Tampilkan postingan dengan label SEJARAH INDONESIA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SEJARAH INDONESIA. Tampilkan semua postingan

Jusuf Ronodipuro, Penyebar Kabar Proklamasi


jusuf_ronodipuro1
Di negara dengan luas wilayah sebesar Indonesia, tentu bukan perkara
mudah mengabarkan berita proklamasi ke seluruh penjuru Nusantara pada
tahun 1945. Hanya radio lah yang bisa menjangkau seluruh pelosok
negeri. Kala itu satu-satunya stasiun radio yang ada hanyalah Hoso
Kyoku, milik Dai Nippon. Lalu bagaimana kabar kemerdekaan kita bisa
disebarluaskan?
Adalah seorang pria muda bernama Jusuf Ronodipuro yang kala itu
bekerja di Hoso Kyoku Jakarta (Radio Militer Jepang di Jakarta) yang
mengumandangkan pesan penting tersebut. Ia menuturkan kisahnya.
Pada tanggal 14 Agustus 1945, Jusuf muda yang bekerja sebagai
reporter di Hoso Kyoku datang seperti biasa ke kantornya di Jalan
Medan Merdeka Utara. Suasana pagi itu tampak lain, beberapa orang
Jepang yang bekerja di radio tersebut tampak bergerombol, mereka
berbisik-bisik dalam suasana yang muram, bahkan gadis-gadis Jepang
terlihat menangis.

Ternyata pada saat itu bom atom kedua sudah dijatuhkan di Nagasaki
dan Jepang menyerah kepada Sekutu. Kabar tentang menyerahnya Jepang
disampaikan oleh Mochtar Lubis yang juga bekerja di radio tersebut di
bagian monitoring. Mochtar adalah satu-satunya orang Indonesia yang
diizinkan mendengarkan siaran radio asing.
Merasa bahwa hal itu penting untuk disampaikan kepada teman-temannya
yang biasa berkumpul di Menteng Raya 31, berangkatlah Jusuf
mengendarai sepedanya untuk memberikan kabar kekalahan Jepang. Sampai
di sana, ternyata mereka sudah mendengar kabar yang sama dari Adam
Malik yang bekerja di kantor berita DOME.
Pada hari yang sama, Jusuf mendapat tugas untuk meliput kedatangan
Bung Karno dan Bung Hatta di bandara Kemayoran sepulang dari Saigon.
Beberapa utusan golongan muda di antaranya Sukarni, Chairul Saleh,
AM. Hanafi ikut menjemput dan mendesak Bung Karno dan Hatta agar
segera menyatakan kemerdekaan.
Usaha Sukarni dkk tersebut gagal. Menurut penuturan Jusuf, saat itu
Bung Karno hanya berkata, “Saudara-saudara tidak usah menunggu
umurnya jagung, karena jagung sebelum berkembang kita sudah akan
merdeka.” Tidak ada penjelasan lain dari Bung Karno.
Sepulang dari Kemayoran, Jusuf mendapat pesan dari Sukarni agar
merebut radio Hoso Kyoku karena akan ada pengumuman sangat penting.
Tetapi di pintu masuk kantor tampak tentara Kempetai berjaga-jaga dan
melarang orang masuk ke kantor. Karena Jusuf adalah karyawan, ia
diizinkan masuk. Jusuf lalu menyampaikan pesan Sukarni itu kepada
Bahtar Lubis yang sama-sama bekerja di bagian pengabaran (redaksi).
Diisolasi
Hari itu pimpinan Hoso Kyoku menyampaikan dua pengumuman kepada para
karyawan. Pertama, para karyawan yang sudah di kantor dilarang keluar
lagi dan yang di luar tidak diizinkan masuk. Kedua, siaran luar
negeri dihentikan (mungkin agar berita kekalahan Jepang tidak sampai
ke rakyat Indonesia).
Jadilah mereka semua diisolasi di kantor radio dan terpaksa bermalam
di sana. Esoknya, hari Kamis 16 Agustus 1945 tidak ada kejadian
berarti, siaran berjalan seperti biasa. Malam harinya ada sedikit
keributan di depan kantor, ternyata Sukarni datang bersama beberapa
orang Jepang tetapi dilarang masuk. Dari dalam mobil, Sukarni
berteriak, “Tunggu, akan ada pengumuman penting,” lalu ia pergi.
Di tempat lain, di sebuah rumah di Pegangsaan 56, tanggal 16 Agustus
dini hari, selepas sahur, Sukarni dkk datang ke rumah Bung Karno.
Mereka berusaha meyakinkan Bung Karno bahwa Jakarta tidak aman karena
Jakarta akan menjadi lautan api, sehingga mereka ingin mengamankan
Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok.
Kedua pemimpin tersebut setuju dan berangkatlah mereka menggunakan
mobil ke Rengasdengklok. Hari itu tak hanya serdadu Jepang yang sibuk
mencari Bung Karno dan Bung Hatta, para anggota PPKI (Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) juga mencari karena sedianya hari
itu dilakukan rapat.
Malam harinya kedua pemimpin tersebut kembali ke Jakarta dan langsung
melakukan rapat perumusan naskah proklamasi di rumah Laksamana
Tadashi Mayda di Jalan Imam Bonjol No.1 dengan dihadiri anggota PPKI
dan angkatan muda.
Kembali ke Jalan Medan Merdeka, hari Jumat 17 Agustus 1945, radio
Hoso Kyoku tetap melakukan siaran seperti biasa. Jusuf dkk tidak
mengetahui bahwa Indonesia telah menyatakan kemerdekaan karena
komunikasi dengan dunia luar memang terputus.
“Siang itu beberapa mahasiswa kedokteran berhasil masuk ke lobi
membawa kertas. Di tangga, pistol yang dibawa seorang mahasiswa
terjatuh dan diketahui tentara Kanpetai. Mereka lalu ditendang dan
diusir keluar,” Jusuf mengenang. Kemungkinan mahasiswa tersebut
membawa pengumuman proklamasi untuk disiarkan.
Sore hari, sekitar jam 17.30, ketika Jusuf sedang menyiapkan menu
berbuka puasa, masuk seorang teman dari kantor berita Dome (Jusuf
lupa namanya). Dengan pakaian kotor dan basah oleh keringat karena ia
meloncati tembok belakang kantor radio, ia menyampaikan secarik
kertas.
Secarik kertas bertuliskan tulisan tangan dari Adam Malik.
Tertulis : “Harap berita terlampir disiarkan.” Lampiran berita yang
dimaksud adalah naskah proklamasi yang sudah dibacakan pukul 10 pagi.
Jusuf lalu berembuk dengan Bahtar Lubis dan beberapa orang lain
tentang pesan penting tersebut. “Semua studio dan ruang kontrol
dijaga oleh Kempetai, bahkan saat itu semua naskah siaran harus
disensor dulu termasuk lagu-lagu. Lalu saya teringat studio siaran
luar negeri yang sejak tanggal 15 sudah ditutup,” ujar Jusuf.
Untunglah nasib baik berpihak kepada mereka, ternyata studio siaran
luar negeri tidak dijaga. Dengan berhati-hati mereka menyelinap masuk
ke dalam studio. Tepat pukul 7 malam, Jusuf siap di depan corong
radio untuk menyampaikan proklamasi kemerdekaan Indonesia ke seluruh
penjuru Nusantara dan dunia.
Untuk menghindari kecurigaan Kempetai, siaran tetap berjalan seperti
biasa, tetapi kabelnya tidak diteruskan ke pemancar. Karena
sesungguhnya yang disiarkan adalah proklamasi yang dibacakan Jusuf
dari studio siaran luar negeri. Selama 15 menit mereka melakukan
siaran gelap.
Setelah itu mereka membereskan semuanya seperti sedia kala,
menggulung kabel dan mematikan lampu ruang siaran, lalu kembali ke
ruang redaksi dan berlaku seolah tidak terjadi apa-apa.
Kepala Nyaris Dipenggal
Tiba-tiba, Brak !!… pintu ruang redaksi ditendang.
Dengan wajah merah padam karena murka masuklah tentara Kempetai.
Beberapa staf radio yang berada di ruangan tersebut lari kocar-kacir.
Merek lalu menyeret Bahtar dan Yusuf ke sebuah ruangan. Di sana
mereka menjadi bulan-bulanan kemarahan Kempetai, ditonjok dan
ditendangi. Rupanya tentara Jepang baru tersadar bahwa Jusuf dkk
berhasil lolos dari pengawasan dan melakukan siaran.
Tepat saat Kempetai hendak mengayunkan samurai ke leher dua orang
itu, datang pimpinan radio Hoso Kyoku, antara lain Tomobachi dan
Shimura. Mereka lalu berbicara dalam bahasa Jepang kepada para
tentara. Selamatlah Jusuf dan Bahtar dari malaikat maut.
Malam itu pula, diumumkan penutupan radio Hoso Kyoku, semua karyawan
diminta pulang. Sekitar pukul 10 malam, Jusuf mengendarai sepedanya
hendak pulang ke rumah kosnya di bilangan Salemba. Baru beberapa
meter dari kantor, ia hampir pingsan karena sakit, lapar dan emosi
yang terkuras.
Tak kuat melanjutkan perjalanan, ia lalu mampir di rumah temannya,
seorang pelukis, Basuki Abdullah di Gang Gambir Buntu. Di sana ia
dipinjami baju karena bajunya compang-camping penuh darah, makan dan
menumpang tidur.
Mendirikan Pemancar Radio
Paginya, Jusuf pamit pulang. Dalam perjalanan ia merasakan sakit yang
luar biasa di bagian kaki dan dada akibat diinjak sepatu lars tentara
(sampai kini tempurung kaki Yusuf bengkok sehingga ia agak pincang
saat berjalan).
Dari Gambir ia mengambil jalan melewati Diponegoro lalu memutuskan
untuk memeriksakan diri ke dokter Abdulrahman Saleh di belakang RSCM
(sekarang Jalan Kimia). Sambil diperiksa, Jusuf menceritakan kejadian
yang dialaminya semalam.
Oleh Abdulrahman Saleh yang kerap disapa dokter Karbol, ia disarankan
untuk membuat pemancar radio karena pemerintahan (yang baru berusia
satu hari itu) membutuhkan radio sebagai sarana komunikasi pada
rakyat.
Jusuf lalu mengontak seorang temannya yang bekerja di bagian gudang
untuk mencarikan bahan-bahan untuk pemancar. Setelah alat-alat
terkumpul, mulailah mereka merangkai pemancar radio. “Kami mengebor
tiang-tiang dengan bor untuk gigi,” ujarnya terkekeh.
Pekerjaan tiga hari tiga malam akhirnya selesai. Tapi timbul masalah
baru, di manakah akan diletakkan pemancar itu ? Dokter Karbol menolak
jika pemancar itu ditaruh di rumahnya karena khawatir oleh patroli
Jepang. Jadilah ruang laboratorium dokter Karbol di RSCM menjadi
studio darurat.
Untuk mencapai studio tersebut, mereka harus masuk dari belakang RSCM
melewati kamar mayat yang baunya luar biasa busuk. Jusuf mengenang,
sepulang siaran ia harus merendam bajunya selama dua hari agar baunya
hilang. Meski darurat, tapi dari studio itulah Presiden Soekarno
menyampaikan pidato-pidato untuk membangkitkan semangat kepada
rakyatnya.
Selepas kemerdekaan bangsa ini yang tahun ini akan menginjak usia 67 tahun
( TAHUN 2012), kisah perjuangan Jusuf memang sering terlupakan dalam cerita-
cerita sejarah revolusi, padahal berkat jasanya ia berhasil
menyampaikan kabar kemerdekaan sampai ke negara-negara tetangga.
Terima kasih banyak Pak Jusuf…

