah Padang Cermin. Konsentrasi nitrat tertinggi berada di stasiun 5, dimana saat pasang nilainya 0.69 ?g A/l, dan saat surut mencapai 0.75 ?g A/l. Namun secara keseluruhan kandungan nitrat pada saat pasang cenderung lebih tinggi dibandingkan saat surut. Sumber nitrogen lain yang memungkinkan adalah kompleks mangrove yang berada di sekitar area penelitian. Mangrove merupakan sumber alami nitrogen karena pada wilayah ini banyak terdapat detritus dan sampah – sampah organik yang mengalami dekomposisi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Mengutip pendapat Masó dan Garcés (2006) bahwasannya spesies – spesies HAB diketahui memiliki karakteristik yang berbeda – beda, dimana setiap spesies memiliki sejarah hidup yang spesifik yang beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik HAB yang diobservasi di perairan Teluk Hurun pun tidak dapat dikatakan sebagai karakteristik absolut. Pada perairan ini diketahui bahwa keberadaan HAB dipengaruhi faktor suhu, salinitas, dan nitrat.

Spesies HAB cenderung menyukai perairan yang bersuhu hangat, karena itu HAB banyak ditemukan di daerah tropis. Pada penelitian ini, spesies HAB banyak ditemukan di wilayah perairan dengan kisaran suhu 29,68 – 29,81 oC. Selain itu, faktor salinitas juga turut memicu berkembangnya HAB. Perairan dimana banyak ditemukan HAB memiliki salinitas dengan kisaran 32.83 – 32.89, meskipun dalam literatur banyak disebutkan bahwa HAB menyukai perairan dengan salinitas tinggi (35 – 40), seperti yang ditemukan di Teluk Kao dan Teluk Ambon. Nitrat yang memadai juga dapat memicu pertumbuhan HAB, karena seperti fitoplankton lainnya, HAB membutuhkan nitrat sebagai asupan nutriennya. Pada stasiun – stasiun yang kelimpahan HAB-nya cukup banyak, faktor nutrien menjadi faktor penciri stasiun tersebut sehingga dapat dikatakan bahwa nutrien turut menjadi faktor pendukung keberadaan HAB.

Saran

Munculnya HAB di suatu perairan tidak hanya tergantung pada faktor fisika dan kimia, melainkan juga pada karakteristik biologinya. HAB diketahui dapat membentuk fase dorman yang disebut siste atau dinosiste, yang apabila kondisi lingkungan mendukung maka siste ini akan pecah dan menimbulkan dampak berbahaya secara tiba – tiba. Hal ini merupakan salah satu penyebab HAB sulit diprediksi kemunculannya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang menekankan pada penyebaran siste atau dinosiste HAB untuk mengurangi kesulitan tersebut. Selain itu, proses pemantauan atau monitoring yang rutin dan berkelanjutan juga diperlukan, terutama di wilayah perairan dimana HAB sering ditemukan meskipun dalam jumlah sedikit.

DAFTAR PUSTAKA

Koukaras, K. and Nikolaidis, G. 2004. Dinophysis Blooms in Greek Coastal Waters (Thermaikos Gulf, NW Aegean Sea). Journal of Plankton Research Vol.26 (4): 445 – 457.

Masó, M. and Garcés, E. 2006. Harmful Microalgae Blooms (HAB); The Problematic and Conditions that Induce Them. Marine Pollution Bulletin 53 (2006): 620 – 630.

Nontji, A. 2006. Tiada Kehidupan di Bumi Tanpa Keberadaan Plankton. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta

Reigman, R., M. de Boer, L. de Senerpont Domis. 1996. Growth of Harmful Marine Algae in Multispecies Cultures. Journal of Plankton Research Vol. 18 (10): 1851 – 1866.

Steeman-Nielsen, E. 1952. The Use of Radioactive Carbon (C-14) for Measuring Organic Production in The Sea. 117 – 140p.

Wiadnyana, N.N., T. Sidabutar, K. Matsuoka, T. Ochi, M. Kodama, Y. Fukuyo. 1996. Note on the Occurence of Pyrodinium bahamense in Eastern Indonesian Waters. In: Yasumoto, T., Oshima, Y and Fukuyo, Y. (Eds). 1996. Harmful and Toxic Algal Blooms. Proceedings of the Seventh International Conference on Toxic Phytoplankton, Sendai, Japan, 12-16 July 1995. 49 – 52p.

Widiarti, R. 2000. Pola Suksesi Organisme Penyebab Red Tide, Pyrodinium bahamense plate, di Teluk Hurun, Lampung Selatan. Tesis (tidak dipublikasikan). Fakultas Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Penulis

Harmful Algal Bloom (HAB, Teluk Hurun

Heidi Retnoningtyas, S.Pi, Penulis dilahirkan pada 24 Juni 1984, berasal dari kota Subang Jawa Barat,dan telah menyelesaikan pendidikan Strata 1 di Institut Pertanian Bogor Pragram Studi Ilmu Kelautan, Sekarang penulis bekerja di Kementrian Lingkungan Hidup.

