Tampilkan postingan dengan label demografi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label demografi. Tampilkan semua postingan

PENGERTIAN ANTROPOSFER

Antroposfer adalah salah satu obyek material dari kajian geografi yang membahas mengenai dinamika manusia yang meliputi kelahiran, kematian, dan migrasi. DINAMIKA DEMOGRAFI Adalah peristiwa yang terjadi secara terus-menerus dan saling berkaitan mengenai perubahanjumlah penduduk. 1. Menghitung pertumbuhan penduduk a. Natalitas b. Mortalitas / Tingkat kematian c. Migrasi 2. Mengukur kualitas Penduduk a. Pendidikan b. Kesehatan **Komposisi Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin** 1. Menghitung jumlah penduduk Untuk mengetahui jumlah penduduk suatu daerah, propinsi, atau negara dapat di lakukan beberapa cara, seperti sensus penduduk, registrasi atau pencatatan atau survei. a. Sensus penduduk Sensus berasal dari bahasa latin census yang berarti penaksiran harta benda seorang warga negara pencatatan nama warga negara, misal untuk pemungutan pajak. Sensus dapat dibedakan atas dua macam, yakni sensus de factor dan de jure. Sensus de facto adalah perhitungan penduduk atau pencacahan penduduk yang dilakukan setiap orang yang pada waktu sensus diadakan berada pada wilayah sensus. Sementara sensus de jure adalah pencacahan yang hanya dikenal pada penduduk yang benar-benar bertempat tinggal dalam wilayah sensus tersebut b. Register Registrasi adalah catatan secara continue/terus menerus yang dilakukan oleh dinas terkait terhadap penduduk suatu wilayah administrasi. c. Survei Survei merupakan pencacahan penduduk metode dengan cara mengambil contoh daerah. Jadi, pencacahan penduduk metode survei tidak dilakukan di seluruh wilayah negara, melainkan hanya pada daerah-daerah tertentu yang dianggap mewakili seluru wilayah negara tersebut. • Macam-macam komposisi penduduk 1. Berdasarkan aspek biologis Misalnya : penduduk di suatu desa digolongkan berdasarkan umur dan jenis kelamin. 2. Berdasarkan aspek sosial Misalnya : penduduk digolongkan berdasarkan tingkat pendidikan dan status perkawinan. 3. Berdasarkan aspek ekonomis Misalnya : penduduk digolongkan berdasarkan jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan. 4. Berdasarkan aspek geografis Misalnya : penduduk di golongkan berdasarkan lokasi tempat tinggal. • Piramida penduduk Struktur piramida penduduk : a. Sumbu vertical untuk distribusi umur b. Sumbu horizontal untuk menyatakan jumlah penduduk c. Horisontal kiri untuk laki-laki dan horizontal kanan untuk perempuan. Sumber : http:/ratriri.blogspot.com/2009

KOMPOSISI PENDUDUK

Komposisi adalah susunan atau tata susun. Jadi, yang dimaksud dengan komposisi pen duduk adalah susunan atau tata susun penduduk suatu negara atau suatu wilayah. Persoalannya adalah mengapa komposisi penduduk harus dikaji atau dipelajari? Adapun yang menjadi alasannya adalah sebagai berikut.
1. Setiap penduduk memiliki usia dan jenis kelamin yang berbeda sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda. Pemerintah dapat merancang kegiatan atau perencanaan yang sesuai dengan bobot dan kemampuan penduduk.
2. Menata kebutuhan sarana dan prasarana kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai dengan perkembangan penduduk.
3. Mengendalikan dan memantau pemanfaatan sumber daya alam agar dapat hidup dan digunakan secara berkelanjutan.
Komposisi penduduk dapat diartikan sebagai struktur pen duduk yang didasarkan atas atribut tertentu. Atribut dalam komposisi penduduk, di antaranya adalah komposisi berdasarkan atribut geografis, biologis, dan sosial. Komposisi penduduk berdasarkan atribut geografis biasanya didasarkan pada pengelompokan karakteristik lokasi (penduduk desa dan kota), kepadatan (padat dan jarang), teknologi (maju dan berkembang), dan mata pencarian (industri dan agraris).
Komposisi penduduk berdasarkan atribut biologis biasanya didasarkan pada usia (anak-anak, dewasa, dan lansia) dan jenis kelamin (lakilaki dan perempuan). Komposisi penduduk berdasarkan atribut sosial biasanya didasarkan pada identitas sosial, seperti warga negara (WNI dan WNA), perkawinan (kawin dan belum kawin), pendidikan (belum sekolah, tidak sekolah, SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi), dan jenis mata pencarian (pekerjaan). Pengelompokan penduduk berdasarkan karakteristik tertentu me rupa kan upaya dalam memudahkan kegiatan menganalisis dan mengambil keputusan. Oleh karena itu, pengelompokan penduduk harus berdasar kan pertimbangan yang logis, matang, dan bermakna sehingga tidak menimbul kan adanya kesalahan (bias). Pengelompokan yang terlalu rinci (mendetail) juga akan menimbulkan kesulitan dalam pengambilan keputusan. Berikut ini akan dijelaskan mengenai komposisi penduduk berdasarkan usia dan jenis kelamin.
1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia
Komposisi penduduk berdasarkan usia adalah susunan penduduk berdasarkan kriteria usia penduduk. Komposisi penduduk berdasarkan usia dibentuk dalam usia tunggal, seperti 0, 1, 2, 3, 4, sampai 60 tahun atau lebih, dapat juga berdasarkan interval usia tertentu, seperti 0–5 (balita), 6–11 (anak SD), 12–15 (anak SMP), 16–19 (anak SMA), 20–24 (mahasiswa), 25–60 (dewasa), >60 (lansia), atau dapat juga berdasarkan usia produktif dan usia nonproduktif, seperti 0–14 (anakanak), 15–64 (dewasa), dan >65 (lansia).
Contoh penggunaan komposisi penduduk berdasarkan usia adalah dalam perencanaan program Wajib Belajar (Wajar). Dengan mengamati dan menganalisis jumlah penduduk tiap-tiap tingkatan maka dapat diketahui berapa jumlah anak usia balita yang harus dipersiapkan sarana dan prasarananya, berapa jumlah tenaga pendidik untuk mendukung kegiatan tersebut, berapa jumlah sekolah yang dapat melayani kegiatan belajar mengajar, dan bentuk persiapan-persiapan lainnya.
Contoh lain penggunaan komposisi penduduk berdasarkan usia, yaitu dalam perencanaan pembangunan nasional. Dengan mengamati dan menganalisis jumlah penduduk tiap tingkatan usia maka dapat diketahui bentuk dan orientasi pembangunan, apakah akan dikembangkan pemba ngunan yang padat modal atau padat karya. Komposisi penduduk berdasarkan usia dapat juga digunakan bagi perencanaan dan penyiapan cadangan pangan nasional.
Berikut ini disajikan komposisi penduduk Indonesia menurut usia dan jenis kelamin pada Tabel 2.1.
Berdasarkan tabel tersebut, dapat dikatakan bahwa negara Indonesia pada tahun 2000 tergolong dalam kelompok negara dengan struktur usia mudanya paling banyak karena kelompok penduduk yang berusia di bawah usia 15 tahun ke bawah lebih dari 35 %. Penduduk negara lain yang memiliki struktur seperti Indonesia, di antaranya India, Myanmar, Laos, Vietnam, Malaysia, dan sebagian negara berkembang lainnya. Adapun komposisi penduduk Indonesia berdasarkan usia produktif dan usia nonproduktif dapat Anda amati pada Tabel 2.2 berikut ini.
Komposisi penduduk berdasarkan usia produktif dan nonproduktif dapat digunakan untuk menghitung angka ketergantungan (dependency ratio). Angka ini sangat penting diketahui karena dapat memperkirakan beban tiap penduduk nonproduktif untuk menopang kebutuhan hidupnya. Semakin besar angka ketergantungan, akan semakin besar beban penduduk dalam menopang kehidupan. Hal ini biasanya terjadi di negara berkembang dan terbelakang. Sebaliknya, jika semakin kecil angka keter gantungan, akan semakin kecil beban dalam menopang kehidupan. Hal ini biasanya terjadi di negara maju atau negara industri.
Angka ketergantungan (dependency ratio) dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut.
Keterangan:
Penduduk usia nonproduktif = usia 0–14 tahun dan > 65 tahun.
Penduduk usia produktif = usia 15–64 tahun.
Konstanta = 100.
Contoh:
Indonesia pada 1990 memiliki jumlah penduduk 179.300.000 jiwa. Setelah dibuat tabel berdasarkan usia produktif dan usia nonproduktif yang tergolong usia antara 0–14 tahun = 65.531.780 jiwa, sedangkan yang tergolong usia lebih dari 65 tahun = 6.230.435 jiwa. Hitunglah angka dependency ratio-nya.
Penyelesaian:
Diketahui:
Jumlah penduduk keseluruhan = 179.300.000 jiwa
Jumlah penduduk nonproduktif = 65.531.780 jiwa + 6.230.435 jiwa = 71.762.215 jiwa
Ditanyakan: dependency ratio?
Berdasarkan perhitungan tersebut, di Indonesia pada 1990 setiap 100 orang penduduk usia produktif harus menanggung juga beban 67 orang penduduk usia nonproduktif. Artinya, bahwa dalam mencari nafkah atau usaha selain untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya sendiri, juga harus dapat menanggung kebutuhan hidup orang lain.
2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin dapat digunakan dalam menghitung angka perbandingan jenis kelamin (sex ratio). Angka tersebut sangat penting untuk diketahui karena dapat digunakan untuk memperkirakan bentuk pemberdayaan sumber daya manusia. Misalnya, berkenaan dengan pekerjaan, tanggung jawab, serta bentuk pengembangan pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan potensi dan kemampuan penduduk.
Pada zaman dahulu, kaum laki-laki memang lebih dominan untuk berusaha (bekerja) dan mempertahankan diri. Pada saat itu, teknologi masih sangat sederhana sehingga hanya penduduk yang memiliki tenaga dan kemampuan fisik yang kuat yang dapat bertahan hidup. Akan tetapi, setelah teknologi berkembang dengan cepat dan modern, ternyata hampir semua yang dikerjakan oleh kaum laki-laki juga dapat dikerjakan oleh kaum perempuan. Hal ini mengakibatkan perbedaan jenis kelamin tidak menjadi suatu pembatas dalam kehidupan. Walaupun dalam kenyataannya kaum wanita tidak dapat dipersamakan dengan kaum laki-laki atau sebaliknya, seperti fungsi reproduksi dan menyusui. Sex ratio dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut.
Contoh:
Berdasarkan perhitungan tersebut menunjukkan bahwa di Indonesia pada tahun 1990 setiap ada 100 perempuan terdapat 99 laki-laki.
Sumber :
Hartono, 2009, Geografi 2 Jelajah Bumi dan Alam Semesta : untuk Kelas XI Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah Program Ilmu Pengetahuan Sosial, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, h. 30 – 34.