Peristiwa Madiun 1948 (Pemberontakan PKI Musso?)

   
“Peristiwa Madiun” pada hakekatnya bukan konflik antara Soe karno dan Soemarsono-Amir Sjarifuddin, melainkan merupakan gelanggang pertunjukan aplikasi paradigma perang-dingin: adikuasa anti-komunis dengan darah dan kekuatan senjata menumpas kubu kaum kiri....

Dia seorang tokoh kontroversial. Begitulah tanggapan yang bisa kita dengar dari pihak lawan maupun kawan Soemarsono sendiri. Dia sendiri tidak pernah menutup- nutupi, malah terbuka di hadap an publik mengatakan bahwa dia Kristen sekaligus Komunis, anggota PKI. Bersama seluruh keluarga, istri dan anak-anaknya dia taat pada kekristenannya dan berkunjung ke gereja. Secara pribadi Soemarsono loyal dan sepenuh hati mengabdi pada tanah air Indonesia dan kepada Partainya, sedangkan keluarganya sama sekali tidak berurusan dengan PKI.
Sosoknya berkepribadian mandiri, kuat sikap kebebasan individualnya. Sesuai watak jawa timuran, dia terbiasa ceplas-ceplos menggunakan kata-kata keras terhadap lawan bicaranya. Dia berbicara lantang tanpa basa-basi terhadap Suharto, tetapi sekaligus juga tanpa tedeng aling-aling mengkritik pimpinan partai, bahkan menuding kawan partainya sendiri sebagai pengkhianat. Sikap seperti itu boleh saja dianggap subjektif, tetapi begitulah konsekuensi seorang yang mandiri, seorang yang sudah terbiasa menggunakan kebebasan individunya tanpa niat bersikap tidak etis. Untuk itu dia sanggup dan bersedia mempertanggung-jawabkan pendapat dan segala ucapannya dalam forum apa pun.
Kita angkat topi menghormati sikap Komisi Tulisan Soemarsono,sebuah Team di Eropa yang teliti mencatat segala ucapan Soemarsono tanpa mencampuri apalagi memanipulasi substansi apa yang diuraikan. Dengan menjunjung tinggi prinsip demokrasi, Team tersebut mengakui hak Soemarsono untuk bebas mempunyai pendapat dan bebas bersuara, dulu maupun sekarang. Penerbit Hasta Mitra pun menghormati pendapat Soemarsono dan mengendorsesepenuhnya sikap “Komisi Tulisan Soemarsono” di Eropa itu. Bebas berpendapat dan bebas bicara kita akui sebagai hak azasi manusia yang harus berlaku bagi segenap warganegara Indonesia tanpa kecuali. Yang tidak kita akui adalah hak monopoli berbicara, hak memonopoli kebenaran, apalagi hak menggunakan kekerasan untuk memberangus pihak- pihak lain yang berbeda pendapat. Sudah terlalu lama – lima-puluh tahun lebih – Soemarsono dibungkam tanpa diberi kesempatan membuka mulut atau menangkis segala fitnah dan tuduhan sepihak yang dilempar ke kepalanya.
 Ini kali Soemarsono bebas berbicara.

