Formula Rahasia Berpikir Positif

Oleh:Prof. Dr. Roy Sembel & Sandra Sembel
Ubahlah cara berpikir Anda, maka Anda akan dapat mengubah kehidupan Anda, begitu kata pepatah. Pepatah ini juga sudah banyak dijadikan judul buku dan judul artikel.
Nah, jika Anda ingin memiliki kehidupan yang sukses dan berbahagia, berpikirlah sukses dan bahagia. Intinya, berpikirlah positif. Bagaimana caranya? Simak formula rahasia berpikir positif berikut.

Kekuatan Berpikir Positif
Mengapa kita harus berpikir positif? Mungkin hal ini tidak lagi rahasia. Kita perlu berpikir positif agar mendapatkan hasil yang positif? Mengapa bisa demikian?
Melihat Positif.
Bepikir positif membuat kita fokus pada hal-hal yang positif. Seperti juga pengalaman masa kecil penulis ketika menghilangkan kejenuhan dalam perjalanan dari Jakarta ke Bandung. Bersama anak-anak lain di dalam mobil, kami berlomba menemukan mobil berwarna merah. Siapa yang terlebih dulu melihat mobil merah, ia bisa menepuk punggung lawannya. Yang menang adalah yang paling banyak menepuk punggung lawannya.
Ternyata sepanjang jalan, banyak sekali ditemui mobil warna merah, sehingga kamipun tidak merasa bosan dan tak terasa sudah tiba di tempat tujuan. Pelajaran yang bisa diambil disini, jika kita berpikir positif, kita akan termotivasi untuk menemukan hal-hal yang positif dalam hidup ini.
Mungkin saja ada hal-hal lain yang tidak positif, walaupun hal itu harus kita alami juga, tetapi kita tidak akan putus asa, karena fokus perhatian kita jauh melampaui hal-hal yang negatif tersebut kepada hal-hal positif dibalik yang non-positif.
Berbicara Positif.
Coba perhatikan dua ucapan di bawah ini. Keduanya mengekspresikan ketidakhadiran pada sebuah acara pertemuan yang diusulkan.
“Maaf pak, besok saya tidak bisa ikut menghadiri pertemuan dengan Anda, karena sudah ada acara lain yang sudah terjadwal. Apakah pertemuan bisa kita jadwal ulang?”
“Pak, saya bisa menyediakan waktu khusus untuk pertemuan dengan bapak, pada hari Rabu atau Jum’at. Bagaimana dengan Bapak? Apakah bapak bisa bertemu hari Rabu atau Jum’at?”
Ucapan pertama terlihat lebih fokus pada diri sendiri, dan menomorduakan orang lain. Sedangkan ungkapan kedua terdengar lebih positif, karena lebih fokus perhatian pada lawan bicara, sehingga lawan bicara lebih merasa dihargai.
Hasilnya, tentunya lebih positif yang kedua. Jadi, dengan berpikir positif, kita juga terdorong untuk berbicara positif. Kita termotivasi untuk tulus menyampaikan dan mengekspresikan emosi positif kita pada orang-orang sekitar, sehingga merekapun merasa nyaman berada didekat kita karena terhibur dengan kata-kata positif tersebut.
Mendengar Positif.
Berpikir positif juga membantu kita untuk mensortir segala sesuatu yang kita dengar atau membantu kita menyimak segala sesuatu yang kita dengan dengan lebih positif.
Coba perhatikan dua komentar berikut mengenai sebuah kuliah yang baru saja dihadiri.
“Ah, kuliah tadi sama sekali tidak menyenangkan, tidak bermanfaat, dan membosankan.”
“Kuliah tadi mengajarkan saya mengenai hal-hal penting untuk menjadi pembicara yang menarik.”
Dengan berpikir positif, kita bisa melihat kesempatan dalam kesempitan, kita bisa menyimpulkan hal positif dari apapun yang kita dengar. Mendengarkan kritikan dan ejekan, bisa memotivasi kita untuk mengevaluasi dan memperbaiki diri.
Mendengar pujian juga memotivasi kita untuk lebih meningkatkan diri. Mendengar penyampaian masalah, kita terpacu untuk melihat kesempatan emas dibalik masalah tersebut.
Bertindak positif.
Tentunya apa yang kita pikirkan itulah yang kita jalankan. Jika kita fokuskan pikiran kita untuk pergi ke Surabaya, maka kita akan tiba di Surabaya. Jika kita fokuskan pikiran kita untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan, maka kita akan mengerahkan seluruh upaya untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut, dan pekerjaan tersebut pasti akan terselesaikan.
Demikian pula jika kita memikirkan hal-hal yang positif, maka kita akan terdorong untuk melakukan hal-hal yang positif, sehingga kita juga pasti akan mendapatkan hal-hal yang positif.