Permasalahan Kuantitas Penduduk dan Dampaknya dalam Pembangunan

Jumlah penduduk yang besar berdampak langsung terhadap pembangunan berupa tersedianya tenaga kerja yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan. Akan tetapi kuantitas penduduk tersebut juga memicu munculnya permasalahan yang berdampak terhadap pembangunan. Permasalahan-permasalahan tersebut di antaranya:
  1. Pesatnya pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan kemampuan produksi menyebabkan tingginya beban pembangunan berkaitan dengan penyediaan pangan, sandang, dan papan.
  2. Kepadatan penduduk yang tidak merata menyebabkan pembangunan hanya terpusat pada daerah-daerah tertentu yang padat penduduknya saja. Hal ini menyebabkan hasil pembangunan tidak bisa dinikmati secara merata, sehingga menimbulkan kesenjangan sosial antara daerah yang padat dan daerah yang jarang penduduknya.
  3. Tingginya angka urbanisasi menyebabkan munculnya kawasan kumuh di kota-kota besar, sehingga menimbulkan kesenjangan sosial antara kelompok kaya dan kelompok miskin kota.
  4. Pesatnya pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan volume pekerjaan menyebabkan terjadinya pengangguran yang berdampak pada kerawanan sosial.
Permasalahan Kualitas Penduduk dan Dampaknya terhadap Pembangunan
Berbagai permasalahan yang berkaitan dengan kualitas penduduk dan dampaknya terhadap pembangunan adalah sebagai berikut:
# Masalah tingkat pendidikan
Keadaan penduduk di negara-negara yang sedang berkembang tingkat pendidikannya relatif lebih rendah dibandingkan penduduk di negara-negara maju, demikian juga dengan tingkat pendidikan penduduk Indonesia.Rendahnya tingkat pendidikan penduduk Indonesia disebabkan oleh:
  1. Tingkat kesadaran masyarakat untuk bersekolah rendah.
  2. Besarnya anak usia sekolah yang tidak seimbang dengan penyediaan sarana pendidikan.
  3. Pendapatan perkapita penduduk di Indonesia rendah.
Dampak yang ditimbulkan dari rendahnya tingkat pendidikan terhadap pembangunan adalah:
  1. Rendahnya penguasaan teknologi maju, sehingga harus mendatangkan tenaga ahli dari negara maju. Keadaan ini sungguh ironis, di mana keadaan jumlah penduduk Indonesia besar, tetapi tidak mampu mencukupi kebutuhan tenaga ahli yang sangat diperlukan dalam pembangunan.
  2. Rendahnya tingkat pendidikan mengakibatkan sulitnya masyarakat menerima hal-hal yang baru. Hal ini nampak dengan ketidakmampuan masyarakat merawat hasil pembangunan secara benar, sehingga banyak fasilitas umum yang rusak karena ketidakmampuan masyarakat memperlakukan secara tepat. Kenyataan seperti ini apabila terus dibiarkan akan menghambat jalannya pembangunan. Oleh karena itu, pemerintah mengambil beberapa kebijakan yang dapat meningkatkan mutu pendidikan masyarakat.
Usaha-usaha tersebut di antaranya:
  • Pencanangan wajib belajar 9 tahun.
  • Mengadakan proyek belajar jarak jauh seperti SMP Terbuka dan Universitas Terbuka.
  • Meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan (gedung sekolah, perpustakaan, laboratorium, dan lain-lain).
  • Meningkatkan mutu guru melalui penataran-penataran.
  • Menyempurnakan kurikulum sesuai perkembangan zaman.
  • Mencanangkan gerakan orang tua asuh.
  • Memberikan beasiswa bagi siswa yang berprestasi.
# Masalah kesehatan
Tingkat kesehatan suatu negara umumnya dilihat dari besar kecilnya angka kematian, karena kematian erat kaitannya dengan kualitas kesehatan.
Kualitas kesehatan yang rendah umumnya disebabkan:
  1. Kurangnya sarana dan pelayanan kesehatan.
  2. Kurangnya air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.
  3. Kurangnya pengetahuan tentang kesehatan.
  4. Gizi yang rendah.
  5. Penyakit menular.
  6. Lingkungan yang tidak sehat (lingkungan kumuh).
Dampak rendahnya tingkat kesehatan terhadap pembangunan adalah terhambatnya pembangunan fisik karena perhatian tercurah pada perbaikan kesehatan yang lebih utama karena menyangkut jiwa manusia. Selain itu, jika tingkat kesehatan manusia sebagai objek dan subjek pembangunan rendah, maka dalam melakukan apa pun khususnya pada saat bekerja, hasilnya pun akan tidak optimal.
Untuk menanggulangi masalah kesehatan ini, pemerintah mengambil beberapa tindakan untuk meningkatkan mutu kesehatan masyarakat, sehingga dapat mendukung lancarnya pelaksanaan pembangunan. Upaya-upaya tersebut di antarnya:
  1. Mengadakan perbaikan gizi masyarakat.
  2. Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular.
  3. Penyediaan air bersih dan sanitasi lingkungan.
  4. Membangun sarana-sarana kesehatan, seperti puskesmas, rumah sakit, dan lain-lain.
  5. Mengadakan program pengadaan dan pengawasan obat dan makanan.
  6. Mengadakan penyuluhan tentang kesehatan gizi dan kebersihan lingkungan.
# Masalah tingkat penghasilan/pendapatan
Tingkat penghasilan/pendapatan suatu negara biasanya diukur dari pendapatan per kapita, yaitu jumlah pendapatan rata-rata penduduk dalam suatu negara.
Negara-negara berkembang umumnya mempunyai pendapatan per kapita rendah, hal ini disebabkan oleh:
  1. Pendidikan masyarakat rendah, tidak banyak tenaga ahli, dan lain-lain.
  2. Jumlah penduduk banyak.
  3. Besarnya angka ketergantungan.
Berdasarkan pendapatan per kapitanya, negara digolongkan menjadi 3, yaitu:
  1. Negara kaya, pendapatan per kapitanya > US$ 1.000.
  2. Negara sedang, pendapatan per kapitanya = US$ 300 – 1.00.
  3. Negara miskin, pendapatan per kapitanya <>
Adapun dampak rendahnya tingkat pendapatan penduduk terhadap pembangunan adalah:
  1. Rendahnya daya beli masyarakat menyebabkan pembangunan bidang ekonomi kurang berkembang baik.
  2. Tingkat kesejahteraan masyarakat rendah menyebabkan hasil pembangunan hanya banyak dinikmati kelompok masyarakat kelas sosial menengah ke atas.
Untuk meningkatkan pendapatan masyarakat (kesejahteraan masyarakat), sehingga dapat mendukung lancarnya pelaksanaan pembangunan pemerintah melakukan upaya dalam bentuk:
  1. Menekan laju pertumbuhan penduduk.
  2. Merangsang kemauan berwiraswasta.
  3. Menggiatkan usaha kerajinan rumah tangga/industrialisasi.
  4. Memperluas kesempatan kerja.
  5. Meningkatkan GNP dengan cara meningkatkan barang dan jasa.
Sumber : http/meetabied.wordpress.com/2010/permasalahan kuantitas-kualitas penduduk

Urbanisasi

Downtown Toronto

Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi adalah masalah yang cukup serius bagi kita semua. Persebaran penduduk yang tidak merata antara desa dengan kota akan menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan. Jumlah peningkatan penduduk kota yang signifikan tanpa didukung dan diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan, fasilitas umum, aparat penegak hukum, perumahan, penyediaan pangan, dan lain sebagainya tentu adalah suatu masalah yang harus segera dicarikan jalan keluarnya.