Kriteria Regional Penentuan Daerah Perlindungan Laut

Regional significance. Tingkatan dimana suatu daerah merepresentasikan karakteristik daerah tersebut, apakah itu keadaan alam, proses ekologi, taupun situs kebudayaan. Daerah dalam memainkan peranan sebagai pemasok nutrien, material, mendukung spesies (khususnya proses migrasi) secara keseluruhan harus diperhitungkan untuk penentuan DPL

Subregional significance. Tingkatan dimana suatu daerah mengisi kekurangan jaringan di daerah perlindungan dilihat dari sudut pandang subregional. Kontribusi ini dapat ditaksir dengan membandingkan ditribusi daerah perlindungan dengan karakteristik subregional

Awareness. Tingkatan dimana kegiatan monitoring, penelitian, pembelajaran, ataupun pelatihan, apakah mampu memberikan pengetahuan dan apresiasi. Daerah yang dapat mengkombinasikan beberapa aktivitas misalnya antara monitoring polusi dengan kegiatan pembelajaran akan mendapatkan rating tang lebih tinggi dalam penentuan DPL

Conflict and compatibility. Tingkatan dimana suatu daerah dapat membantu menyelesaikan masalah antara sumberdaya alam dengan aktivitas manusia. Apabila suatu daerah dapat dijadikan percontohan mengenai resolusi konflik pada suatu kawasan, maka mendapatkan rating yang lebih tinggi.

Pustaka

Salm, RV. 1984. Marine and Coastal Protected Areas : A Guide For Planners and Managers. Gland, Switzerland. IUCN

Penulis

Yogi Suardi

Kriteria Ekonomi Penentuan Daerah Perlindungan Laut

Kriteria Ekonomi Penentuan Daerah Perlindungan LautImportance to species. Tingkatan tertentu yang secara komersial terdapat spesies penting di suatu daerah. Sebagai contoh ekosistem terumbu karang yang menjadi habitat bagi spesies tertentu untuk berketurunan, beristirahat, berlindung, ataupun mencari makan

Importance to fisheries. Semakin besar ketergantungan nelayan pada suatu daerah dan semakin besar daerah tersebut memberikan hasil perikanan, maka semakin penting untuk melakukan pengelolaan dengan benar sehingga menjamin pemanfaatan yang berkelanjutan

Nature of threats. Tingkatan dimana perubahan yang dilakukan menggunakan pola yang mengancam kepentingan banyak orang. Habitat dapat terancam secara langsung melalui tindakan destruktif seperti perikanan dengan bahan peledak, bottom trawl, atau melalui pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan. Daerah penangkapan tradisional oleh nelayan lokal perlu untuk dikelola. Jumlah nelayan di daerah tersebut dapat meningkat, mengakibatkan tekanan ekstra terhadap stok sumberdaya dan habitat Economic benefits. Kemampuan untuk menjaga perekonomian lokal dengan jangka waktu yang lama. Daerah yang memberikan pengaruh yang positif mendapatkan rating yang lebih tinggi, misalnya suatu daerah yang mampu menjaga feeding area dari ikan ekonomis lebih dipilih sebagai DPL Tourism. Tingkat potensi suatu daerah untuk pengembangan kepariwisataan. Daerah yang cocok untuk pengembangan kepariwisataan dengan tujuan konservasi akan mendapatkan rating yang lebih tinggi dalam penentuan DPL.

Pustaka

Salm, RV. 1984. Marine and Coastal Protected Areas : A Guide For Planners and Managers. Gland, Switzerland. IUCN

Penulis

Yogi Suardi. Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB Angkatan 42

Kriteria Sosial Penentuan Daerah Perlindungan Laut

Recreation. Tingkatan apakah daerah tersebut sedang atau akan dijadikan sebagai tujuan wisata. Daerah yang masyarakat lokalnya menyediakan peluang untuk menggunakan, menikmati, dan belajar mengenai lingkungan alam mereka akan memberikan rating yang tinggi Culture. Unsur religi, sejarah, seni, atau kekayaan budaya yang dimiliki oleh suatu daerah Aesthetics. Seascape dan landscape atau daerah lain yang memiliki pemandangan yang indah. Daerah alami yang memiliki keistimewaan pemandangan indah akan mendapatkan rating yang tinggi dan tergantung ada tidaknya perawatan yang terintegrasi antara pesisir dan lautan. Daerah yang memiliki keanekaragaman dan konservasi biologi yang rendah akan tetapi memiliki pemandangan yang indah sekali, maka penilaian yang tinggi tertuju untuk tempat rekreasi Conflict of interest. Tingkatan dimana suatu daerah perlindungan akan memberikan pengaruh terhadap daerah setempat. Apabila suatu daerah ditujukan untuk tempat wisata maka daerah tersebut bukanlah daerah major fishing. Penentuan zona dengan seksama akan mengurangi kemungkinan terjadinya konflik Safety. Faktor keamanan bagi seseorang dari kondisi suatu daerah misalnya dari arus yang deras, pada saat melakukan penyelaman, dari galombang dan lain sebagainya. Hal ini penting untuk menjamin keselamatan dalam melakukan aktifitas yang diperbolehkan di daerah tersebut Accessibility. Kemudahan untuk menjangkau suatu lokasi baik dari darat maupun laut. Daerah yang ditujukan bagi wisatawan, pelajar, peneliti, ataupun nelayan harus memiliki kemudahan untuk menjangkaunya. Akan tetapi tingginya tingkat kemudahan ini akan menimbulakan conflict of interest (misalnya antara kegiatan pelestarian terumbu karang dengan kegiatan perikanan, atau antara kegiatan perikanan dengan kegiatan penyelaman) Benchmark. Tingkatan dimana suatu daerah bertindak sebagai ”grup kendali” ilmiah yang tidak dapat dimanipulasi dan berfungsi untuk mengukur perubahan di tempat lain. Benchmark penting untuk program monitoring ekologi dan mendapat rating yang tinggi dalam penentuan DPL Education. Tingkatan yang mana daerah mewakili bermacam karakteristik ekologis dan dapat melayani kepentingan riset serta demontrasi metode ilmiah. Daerah yang dengan jelas memperlihatkan perbedaan tipe habitat dan hubungan ekologis dan keduanya itu bertujuan untuk kepentingan konservasi dan kegiatan pembelajaran mendapatkan rating yang tinggi untuk penentuan DPL.