***

Sejarah ditulis oleh Pihak Yang Menang”, oleh Pihak Yang Berkuasa. Adagium ini berjalan dalam praktek, walaupun sebenarnya tidak harus mutlak demikian. Seperti misalnya semasa Periode Bung Karno, dalam era Demokrasi Terpimpin yang serba mandiri, pihak yang kalah pun bisa ikut menulis sejarah, paling kurang masih bisa buka mulut. Contoh: “Peristiwa Madiun 1948”.
Semasa Bung Karno, PKI sebagai pihak yang kalah, diwakili D.N. Aidit sebagai Ketua, bahkan bisa buka suara mempertahankan kebenaran me nurut versinya sendiri di forum resmi DPR, juga terbuka berargumentasi di mass-media dan menerbitkan Buku Putih. Sudah tentu, versi pihak yang menang bagaimana pun tetap dominan menguasai opini publik, dan prilaku masyarakat biasanya melahap versi resmi pemerintah sebagai versi yang benar. Itu tidak jadi soal, selama tidak berlaku kekerasan pembungkaman sepihak.
Contoh sebaliknya: semasa rejim Golkar Suharto – adagium“Sejarah ditulis oleh Pihak Yang Menang” menjadi hukum-besi. Versi sejarah yang ditulis rejim Golkarnya Suharto sebagai pihak pemenang menjadi kebenaran mutlak satu-satunya yang wajib dipercaya, wajib diterima-baik oleh seluruh masyarakat tanpa kecuali. Kita semua mengalami sendiri, hukum -besi jendral Suharto berlaku bagi versi “Peristiwa G30S/PKI” dalam buku-buku pelajaran maupun dalam versi filmnya, begitu pula mengenai versi “Peristiwa Madiun” sampai-sampai termasuk versi kisah heroik “Serangan Yogya”, dan berbagai legenda kepahlawanan kreasi benak sang pemenang sendiri. Berpikiran lain daripada pendapat Yang Berkuasa akan menghadapi risiko diberangus atau dipenjara. Pendapat berbeda disumbat sebungkam-bungkamnya, tidak ada tolerasi polemik bagi pemikiran lain, titik! Begitulah tatatertib jaman orbanya Golkar.
Penyeragaman berpikir menjadi kebijakan sistematis yang diterapkan pada anak-anak bangsa meliputi dua generasi. Pembodohan dilegitimasi dengan undang-undang yang berlaku selama tigapuluh tahun lebih dan berlanjut sampai hari ini. Sekarang ini dalam “era-reformasi” pun, Penguasa tetap mendominasi opini publik dan mendikte apa yang boleh apa yang tidak boleh dibaca oleh anak-anak sekolah kita bila soalnya menyangkut sejarah. Proses membodohkan bangsa berjalan terus, anak-anak sekolah tidak perlu dilatih membiasakan berpikir kritis dan mandiri, Pemerintahlah yang akan berpikir untuk seluruh warganegara, terutama bagi kawula muda bangsa. Dalam urusan sejarah di era reformasi sekarang ini, banyak pejabat eksekutif, legislatif dan yudikatif, dengan dukungan aparat kejaksaan tetap memberlakukan hukum -besi Suharto. Konsep hidup berdemokrasi, semangat reform, wawasan pencerahan untuk kemajuan, bertoleransi menghormati kebebasan individu, sikap mandiri dan kritis, tidak tembus ke benak kebanyakan pejabat meski Suharto sudah lama lengser. Lebih-lebih parah lagi, mind-set yang rancu itu juga menjangkiti bagian besar kaum intelektual kita. Warisan Suharto masih tetap digendong-gendong terus. Benar sekali bila dikatakan bahwa aparat pemerintahan era pasca-Suharto – era yang katanya “era reformasi” – pada hakekatnya hanya kelanjutan era Orde Baru Golkar Suharto dengan jubah baru.

Kita tahu bahwa Soemarsono dikenal sebagai Tokoh Peristiwa Madiun, tetapi dalam buku ini dia berbicara mengenai berbagai topik selain Peristiwa Madiun, antara lain pengalaman sekitar 10 November 1945 di Surabaya, penilaiannya terhadap Suharto berikut aparat Orde Baru, juga tidak luput kritiknya terhadap pimpinan PKI maupun beberapa anggota Partainya sendiri.
Team Penyusun telah berusaha optimal memelihara otentikitas uraian Soemarsono yang kesemuanya dikemukakan dalam bentuk uraian lisan selama lawatannya di Eropa. Editing oleh Team Penyusundilakukan sangat minim sekedar mengubah bahasa lisan agar tidak terlalu jauh menyimpang dari kaedah bahasa tulisan. Mengenal pribadinya dengan baik, penerbit yakin Soemarsono tanpa ragu bersedia terbuka dalam forum apapun mempertanggung-jawabkan apa yang diucapkan maupun mengenai keterlibatannya dalam semua kejadian. Sebaliknya kita juga mengakui hak semua pembaca untuk bebas menilai apa yang dikatakan Soemarsono atau siapa pun yang mau ikut berkomentar. Keadilan sejarah harus berlaku bagi semua orang termasuk bagi seorang Soemarsono yang selama ini tidak berkesempatan mengemukakan pendapat dengan terbuka dan bebas.

***

Kita mencatat dua argumentasi paling pokok dalam pertanggungan-jawab Soemarsono.
Argumentasi pertama dan argumentasi kedua bisa dibedakan akan tetapi tidak bisa dipisahkan, karena dua argumentasi itu jelas kait-mengait. Soemarsono menolak keras segala tuduhan bahwa dia telah melakukan perebutan kekuasaan di Madiun. Tegas dia menyatakan tidak ada coup d’etat di Madiun dalam bentuk apa pun. Coup d’etattidak, coup de la ville – perebutan kekuasaan kota – pun tidak! Soemarsono menganggap perebutan kekuasaan negara, pembangkangan atas kekuasaan pemerintahan pusat, atau merebut kekuasaan pada tingkat kelurahan sekalipun, pada prinsipnya adalah perbuatan makar, dan justru itu yang tidak dia lakukan.
Apa yang sungguh-sungguh dia lakukan adalah membela diri terhadap serangan dari luar. Itulah argumentasinya yang pertama; sedangkan argumentasi kedua menjelaskan bahwa yang terjadi di Madiun sebenarnya adalah akibat – dia berlawan untuk bela diri – karena ada sebab yang dimulai lebih dulu dari Solo. Yang dia maksudkan dengan sebab atau pemicu adalah kejadian-kejadian di Solo ketika unsur-unsur kekuatan kanan menangkapi kekuatan kiri. Soemarsono sendiri sampai hari ini pun seperti sudah kita kemukakan di atas, tidak pernah menutup-nutupi diri bahwa dia komunis – dan dengan sendirinya dia bersikap solider dan membela sesama kawan-kawan politiknya yang diperlakukan tidak adil oleh siapa pun. Pidato Bung Karno terkenal “Pilih PKI-Muso atau pilih Soekarno-Hatta”yang disusul pengerahan pasukan TNI ke Madiun, juga oleh Soemarsono dikatakan sebagai penyebab atau pemicu yangmengakibatkan dia angkat senjata untuk membela diri. Semuaakibat terjadi karena ada sebab – dan menurut Soemarsono fakta berbagai kejadian yang menjadi sebab – dan berbagai kejadian yang menjadi akibat jangan hendaknya sampai diputar-balik.
Soemarsono, sebagai seorang pelaku, menjelaskan semua itu sampai ke detail, tetapi di sini kita saripatikan hanya yang menyangkut isi pokok pembelaan Soemarsono saja. Wajar saja bila banyak pihak mendukung, sebaliknya juga banyak tidak membenarkan versi Soemarsono. Entah membenarkan, entah menyalahkan, fakta rieel yang ada adalah bahwa versi pihak yang menang menguasai opini publik. Betul sekali adagium yang mengatakan, pihak yang menang mendikte penulisan sejarah.