Berbeda dengan perspektif ilmu kependudukan, definisi Urbanisasi berarti persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Perpindahan manusia dari desa ke kota hanya salah satu penyebab urbanisasi. perpindahan itu sendiri dikategorikan 2 macam, yakni: Migrasi Penduduk dan Mobilitas Penduduk, Bedanya Migrasi penduduk lebih bermakna perpindahan penduduk dari desa ke kota yang bertujuan untuk tinggal menetap di kota. Sedangkan Mobilitas Penduduk berarti perpindahan penduduk yang hanya bersifat sementara atau tidak menetap.

Untuk mendapatkan suatu niat untuk hijrah atau pergi ke kota dari desa, seseorang biasanya harus mendapatkan pengaruh yang kuat dalam bentuk ajakan, informasi media massa, impian pribadi, terdesak kebutuhan ekonomi, dan lain sebagainya.

Pengaruh-pengaruh tersebut bisa dalam bentuk sesuatu yang mendorong, memaksa atau faktor pendorong seseorang untuk urbanisasi, maupun dalam bentuk yang menarik perhatian atau faktor penarik. Di bawah ini adalah beberapa atau sebagian contoh yang pada dasarnya dapat menggerakkan seseorang untuk melakukan urbanisasi perpindahan dari pedesaaan ke perkotaan.

A. Faktor Penarik Terjadinya Urbanisasi

  1. Kehidupan kota yang lebih modern dan mewah
  2. Sarana dan prasarana kota yang lebih lengkap
  3. Banyak lapangan pekerjaan di kota
  4. Di kota banyak perempuan cantik dan laki-laki ganteng
  5. Pengaruh buruk sinetron Indonesia
  6. Pendidikan sekolah dan perguruan tinggi jauh lebih baik dan berkualitas

B. Faktor Pendorong Terjadinya Urbanisasi

  1. Lahan pertanian yang semakin sempit
  2. Merasa tidak cocok dengan budaya tempat asalnya
  3. Menganggur karena tidak banyak lapangan pekerjaan di desa
  4. Terbatasnya sarana dan prasarana di desa
  5. Diusir dari desa asal
  6. Memiliki impian kuat menjadi orang kaya

Pertumbuhan penduduk

Pertumbuhan penduduk adalah perubahan populasi sewaktu-waktu, dan dapat dihitung sebagai perubahan dalam jumlah individu dalam sebuah populasi menggunakan “per waktu unit” untuk pengukuran. Sebutan pertumbuhan penduduk merujuk pada semua spesies, tapi selalu mengarah pada manusia, dan sering digunakan secara informal untuk sebutan demografi nilai pertumbuhan penduduk, dan digunakan untuk merujuk pada pertumbuhan penduduk dunia.

Model pertumbuhan penduduk meliputi Model Pertumbuhan Malthusian dan model logistik.

Nilai pertumbuhan penduduk

Dalam demografi dan ekologi, nilai pertumbuhan penduduk (NPP) adalah nilai kecil dimana jumlah individu dalam sebuah populasi meningkat. NPP hanya merujuk pada perubahan populasi pada periode waktu unit, sering diartikan sebagai persentase jumlah individu dalam populasi ketika dimulainya periode. Ini dapat dituliskan dalam rumus: P = Poekt

\mathrm{Nilai\ pertumbuhan} = \frac{(\mathrm{populasi\ di\ akhir\ periode}\ -\ \mathrm{populasi\ di\ awal\ periode})} {\mathrm{populasi\ di\ awal\ periode}}

Cara yang paling umum untuk menghitung pertumbuhan penduduk adalah rasio, bukan nilai. Perubahan populasi pada periode waktu unit dihitung sebagai persentase populasi ketika dimulainya periode. Yang merupakan:

\mathrm{Rasio\ pertumbuhan} = \mathrm{Nilai\ pertumbuhan} \times 100%.

Nilai pertumbuhan penduduk dunia

Nilai pertumbuhan penduduk tahunan dalam persen, tertulis di CIA World Factbook (perkiraan 2006).[1]

Ketika pertumbuhan penduduk dapat melewati kapasitas muat suatu wilayah atau lingkungan hasilnya berakhir dengan kelebihan penduduk. Gangguan dalam populasi manusia dapat menyebabkan masalah seperti polusi dan kemacetan lalu lintas, meskipun dapat ditutupi perubahan teknologi dan ekonomi. Wilayah tersebut dapat dianggap “kurang penduduk” bila populasi tidak cukup besar untuk mengelola sebuah sistem ekonomi (lihat penurunan penduduk).

Piramida penduduk

Piramida penduduk adalah dua buah diagram batang, pada satu sisi menunjukkan jumlah penduduk laki-laki dan pada sisi lainnya menunjukkan jumlah penduduk perempuan dalam kelompok interval usia penduduk lima tahunan. Penduduk laki-laki biasanya digambarkan di sebelah kiri dan penduduk wanita di sebelah kanan. Grafik dapat menunjukkan jumlah penduduk atau prosentase jumlah penduduk terhadap jumlah penduduk total.

Dengan mengamati bentuk piramida penduduk (serta bentuk piramida penduduk dari waktu ke waktu), banyak informasi yang didapat mengenai struktur kependudukan sebuah wilayah.

Distribusi segitiga

Distribusi piramida penduduk yang berbentuk segitiga (dengan alas di bawah dan lancip di atas) dapat disebut distribusi eksponensial. Distribusi ini menunjukkan banyaknya penduduk anak-anak, namun kemiringan yang tajam juga menunjukkan banyaknya penduduk yang mati antara kelas interval usia. Piramida tersebut menunjukkan tingginya angka kelahiran, tingginya angka kematian, serta angka harapan hidup yang rendah. Piramida penduduk dengan distribusi seperti ini umumnya dijumpai di negara miskin karena kurangnya akses dan insentif untuk mengendalikan jumlah penduduk (keluarga berencana), faktor-faktor lingkungan yang rendah (seperti ketiadaan air bersih) serta sulitnya akses terhadap layanan kesehatan.

DIarsipkan di

Tingkat kelahiran

Negara Berdasarkan Tingkat Kelahiran, peta CIA

Dalam demografi, istilah tingkat kelahiran atau crude birth rate (CBR) dari suatu populasi adalah jumlah kelahiran per 1.000 orang tiap tahun. Secara matematika, angka ini bisa dihitung dengan rumus CBR = n/((p)(1000)); di mana n adalah jumlah kelahiran pada tahun tersebut dan p adalah jumlah populasi saat penghitungan. Hasil penghitungan ini digabungkan dengan tingkat kematian untuk menghasilkan angka tingkat pertumbuhan penduduk alami (alami maksudnya tidak melibatkan angka perpindahan penduduk (migrasi).

Indikator lain untuk mengukur tingkat kehamilan yang sering dipakai: tingkat kehamilan total – rata-rata jumlah anak yang terlahir bagi tiap wanita dalam hidupnya. Secara umum, tingkat kehamilan total adalah indikator yang lebih baik untuk tingkat kehamilan daripada CBR, karena tidak terpengaruh oleh distribusi usia dari populasi.

Tingkat kehamilan cenderung lebih tinggi di negara yang ekonominya kurang berkembang dan lebih rendah di negara yang pertumbuhan ekonominya tinggi.

Daftar isi

Metode lain untuk menghitung tingkat kelahiran

General fertility rate (GFR) – mengukur angka kelahiran tiap 1.000 wanita yang berusia 15 – 45 tahun.

Standardised birth rate (SBR) – membandingkan struktur usia-jenis kelamin.