Seorang wanita yang berasal dari keluarga yang hidup kurang, sejak remaja ingin menjadi dokter, akhirnya karena ia berpikir ia bisa, berbagai kendala dan kegagalan bukan dianggap sebagai kegagalan, karena pikirannya melampaui kegagalan dan masalah, sehingga akhirnya iapun dapat meraih cita-citanya, walaupun ia harus melewati jalan dan perjuangan panjang untuk mewujudkan cita-citanya tersebut.
Berpikir Kreatif.
Ternyata berpikir positif juga mendorong kita untuk berpikir alternatif. Karena fokus kita pada hal-hal yang positif, maka jika perjalanan kita terhalang oleh hal-hal yang non-positif, kita bisa berpikir panjang untuk memutar otak menemukan ide-ide baru, alternatif baru untuk melompati masalah atau tantangan yang menghadang.
Jadi, seperti kata pepatah, jika tidak ada rotan, akarpun jadi. Jika satu cara tidak bisa, pasti ada cara lain untuk sukses.
Formula Berpikir Positif
Setelah kita mengenal kekuatan berpikir positif, lalu bagaimana caranya kita mulai berpikir positif.
Self-Talk.
Rahasia yang pertama ini diungkapkan oleh Joel Chue, seorang penulis buku `Secrets to unlocking your real potentials. Menurut Joel, di awal hari, sebelum kita memulai berbagai kegiatan kita atau bahkan di hari sebelumnya, kita perlu berkata pada diri kita bahwa hari ini kita akan berpikir positif, bertindak positif, berkata positif, dan meraih hal-hal yang positif.
Lalu, kita putar `film kegiatan kita’ di hari itu, dan mencoba mencari celah mengenai hal-hal positif apa yang bisa kita terapkan hari itu. Biasa menjadi luar biasa. Kalau rahasia yang satu ini sudah diungkapkan oleh Howard Schultz yang berhasil menjadikan kedai kopi biasa menjadi luar biasa, bahkan menjadi menggurita di seluruh dunia.
Jadi, jika Anda bosan dengan hal-hal yang biasa, coba jadikan luar biasa dengan cara yang berbeda atau untuk tujuan yang berbeda, sehingga hasilnya juga akan secara signifikan berbeda.
Melihat Kedepan.
Banyak orang yang menjadi putus asa karena mereka hanya memfokuskan pikiran dan pandangan mereka pada hal-hal yang berada di depan mata mereka saja. Mereka tidak mau menunggu atau mencoba untuk melihat dari sudut pandang yang berbeda untuk mendapat pandangan yang berbeda, atau melihat dengan lebih luas, sehingga bisa melihat secara lebih lengkap apa yang sedang terjadi, bukan hanya apa yang berada di hadapan mereka.
Jika seorang buta hanya memegang ekor gajah yang kecil, maka ia berpikir bahwa yang dihadapannya adalah binatang kecil. Tetapi jika ia mau menganalisa dengan lebih menyeluruh, maka ia bisa menemukan bahwa yang ia hadapai adalah binatang yang besar, yang ada dihadapannya hanyalah sebagian kecil dari tubuh binatang tersebut, yaitu, ekornya yang kecil.
Demikian juga dengan kita. Seringkali kita terpana pada kesulitan kecil, kita tidak mau melihat `hadiah’ dibalik kesulitan yang sudah menunggu kita.
Dengan berpikir positif, kita akan termotivasi untuk melihat jauh kedepan, sehingga kesulitan hari ini tidak akan menjadi batu sandungan bagi kita untuk maju.
Berpikir Mungkin.
Kata `mungkin’ ternyata memiliki kekuatan dahsyat. Dengan berpikir mungkin, kita akan terdorong untuk mencoba, mencari alternatif solusi, dan mencari dukungan yang diperlukan, menggunakan alat atau fasilitas yang bisa kita manfaatkan untuk mewujudkannya.
Nah, berpikir mungkin, membuat kita untuk berpikir positif atau berpikir sukses, karena segala sesuatu bisa diraih. Dulu orang akan terbahak jika ada yang menyampaikan ide manusia untuk mendarat di bulan.
Tetapi, saat ini, hal itu sudah bukan hal yang mengherankan lagi. Hal ini terjadi karena ada orang-orang yang berpikir `mungkin’, lalu mencari cara dan mencoba berbagai cara agar kemungkinan tersebut bisa diwujudkan.
Bagaimana dengan Anda, apakah saat ini mengubah hidup Anda menjadi lebih baik? Maka yang perlu Anda lakukan adalah berpikir lebih baik, atau berpikir positif.
Selamat berpikir positif.
Sukses untuk kita semua.