Pustaka

Salm, RV. 1984. Marine and Coastal Protected Areas : A Guide For Planners and Managers. Gland, Switzerland. IUCN

Oleh : Yogi Suardi

Keanekaragaman Hayati Laut

Penentuan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Sistem Pakar

Sumberdaya wilayah pesisir dan laut memiliki peranan penting bagi pembangunan nasional. Laju pemanfaatannya yang semakin pesat meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara. Namun pertumbuhan ekonomi tersebut menimbulkan fenomena kerusakan pada lingkungan pesisir karena pemanfaatan sumberdaya pesisir tersebut kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi. Oleh karenanya terjadi laju kerusakan biogeo-fisik lingkungan habitat utama pesisir seperti kerusakan terumbu karang, lamun, hutan mangrove, dan yang lainnya hingga mencapai tingkat yang mengkhawatirkan.

Kerusakan tersebut mengakibatkan produktivitas sumberdaya pesisir dan laut berkurang sehingga pada akhirnya memberikan dampak yaitu rendahnya taraf kehidupan masyarakat. Kemiskinan masyarakat dan tekanan ekonomi yang semakin meningkat mendorong masyarakat melakukan ekploitasi untuk tujuan jangka pendek dengan menggunakan bahan-bahan dan peralatan yang tidak ramah lingkungan. Selain itu, meningkatnya persaingan untuk mendapatkan sumberdaya pesisir dan laut akan membuka peluang terjadinya konflik pemanfaatan yang semakin besar.

Untuk mempertahankan, memperbaiki, dan meningkatkan sumberdaya pesisir dan laut, serta mengurangi konflik pemanfaatan maka perlu diterapkan pendekatan daerah perlindungan laut (DPL). DPL merupakan daerah pesisir dan laut yang dapat meliputi terumbu karang, hutan mangrove, lamun, atau habitat lainnya secara mandiri atau bersama-sama yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan biota laut.

Penentuan DPL yang tepat dan pengelolaan yang baik diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan berkelanjutan. Penentuan DPL bergantung pada banyak kriteria yang harus dipertimbangkan seperti kriteria sosial, ekonomi, ekologi, regional, dan pragmatis. DPL yang ditentukan berdasarkan pertimbangan kriteria-kriteria di atas akan menghasilkan DPL yang tepat. Untuk menentukan DPL yang dilandasi oleh kriteria-kriteria tersebut dapat menggunakan sistem pakar. Sistem Pakar merupakan perangkat lunak komputer yang memiliki basis pengetahuan untuk domain tertentu dan menggunakan penalaran inferensi menyerupai seorang pakar dalam memecahkan masalah. Sistem pakar menggunakan kaidah dalam mempresentasikan pengetahuan yang ada dalam basis pengetahuannya.

Oleh : Yogi Suardi

Pengamatan Lautan dengan Radar Scatterometer

Instrumen ERS Scatterometer

EUMETSAT Advanced Retransmission Service (EARS) dibangun untuk menyediakan informasi bagi komunitas meteorologi dengan data regional dengan ketepatan waktu sehingga dapat melakukan peramalan saat sekarang dan peramalan cuaca numerik.Instrumen scatterometer menyediakan informasi angin dekat permukaan laut, dan scatterometry adalah ilmu untuk menyaring informasi dari instrumen sehingga menghasilkan data-data keluaran yang informatif. Scatterometers dengan aktif mentransmisi pulsa elektromagnetik ke permukaan bumi dan mengukur backscatter response-nya, atau energi (power) dari pulsa yang dihamburkan kembali ke antenna penerima. Peneliti dapat menurunkan berbagai variable geofisik dari backscatter response; wind speed dan wind direction tidaklah diukur secara langsung tetapi diolah dari. Aplikasi nya termasuk kajian dinamika troposferik dan air-sea momentum fluxes.