Total fertility rate (TFR) – jumlah rata-rata anak yang diperkirakan akan dilahirkan seorang wanita sepanjang usia produktifnya untuk melahirkan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kelahiran

  • Kebijakan pro-natalis dan anti-natalis dari pemerintah
  • Tingkat aborsi
  • Struktur usia-jenis kelamin yang ada
  • Kepercayaan sosial dan religius – terutama berhubungan dengan kontrasepsi
  • Tingkat buta aksara pada wanita
  • Kemakmuran secara ekonomi (walaupun pada teorinya ketika sebuah keluarga memiliki ekonomi yang baik, mereka mampu untuk membiayai lebih banyak anak, dalam praktiknya kemakmuran ekonomi dapat menurunkan tingkat kelahiran)
  • Tingkat kemiskinan – anak-anak dapat dijadikan sumber ekonomi pada negara berkembang karena mereka bisa menghasilkan uang (tenaga kerja anak)
  • Angka Kematian Bayi – sebuah keluarga dapat mempunyai lebih banyak anak jika angka kematian bayi (Infant Mortality Rate / IMR) tinggi.
  • Urbanisasi
  • Homoseksualitas – pria dan wanita homoseksual hampir seluruhnya tidak menjadi ayah dan ibu, mengurangi angka kelahiran tiap tahunnya.
  • Usia pernikahan
  • Tersedianya pensiun
  • Konflik

Migrasi Antar Kabupaten/Kota

Ilustrasi

Agus dan istrinya masing-masing berusia 30 tahun. Kedua pasangan ini memiliki seorang anak berumur lima tahun. Keluarga ini pada tahun 1995 tinggal di Jakarta. Ketika Sensus Penduduk 2000 dilakukan, mereka sudah pindah ke Bojonggede, salah satu daerah pinggiran di wilayah Jabodetabek. Karena itu mereka merupakan keluarga migran risen dari Jakarta ke Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Agus dan istrinya merupakan contoh dari sekian banyak penduduk usia kerja yang menjadi migran. Demikian juga anak mereka yang berusia lima tahun, merupakan contoh migran berusia anak-anak yang dibawa serta oleh pasangan usia produktif tersebut. Karenanya angka migrasi pada usia anak-anak juga memperlihatkan pola yang tinggi, yang merupakan cerminan dari pola migrasi orang tua mereka.

Pertanyaan

Andaikata keluarga Agus yang berasal dari Jakarta itu memang memiliki tempat tinggal di Bojonggede Kabupaten Bogor, tetapi mereka juga masih memiliki rumah di Jakarta. Rumah yang di Bojonggede itu mereka tempati hanya pada saat-saat menjelang akhir pekan, dan itu dilakukan secara rutin. Apakah keluarga Agus ini termasuk migran risen?

Jawab

Definisi migran dan non-migran sangat terkait dengan dimensi waktu dan dimensi tempat tinggal yang biasa ditempati. Dalam kasus keluarga Agus ini kita harus mencari tahu dulu biasanya dimana keluarga tersebut bertempat tinggal, di Bojonggede atau di Jakarta? Karena keluarga ini hanya menempati rumah di Bojonggede hanya pada waktu-waktu tertentu saja dan tidak berniat tinggal di sana dalam waktu yang lebih lama (enam bulan atau lebih), sementara tempat tinggal yang biasanya ditempati adalah tetap di Jakarta, maka keluarga Agus bukan termasuk migran risen. Keluarga ini hanya pelaku migran sirkuler. Jika keluarga ini pergi ke Bojonggede pada pagi hari Sabtu, kemudian pulang ke Jakarta Sabtu sore, maka keluarga ini termasuk pelaku migrasi ulang-alik. Dalam Sensus Penduduk atau survei-survei kependudukan penetapan apakah seseorang adalah migran atau bukan tergantung dari pernyataan tentang di mana biasanya tinggal.

Indikator

Untuk memudahkan studi dan analisis tentang migrasi maka digunakan beberapa pengertian tentang ukuran-ukuran yang digunakan dalam perhitungan migrasi antarkabupaten/kota. Ukuran-ukuran tersebut adalah:

  1. Angka migrasi masuk (mi), yang menunjukkan banyaknya migran yang masuk per 1000 penduduk di suatu kabupaten/kota tujuan dalam satu tahun.
  2. Angka migrasi keluar (mo), yang menunjukkan banyaknya migran yang keluar dari suatu kabupaten/kota per 1000 penduduk di kabupaten/kota asal dalam satu tahun.
  3. Angka migrasi neto (mn), yaitu selisih banyaknya migran masuk dan migrant keluar ke dan dari suatu kabupaten/kota per 1000 penduduk dalam satu tahun.

Kegunaan

Ukuran-ukuran migrasi ini bermanfaat untuk mengetahui apakah suatu kabupaten/kota merupakan daerah yang memiliki daya tarik bagi penduduk wilayah sekitarnya atau wilayah lainnya. Dapat juga ditentukan apakah suatu kabupaten/kota merupakan wilayah yang tidak disenangi untuk dijadikan tempat tinggal. Dengan kata lain kabupaten/kota ini memiliki daya dorong bagi penduduknya untuk pergi meninggalkan daerah tersebut.

Kabupaten/kota yang memiliki daya tarik bagi penduduk wilayah sekitarnya biasanya memiliki angka migrasi neto yang positif. Artinya, jumlah penduduk yang masuk lebih banyak daripada jumlah penduduk yang keluar. Sedangkan kabupaten/kota yang kurang disenangi oleh penduduknya akibat kelangkaan sumberdaya misalnya, biasanya memiliki angka migrasi neto yang negatif, yang berarti jumlah penduduk yang keluar lebih banyak daripada jumlah migran yang masuk.

Cara Menghitung

a. Migrasi Masuk (Mi):

clip_image033.gif

dimana :

Mi

=

Angka Migrasi Risen Masuk

InMig

=

Jumlah penduduk yang masuk ke suatu kabupaten/kota selama satu periode pengamatan

P

=

Jumlah penduduk pada pertengahan periode yang sama

k

=

Konstanta, biasanya 1000

b. Migrasi Keluar (Mo):

clip_image034.gif

dimana :

Mo

=

Angka Migrasi Risen Keluar

OutMig

=

Jumlah penduduk yang keluar dari suatu kabupaten/kota selama satu periode pengamatan

P

=

Jumlah penduduk pada pertengahan periode yang sama

k

=

Konstanta, biasanya 1000

c. Migrasi Neto (Mn):

clip_image035.gif

dimana :

Mn

=

Angka Migrasi Risen Neto

InMig

=

Jumlah penduduk yang masuk ke suatu kabupaten/kota selama satu periode pengamatan

OutMig

=

Jumlah penduduk yang keluar dari suatu kabupaten/kota selama periode yang sama

P

=

Jumlah penduduk pada pertengahan periode yang sama

Catatan

Untuk mencari jumlah penduduk pada pertengahan suatu periode, misal dalam kurun waktu 1995-2000, digunakan perhitungan seperti mencari jumlah penduduk rata-rata dari dua sensus atau survei. Untuk contoh periode 1995-2000, jumlah penduduk pada pertengaha periode 1995-2000 adalah jumlah penduduk tahun 1995 ditambah dengan jumlah penduduk tahun 2000 kemudian dibagi 2.

Angka migrasi biasanya dihitung menurut kelompok umur dan jenis kelamin. Indikator migrasi risen menurut kelompok umur disebut Angka Migrasi Risen Menurut Kelompok Umur (Age Specific Recent Migration Rate), yang dapat dihitung untuk laki-laki, perempuan, dan untuk laki-laki dan perempuan.

Contoh

Tabel 1. Contoh Perhitungan Angka Migrasi Risen Menurut Kelompok Umur, Kabupaten Lombok Tengah, 1995-2000.

Kelompok Umur

Migran Masuk

Migran Keluar

Migran Neto

Jumlah Penduduk 1995

Jumlah Penduduk 2000

Penduduk tengah periode

ASNMR

0-4

1.280

2.459

-1.179

92.700

80.829

86.764,5

-2,7177

5-9

1.256

1.711

-455

101.227

85.523

93.375

-0,97456

10-14

1.481

2.142

-661

97.680

91.879

94.779,5

-1,39482

15-19

1.720

3.646

-1.926

69.250

77.682

73.466

-5,24324

20-24

1.490

3.661

-2.171

61.748

62.999

62.373,5

-6,96129

25-29

1.466

2.532

-1.066

55.820

64.984

60.402

-3,52968

30-34

1.257

1.777

-520

47.595

56.312

51.953,5

-2,00179

35-39

973

1.392

-419

45.152

52.862

49.007

-1,70996

40-44

723

928

-205

32.447

44.421

38.434

-1,06676

45-49

552

671

-119

38.380

35.532

36.956

-0,64401

50-54

428

454

-26

23.071

29.919

26.495

-0,19626

55-59

262

251

11

19.539

19.909

19.724

0,111539

60-64

266

235

31

18.143

18.737

18.440

0,336226

65-69

132

125

7

7.475

10.788

9.131,5

0,153315

70-74

106

100

6

3.089

7.529

5.309

0,226031

75+

65

94

-29

2.193

5.673

3.933

-1,4747

Jumlah

13.457

22.178

-8.721

715.509

745.578

730.543,5

-2,38754

Sumber Data

Perhitungan Angka Migrasi Risen Menurut Kelompok Umur dalam modul ini berdasarkan data hasil Sensus Penduduk 2000 dan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 1995. Adapun daftar pertanyaan yang digunakan disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. DAFTAR PERTANYAAN UNTUK PERHITUNGAN MIGRASI DALAM SENSUS PENDUDUK 2000 MODUL KEPENDUDUKAN.