Mengubah Nasib Dengan Program Alam Bawah Sadar

Ketika menghadapi kemelut kehidupan,sering kali kita tak berdaya,semua jalan terasa buntu,dan akhirnya putus asa.Padahal kita tidak perlu menjadi korban.Percaya atau tidak,sebenarnya kita dapat menciptakan sendiri semua yang kita inginkan.Bagaimana caranya?
Dalam setiap babak kehidupan,manusia selalu mengalami satu atau lebih peristiwa yang dapat ,menggoncang dan mengubah kehidupannya.Kebutuhan hidup yang begitu besar yang tak seimbang dengan pendapatan,kehilangan pekerjaan,konflik rumah tangga,perceraian,kematian pasangan hidup atau salah satu anggota keluarga yang dicintai,sakit parah berkepanjangan,kecelakaan yang menyebabkan cacat seumur hidup,dan berbagai krisis kehidupan lainnya,semua itu bisa membuat depresi bahkan mengguncang keimanan kita. 
Jelas kita tidak merasa bahagia.Padahal menurut Erbe Sentanu,pendiri Katahati Institute,sebuah lembaga yang mengajarkan tehnik pemberdayaan pikiran dan perasaan,bahagia adalah fitrah manusia.Jika kemudian manusia merasa bahagia,itu karena manusia sudah keluar dari fitrahnya.Fitrah manusia yang sempurna sering dikacaukan dengan pesan-pesan ketidakmampuan yang datang dari lingkungannya.
Bahagia menurutnya adalah menerima apa yang sudah kita miliki.Ketika kita menolak yang terjadi pada diri kita,saat itulah ketidakbahagiaan akan muncul.
Lalu,haruskah kita pasrah pada nasib ketika hidup dirundung malang?Jawabannya:tidak!Sambil menerima yang sudah terjadi dengan ikhlas,kita tetap perlu ikhtiar,bersikap reaktif,juga antisipatif terhadap perubahan itu.Kita harusmenjadi subyek dari perubahan tersebut dan memiliki kendali penuh atas apapun yang terjadi dalam kehidupan kita.
Erbe Sentanu mengatakan,kita sebenarnya bisa mendapatkan apa yang kita inginkan.Lalu,Bagaimana caranya?
Kita bisa menggabungkan tehnik relaksasi,visualisasi,dan afirmasi dalam sebuah proses yang bertujuan menanamkan suatu realitas yang kita inginkan ke dalam pikiran atau alam bawah sadar.Dengan kata lain,kita bisa mempengaruhi alam bawah sadar untuk mewujudkan realitas baru yang kita inginkan tersebut.Misalnya,ketika kita ditimpa penyakit berat atau kehilangan pekerjaan,kita bisa menanamkan harapan baru sekaligus mewujudkannya,bahwa kita pasti sehat atau kita pasti mendapatkan pekerjaan baru yang lebih baik.Proses inilah yang disebut dengan pemprograman kembali alam bawah sadar (suconcious reprogramming ).
Mengapa Menggunakan Alam Bawah Sadar?
Yang menjadi pertanyaan,mengapa mengunakan alam bawah sadar?
Erbe Sentanu mengatakan,alam bawah sadar tidak pernah bisa membedakan antara imajinasi dengan kenyataan.Alam bawah sadar tidak pernah memiliki mekanisme untuk mengetahui hal-hal yang nyata ataupun tidak nyata.Kita bisa melihat contohnya dalam kasus berikut ini.
Pada tahun 1962,Majalah Kedokteran Kyushi keluaran Jepang melaporkan bagaimana system kekebalan anak-anak Jepang bereaksi terhadap Sesuatu yang mereka anggap nyata.Anak-anak itu setelah ditutup matanya di beritahu bahwa tanaman yang tengah digosok-gosokan ke lengan mereka adalah tanaman beracun,setelah itu ,mereka mengeluarkan reaksi-reaksi alergi yang keras pada lengan mereka,seperti pembengkakan,kulit menjadi kemerah-merahan dan gatal-gatal.
Namun ketika di beritahu bahwa yang digosokkan di tangan mereka adalaah zat yang tidak berbahaya,reaksi-reaksi tersebut tidak muncul.Nah.disitulah alam bawah sadar bekerja.ketika alam bawah sadar merekam bahwa tanaman itu beracun,maka reaksi yang dikelurkan pun seperti reaksi yang di keluarkan jika tanaman tersebut beracun,maka reaksi yang di kelurkan pun seperti yang di keluarkan jika tanaman tersebut beracun,walaupun sebenarnya tidak demikian.
Karena itu,kita bisa memanfaatkan cara kerja alam bawah sadar untuk sesuatu yang menguntungkan.Kita bisa menanamkan program apapun kealam bawah sadar untuk mewujudkan segala sesuatu yang kita inginkan.