Informasi mengenai angin dan informasi badai yang terjadi di laut dibuat secara garis besar, datang secara cepat dan bersifat lokal, tidak memiliki keteraturan frekuensi, dan sering laporannya tidak akurat dari pengukuran di kapal. Instrumen yang dikenal dengan nama scatterometer merupakan instrumen penginderaan jauh yang mampu dari mengukur kecepatan dan arah angin angin yang dapat melintasi seluruh permukaan Bumi pada segala kondisi cuaca. Instrumen ini memancarkan pulsa radar yang akan di direleksikan atau di hamburkan oleh permukaan laut dan secara otomatis signal yang diterima akan dianalisis dan dapat menyatakan arah dan kecepatan angin yang dapat mempengaruhi kondisi permukaan laut.

Active Microwave Instrument (AMI) adalah suatu instrumen yang dibawa oleh satelit pertama European Remote Sensing Satellites (ERS-1 and ERS-2) yang diluncurkan oleh European Space Agency tanggal 17 Juli 1991 dan 20 April 1995. AMI mempersatukan dua radar yang berbeda, Synthetic-Aperture Radar (SAR) yang mengoperasikan citra atau model gelombang dan Wind scatterometer. Permukaan bumi diindera oleh empat antena dan energi backscattered diterima untuk menurunkan data angin dan gelombang spektral atau memproduksi citra beresolusi tinggi.

Scatterometers mengukur properties permukaan dengan resolusi spasial yang relative kasar (with relatively coarse spatial resolutions) dibanding dengan passive microwave radiometers karena alat ini hrus merata-ratakan pulsa yang diterima yang mencakup luasan area yang luas yang dengan teliti mengukur ampltudo pulsa yang kembali. Sementara hal ini tidak membolehkan analisa detail dari permukaan, alat ini mempunyai keuntungan dengan cakupan yang lebih besar dari permukaan bumi pada siaman yang lebih sering dibanding synthetic aperture radar (SAR). Cakupan ini diinginkan untuk memantau (monitoring) synoptic-scale phenomena seperti global ocean winds dan snow cover, continental ice sheets, dan polar sea ice.

Mode angin pada instrumen ini menggunakan tiga antena untuk men-generate baem radar 45° ke arah depan, dan sa,ping dan 45° ke arah belakang dengan memperhatikan arah pergerakan dari satelit. Beam ini mengiluminasi 500 km luas sapuan selama satelit mengorbit Bumi dan setiap beam menghitung hamburan balkik dari permukaan laut dengan besar gridnya seluas 25 km. Hasilnya adalah tiga pengukuran independen dari hamburan balik permukaan laut untuk setiap grid poin, diperoleh dari tiga arah pandang yang berbeda dan terpisah oleh time delay. Hasil hambur balik yang memperlihatkan kekasaran permukaan laut merupakan fungsi dari kecepatan dan arah angin dan kemudian diproses menggunakan model matematika.

Gelombang mikro scatterometer dapat mengukur tenaga yang diterima dari pantulan backscattering permukaan objek. Sensor scatterometer mengukur vektor kecepatan angin dalan dua dimensi. Gelombang mikro scatterometer dikelompokkan menjadi dua tipe yaitu tipe pulsa dan gelombang kontinu. SEASAT-SASS adalah salah satu contoh scatterometer yang mempunyai empat antena dan memancarkan pulsa 14,5 GHZ pada sudut yang berbeda dan menerima backscattering yang dibagi dalam beberapa sel memlalui sebuah filter doppler. Seiring dengan peluncuran satelit, sel yang sama dari bidang laut dapat mengamati dari beam dari bagian depan yang belakang dari sudut beam 90° yang berbeda yang memungkinnkan untuk penentuan arah dan kecepatan angin. Pengukuran angin di atas permukaan laut dilakukan secara tidak langsung melalui scattering gelombang mikro dari permukaan laut dan hubungan antara angin laut dan tinggi gelombang.

Pengamatan Lautan ,Radar Scatterometer

Gambar 1. Geometri ERS Wind Scatterometer

Scatterometry membangun heuristik. Hal ini ditemukan secara eksperimen bahwa kepekaan dari kecepatan dan arah angin menunjukkan perubahan hamburan balik pada lautan pada sudut datang moderat menghasilkan perubahan kekasaran permukaan laut.

Hasil scatterometer mewakili data angin pada ketinggian 10 m melalui wind vector cell (WVC). Hal ini penting untuk disadari bahwa pendekatan nyang digunakan di sini mengikuti pengukuran radar backscatter yang dirangkaikan pada kondisi angin 10 meter di atas permukaan laut, secara sederhana karena dengan demikian dapat di validasi. Hal ini berarti bahwa semua efek yang berhubungan dengan angin vektor 10 meter berhubungan dengan kestabilan udara, kondis dari permukaan, amplitudo gelombang laut.

Karakteristik produk dari data angin yaitu merupakan netral horizontal vektor angin pada ketinggian 10 meter di atas permukaan laut. Kecepatan angin diukur dengan satuan meter per detik sedangkan arah angin relatif ke utara 0 derajat. Kecepatan angin berkisar antara 0-50 m/s akan tetapi kecepatan yang di atas 25 m/s tidak realistis (tidak handal).