No

Kriteria Migrasi

Pertanyaan

1.

Migrasi Seumur Hidup

Jenis Kelamin (03) Berapa Umur sekarang?(05b) Propinsi/Kabupaten tempat tinggal sekarang (Kode propinsi dan kabupaten/kotamadya) Propinsi dan Kabupaten tempat lahir (04. Di Kabupaten/Kotamadya dan propinsi mana dilahirkan?)

2.

Migrasi Risen

Jenis Kelamin (03)

Bulan dan tahun kelahiran (05)

Propinsi/Kabupaten tempat tinggal sekarang Kode propinsi dan kabupaten/kotamadya)

Propinsi dan Kab/Kotamadya tempat tinggal lima tahun yang lalu (09)

3.

Migrasi Total

Modul SP 2000: Jenis Kelamin (403) /Blok IV.] Umur (503)/Blok V Propinsi dan Kabupaten tempat tinggal sekarang (101 & 102)/Blok I Propinsi dan Kabupaten tempat tinggal terakhir sebelum tinggal di tempat di tempat tinggal sekarang (508prop dan 506kab)/Blok V

Interpretasi

Tabel 1 memperlihatkan jumlah migrasi risen masuk dan migrasi risen keluar baik menurut kelompok umur maupun keseluruhan ke dan dari Kabupaten Lombok Tengah, Propinsi Nusa Tenggara Barat. Terlihat pada tabel, migrasi risen neto di kabupaten ini secara keseluruhan bernilai negatif, yaitu -2,39 yang artinya selisih antara migran risen masuk dan migran risen keluar sebesar 2,39 orang per 1000 penduduk di Kabupaten Lombok Tengah. Nilai negatif berarti lebih banyak migran yang keluar daripada yang masuk dalam periode 1995-2000. Nilai yang sama juga terlihat pada hampir semua kelompok umur. Ini artinya lebih banyak penduduk yang keluar dari Lombok Tengah ke daerah-daerah lain di Indonesia (migrasi internal) atau mungkin keluar negeri (migrasi internasional), dibanding penduduk yang masuk ke wilayah kabupaten ini selama peridoe 1995-2000.

Jumlah migrasi keluar yang lebih banyak ini terutama terjadi pada kelompok umur muda (anak-anak dan usia angkatan kerja). Untuk usia angkatan kerja, biasanya mereka pergi ke luar negeri. Untuk kelompok yang lebih tua (usia pensiun), tampaknya lebih banyak yang masuk ke Lombok Tengah dibandingkan mereka yang keluar. Tidak tertutup kemungkinan penduduk usia tua ini merupakan para migran kembali (return migrants) dari daerah lain sehingga dapat dikatakan kalau kabupaten ini tidak terlalu menarik minat para penduduk usia produktif. Mereka lebih banyak yang keluar ke daerah-daerah lain atau luar negeri mencari kehidupan yang lebih baik. Karenanya tidak mengherankan jika kabupaten ini dikenal sebagai salah satu daerah pengirim TKI (Tenaga Kerja Indonesia) ke luar negeri.

Jumlah migran yang disajikan pada Tabel merupakan peristiwa migrasi selama kurun waktu tahun 1995 hingga 2000. Karena itu dinamakan migran risen. Untuk menghasilkan angka migrasi (migration rate), maka jumlah migran tersebut dibagi dengan jumlah penduduk pada pertengahan periode selama 1995-2000. Angka migrasi diperoleh dengan membagi jumlah migran risen pada kelompok umur tertentu dengan jumlah penduduk pada kelompok umur yang sama pada pertengaha periode 1995-2000, kemudian dikalikan dengan 1000. Penduduk pada kelompok umur 30-34 misalnya, memiliki angka migrasi risen neto sebesar -2,00179. Ini artinya, di antara 1000 orang penduduk Lombok Tengah berusia 30-34, terdapat lebih banyak yang pergi meninggalkan Lombok Tengah daripada yang masuk ke Lombok Tengah sebanyak dua orang berusia 30-34 dalam periode 1995-2000.

Migrasi

Pengantar

Analisis dan perkiraan besaran dan arus migrasi merupakan hal yang penting bagi terlaksananya pembangunan manusia seutuhnya, terutama di era otonomi daerah ini. Apalagi jika analisis mobilitas tersebut dilakukan pada suatu wilayah administrasi yang lebih rendah daripada tingkat propinsi. Karena justru tingkat mobilitas penduduk baik permanen maupun nonpermanen akan tampak lebih nyata terlihat pada satuan unit administrasi yang lebih kecil seperti kabupaten, kecamatan dan desa atau kelurahan.

Pada hakekatnya migrasi penduduk merupakan refleksi perbedaan pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan fasilitas pembangunan antara satu daerah dengan daerah lain. Penduduk dari daerah yang tingkat pertumbuhannya kurang akan bergerak menuju ke daerah yang mempunyai tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi.

Migrasi dipengaruhi oleh daya dorong (push factor) suatu wilayah dan daya tarik (pull factor) wilayah lainnya. Daya dorong wilayah menyebabkan orang pergi ke tempat lain, misalnya karena di daerah itu tidak tersedia sumberdaya yang memadai untuk memberikan jaminan kehidupan bagi penduduknya. Pada umumnya, hal ini tidak lepas dari persoalan kemiskinan dan pengangguran yang terjadi di wilayah tersebut. Sedangkan daya tarik wilayah adalah jika suatu wilayah mampu atau dianggap mampu menyediakan fasilitas dan sumber-sumber penghidupan bagi penduduk, baik penduduk di wilayah itu sendiri maupun penduduk di sekitarnya dan daerah-daerah lain. Penduduk wilayah sekitarnya dan daerah-daerah lain yang merasa tertarik dengan daerah tersebut kemudian bermigrasi dalam rangka meningkatkan taraf hidup.

Definisi

Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melewati batas administratif (migrasi internal) atau batas politik/negara (migrasi internasional). Dengan kata lain, migrasi diartikan sebagai perpindahan yang relatif permanen dari suatu daerah (negara) ke daerah (negara) lain.

Jenis migrasi adalah pengelompokan migrasi berdasarkan dua dimensi penting dalam analisis migrasi, yaitu dimensi ruang/daerah (spasial) dan dimensi waktu.

Migrasi internasional adalah perpindahan penduduk dari suatu negara ke negara lain. Migrasi internasional merupakan jenis migrasi yang memuat dimensi ruang.

Migrasi internal adalah perpindahan penduduk yang terjadi dalam satu negara, misalnya antarpropinsi, antarkota/kabupaten, migrasi dari wilayah perdesaan ke wilayah perkotaan atau satuan administratif lainnya yang lebih rendah daripada tingkat kabupaten/kota, seperti kecamatan dan kelurahan/desa. Migrasi internal merupakan jenis migrasi yang memuat dimensi ruang.

Migran menurut dimensi waktu adalah orang yang berpindah ke tempat lain dengan tujuan untuk menetap dalam waktu enam bulan atau lebih.

Migran sirkuler (migrasi musiman) adalah orang yang berpindah tempat tetapi tidak bermaksud menetap di tempat tujuan. Migran sikuler biasanya adalah orang yang masih mempunyai keluarga atau ikatan dengan tempat asalnya seperti tukang becak, kuli bangunan, dan pengusaha warung tegal, yang sehari-harinya mencari nafkah di kota dan pulang ke kampungnya setiap bulan atau beberapa bulan sekali.

Migran ulang-alik (commuter) adalah orang yang pergi meninggalkan tempat tinggalnya secara teratur, (misal setiap hari atau setiap minggu), pergi ke tempat lain untuk bekerja, berdagang, sekolah, atau untuk kegiatan-kegiatan lainnya, dan pulang ke tempat asalnya secara teratur pula (missal pada sore atau malam hari atau pada akhir minggu). Migran ulang-alik biasanya menyebabkan jumlah penduduk di tempat tujuan lebih banyak pada waktu tertentu, misalnya pada siang hari.

Kriteria Migran

Ada tiga kriteria migran: seumur hidup, risen, dan total.

Migran seumur hidup (life time migrant) adalah orang yang tempat tinggalnya pada saat pengumpulan data berbeda dengan tempa tinggalnya pada waktu lahir.

Migran risen (recent migrant) adalah orang tempat tinggalnya pada saat pengumpulan data berbeda dengan tempat tinggalnya pada waktu lima tahun sebelumnya.

Migran total (total migrant) adalah orang yang pernah bertempat tinggal di tempat yang berbeda dengan tempat tinggal pada waktu pengunpulan data.

Kriteria migrasi yang digunakan dalam modul ini adalah migasi risen (recent migration), karena lebih mencerminkan dinamika spasial penduduk antardaerah daripada migrasi seumur hidup (life time migration) yang relatif statis. Sedangkan migrasi total tidak dibahas karena definisinya tidak memasukkan batasan waktu antara tempat tinggal sekarang (waktu pencacahan) dan tempat tinggal terakhir sebelum tempat tinggal sekarang. Akan tetapi migrasi total biasa dipakai untuk menghitung migrasi kembali (return migration).