Dalam bukunya,Quantum Ikhlas,Mas Nunu,begitu sebutan akrab Erbe Sentanu,mengatakan bahwa pikiran tidak hanya terkait dengan pembagian otak secara fungsional yang terdiri dari otak kiri dan otak kanan,tetapi juga pembagian berdasarkan aspek kesadarannya.
Umumnya manusia hanya memanfaatkan pikiran sadarnya yang memiliki kekuatan hanya 12% dari keseluruhan kekuatan pikirannya.Pikiran sadar inilah yang biasa kita maksud ketika menyebut seseorang sedang menggunakan ‘ otaknya’.Sedangkan yang 88% lainnya merupakan kekuatan bawah sadar yang secara umum hanya muncul dalam bentuk “perasaan”nya.
Bayangkan,jika dengan 12 persen dari keseluruhan otak manusia saja banyak yang bisa dilakukan,bagaimana kalau kemampuan otak yang 88% itu bisa kita manfaatkan?Hasilnya tentu luar biasa.Seperti yang di ungkapkan Mas Nunu,kekuatan alam bawah sadar begitu besar,dan dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan tiga sampai tujuh kali lebih cepat.
Kondisi Alpha=Gerbang Menuju Alam Bawah Sadar
Lalu,bagaimana caranya mengeksplorasi kekuatan alam bawah sadar tersebut?
Sebagai langkah awal,perlu dipahami kondisi otak manusia menurut gelombangnya.Ada empat katagori gelombang otak,yaitu beta,alpha,theta,dan delta.
Kondisi Beta ( 14-100 Hz ) adalah kondisi saat kita sepenuhnya sadar.Saat ini otak didominasi oleh logika.Saat seseorang berada di gelombang ini,otak kiri sedang aktif berfikir,konsentrasi,dan sebagainya,sehingga gelombang otaknya meninggi.
Kondisi yang paling penting untuk menembus pikiran bawah sadar adalah alpha ( 8-13,9 Hz ) dalam kondisi alpha kita bisa membuka pintu gerbang menuju 88% kekuatan alam bawah sadar.Kondisi alpha adalah kondisi yang sangat releks atau sama persis dengan kita berhayal dan melamun.
Kondisi theta ( 4-7,9 Hz ) adalah kondisi kita saat bermimpi.Pada saat ini,pikiran pun menjadi kreatif dan ispiratif.Dalam keadaan theta,pikiran menjadi sangat jernih,sangat khusuk,terjadi relaksasi yang dalam,dan saat ini indra keenam atau intuisi muncul.Yang membedakan kondisi alpha dengan theta adalah kesadaran kita.Pada kondisi alpha,kita masih merasakan anggota tubuh kita,sedangkan pada kondisi theta semua itu sudah tidak terasa lagi.
Sedangkan kondisi delta ( 0,1-3,9 Hz ) adalah kondisi pada saat manusia sedang tertidur pulas tanpa mimpi.Kondisi Delta di perlukan oleh tubuh,karena dalam kondisi itu tubuh aktif mengganti sel-sel yang rusak dan melakukan peremajaan terhadap sel-sel tubuh.
Lalu bagaimana caranya kita masuk kegelombang alpha?Cara yang mudah adalah membalikkan mata kita ke atas dan memejamkan mata,lalu pikiranpun membawa kita ke dalam kondisi alpha,melarutkan kita dalam suasana yang nyaman dan penuh kedamaian.
Kondisi alpha juga dapat dibangun melalui meditasi.Meditasi yang sempurna adalah kedua telapak tangan dibuka,pada saat itulah energi alam akan menyatu dan berputar dalam keseluruhan tubuh.Di tunjang musick indah dan syahdu,suasana akan tercapai.
Mas Nunu menawarkan cara mudah untuk masuk ke kondisi alpha,yaitu dengan menggunakan alat bantu yang disebut teknologi DigitalPleyer.Alat ini berupa CD brainware managemen ( pengaturan gelombang otak ) berisi suara-suara alam seperti air mengalir,gelombang samudra yang naik turun,atau kicau burung,semua itu telah diracik menggunakan teknologi audio yang khusus didesain untuk menghasilkan kondisi-kondisi otak dan kesadaran tertentu.Mendengarkan CD ini secara teratur bisa melatih otak untuk bekerja sama antara satu sisi dengan sisi lainnya,sehingga bisa memasuki kondisi alpha secara cepat.
Menggambarkan bayangan mental dengan visualisasi
Dalam praktiknya,visualisasi sebenarnya adalah proses menciptakan ide,bayangan mental,atau gambaran di lubuk hati kita yang paling dalam.Ini merupakan cara untuk bergerak memasuki tingkat kesadaran yang lain dan menanamkan gambaran yang kita inginkan.Misalnya,ketika kita sakit,kita membayangkan diri kita yang sehat dan bisa melakukan banyak aktifitas.