Pengantar penerbit ini tidak bermaksud meninjau terbatas hanya pada persoalan Madiun, melainkan ingin menjangkau scope yang jauh lebih luas. Kita tidak mengkaji siapa benar siapa salah dalam Peristiwa Madiun saja. Fokus kita terpenting adalah mencari inti sebab-musabab pecahnya berbagai konflik nasional yang dialami dalam sejarah modern bangsa, kita ingin menelusuri pengalaman bangsa sejak mulai memperjuangkan kemerdekaan melawan kolonialisme di tahun 20-an sampai hari ini. Fokus utama Hasta Mitra adalah meneliti dan mencari akar-masalah tragedi konflik nasional di masa lalu yang sampai detik ini masih kita gendong-gendong terus.
Dalam rangka itu, kita mantap berkesimpulan bahwa: inti akar-masalah adalah produk konflik yang merupakan komoditi impor dari luar yang sadar atau tidak sadar dioper oleh kaum intelektual kita menjadi milik nasional; dan sangat tragis sampai hari ini pun produk impor itu permanen hadir di tengah-tengah kita dan berkesinambungan dari waktu ke waktu meledakkan bencana antar sesama bangsa kita. Yang kita maksudkan dengan produk konflik impor, tidak lain adalah kubu anti-komunis yang tidak mentolerir sama sekali eksisnya kubu komunis. Kubu anti-komunis yang mengklaim berazas demokrasi justru memperkosa demokrasi dengan cara membenarkan menggunakan kekerasan senjata – fisik dan mental – untuk membasmi punah pihak-pihak yang berpendapat lain. Dua kubu itu latent hadir dalam kehidupan manusia, di dunia mana pun termasuk juga Indonesia yang ikut-ikutan menjadikan konflik permanen itu menjadi miliknya sendiri, dan diwarisinya dari generasi ke generasi berikutnya.
Konflik dua kubu yang tidak saling mentolerir berjalan visa-versa, tetapi di dalam praktek tentu kubu yang dominan yang mendikté situasi dan mampu mempunahkan lawannya.
Apakah yang disebut dua kubu itu? Macam-macam nama dapat diberikan – gampangnya untuk entity berpasangan itu kita menyebutnya: kubu kanan – kubu kiri. Varian lain: kapitalis –­ komunis, reaksioner – progresif, konservatif – liberal, dogma-agama – sekuler, moderat – radikal, kontrev – revolusioner, elitis – populis, kaya – mis kin, dst. Dua kubu itu hadir dalam seluruh strata kehidupan kita, sampai-sampai orang awam pun bisa mengenali koruptor–patriot, penguasa otoriter – penguasa demokratis.
Begitulah perjalanan sejarah modern dunia yang lebih jelas wujud bentuknya sejak muncul Aufklärung, wawasan-wawasan pencerahan, kemudian berpolarisasi lebih tajam setelah tampil Marx. Sejarah mutakhir Indonesia pun demikian adanya, konfrontasi antagonistik berkelanjutan tidak henti-hentinya. Lantas fakta apa yang dihasilkan konfrontasi dua kubu itu? Pada umumnya sampai hari ini kubu pertama, yaitu kubu kanan the old established forces masih selalu menang alias dominan atas kubu kiri – the new emerging forces. Di dunia begitu, di Indonesia pun begitu.
Peristiwa Madiun pun pada hakekatnya adalah konflik dua kubu tersebut – dan karena kubu kanan yang menang dengan sendirinya versi pemenanglah menguasai opini publik. Idem dito Peristiwa G30S, “pemberontakan 1926”, peristiwa Tanjung Priok, Poso, Ambon, Lampung, peristiwa HAM/kampus Trisakti, BLBI, kasus Lumpur panas Lapindo, pendeknya di seluruh strata kehidupan masyarakat sosial-politik-budaya; versi yang berkuasa yang identik dengan kubu kanan adalah versi yang diterima sah oleh masyarakat dan mass media.

***

Menghadapi dan mengharapkan suatu masa depan yang lebih baik, dengan dibimbing positive thinking, kita berusaha optimal mengubah yang negatif menjadi positif, segala musibah menjadi hikmah, mempositifkan tragedi menjadi keuntungan bagi terutama rakyat dan negeri. Semua konflik berdarah pada hakekatnya merupakan ulah elite politik, rakyat jadi instrumen adu-domba bagi elite yang semata-mata mengejar kepentingan sendiri berjargon bekerja demi kepentingan rakyat. Ujung-ujungnya selalu rakyat yang menderita, yang memikul seluruh beaya tinggi dari tragedi satu ke tragedi lain.Akibatnya: bumi Indonesia yang memiliki melimpah-ruah kekayaan alam dan potensi tenaga kerja, memiliki rakyat miskin yang jumlahnya besar di dunia, dan ironisnya Indonesia yang mayoritas rakyatnya miskin, ternyata paling banyak memiliki milyuner dolar! Tanpa keluar keringat mereka korupsi dalam skala besar-besaran, mereka menjadi multi-milyuner dolar gelap dengan lindungan Pe­nguasa. The very selective few atau elite pilihan itu dalam konflik apa pun tidak pernah tersentuh badannya, tidak kecubit secuil pun kulitnya, harta dan kekayaan mereka tetap utuh, nasibnya cuma bisa terus bertambah-tambah kaya dan nyaman saja. Elit itu pula yang menguasai trilyunan rupiah maju lagi dalam pemilu berikutnya.
Sudah waktunya walaupun sudah sangat terlambat, segenap rakyat menyadari fakta keras tersebut. Fakta elite yang sukarela menjadi perpanjangan kekuatan asing, membuat negeri dalam status ketergantungan pada kapitalisme global, terjun dan main politik untuk kepentingan diri sendiri. Ini tidak berarti bahwa kita anjurkan rakyat agar jangan main-main politik, supaya takut politik, atau tidak berideologi. Justru sebaliknya, rakyat harus berideologi, sadar politik setinggi-tingginya agar mampu membaca situasi apa yang sebenarnya sedang, sudah dan akan terjadi.