Untuk perhitungan angka migrasi, penduduk terpapar yang dihitung adalah penduduk usia lima tahun atau lebih. Dalam perhitungan angka migrasi menurut kelompok umur, penduduk usia 0-4 tahun datanya tidak tersedia karena kelompok penduduk ini merupakan kelompok penduduk yang lahir pada periode antar dua survei/sensus. Untuk mengatasi hal ini, khusus untuk penduduk kelompok umur 0-4 tahun, digunakan data migrasi seumur hidup untuk penduduk berusia 0-4 tahun.

Faktor Pendorong & Penarik Migrasi

Pada dasarnya ada dua pengelompokan faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan migrasi, yaitu faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor).

Faktor-faktor pendorong (push factor) antara lain adalah:

  • Makin berkurangnya sumber-sumber kehidupan seperti menurunnya daya dukung lingkungan, menurunnya permintaan atas barang-barang tertentu yang bahan bakunya makin susah diperoleh seperti hasil tambang, kayu, atau bahan dari pertanian.
  • Menyempitnya lapangan pekerjaan di tempat asal (misalnya tanah untuk pertanian di wilayah perdesaan yang makin menyempit).
  • Adanya tekanan-tekanan seperti politik, agama, dan suku, sehingga mengganggu hak asasi penduduk di daerah asal.
  • Alasan pendidikan, pekerjaan atau perkawinan.
  • Bencana alam seperti banjir, kebakaran, gempa bumi, tsunami, musim kemarau panjang atau adanya wabah penyakit.

Faktor-faktor penarik (pull factor) antara lain adalah:

  • Adanya harapan akan memperoleh kesempatan untuk memperbaikan taraf hidup.
  • Adanya kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik.
  • Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan, misalnya iklim, perumahan, sekolah dan fasilitas-fasilitas publik lainnya.
  • Adanya aktivitas-aktivitas di kota besar, tempat-tempat hiburan, pusat kebudayaan sebagai daya tarik bagi orang-orang daerah lain untuk bermukim di kota besar.

Tingkat Pendidikan Tertinggi (TPT)

Definisi

Tingkat Pendidikan Tertinggi atau disingkat TPT adalah persentase jumlah penduduk, baik yang masih sekolah ataupun tidak sekolah lagi, menurut pendidikan tertinggi yang telah ditamatkan.

Kegunaan

TPT bermanfaat untuk menunjukkan pencapaian pembangunan pendidikan di suatu daerah. TPT juga berguna untuk melakukan perencanaan penawaran tenaga kerja, terutama untuk melihat kualifikasi pendidikan angkatan kerja di suatu wilayah.

Cara Menghitung

TPT merupakan pembagian antara jumlah penduduk menurut pendidikan terakhir dengan jumlah penduduk keseluruhan.

Rumus

clip_image050.gif

Dimana:

clip_image051.gif= jumlah penduduk yang mencapai jenjang pendidikan h pada tahun t clip_image052.gif= total jumlah penduduk pada tahun t

Catatan: Bila ingin menggunakan TPT untuk perencanaan tenaga kerja, clip_image052.gif= jumlah penduduk usia angkatan kerja, yaitu 15-64 tahun (lihat modul TENAGA KERJA)

Data yang diperlukan

  • Jumlah penduduk menurut ijazah terakhir yang ditamatkan
  • Total jumlah penduduk
Sumber Data TPT dapat dihitung menggunakan pertanyaan dari Seksi Keterangan Pendidikan tentag partisipasi sekolah dan dipilih kategori 2 yaitu penduduk yang masih sekolah dan kategori 3 yaitu penduduk yang tidak sekolah lagi.
Untuk menghitung TPT menurut jenjang pendidikan, digunakan pertanyaan tentang berisi keterangan Ijazah/STTB tertinggi yang dimiliki.
Contoh

Berikut contoh perhitungan TPT penduduk usia 15-64 tahun dengan data Susenas 2004. Diketahui jumlah penduduk usia 15-64 tahun menurut ijazah tertinggi yang pernah ditamatkan:

Tabel 1 Jumlah penduduk usia 15-64 tahun menurut ijazah tertinggi, 2004

clip_image053.gif

sumber: Susenas 2004

TPT SD = (43,440,860/120,589,574)*100 = 36 %

TPT SMP =(23,625,661/120,589,574)*100 = 19.6 %

Interpretasi

Angka TPT berkisar antara 0 sampai dengan 100. Dari contoh diatas didapat TPT SD adalah 36 persen dan SMP adalah 19.6 persen. Maka dapat diinterpretasikan bahwa sebagian besar penduduk usia 15-64 tahun keatas hanya berpendidikan sampai dengan tamat SD.

Pertanyaan Diskusi

Pak Bejo adalah jebolan kelas 3 STM Mesin. Ia mengatakan tidak pernah sampai ikut ujian akhir negara karena tidak punya biaya. Saat ini ia bekerja di pabrik mesin bubut tanpa ijazah STM walaupun ia mempunyai ketrampilan yang sangat baik dalam bidang mesin. Berdasarkan definisi Tingkat Pendidikan Tertinggi, apakah pendidikan tertinggi Pak Bejo?

Jawab: SMP

Pendidikan Tertinggi

Sebuah Kabupaten saat ini sedang membuat perencanaan tenaga kerja. Bupati di wilayah tersebut ingin mengetahui jumlah tenaga kerja menurut pendidikan tertinggi. Staf kantor pemerintah daerah mempunyai dua data, yaitu, pertama persentase penduduk usia 15 tahun keatas menurut ijazah/STTB terakhir yang ditamatkan; kedua, persentase penduduk usia 15 tahun keatas menurut kelas tertinggi yang pernah ditamatkan. Data pertama menunjukkan angka 45 persen penduduk usia 15-64 tahun mempunyai ijazah SD, sedangkan data kedua menunjukkan 56 persen penduduk usia 15-64 tahun telah menyelesaikan pendidikan setingkat SMP kelas 1.

Bupati tersebut bingung untuk menentukan bagaimana melihat keberhasilan pendidikan di daerah sekaligus memberikan gambaran kualitas SDM tenaga kerja?

Berikut akan disajikan dua ukuran pendidikan tertinggi yang bermanfaat dalam melihat kualitas sumber daya manusia di suatu wilayah, terutama untuk penduduk usia kerja.

Angka Partisipasi Murni (APM)

Definisi

Angka Partisipasi Murni (APM) adalah persentase siswa dengan usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikannya dari jumlah penduduk di usia yang sama.

Kegunaan

APM menunjukkan partisipasi sekolah penduduk usia sekolah di tingkat pendidikan tertentu. Seperti APK, APM juga merupakan indikator daya serap penduduk usia sekolah di setiap jenjang pendidikan. Tetapi, jika dibandingkan APK, APM merupakan indikator daya serap yang lebih baik karena APM melihat partisipasi penduduk kelompok usia standar di jenjang pendidikan yang sesuai dengan standar tersebut.

Cara Menghitung

APM di suatu jenjang pendidikan didapat dengan membagi jumlah siswa atau penduduk usia sekolah yang sedang bersekolah dengan jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang sekolah tersebut.

Rumus

clip_image043.gif

dimana:

clip_image044.gif = jumlah siswa/penduduk kelompok usia a yang bersekolah di tingkat pendidikan h pada tahun t

clip_image045.gif = jumlah penduduk kelompok usia a yang berkaitan dengan usia sekolah standar di tingkat pendidikan h.

Contoh : APM SD adalah jumlah penduduk usia 7-12 tahun yang sedang bersekolah di tingkat SD dibagi dengan jumlah penduduk usia 7-12 tahun.

Data yang diperlukan

  • Jumlah penduduk kelompok usia sekolah yang masih bersekolah di tingkat pendidikan tertentu.
  • Jumlah penduduk kelompok usia sekolah yang standar (contoh: kelompok usia SD=7-12 tahun, SMP=13-15 tahun, SMA=16-18 tahun, dst)

Sumber Data

APM dapat dihitung dengan data Susenas.

  • Untuk pembilang, diambil dari dari Seksi "Keterangan Pendidikan" pertanyaan tentang partisipasi sekolah dan dipilih kategori 2 atau semua orang yang masih sekolah saat ini. Kemudian dikelompokkan berdasarkan pertanyaan tentang Jenjang dan Jenis Pendidikan Tertinggi yang pernah/sedang diduduki. Kemudian dikelompokkan lagi menurut kelompok umur yang diambil dari pertanyaan tentang Umur dari seksi "Keterangan Anggota Rumah Tangga".
  • Untuk penyebut, digunakan pertanyaan dari Seksi "Keterangan Anggota Rumah Tangga" untuk mengelompokkan penduduk berdasarkan kelompok usia yang berkaitan dengan tingkat pendidikan.