Pada pelaksanaannya,visualisasi harus didahului dengan relaksasi,karena hanya dengan cara inilah kita dapat menyentuh energi bawah sadar dengan kuat.Ketika kita berada dalam kondisi yang relaks dan hening secara mental,itulah saatnya kita menggunakan imajinasi untuk memvisualisasikan sesuatu yang kita inginkan.Semakin kuat keinginan kita,semakin focus energi yang kita arahkan ke bayangan mental,sehingga potensi untuk mewujudkan bayangan ke dalam realitas fisik akan lebih kuat.
Afirmasi atau self talk
Afirmasi di lakukan dengan mengucapkan suatu hal dengan penuh keyakinan terhadap diri sendiri ( self talk ) untuk mencapai tujuan tertentu,kemudian merasakan dan mewujudkannya.
Dalam pemprograman alam bawah sadar,ada beberapa kaidah yang mesti dipatuhi dalam melakukan afirmasi,yaitu menggunakan kalimat yang pendek dan jelas maksudnya.Kemudian diucapkan dengan bahasa yang positif,misalnya,”saya berani,”selanjutnya,dirumuskan dalam masa sekarang dan meyakini bahwa apa yang anda kehendaki itu pasti terlaksana.Dan yang terpenting,kalimat anda itu di ulang-ulang,untuk member waktu agar pernyataan anda tersebut meresap dan terekam kea lam bawah sadar kita.
Tambahkan emosi atau perasaan yang menyenangkan
Selain relaksasi,visualisasi,dan afirmasi,hal yang tak kalah penting dalam melakukan pemprograman kembali bawah sadar adalah keyakinan.
Agar proses pemprograman bawah sadar dapat lebih efektif,diperlukanemosi atau perasaan yang positif atau perasaan yang menyenangkan.Ketika kita inginkan,ciptakan sebuah rasa bahagia seolah-olah apa yang kita inginkan sudah tercapai.
Melakukan program alam bawah sadar ini dilakukan terus menerus,sedikitnya tiga kali sehari,masing-masing selama 20 menit sampai realitas yang kita harapkan tersebut terwujud menjadi kenyataan.
Sebelum kita mengawali tahapan program ulang (reprogramming) alam bawah sadar,kita perlu menentukan terlebih dulu realitas/target yang kita harapkan secara jelas.Selanjutnya,cari tempat nyaman untuk melakukan proses ini.Pilih tempat yang sunyi yang tidak banyak ganguan.Kita harus berada dalamkeadaan yang sangat releks.Jika perlu,lakukan dulu latihan ringan untuk melepaskan atau merenggangkan otot-otot kita.Setelah itu lakukan visualisasi dan afirmasi.
LANGKAH-LANGKAH SUBCONSCIOUS REPROGRAMMING
1.Duduk atau berbaring dengan nyaman dan relaks.Pejamkan mata,kalau perlu diiringin music yang lembut yang membuat anda sangat relaks dan semua beban anda terlepas.Atau gunakan CD ala Mas Nunu.tarik napas panjang dan dalam.Rasakan udara dingin memasuki yang seluruh tubuh dengan lobang hidung.Secara perlahan anda memasuki kondisi gelombang otak alpha.Nikmati keadaan ini beberapa saat.
2.Kemudian ucapkan dalam hati afirmasi yang sudah anda buat,Misalnya,”Saya sembuh total dan saya bisa beraktifitas dengan bebas.”
3.Kemudian visualisasikan keadaan atau tujuan yang anda harapkan tersebut kedalam layar mental anda.Bayangkan anda sudah sehat dan melakukan berbagai aktifitas.Gambarkan dengan jelas sehingga anda benar-benar dapat melihat diri anda sendiri dalam pikiran anda.
4.Sambil membayngkannya,tambahkan suasana hati atau perasaan positif yang anda miliki ketika tujuan itu tercapai.Hati anda di penuhi rasa senang,bahagia,dan syukur.Ambil napas panjang dan dalam,nikmati perasaan itu.Nikmati gambaran visual dan perasaan hati yang menyertai suasana tersebut.
5.Setelah itu hitunglah secara perlahan dari 5,4,3,2,1 sambil menarik napas yang panjang dan dalam pada saat hitungan.Setelah itu,bukalah mata anda.
Jika prose situ terjadi kurang dari 20 menit.ulangi beberapa kali lagi sampai mencapai sekitar 20 menit.Lakukan terus secara tekun.Perlu diingat,semuanya memerlukan proses dan waktu yang cukup untuk tumbuh dan terwujud menjadi realitas baru yang kita harapkan.Selamat mencoba.