Jangan serahkan politik hanya kepada kaum elite    

Cobalah pakai kalkulator menghitung-hitung matematis fondasi ekonomi negeri kita. Berandai-andailah elite-politik kita mengurangi korupsinya 10% saja, apalagi sampai sebesar 25% – bersih dari korupsi cuma khayal an –, rakyat Indonesia yang sudah “merdeka” 60 tahun lebih dan memiliki bumi tanah-air yang kaya melimpah ruah, hari ini pastilah sudah hidup jauh lebih sejahtera ketimbang peringkat kemakmuran penduduk Singapura, tetangga kecil kita yang tidak punya sumber kekayaan seperti Indonesia. Yang mereka miliki cuma kebiasaan bekerja keras, berdisiplin tinggi di segala bidang dan minim mengkorup kekayaan negara.

Sampai hari ini era-reformasi yang berumur 10 tahun seakan berjalan di tempat, tidak tahu konsep mana yang benar, tidak tahu kerja apa harus diprioritaskan, tidak juga tahu bagaimana dan dari mana harus memulai menembus kebuntuan dan membenahi situasi amburadul saat ini. Apa jadinya kalau kepentingan pribadi para elite politik diidentikkan sebagai kepentingan rakyat? Apa jadinya kalau maling besar justru paling keras berteriak “awas maling”. Per ekonomian dikatakan maju padahal rakyat kecil paling merasakan makna “kiprah kemajuan ekonomi” dengan terus membumbungnya harga kebutuhan sehari-hari. Perlu dan pentingnya rakyat sadar politik dan berideologi, justru guna tepat mengdiagnosa penyakit dan menemukan terapinya.
Lantas berpolitik dan berideologi yang bagaimana? Jelas bukan ideologi Golkar, rakyat serba manut diperintah dari atas, melainkan ber ideologi persatuan dan kesatuan, berideologi jijik korupsi, berideologi keadilan demi kesejahteraan rakyat, berideologi meng­utamakan kepentingan rakyat, dan di atas segalanya ideologi nasionalisme modern, mandiri dalam semua aspek kehidupan politik. Dengan singkat-padat: berideologi Trisakti Bung Karno!!! Pancasila jangan sebatas wawasan saja, tetapi harus menjadi ideologi aksi dalam praktek.
Dengan kesadaran politik tinggi kita ubah langkah dan segala pemikiran yang negatif menjadi positif, kemubasiran di masa lalu yang sia-sia menjadi kelebihan melimpah-limpah menguntungkan. Tragedi ke tragedi yang kontra-produktif ke kerja produktif sebagai bekal masa depan. Jelas merealisasi segala yang indah itu tidaklah segampang mengucapkannya, pasti berat dan banyak rintangan, akan tetapi bukannya tidak mungkin.

Uraian Soemarsono, memancing kesan kuat bahwa dalam sejarah perjuangan kita telah terjadi kemubasiran yang sia-sia, kerugian maha besar – tiada lain cuma kemunduran bagi rakyat dan negeri. Oleh karena itu kita ingin dan harus bisa menarik pesan politik danmoral dari semua fenomena kemubasiran itu. Walaupun pengalaman yang serba pahit, kita jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sangat penting kita tetap pelajari sejarah, bukan untuk melulu menggugat atau menyesali kesalahan para pemimpin kita di masa lalu, apalagi menjadikan konflik-konflik itu menjadi aktual kembali sebagai bahan diskusi pertengkaran politik hari ini. Justru sebaliknya kita jangan sampai mengulang berbagai kemubasiran serba negatif itu, karena kita sedang menghadapi tantangan masa-depan. Itulah isi kredo kata-kata “jangan melupakan sejarah” pada saat membaca versi penulisan sejarah apa pun.
Dari generasi masa kini dituntut harus mampu menangani tugas – tugas masa depan dengan lebih baik, lebih pintar dan lebih kreatif. Generasi masa kini sudah pada waktunya sadar jangan jadi instrumen elit politik berjubah ideologi pseudo bela rakyat. Generasi masa kini perlu kematangan politik, supaya bisa aktif mencegah segala bentuk kemubasiran sosial ekonomi-politik. Galanglah kebersamaan barisan progresif guna menegakkan kembali ideologi mandiri di segala bidang. Negeri harus keluar dari situasi amburadul – berpisah dari semua warisan Golkarnya Suharto dan terbebas dari segala bentuk ketergantungan.

“Peristiwa Madiun” pada hakekatnya bukanlah konflik Soekarno di satu pihak dan Soemarsono-Amir Sjarifuddin di lain pihak, melainkan merupakan gelanggang pertunjukan aplikasi paradigma perang-dingin: adikuasa anti-komunis menumpas dengan darah dan kekuatan senjata kubu kaum kiri (kemudian menyusul kubu Islam dan selanjutnya semua pihak yang berpikiran lain).
Sudah waktunya politisi dan kaum intelektual Indonesia mengoreksimind-set mereka selama ini, bebaskan diri dari distorsi alam pemikiran politik yang merugikan dan memecah potensi bangsa.
Kembalilah pada Trisakti Bung Karno, bersikaplah mandiri untuk selalu mendahulukan dan menguntungkan kepentingan rak yat – bebas dari ketergantungan bangsa dan negeri lain.
Terimakasih kepada “Team Penyusun” di Eropa dan penghargaan setinggi-tingginya untuk Pengantar bung Wilson, sejarawan muda alumnus Universitas Indonesia, yang jernih, tajam dan komprihensif menjabarkan bagi kita sejarah sebenarnya dari apa yang dinamakan “Peristiwa Madiun”.

Sumber 
  • Wiki Indonesia
  • McMahon, Robert J., Colonialism and Cold War: The United States and the Struggle for Indonesian Independence. London: Cornell University Press, 1981, dalam History of U.S. Diplomatic Relations in Indonesia
  • Rosihan Anwar, Agen CIA yang saya kenal. Peristiwa Madiun 1948, Kompas Online, Kamis, 18 September 1997
  • T.B. Simatupang, Laporan dari Banaran, Kisah pengalaman seorang prajurit selama perang kemerdekaan, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta 1960, hlm. 82
  • Wawancara Radio Nederland dengan Ibrahim Isa
  • Kesaksian Sumarsono (1), (2).

Sejarah Singkat Bandung Lautan Api

 