QuikScat Satellite

Satelit Quikscat dibangun oleh Ball Aerospace & Technologies Corp. Quikscat dibeli oleh NASA dan dikelola oleh pusat program penerbangan angkasa luar Goddard, greenbelt . Satelit Quikscat menyediakan data untuk banyak kepentingan. Peramalan cuaca, hampir dua per tiga dari bumi ditutupi oleh samudera yang mana tidak memiliki stasiun cuaca dan hanya data bouy yang keberadaannya menyebar dan sedikit. Ketiadaan informasi ini menyulitkan peneliti dan imuwan mengetahui cuaca pada saat sekarang dan menghambat kemempuan mereka untuk meramalkan kondisi cuaca ke depan. Satelit QuikScat mampu menyelesaikan masalah ini.

National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) akan memproses data QuikScat yang mendekati real time dan mendistribusikan informasinya kepada pengguna kemudian menyatukan pengukuran mereka untuk menghasilkan suatu peramalan yang tepat.data tersebut akan jadi penting untuk peramalan cuaca jangka pendek dan memainkan peranan penting mendorong para ilmuwan dengan kemampuan mereka memprediksi pola cuaca global hingga pada sistem iklim dunia.

QuikScat juga bekerja untuk memonitor kondisi iklim abnormal dari El Nino dan La Nina. Perubahan kondisi angin pada Samudera Pasifik merupakan komponen penting terhadap fenomena El Nino dan La Nina. QuikScat sebagai pendeteksi terjadinya badai, karena radar QuikScat mampu menentukan lokasi, struktur dan kekuatan badai yang sedang terjadi di laut. Badai laut keras - topan di Samudera Atlantik, topan dekat Asia dapat dideteksi oleh radar QuikScat.

NOAA/NESDIS SeaWinds Near Real Time Processing System

NOAA menghasilkan data kecepatan dan arah angin secara near real time dari QuikScat dan ADEOS-II SeaWinds Scatterometer yang mana usaha untuk membuat data near real time sesuai pada sistem proses cuaca secara interaktif. Hasil pengiriman pulsa hambur balik dari permukaan laut, satelit QuikScat mengirimkan data ke ground station dan kemudian data diteruskan ke NOAA untuk pemrosesan data near real time dan ke JPL untuk servis proses. Scatterometer mengukur reflektivitas melalui satu set dari sudut datang yang berbeda . Scatterometer rata-rata dideteksi kembali dari pulsa sequensial. Rata-rata tersebut memastikan lebih akurat perhitungan dari koefisien nilai hamburan balik, sejak pulsa pertama kembali yang merupakan tipe gangguan yang khas. Karena signal dari target dari multiple ground berkaitan antara satu dengan yang lainnya signal yang kembali tersebut mengalami distorsi.

Referensi

Augenbaum, J. M. 2002. Seawinds Near-Real-Time Scatterometer Winds for AWIPS Crapolichio, R. 2005. Assimilation of reprocessed ERS scatterometer data into ECMWF weather analysis on the Mediterranean Sea data over the Tibetan plateau EUMETSATAdvanced Retransmission Service. 2008. ERS Scatterometer Product User Manual Gade, M. 1998. On the Reduction of the Radar Backscatter by Oceanic Surface Films: Scatterometer Measurements and Their Theoretical Interpretation Gelsthorpe, R. V. ASCAT – Metop’s Advanced Scatterometer in the southwestern Indian Ocean James, P. I. 2000. Scatterometer-Derived Operational Winds and Surface Pressure Jiai, P. 2002. Interpretation of scatterometer ocean surface wind vector EOFs over the Northwestern Pacific Keller, W. C. 1984. Coastal Engineering Technical Note Lim, K. S. 2008. Multi-Angular Scatterometer Measurement for Various Stage of Rice Growth. Mathaeis, P. D. Simulation of the AQUARIUS Radar Scatterometer NATIONAL AERONAUTICS AND SPACE ADMINISTRATION. 1999. Quick Scatterometer Launch. Perez, J. L. A. 2000. Resolution Improvement of ERS Scatterometer Data Over Land by Wiener Filtering Petit, M. 2005. Satellite-Derived ERS scatterometer sea-surface wind-stress curl scatterometer measurements Tanboe, R. dan Toudal, L. 2005. Classification of new-ice in the Greenland Sea using Satellite SSM/I radiometer and SeaWinds scatterometer data and comparison withice model

Penulis

Pengamatan Lautan ,Radar ScatterometerYogi Suardi, Lahir di Penyalai Riau 4 Januari 1987. Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB Angkatan 42

Studi Variabilitas Konsentrasi Klorofil-A Dengan Menggunakan Data Satelit Aqua-Modis Dan Seawifs Serta Data In Situ Di Teluk Jakarta

PENDAHULUAN

Latar belakang

Teluk Jakarta terletak di utara ibukota Jakarta dengan garis pantai memanjang sejauh 72 km dari Tanjung Pasir di Barat sampai Tanjung Karawang di Timur. Lokasi Teluk Jakarta yang strategis membuat wilayah ini terancam pencemaran lingkungan terutama kualitas perairan. Salah satu upaya untuk mengkaji kualitas perairan di Teluk Jakarta adalah dengan melakukan pengukuran konsentrasi klorofil-a (Wouthuyzen, 2006). Klorofil-a telah lama dikenal sebagai indikator untuk menduga biomassa fitoplankton dan mempelajari proses fotosintesis (Tan et al, 2005).