Sifat-sifat yang Tidak Disukai Oleh Atasan

Salah satu kunci sukses dalam bekerja adalah kemampuan bekerja sama
dengan "Bos" atau atasan. Untuk itu anda harus menjaga jangan sampai
atasan tidak menyukai anda. Nah, sehubungan dengan itu, ada tujuh sifat
yang tak disukai setiap atasan -- siapapun, dan kapanpun. Ketujuh sifat
tersebut yang perlu kita buang jauh-jauh adalah:

1--Pembohong

Siapa suka bekerja dengan orang yang tak jujur? Tentu tak ada. Siapapun
sukar bekerja dengan orang yang akan mengatakan A padahal kenyataannya
B. Apalagi seorang atasan yang menggantungkan informasi pada bawahannya.
Ia pasti tak suka bila ada yang mengatakan laporan sudah dikirim, padahal
belum. Mungkin anda takut atasan akan marah sehingga terpaksa berbohong.
Tetapi, jangan lupa, begitu dia tahu anda berbohong, dia akan lebih
kecewa dan jengkel. Apalagi kalau ketidakjujuran itu menyangkut uang
atau harta perusahaan. Bukan tidak mungkin anda akan diberhentikan.

2--Melempar Tanggung Jawab

"Bukan saya, tetapi mereka yang ...," inilah kalimat yang acapkali
diucapkan oleh pelembar tanggung jawab. Sudah jelas-jelas bahwa
kekeliruan pengiriman barang adalah kesalahannya dalam menulis pesanan,
tetapi dia katakan pemasoklah yang salah mengirim. Sifat seperti ini
tak akan disukai atasan.
Umumnya atasan masih bisa menerima terjadinya kesalahan yang tak
disengaja tetapi akan jengkel bila si pembuat kesalahan ternyata tak mau
bertanggung jawab.