Suatu hari di Bulan Maret 1946, dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk mengukir sejarah dengan membakar rumah dan harta benda mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di selatan.
Beberapa tahun kemudian, lagu “Halo Halo Bandung” ditulis untuk melambangkan emosi mereka, seiring janji akan kembali ke kota tercinta, yang sekarang telah menjadi lautan api.
Setelah ProklamasiKemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia belum sepenuhnya merdeka. Kemerdekaan harus dicapai sedikit demi sedikit melalui perjuangan rakyat yang rela mengorbankan segalanya. Setelah Jepang kalah, tentara Inggris datang untuk melucuti tentara Jepang.
Mereka berkomplot dengan Belanda dan memperalat Jepang untuk menjajah kembali Indonesia. Jejak Perjuangan “Bandung Lautan Api” membawa kita menelusuri kembali berbagai kejadian di Bandung yang berpuncak pada suatu malam mencekam, saat penduduk melarikan diri, mengungsi, di tengah kobaran api dan tembakan musuh.
Sebuah kisah tentang harapan, keberanian dan kasih sayang. Sebuah cerita dari para pejuang kita. Berita pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan dari Jakarta diterima di Bandung melalui Kantor Berita DOMEI pada hari Jumat pagi, 17 Agustus 1945. Esoknya, 18 Agustus 1945, cetakan teks tersebut telah tersebar. Dicetak dengan tinta merah oleh Percetakan Siliwangi. Di Gedung DENIS, Jalan Braga (sekarang Gedung Bank Jabar), terjadi insiden perobekan warna biru bendera Belanda, sehingga warnanya tinggal merah dan putih menjadi bendera Indonesia.
Perobekan dengan bayonet tersebut dilakukan oleh seorang
pemuda Indonesia bernama Mohammad Endang Karmas, dibantu oleh Moeljono.Tanggal 27 Agustus 1945, dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), disusul oleh terbentuknya Laskar Wanita Indonesia (LASWI) pada tanggal 12 Oktober 1945. Jumlah anggotanya 300 orang, terdiri dari bagian pasukan tempur, Palang Merah, penyelidikan dan perbekalan.
Peristiwa yang memperburuk keadaan terjadi pada tanggal 25 November 1945. Selain menghadapi serangan musuh, rakyat menghadapi banjir besar meluapnya Sungai Cikapundung. Ratusan korban terbawa hanyut dan ribuan penduduk kehilangan tempat tinggal. Keadaan ini dimanfaatkan musuh untuk me¬nyerang rakyat yang tengah menghadapi musibah.Berbagai tekanan dan serangan terus dilakukan oleh pihak Inggris dan Belanda.
Tanggal 5 Desember 1945, beberapa pesawat terbang Inggris membom daerah Lengkong Besar. Pada tanggal 21 Desember 1945, pihak Inggris menjatuhkan bom dan rentetan tembakan membabi buta di Cicadas. Korban makin banyak berjatuhan. Ultimatum agar Tentara Republik Indonesia (TRI) meninggalkan kota dan rakyat, melahirkan politik “bumihangus”.
Rakyat tidak rela Kota Bandung dimanfaatkan oleh musuh. Mereka mengungsi kearah selatan bersama para pejuang. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan, pada tanggal 24 Maret 1946.Kolonel Abdul Haris Nasution selaku Komandan Divisi III, mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan untuk meninggalkan Kota Bandung.
Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota. Malam itu pembakaran kota berlangsung besar-besaran. Api menyala dari masing-masing rumah penduduk yang membakar tempat tinggal dan harta bendanya, kemudian makin lama menjadi gelombang api yang besar. Setelah tengah malam kota telah kosong dan hanya meninggalkan puing-puing rumah yang masih menyala. Pembumihangusan Bandung tersebut merupakan tindakan yang
tepat, karena kekuatan TRI tidak akan sanggup melawan pihak musuh yang berkekuatan besar. Selanjutnya TRI melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini melahirkan lagu “Halo-Halo Bandung” yang bersemangat membakar daya juang rakyat Indonesia. Selengkapnya mengenai Peristiwa Bandung Lautan Api, anda bisa membaca buku; “Saya Pilih Mengungsi”, buku ini dapat anda dapatkan di sekretariat Bandung Heritage.
——————————————————————–
–SEJARAH BANDUNG LAUTAN API—
SUATU hari di Bulan Maret 1946, dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk mengukir sejarah dengan membakar rumah dan harta benda mereka, meninggalkan kota Bandung menuju pegunungan di selatan. Beberapa tahun kemudian, lagu “Halo-Halo Bandung” ditulis untuk melambangkan emosi mereka, seiring janji akan kembali ke kota tercinta, yang telah menjadi lautan api.
Insiden Perobekan Bendera
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia belum sepenuhnya merdeka. Kemerdekaan harus dicapai sedikit demi sedikit melalui perjuangan rakyat yang rela mengorbankan segalanya. Setelah Jepang kalah, tentara Inggris datang untuk melucuti tentara Jepang. Mereka berkomplot dengan Belanda (tentara NICA) dan memperalat Jepang untuk menjajah kembali Indonesia.
Berita pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan dari Jakarta diterima di Bandung melalui Kantor Berita DOMEI pada hari Jumat pagi, 17 Agustus 1945. Esoknya, 18 Agustus 1945, cetakan teks tersebut telah tersebar. Dicetak dengan tinta merah oleh Percetakan Siliwangi. Di Gedung DENIS, Jalan Braga (sekarang Gedung Bank Jabar), terjadi insiden perobekan warna biru bendera Belanda, sehingga warnanya tinggal merah dan putih menjadi bendera Indonesia. Perobekan dengan bayonet tersebut dilakukan oleh seorang pemuda Indonesia bernama Mohammad Endang Karmas, dibantu oleh Moeljono.
Tanggal 27 Agustus 1945, dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), disusul oleh terbentuknya Laskar Wanita Indonesia (LASWI) pada tanggal 12 Oktober 1945. Jumlah anggotanya 300 orang, terdiri dari bagian pasukan tempur, Palang Merah, penyelidikan dan perbekalan.
Peristiwa yang memperburuk keadaan terjadi pada tanggal 25 November 1945. Selain menghadapi serangan musuh, rakyat menghadapi banjir besar meluapnya Sungai Cikapundung. Ratusan korban terbawa hanyut dan ribuan penduduk kehilangan tempat tinggal. Keadaan ini dimanfaatkan musuh untuk menyerang rakyat yang tengah menghadapi musibah.
Berbagai tekanan dan serangan terus dilakukan oleh pihak Inggris dan Belanda. Tanggal 5 Desember 1945, beberapa pesawat terbang Inggris membom daerah Lengkong Besar. Pada tanggal 21 Desember 1945, pihak Inggris menjatuhkan bom dan rentetan tembakan membabi buta di Cicadas. Korban makin banyak berjatuhan.
Bandoeng Laoetan Api
Ultimatum agar Tentara Republik Indonesia (TRI) meninggalkan kota dan rakyat, melahirkan politik “bumihangus”. Rakyat tidak rela Kota Bandung dimanfaatkan oleh musuh. Mereka mengungsi ke arah selatan bersama para pejuang. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan, pada tanggal 24 Maret 1946.
Kolonel Abdul Haris Nasution selaku Komandan Divisi III, mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan rakyat untuk meninggalkan Kota Bandung. Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota.
Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat menggunakannya lagi. Di sana-sini asap hitam mengepul membubung tinggi di udara. Semua listrik mati. Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling seru terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat pabrik mesiu yang besar milik Sekutu. TRI bermaksud menghancurkan gudang mesiu tersebut. Untuk itu diutuslah pemuda Muhammad Toha dan Ramdan. Kedua pemuda itu berhasil meledakkan gudang tersebut dengan granat tangan. Gudang besar itu meledak dan terbakar, tetapi kedua pemuda itu pun ikut terbakar di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan maka pada jam 21.00 itu juga ikut keluar kota. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota. Dan Bandung pun berubah menjadi lautan api.
Pembumihangusan Bandung tersebut merupakan tindakan yang tepat, karena kekuatan TRI dan rakyat tidak akan sanggup melawan pihak musuh yang berkekuatan besar. Selanjutnya TRI bersama rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini melahirkan lagu “Halo-Halo Bandung” yang bersemangat membakar daya juang rakyat Indonesia.
Bandung Lautan Api kemudian menjadi istilah yang terkenal setelah peristiwa pembakaran itu. Banyak yang bertanya-tanya darimana istilah ini berawal. Almarhum Jenderal Besar A.H Nasution teringat saat melakukan pertemuan di Regentsweg (sekarang Jalan Dewi Sartika), setelah kembali dari pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di Jakarta, untuk memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan terhadap Kota Bandung setelah menerima ultimatum Inggris.
“Jadi saya kembali dari Jakarta, setelah bicara dengan Sjahrir itu. Memang dalam pembicaraan itu di Regentsweg, di pertemuan itu, berbicaralah semua orang. Nah, disitu timbul pendapat dari Rukana, Komandan Polisi Militer di Bandung. Dia berpendapat, “Mari kita bikin Bandung Selatan menjadi lautan api.” Yang dia sebut lautan api, tetapi sebenarnya lautan air” (A.H Nasution, 1 Mei 1997)
Istilah Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret 1946. Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan pembakaran Bandung dari bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari puncak itu Atje Bastaman melihat Bandung yang memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi.
Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan bersemangat segera menulis berita dan memberi judul Bandoeng Djadi Laoetan Api. Namun karena kurangnya ruang untuk tulisan judulnya, maka judul berita diperpendek menjadi Bandoeng Laoetan Api.
Sumber: Bandung Society For Herritage Conservation