Penelitian tentang variabilitas klorofil-a telah banyak dilakukan di Teluk Jakarta dan menunjukan konsentrasi klorofil-a yang relatif lebih tinggi pada Musim Barat dan relatif lebih rendah pada Musim Timur (Meliani, 2006; Wouthuyzen, 2006, 2007). Namun penelitian-penelitian terdahulu masih bersifat sporadis dan dalam jangka waktu yang pendek. Oleh karena itu, penelitian tentang variabilitas konsentrasi klorofil-a secara sinoptik dan dalam rentang waktu yang lebih panjang di Teluk Jakarta perlu dilakukan.

Tujuan

Tujuan utama dari penelitian ini adalah mempelajari variabilitas konsentrasi klorofil-a di Teluk Jakarta menggunakan data citra satelit SeaWiFS periode September 1997-Desember 2007 dan Aqua-MODIS periode Juli 2002-Desember 2007 serta data in situ. Faktor-faktor yang mempengaruhi variabilitas tersebut juga dipelajari menggunakan data pendukung seperti Suhu Permukaan Laut (SPL) dari NOAA-AVHRR, curah hujan dan arah serta kecepatan angin.

METODOLOGI

Lokasi dan waktu penelitian

Lokasi penelitian adalah Teluk Jakarta dengan koordinat 5o55’30” LS-6o07’00” LS dan 106o42’30” BT -106o59’30” BT. Periode pengamatan variabilitas klorofil-a berdasarkan data satelit adalah September 1997- September 2007. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data citra satelit komposit level 3 bulanan beresolusi 9 x 9 km dari Aqua-MODIS periode Juli 2002-Desember 2007 dan SeaWiFS periode bulan September 1997 – Desember 2007 yang diambil dari situs www.oceancolor.gsfc.nasa.gov. Selain itu digunakan pula data kualitas perairan hasil pengukuran lapangan P2O-LIPI (4 Maret 2004-28 November 2004). Sebagai data penunjang digunakan data Suhu Permukaan Laut (SPL) dari sensor AVHRR melalui situs http://poet.jpl.nasa.gov, data arah dan kecepatan angin harian serta data curah hujan harian dari stasiun maritim BMG Tanjung Priok.

Ekstraksi dan penghitungan konsentrasi klorofil-a dari satelit dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak pendukung pengolah citra satelit SeaDAS 5.2 (SeaWiFS DAta Set) yang berjalan dibawah sistem operasi linux versi Ubuntu 7.0. Hal ini dengan alasan perangkat lunak ini menggunakan algoritma khusus untuk menghitung konsentrasi klorofil-a dari citra satelit Aqua-MODIS dan SeaWiFS. Penghitungan data arah dan kecepatan angin menggunakan program WRPLOT dari situs http://www.weblakes.com, sedangkan analisis statistika menggunakan program STATISTIA 6.0.

Metode pengolahan data

Proses pengolahan terdiri dari beberapa bagian seperti pengambilan data insitu kualitas perairan, pengumpulan data klimatologi (curah hujan, arah dan kecepatan angin) dari stasiun BMG Tanjung Priok, dan pengolahan data satelit (SeaWiFS, Aqua-MODIS dan AVHRR).

Pengolahan suhu permukaan laut dari satelit

Suhu Permukaan Laut (SPL) dihasilkan dari satelit NOAA-AVHRR (National Oceanic and Atmospheric Administration-Advanced Very High Resolution Radiometer) dengan menggunakan algoritma pathfinder v5. Algoritma SPL pathfinder v5 merupakan modifikasi dari algoritma SPL Non Linier (NLSST) yang dibuat berdasarkan perbedaan nilai suhu kecerahan pada kanal 4 dan 5 (T4-T5). Menurut Kilpatrick et al., 2001; Evans dan Podestà, 1998 dirumuskan:

Variabilitas Konsentrasi Klorofil-A, Aqua-Modis

Pengolahan SPL Teluk Jakarta dari AVHRR menggunakan menu siang hari (day time) pada situs http://poet.jpl.nasa.gov.