Contoh

Berikut adalah penghitungan APK menggunakan data Susenas 2004. Bila diketahui jumlah penduduk menurut usia standar dan jenjang pendidikan serta jumlah penduduk menurut usia standar seperti dalam tabel 1 dan 2 sbb:

Tabel 1 Jumlah penduduk sedang sekolah menurut jenjang pendidikan dan usia standar, 2004 clip_image048.gif

sumber: Susenas 2004

Tabel 2 Jumlah penduduk menurut kelompok usia "standar" , 2004 clip_image049.gif

sumber: Susenas 2004

APM SD = (25,362,124/27,258,170)*100 = 93%

APM SMP = (8,308,941/12,763,733)*100 = 65%

Interpretasi

APM SD sama dengan 93% artinya dari 100 penduduk usia 7-12 tahun, 93 orang bersekolah di bangku SD. Partisipasi sekolah penduduk usia 13-15 di SMP (65%) lebih rendah dibanding SD.

Nilai APM akan berkisar dari 0 sampai dengan 100. Tidak mungkin ditemukan APM lebih dari 100 karena jumlah siswa (pembilang) merupakan bagian dari jumlah penduduk usia tertentu (penyebut).

Selisih antara APK dan APM menunjukkan proporsi siswa yang tertinggal atau terlalu cepat bersekolah. Kelemahan APM adalah kemungkinan adanya kekurangan estimasi karena siswa diluar kelompok usia yang standar di tingkat pendidikan tertentu. Contoh: Seorang anak usia 6 tahun bersekolah di SD kelas 1 tidak akan masuk dalam penghitungan APM karena usianya lebih rendah dibanding kelompok usia standar SD yaitu 7-12 tahun.

Rentang APM di Indonesia dari hasil tabulasi data Susenas 10 tahun terakhir untuk SD berkisar antara 50 sampai 95 persen, SMP antara 50 sampai 70 persen, dan SMA antara 20 sampai 50 persen. mospagebreak title=Pertanyaan Diskusi}

Pertanyaan Diskusi

Si Budi masuk SD ketika ia berusia 5 tahun. Selama sekolah ia tidak pernah tinggal kelas. Saat ini ia bersekolah di SMP duduk di kelas 3 semester akhir. Masukkah saat ini ia masuk dalam penghitungan APM SMP?

Jawaban Pertanyaan Diskusi

Tentu tidak. Karena usia Budi saat ini adalah 13 tahun, sedangkan usia standar SMP kelas 3 adalah 15 tahun.

Angka Partisipasi Kasar (APK)

Definisi

Angka Partisipasi Kasar (APK) adalah rasio jumlah siswa, berapapun usianya, yang sedang sekolah di tingkat pendidikan tertentu terhadap jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tertentu.

Misal, APK SD sama dengan jumlah siswa yang duduk di bangku SD dibagi dengan jumlah penduduk kelompok usia 7 sampai 12 tahun.

Kegunaan

APK menunjukkan tingkat partisipasi penduduk secara umum di suatu tingkat pendidikan. APK merupakan indikator yang paling sederhana untuk mengukur daya serap penduduk usia sekolah di masing-masing jenjang pendidikan.

Cara Menghitung

APK didapat dengan membagi jumlah penduduk yang sedang bersekolah (atau jumlah siswa), tanpa memperhitungkan umur, pada jenjang pendidikan tertentu dengan jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tersebut.

Rumus

APKh = clip_image038.gif

Dimana

clip_image039.gif adalah jumlah penduduk yang pada tahun t dari berbagai usia sedang sekolah pada jenjang pendidikan h

clip_image040.gif adalah jumlah penduduk yang pada tahun t berada pada kelompok usia a yaitu kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan h

Data yang diperlukan

  • Data jumlah penduduk yang pada tahun t sedang sekolah (atau menjadi siswa) dari berbagai usia, pada setiap jenjang pendidikan.
  • Data jumlah penduduk per kelompok usia standar (lihat tabel usia standar) yang berkaitan dengan setiap jenjang pendidikan.

Sumber data

APK dapat dihitung dengan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dari Keterangan Pendidikan. Karena APK adalah ukuran partisipasi sekolah, maka kita hanya akan melihat mereka yang sedang sekolah pada saat survei. Untuk itu, digunakan pertanyaan-pertanyaan sbb:

  • Untuk pembilang, digunakan pertanyaan tentang partisipasi sekolah dan dipilih kategori 2, yaitu penduduk yang saat survei masih bersekolah[1] Kemudian penduduk yang masih sekolah dikelompokkan menurut pertanyaan tentang Jenjang dan Jenis Pendidikan Tertinggi.
  • Untuk penyebut, digunakan pertanyaan usia responden dari seksi "Keterangan Anggota Rumah Tangga" untuk mengelompokkan penduduk sedang sekolah berdasarkan kelompok usia yang berkaitan dengan tingkat pendidikan.

[1] Variabel partisipasi tentang partisipasi sekolah berisi tiga kategori, 1 adalah tidak/belum bersekolah; 2 adalah masih bersekolah; dan 3 adalah Tidak bersekolah lagi.

Contoh

Penghitungan APK menggunakan Susenas 2004

Bila diketahui jumlah penduduk yang sedang sekolah menurut jenjang pendidikan dan menurut kelompok umur "standar" seperti dalam tabel 1 dan 2 berikut:

Tabel 1 Jumlah penduduk sedang sekolah menurut jenjang pendidikan

clip_image041.gif

Tabel 2 Jumlah penduduk menurut kelompok umur "standar" clip_image042.gif

APK SD = (29,202,478/27,258,170)*100 = 107,1 %

APK SMP = (10,474,117/12,736,733)*100 = 82,2 %

Interpretasi

Terkadang kita akan menemukan APK lebih dari 100% seperti pada contoh diatas. Hal ini disebabkan pembilang dari rumus APK, yaitu jumlah siswa, adalah seluruh siswa yang saat ini sedang sekolah di suatu jenjang pendidikan dari berbagai kelompok usia. Sebagai contoh, banyak anak-anak usia diatas 12 tahun, tetapi masih sekolah di tingkat SD.

Adanya siswa dengan usia lebih tua dibanding usia standar di jenjang pendidikan tertentu menunjukkan terjadinya kasus tinggal kelas atau terlambat masuk sekolah. Sebaliknya, siswa yang lebih muda dibanding usia standar yang duduk di suatu jenjang pendidikan menunjukkan siswa tersebut masuk sekolah di usia yang lebih muda. Rata-rata rentang APK di Indonesia dari hasil data SUSENAS 10 tahun terakhir sudah berkisar diatas 100 persen, SMP antara 50% sampai 80%, dan SMA masih relatif rendah yaitu antara 30% sampai 50%.

Pertanyaan Diskusi

Si Atik saat ini berusia 13 tahun dan masih duduk di kelas 5 SD karena sempat tidak naik kelas sampai dua kali karena daya intelektualnya rendah. Apakah ia masuk dalam perhitungan APK SD?

Kegunaan Secara Umum Partisipasi Sekolah

Angka partisipasi sekolah merupakan ukuran daya serap sistem pendidikan terhadap penduduk usia sekolah. Angka tersebut memperhitungkan adanya perubahan penduduk terutama usia muda. Ukuran yang banyak digunakan di sektor pendidikan seperti pertumbuhan jumlah murid lebih menunjukkan perubahan jumlah murid yang mampu ditampung di setiap jenjang sekolah. Sehingga, naiknya persentase jumlah murid tidak dapat diartikan sebagai semakin meningkatnya partisipasi sekolah. Kenaikan tersebut dapat pula dipengaruhi oleh semakin besarnya jumlah penduduk usia sekolah yang tidak diimbangi dengan ditambahnya infrastruktur sekolah serta peningkatan akses masuk sekolah sehingga partisipasi sekolah seharusnya tidak berubah atau malah semakin rendah.

Di Indonesia, proporsi penduduk muda sendiri semakin menurun akibat semakin rendahnya angka fertilitas (lihat bagian Fertilitas). Penurunan ini akan menyebabkan semakin menurunnya jumlah anak-anak yang masuk sekolah dasar. Bila ukuran seperti perubahan jumlah murid digunakan, bisa jadi ditemukan penurunan jumlah murid di sekolah dasar dengan interpretasi terjadi penurunan partisipasi sekolah. Namun, bila digunakan angka partisipasi sekolah, maka akan ditemukan peningkatan partisipasi di tingkat SD yang disebabkan semakin rendahnya jumlah penduduk usia SD.

Partisipasi Sekolah

Propinsi A mengklaim dirinya sebagai wilayah yang sukses melaksanakan wajib belajar 9 tahun. Gubernur menyebutkan bahwa kesuksesan tersebut ditunjukkan oleh jumlah murid SMP yang mencapai 250.000 pada tahun 2000. Tetapi pemerintah pusat malah memberikan penghargaan kepada Propinsi B sebagai daerah yang sukses dengan wajib belajar. Menurut pemerintah propinsi B berhasil meningkatkan angka partisipasi sekolah mencapai 45 persen, sedangkan propinsi A baru mencapai 38 persen.