Suatu Malam di Proklamasi


a117d059f9db5a425378edb66d4c63e2_10
Suatu Malam di Proklamasi 56 LELAKI yang mengenakan safari warna gelap itu berjalan sendirian. Suatu hari pada Januari 1948, sekitar pukul …19.00 WIB, dengan raut wajah kusut dia mendekati beberapa pemuda yang tengah duduk santai di belakang rumah Presiden Sukarno di Jalan Proklamasi 56, Pegangsaan, Jakarta Pusat. Rumah ini memang menjadi tempat bersantai para pejabat negara dan aktivis kemerdekaan di malam hari. Setelah menyapa sekadarnya, dia mengeluarkan sebotol kecil wiski dari kantong celana, kemudian menenggaknya.
Lelaki itu adalah Amir Sjarifoeddin, Perdana Menteri Indonesia yang beberapa hari sebelumnya “dipaksa” meletakkan jabatan. “Malam itu kami minum wiski bersama,” kata Rosihan Anwar mengenang peristiwa itu. Dalam penglihatan wartawan senior ini, Amir terlihat agak tertekan setelah lengser dari jabatan perdana menteri. “Meski dia berusaha menutupi dengan tetap terlihat enjoy,” katanya. Amir terpaksa melepaskan jabatan perdana menteri setelah meneken Perjanjian Renville. Tekanan dari lawan politiknya kian menjadi-jadi. Sebagai kepala pemerintahan, dia dinilai bertanggung jawab atas semakin terpojoknya posisi Indonesia setelah perundingan itu. l l lWajah Amir Sjarifoeddin tampak sumringah pagi itu, 8 Desember 1947.
Di atas kapal USS Renville dia asyik berbicara tentang Frank Graham, perwakilan Amerika Serikat di Komisi Tiga Negara. “Mereka rileks sambil masing-masing memegang Injil di tangan,” kata Rosihan. Pemimpin redaksi koran Siasat itu mengaku melihat pertemuan tersebut saat mengunjungi kapal perang milik Amerika yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan Renville terjadi atas desakan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 26 Agustus 1947, yang khawatir melihat pertikaian Indonesia-Belanda yang berlarut-larut.
Dalam resolusinya itu, Dewan Keamanan mendesak kedua negara agar menyelesaikan pertikaian dengan menunjuk tiga negara sebagai penengah. Indonesia memilih Australia, Belanda menunjuk Belgia. Dua negara itu kemudian menunjuk Amerika sebagai anggota ketiga. Persekutuan ini kemudian dikenal dengan Komisi Tiga Negara, yang diwakili Frank Graham (Amerika), Richard Kirby (Australia), dan Paul van Zeeland (Belgia). Sebelum berunding, di dalam negeri, Amir pasang kuda-kuda. Dia merangkul kembali Masyumi agar mau bergabung di pemerintahan. Tawaran itu diterima tanpa syarat.
Pada 11 November 1947, Amir merombak kabinet dengan memberikan lima kursi menteri untuk Masyumi. Namun harapan tinggal harapan. Baru saja perundingan dibuka, delegasi Belanda menolak usul Indonesia untuk menyelesaikan persoalan politik sebelum membicarakan soal gencatan senjata. Tak hanya itu, Belanda juga menolak tuntutan komisi teknis Indonesia yang diketuai J. Leimena agar tentara kompeni ditarik kembali hingga batas garis demarkasi yang telah disepakati bersama 14 Oktober 1946. Sebaliknya, Belanda menuntut batas demarkasi itu adalah kesepakatan baru pada 28 Agustus 1947, yang disebut sebagai Garis van Mook.
Pembahasan di komisi teknis buntu. Macetnya pembahasan di komisi teknis membuat Amir jengkel dan mengancam akan kembali ke Yogyakarta. “Kapan saya kembali ke Jakarta tergantung Belanda. Saya hanya kembali jika ada sesuatu yang harus dikerjakan,” katanya seperti dikutip Naskah Lengkap Asal-Usul KTN. Karena tak diindahkan, pada 24 Desember 1947, Amir kembali ke Yogyakarta. Pada saat yang sama, di sejumlah daerah tentara Belanda terus melakukan aksi militer. Tersiar kabar akan ada aksi militer besar-besaran ke Yogyakarta, jika Indonesia tetap ngotot menolak 12 prinsip politik Belanda. Kondisi semakin genting. Frank Graham sebagai utusan Komisi Tiga Negara menggelar pertemuan dengan “Lima Besar RI”, yaitu Sukarno, Moh. Hatta, Soetan Sjahrir, Amir, dan Agus Salim. Graham meminta Indonesia tidak meninggalkan meja perundingan. Tidak memiliki pilihan, Indonesia akhirnya mengalah dan menerima tuntutan Belanda. Kemudian, 17 Januari 1948, di atas kapal Renville, Amir meneken persetujuan itu. Para pemimpin Republik mendukung. Presiden Sukarno mengatakan, meski Perjanjian Renville seakan-akan merugikan Indonesia, harus dilihat kemungkinan keuntungan yang bisa diperoleh. “Kalau bisa mencapai cita-cita dengan jalan damai, kenapa harus perang,” katanya. Hatta mengatakan perjanjian ini tidak menjauhkan kita dari cita-cita.
Panglima Besar Sudirman juga mengaku puas atas pencapaian itu. Di luar dugaan Amir, partai-partai pendukungnya justru menolak Perjanjian Renville. Sehari setelah perjanjian itu, sekitar 300 orang yang mengaku sebagai massa Hisbullah menggelar demonstrasi di depan Istana Yogyakarta. “Kabinet Amir Bubar. Kami menolak Perjanjian Renville,” demikian kata salah satu dari mereka.
Sumpah-serapah juga diarahkan ke Perdana Menteri, “Amir pengkhianat.” Pemimpin Partai Masyumi dan Partai Nasional Indonesia juga menyalahkan Amir. Mereka mengatakan menarik dukungan dari pemerintahan dan mengumumkan pengunduran diri para menteri. Presiden Sukarno yang semula mendukung kini berbalik. “Sebaiknya serahkan mandat kepada saya,” kata Sukarno. Amir tidak bisa berbuat banyak.
Pada 23 Januari 1948, dia menyatakan mundur. Sukarno kemudian menyerahkan tampuk pemerintahan kepada Hatta yang kemudian membentuk kabinet baru. Masyumi dan PNI, dua partai yang sebelumnya meninggalkan Amir, kemudian memutuskan bergabung di kabinet Hatta. Menurut Soemarsono, anggota Pimpinan Pusat Pesindo, Amir saat itu merasa seperti terjebak dalam sebuah permainan politik. “Aduh, begini permainan komplotan ini,” katanya mengutip keluhan Amir. Kepedihan Amir tak berujung di situ.
Di kalangan kelompok kiri, dia juga disalahkan, dinilai terlalu lemah dan mau begitu saja menyerahkan tampuk kekuasaan sebagai perdana menteri. Menurut Soemarsono, sebuah rapat mendadak digelar kelompok kiri untuk mengadili Amir. “Semua yang hadir menyalahkan dia karena mau mundur begitu saja,” katanya.
Pemimpin Partai Komunis Indonesia, Musso, dalam dokumennya, Jalan Baru untuk Republik Indonesia, juga menyerang ketidakberdayaan Amir. Menurut dia, kaum komunis saat itu melupakan ajaran Lenin yang menyatakan pokok dari revolusi adalah kekuasaan negara. “Mundurnya Amir memberi jalan elemen borjuis memegang kendali pemerintah,” katanya.
Semua ini berlangsung cepat: Amir mendapati dirinya sekonyong-konyong jadi musuh bersama. Tak mengherankan malam itu di belakang rumah Sukarno dihabiskan sampai larut dengan minum wiski dan bernyanyi. Menurut Rosihan, pertemuan malam itu adalah terakhir kali dia bersua dengan Amir. “Setelah itu, saya hanya mendengar dia pergi ke Solo membentuk Front Demokrasi Rakyat,” katanya. “Sampai akhirnya ditembak mati.
(Sumber: Rosihan Anwar (wartawan Senior) dalam blog Sejarah Kita)