Analisis deret waktu

Variabilitas konsentrasi klorofil-a di Teluk Jakarta secara temporal dapat diperjelas dengan melihat periodisitas data yang dominan. Hal tersebut didapat dengan menghitung Power Spectral Density (PSD). Sebelumnya data konsentrasi klorofil-a diubah domainnya dari berbasis waktu menjadi berbasis frekuensi dengan metode Fast Fourier Transform (FFT) (Bendat dan Pierson, 1986 in Rauf, 2007) dengan persamaan:

Variabilitas Konsentrasi Klorofil-A, Aqua-Modis

HASIL DAN PEMBAHASAN

Distribusi dan variabilitas konsentrasi klorofil-a

Variabilitas Konsentrasi Klorofil-A, Aqua-Modis

Pendugaan konsentrasi klorofil-a untuk lokasi A dan B dari satelit SeaWiFS dengan menggunakan algoritma OC4v4 secara umum cenderung menghasilkan nilai duga yang lebih tinggi (over estimate) daripada satelit Aqua-MODIS dengan algoritma OC3M dengan rata-rata perbedaan konsentrasi klorofil-a 0,035 mg/m3 (lokasi A) dan 0,516 mg/m3 (lokasi B) perbulannya. Hal ini mungkin terjadi karena adanya perbedaan algoritma dan sensitivitas sensor kedua satelit tersebut dalam menduga konsentrasi klorofil-a.

Berdasarkan analisis data spasial, secara umum konsentrasi klorofil-a di lokasi B jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan lokasi A baik yang diduga menggunakan satelit SeaWiFS maupun Aqua-MODIS. Pada lokasi B rentang konsentrasi klorofil-a dari SeaWiFS adalah 1,10-16,20 mg/m3 dan dari Aqua-MODIS adalah 0,58-13,95 mg/m3. Sedangkan kisaran konsentrasi klorofil-a daerah A dari SeaWiFS adalah 0,17-1,22 mg/m3 dan dari Aqua-MODIS adalah 0,18-0,93 mg/m3. Peningkatan konsentrasi klorofil-a khususnya di lokasi B (daerah dekat pantai) secara umum mengikuti pola peningkatan jumlah curah hujan atau jumlah debit sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta.

Faktor-faktor yang mempengaruhi variabilitas konsentrasi klorofil-a

Variabilitas Konsentrasi Klorofil-A, Aqua-Modis

Berdasarkan hasil analisis data curah hujan (Gambar 3) yang diperoleh dari stasiun BMG Tanjung Priok, curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari 2002 sebesar 813,50 mm sedangkan curah hujan terendah biasanya terjadi pada bulan Juni-Agustus (0 mm). Pola curah hujan yang tinggi pada Musim Barat secara umum diikuti dengan pola konsentrasi klorofil-a yang relatif tinggi pada Musim ini di Teluk Jakarta sehingga diduga curah hujan berpengaruh secara langsung terhadap sebaran konsentrasi klorofil-a di Teluk Jakarta.

Kecepatan angin (Gambar 3) pada Musim Barat secara umum relatif lebih tinggi dibandingkan dengan musim lainnya. Hal ini dapat membantu terjadinya percampuran nutrien dari perairan bawah ke permukaan (vertical mixing) sehingga kandungan nutrient dipermukaan menjadi lebih tinggi dan mengakibatkan peningkatan konsentrasi klorofil-a pada Musim Barat, begitu juga sebaliknya. berdasarkan hasil analisis data SPL dari satelit NOAA AVHRR ditemukan bahwa secara umum suhu permukaan laut rata-rata pada bulan Juli relatif lebih rendah dari bulan-bulan sebelum dan sesudahnya (Gambar 4). Hal ini mengindikasikan terjadinya proses upwelling di Teluk Jakarta. Hasil satelit ocean color juga memperlihatkan meningkatnya konsentrasi klorofil-a pada Musim Timur ini.

Spektrum densitas energi konsentrasi klorofil-a

Variabilitas Konsentrasi Klorofil-A, Aqua-Modis

Spektrum densitas energi klorofil-a di Teluk Jakarta lokasi A periode September 1997-Desember 2007 dari satelit SeaWiFS menunjukan nilai spektrum yang paling berpengaruh adalah 5,91 bulan. Sinyal tersebut menunjukan pengaruh musiman sangat dominan (3-6 bulan). Disamping itu juga terdapat sinyal tahunan (15,50 bulan) dan sinyal interannual (41,34 bulan) yang mungkin disebabkan oleh faktor el nino atau la nina (Gambar 5.a). Spektrum densitas energi klorofil-a dari satelit Aqua-MODIS dilokasi yang sama periode Juli 2002-Desember 2007 menunjukan adanya sinyal spektrum yang dominan pada periode 6,0 bulan yang termasuk sinyal musiman. Selain itu juga terdapat sinyal tahunan yang ditunjukan oleh periode 13,20 bulan (Gambar 5.b).

Variabilitas Konsentrasi Klorofil-A, Aqua-Modis

Perhitungan spektrum densitas energi klrofil-a dari satelit SeaWiFS di Teluk Jakarta lokasi B dengan rentang waktu yang sama dengan lokasi A ditemukan terdapat sinyal dominan pada periode 12,20 bulan yang merupakan sinyal tahunan. Selain itu juga terdapat beberapa sinyal musiman lain yang tidak terlalu dominan (4,51 bulan dan 7,18 bulan) dan juga terdapat sinyal interannual (20,33 bulan dan 40,67 bulan)yang mungkin disebabkan oleh faktor yang sama dengan lokasi A seperti el nino dan la nina (Gambar 6.a). Spektrum densitas energi klorofil-a dari satelit Aqua-MODIS di Teluk Jakarta lokasi B dengan periode Juli 2002-Desember 2007 menunjukan sinyal dominan pada pada periode 2,13 bulan yang menunjukan sinyal musiman. Selain periode tersebut sinyal musiman juga ditunjukan oleh periode 3,56 bulan , 4,92 bulan dan 7,11 bulan. (Gambar 6.b).