Mengapa pemerintah menggunakan angka partisipasi sekolah dalam menilai kesuksesan program wajib belajar? Mengapa jumlah murid tidak bisa dijadikan ukuran?

Umumnya, terdapat dua ukuran partisipasi sekolah yang utama, yaitu Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM). Keduanya mengukur penyerapan penduduk usia sekolah oleh sektor pendidikan. Perbedaan diantara keduanya adalah penggunaan kelompok usia "standar" di setiap jenjang pendidikan. Usia standar yang dimaksud adalah rentang usia yang dianjurkan pemerintah dan umum dipakai untuk setiap jenjang pendidikan, yang ditampilkan pada tabel berikut:

Tabel 1: Usia standar di setiap jenjang pendidikan

Jenjang Kelompok usia
SD 7 - 12 tahun
SMP 13 - 15 tahun
SMA 16 - 18 tahun
Perguruan tinggi 19 tahun keatas

Pendidikan

Pembangunan pendidikan di Indonesia telah menunjukkan keberhasilan yang cukup besar. Wajib Belajar 6 tahun, yang didukung pembangunan infrastruktur sekolah dan diteruskan dengan Wajib Belajar 9 tahun adalah program sektor pendidikan yang diakui cukup sukses. Hal ini terlihat dari meningkatnya partisipasi sekolah dasar dari 41 persen pada tahun 1968 menjadi 94 persen pada tahun 1996, sedangkan partisipasi sekolah tingkat SMP meningkat dari 62 persen tahun 1993 menjadi 80 persen tahun 2002 (Oey-Gardiner, 2003).

Tetapi dibalik keberhasilan program-program tersebut, terdapat berbagai fenomena dalam sektor pendidikan. Kasus tinggal kelas, terlambat masuk sekolah dasar dan ketidakmampuan untuk meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi merupakan hal yang cukup banyak menjadi sorotan di dunia pendidikan. Kasus putus sekolah yang juga banyak terjadi terutama di daerah pedesaan menunjukkan bahwa pendidikan belum banyak menjadi prioritas bagi orang tua. Rendahnya prioritas tersebut antara lain dipicu oleh akses masyarakat terhadap pendidikan yang masih relatif kecil, terutama bagi keluarga miskin yang tidak mampu membiayai anak mereka untuk meneruskan sekolah ke jenjang lebih tinggi.

Selain itu, ujian akhir sekolah dianggap tidak dapat menjadi ukuran kemampuan murid. Nilai rata-rata ujian akhir yang rendah seringkali diikuti oleh persentase kelulusan yang cukup tinggi. Pada tahun ajaran 1998/1999, rata-rata nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) SMA di Indonesia adalah 3,99. Padahal nilai minimum untuk lulus adalah 6. Tetapi pada periode tersebut, 97 persen siswa SMA dinyatakan lulus (Oey-Gardiner, 2000). Hal ini menunjukkan bahwa nilai ujian akhir bukanlah satu-satunya alat untuk menyaring kelulusan murid.

Rumah tangga

Informasi tentang jumlah rumah tangga, komposisi rumah tangga dan karakteristik demografi, sosial dan ekonomi sangat diperlukan dalam perencanaan maupun implementasi kebijakan pemenuhan pelayanan dasar seperti perumahan, pendidikan, kesehatan, pangan, intervensi pengentasan kemiskinan dan lain sebagainya.

Untuk memenuhi kebutuhan data rumah tangga, BPS telah melakukan pendataan rumah tangga baik dalam Sensus Penduduk, Supas maupun Susenas. Bahkan pada akhir tahun 2005 telah dilakukan pendataan khusus rumah tangga miskin dengan menggunakan 14 indikator kemiskinan untuk memenuhi kebutuhan berbagai program pelayanan dasar tersebut. Data rumah tangga yang dikumpulkan BPS biasanya mencakup data anggota rumah tangga dan data anggota rumah tangga (individu).

Istilah rumah tangga dan keluarga sendiri sering dicampur adukkan dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian rumah tangga lebih mengacu pada sisi ekonomi, sedangkan keluarga lebih mengacu pada hubungan kekerabatan, fungsi sosial dan lain sebagainya.

Konsep Dasar Rumah Tangga

BPS (2000) membagi rumah tangga menjadi dua yaitu rumah tangga biasa dan rumah tangga khusus.

Rumah tangga biasa adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau sensus dan umumnya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Yang dimaksud dengan satu dapur adalah bahwa pembiayaan keperluan jika pengurusan kebutuhan sehari-hari dikelola bersama-sama.

Rumah tangga khusus adalah sekelompok orang yang tinggal di asrama atau tempat tinggal yang pengurusan sehari-harinya diatur oleh yayasan atau badan, misalnya asrama mahasiswa, lembaga pemasyarakatan, orang-orang yang berjumlah lebih dari 10 orang yang kos dengan makan, asrama TNI dan lain sebagainya.

Dalam pengumpulan data keterangan rumah tangga, BPS menggunakan konsep de jure dan de facto. Anggota rumah tangga adalah semua orang yang biasanya tinggal disuatu rumah tangga, baik yang berada di rumah pada waktu pencacahan maupun sementara tidak ada (de jure). Anggota rumah tangga yang bepergian 6 bulan atau lebih, dan anggota rumah tangga yang bepergian kurang dari 6 bulan tetapi dengan tujuan pindah/akan meninggalkan rumah 6 bulan atau lebih, tidak dianggap sebagai angggota rumah tangga. Tamu yang telah tinggal di rumah tangga selama 6 bulan atau lebih maupun kurang dari 6 bulan tetapi berniat akan bertempat tinggal 6 bulan atau lebih, dianggap sebagai anggota rumah tangga (de facto).

Konsep Dasar Keluarga

Keluarga didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang tinggal dalam satu rumah yang masih mempunyai hubungan kekerabatan/hubungan darah karena perkawinan, kelahiran, adopsi dan lain sebagainya. Keluarga dapat dibagi menjadi 2 tipe yaitu:

  • Keluarga Inti (Nuclear family), yaitu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak kandung, anak angkat maupun adopsi yang belum kawin, atau ayah dengan anak-anak yang belum kawin atau ibu dengan anak-anak yang belum kawin.
  • Keluarga luas (extended family), yaitu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu anak-anak baik yang sudah kawin atau belum, cucu, orang tua, mertua maupun kerabat-kerabat lain yang menjadi tanggungan kepala keluarga.

Sumber Data

Informasi tentang rumah tangga dapat diperoleh dari berbagai sumber data baik Sensus Penduduk, Susenas maupun Supas. Khususnya Susenas, instrumen pengumpulan data terdiri dari dua set kuesioner yang berbeda yaitu kuesioner kor dan kuesioner modul. Kuesioner kor merupakan kuesioner induk yang menanyakan data dasar dan selalu digunakan dalam setiap pencacahan data Susenas, sedangkan kuesioner modul berubah-rubah sesuai dengan kebutuhan seperti misalnya modul tentang kesehatan, modul tentang kesejahteraan rakyat dan lain sebagainya.

Dalam tulisan ini kuesioner yang digunakan untuk memperoleh informasi rumah tangga adalah kuesioner kor, bagian Keterangan Anggota Rumah Tangga, bagian Keterangan Pendidikan, bagian Ketenagakerjaan, dan bagian Pengeluaran Rumah Tangga. Adapun variabel-variabel yang dibutuhkan adalah:

  • Keterangan hubungan dengan Kepala Rumah Tangga, seperti anggota rumah tangga.
  • Karakteristik sosial seperti pendidikan dan status kawin
  • Aktifitas ekonomi seperti status bekerja, jenis pekerjaan dan lain-lain
  • Karakteristik demografi seperti umur dan jenis kelamin
  • Informasi pengeluaran rumah tangga

Kegunaan Data Rumah Tangga

Data rumah tangga bermanfaat untuk perencanaan berbagai bidang :

  • Pengentasan kemiskinan: data rumah tangga digunakan sebagai dasar penentuan program dan kebijakan. Contohnya, untuk menghitung besarnya dana kompensasi bahan bakar minyak yang harus dikeluarkan dalam Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi rumah tangga miskin.
  • Kesehatan: untuk penetapan pemilikan kartu sehat bagi rumah tangga miskin.
  • Pemenuhan kebutuhan pangan: untuk menentukan suplai beras murah untuk rumah tangga miskin.
  • Pendidikan: untuk menentukan jumlah penerima beasiswa bagi anak-anak rumah tangga miskin.
  • Perencanaan perumahan rakyat: diperlukan data jumlah rumah tangga yang mempunyai anggota rumah tangga 2, 3, 4 dan seterusnya. Informasi ini dapat dipakai untuk menentukan ukuran rumah yang harus dibangun dengan berbagai macam tipe agar dapat memenuhi kebutuhan perumahan bagi masyarakat.