Mengenang Amir Sjarifoeddin


493057672b80d52075632e8bf14f9420_amir-di-harlem
Amir Sjarifoeddin Harahap lahir di Medan, Sumatera Utara, 27 April 1907 – meninggal di Surakarta, Jawa Tengah, 19 Desember 1948 pada umur 41 tahun. Dia adalah seorang tokoh Revolusi Indonesia, mantan menteri Penerangan, Pertahanan dan kemudian Perdana Menteri pada zaman Revolusi (1945-1948) Negara Republik Indonesia. Ayahnya, Djamin gelar Baginda Soripada (1885-1949), seorang jaksa di Medan. Ibunya, Basunu Siregar (1890-1931), dari keluarga Batak yang telah membaur dengan masyarakat Melayu-Islam di Deli. Ayahnya keturunan keluarga kepala adat dari Pasar Matanggor di Padang Lawas Tapanuli.
Amir menikmati pendidikan di ELS atau sekolah dasar Belanda di Medan pada tahun 1914 hingga selesai Agustus 1921. Atas undangan saudara sepupunya, T.S.G. Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad dan belajar di kota Leiden sejak 1911, Amir pun berangkat ke Leiden. Tak lama setelah kedatangannya dalam kurun waktu 1926-1927 dia menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem, selama masa itu pula Amir aktif terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok kristen misalnya dalam CSV-op Java yang menjadi cikal bakal GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Ia tinggal di rumah guru pemeluk Kristen Calvinis, Dirk Smink, dan di sini juga Mulia menumpang.
Namun pada September 1927, sesudah lulus ujian tingkat kedua, Amir kembali ke kampung halaman karena masalah keluarga, walaupun teman-teman dekatnya mendesak agar menyelesaikan pendidikannya di Leiden. Kemudian Amir masuk Sekolah Hukum di Batavia, menumpang di rumah Mulia (sepupunya) yang telah menjabat sebagai direktur sekolah pendidikan guru di Jatinegara. Kemudian Amir pindah ke asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106, ia ditampung oleh senior satu sekolahnya, Mr. Muhammad Yamin. Menjelang invasi Jepang ke Hindia Belanda, Amir berusaha menyetujui dan menjalankan garis Komunis Internasional agar kaum kiri menggalang aliansi dengan kekuatan kapitalis untuk menghancurkan Fasisme. Garis perjuangan ini dikenal sebagai garis Dimitrov. (Belakangan garis perjuangan ini berubah yang dikenal sebagai garis Sadanov). Barangkali ini mempunyai hubungan dengan pekerjaan politik Musso dengan kedatangannya ke Hindia Belanda dalam tahun 1936. Ia kemudian dihubungi oleh anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal, menggalang semua kekuatan anti-fasis untuk bekerja bersama dinas rahasia Belanda dalam menghadapi serbuan Jepang.
Rencana itu tidak banyak mendapat sambutan. Rekan-rekannya sesama aktivis masih belum pulih kepercayaan terhadapnya akibat polemik di awal tahun 1940-an, serta tidak paham akan strateginya melawan Jepang. Mereka ingin menempuh taktik lain yaitu, berkolaborasi dengan Jepang dengan harapan Jepang akan memberi kemerdekaan kepada Hindia Belanda setelah kolonialis Belanda dikalahkan. Dalam hal ini garis Amir yang terbukti benar.
Pada bulan Januari 1943 ia tertangkap oleh fasis Jepang, di tengah gelombang-gelombang penangkapan yang berpusat di Surabaya. Kejadian ini dapat ditafsirkan sebagai terbongkarnya jaringan suatu organisasi anti fasisme Jepang yang sedikit banyak mempunyai hubungan dengan Amir. Terutama dari sisa-sisa kelompok inilah Amir, kelak ketika menjadi Menteri Pertahanan, mengangkat para pembantunya yang terdekat. Namun demikian identifikasi penting kejadian Surabaya itu, dari sedikit yang kita ketahui melalui sidang-sidang pengadilan mereka tahun 1944, hukuman terberat dijatuhkan pada bekas para pemimpin Gerindo dan Partindo Surabaya.
Sebuah dokumen NEFIS (Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service), instansi rahasia yang dipimpin Van Mook, tertanggal 9 Juni 1947 menulis tentang Amir; “ia mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang yang tak mengenal kata takut”. Belanda mungkin tahu bahwa penghargaan berbau mitos terhadapnya di kalangan Pesindo berasal dari cerita para tahanan sesamanya. Bagaimana ia menghadapi siksaan fisik dan moral yang dijatuhkan Jepang. Diceritakan, misalnya, bagaimana ia tertawa ketika para penyiksa menggantungnya dengan kaki di atas. Dalam Persetujuan Renville tanggungjawab yang berat ini terletak dipundak kaum kiri, khususnya Amir sebagai negosiator utama dari Republik Indonesia. Kabinet Amir Sjarifuddin mengundurkan diri dengan sukarela dan tanpa perlawanan samasekali, ketika disalahkan atas persetujuan Renville oleh golongan Partai Masyumi dan Partai Nasionalis Indonesia.
(Sumber: Blog Sejarah Kita, Foto: Amir ketika masih siswa Gymnasium di Haarlem)