Perbedaan sinyal dominan pada perhitungan spektrum densitas energi di lokasi B antara data SeaWiFS dan Aqua-MODIS diperkirakan terjadi akibat perbedaan rentang waktu antara data SeaWiFS dengan Aqua-MODIS yang terpaut jauh. Selain itu tingginya anomali konsentrasi klorofil-a di lokasi B akibat letaknya yang berdekatan dengan sungai-sungai mengakibatkan terjadinya perbedaan dalam penghitungan sinyal dominan antara kedua satelit tersebut.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan analisis temporal, secara umum konsentrasi klorofil-a maksimum terjadi pada Musim Barat (Des-Feb) dan minimum terjadi pada Musim Peralihan I dan II (Apr-Mei; Sep-Okt). Hal ini diduga terkait dengan curah hujan dan kecepatan angin yang maksimum terjadi pada Musim Barat. Pada Musim Timur juga ditemukan nilai konsentrasi klorofil-a yang relatif tinggi dan diduga disebabkan oleh faktor upwelling yang diindikasikan dengan rendahnya suhu permukaan laut pada musim ini.

Estimasi pendugaan konsentrasi klorofil-a dari SeaWiFS cenderung over estimate terhadap pendugaan dari Aqua-MODIS dengan rata-rata perbedaan perbulan sebesar 0,035 mg/m3 (lokasi A) dan 0.516 mg/m3 (lokasi B). Hal ini diduga diakibatkan terdapat perbedaan algoritma dan sensitivitas kedua sensor tersebut dalam menduga konsentrasi klorofil-a.

Berdasarkan analisis data spasial, secara umum konsentrasi klorofil-a di lokasi B jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan lokasi A baik yang diduga menggunakan satelit SeaWiFS maupun Aqua-MODIS. Peningkatan konsentrasi klorofil-a didaerah pesisir cenderung mengikuti pola curah hujan sehingga diduga curah hujan mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap peningkatan konsentrasi klorofil-a di wilayah pesisir Teluk Jakarta.

Berdasarkan spektrum densitas energi, variabilitas konsentrasi klorofil-a di Teluk Jakarta dipengaruhi oleh faktor musiman, tahunan dan interannual. Terjadi perbedaan sinyal dominan pada lokasi B dari satelit Aqua-MODIS dan SeaWiFS yang diduga akibat tingginya anomali konsentrasi klorofil-a di lokasi tersebut.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan terhadap kecenderungan konsentrasi klorofil-a yang relatif tinggi pada Musim Timur dengan faktor oseanografi fisika yang lebih lengkap seperti salinitas dan arus laut.

DAFTAR PUSTAKA

Evans, R and G. Podestà. 1998. Pathfinder sea surface temperature algorithm version 4.0. http://www.rsmas.miami.edu.groups/rrsl/pathfinder/Algorithm (23 December 2008:3.15 pm).

Kilpatrick, K.A, G. P. Podestà, and R.E. Evans. 2001. Overview of the NOAA/NASA Advanced Very high resolution radiometer Pathfinder algorithm for sea surface temperature and associated matchup database. Journal of Geophysical Research, 106: 9179-9197.

Meliani, F. 2006. Kajian Konsentrasi and Sebaran Spasial Klorofil-a di Perairan Teluk Jakarta Menggunakan Citra AQUA-MODIS. Skripsi. Program Studi Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor .

NASA, 1998. An Overview of SeaWiFS. http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/SeaWiFS. (23 Januari 2009:11.10 am).

Rauf, M.I.A. 2007. Variabilitas Massa Air pada Lapisan Termoklin Perairan Selat Lombok and Ombai Periode Januari 2004-Juni 2005. Skripsi. Program Studi Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Tan, K.C., J. Ishizaka, S. Matsumura, F.Mo. Yusoff, and M.I.H. Mohamed. 2005. Seasonal Variability of SeaWiFS Chlorophyll-a in the Malacca Straits in Relation to Asian Monsoon. Continental Shelf Research, 26:168-178.

Wouthuyzen, S. 2006. Pemetaan and Pemantauan Kualitas Perairan Teluk Jakarta Sebagai Muara Akhir DAS JABOPUNCUR dengan Menggunakan Multi-Sensor and Multi-Temporal Data Citra Satelit. Laporan Kumulatif 2004-2006 P2O-LIPI. Jakarta. 84 hal.

Wouthuyzen, S. 2007. Pendeteksian Dini Kejadian Marak Alga (Harmful Algal Blooms/HAB) Perairan Teluk Jakarta and Sekitarnya. Laporan Akhir Tahun. P20-LIPI. Jakarta.

Penulis

Variabilitas Konsentrasi Klorofil-A, Aqua-Modis

Perdana Karim Prihartato, S.Pi, merupakan alumni mahasiswa Institut Pertanian Bogor Program Studi Ilmu Kelautan.