3--Pembelot

Sifat inipun sangat menjengkelkan setiap atasan. Atasan mana yang tak
kesal jika perintahnya dianggap angin lalu. Contohnya, sudah diatur
bahwa laporan mingguan harus diserahkan setiap akhir minggu,
tetapi Tito tak pernah mau membuatnya. Kalau ditagih malah mengatakan
sistem laporan itu tak ada gunanya dan kemudian mengajak berargumentasi.
Atasan pun membenci bawahan yang suka menerobos dan mengabaikan prosedur.
Anton, misalnya, seorang salesman, dengan gampangnya menjanjikan potongan
harga yang lebih besar daripada potongan yang ditetapkan. Akibatnya?
Atasan jadi repot menghadapi tuntutan pelanggan. Bagi Anton, yang penting
targetnya tercapai, dagangannya laku, dan soal prosedur adalah omong kosong.
Sifat membelot dan main sodok ini bukan sifat yang baik dari seorang bawahan.

4--Tak Disiplin

Setiap perusahaan punya aturan, dan salah satu tugas atasan adalah
menjaga agar aturan berjalan lancar. Tentu dia akan jengkel apabila
anda sering terlambat masuk kantor, ngobrol tak berketentuan selama
jam kerja, sering absen tanpa alasan, dan sebagainya Dan ketidakdisiplinan
ini bukan saja menjengkelkan, tetapi juga seperti penyakit yang mudah
menular pada karyawan lain.

5--Selalu Mengeluh

Asti sebenarnya rajin dan baik hati, sayangnya dia punya segudang
keluhan. Ada saja yang dikeluhkan. entah itu AC yang kurang dingin,
deadline yang mepet, tugas terlalu bertumpuk, teman kerja cerewet,
kursi terlalu keras, dan sebagainya. Celakanya semua keluhan ini dia
tumpahkan pula pada atasannya di setiap kesempatan. Tentu saja atasan
jadi kesal. Atasan khan bukan psikolog atau penampung keluhan. Mungkin
Asti hanya cari perhatian, tetapi yang pasti sifat suka mengeluh ini
tak akan pernah disukai atasan.

6--Loyo

Tak ada atasan yang suka pada bawahan yang tampak loyo dan tak
bersemangat. Keloyoan ini bisa tercermin dari muka murung, tampang
mengantuk, atau pakaian acak-acakan. Bisa juga terlihat kalau sedang
mengerjakan tugas dengan malas-malasan, atau setengah hati, lamban,
dan akhirnya mengganggu kelancaran pekerjaan. Bukan itu saja, yang
membuat atasan tak suka hal demikian, karena keloyoan akan mudah
menciptakan suasana kerja yang tak bergairan pada orang lain.

7--Tak Punya Dedikasi

Dedikasi artinya pengabdian. Seorang bawahan yang berdedikasi tak hanya
menyelesaikan tugasnya dengan baik. Kalau perlu ia pun mau bekerja di
luar jam kerja tanpa terlalu mempersoalkan imbalan. Bahkan tak segan untuk
membantu pekerjaan orang lain bila diminta. Yang penting baginya semua
pekerjaan lancar dan perusahaan pun maju. Sebaliknya ada bawahan yang
selalu berhitung untung rugi. Dia hanya mau mengerjakan tugasnya sendiri
dengan seadanya saja tanpa mau mengejar prestasi. Pulang selalu tepat waktu,
bahkan jam kerja belum lagi usai dia sudah berkemas-kemas. Bila diberi tugas
di luar jam kerja mungkin masih mau menerima tetapi dengan muka masam atau
langsung menolak. Sifat semacam ini sungguh menggemaskan atasan.

(diadaptasi dari "7 Sifat yang Tak Disukai Atasan", Buntje Harboenangin)

DI CARI KEPALA SEKOLAH PROFESIONAL

Pada tingkat paling operasional, kepala sekolah adalah orang yang berada di garis terdepan yang mengkoordinasikan upaya meningkatkan pembelajaran yang bermutu. Kepala sekolah diangkat untuk menduduki jabatan yang bertanggung gugat mengkoordi-nasikan upaya bersama mencapai tujuan pendidikan pada level sekolah masing-masing
Dalam praktik di Indonesia, kepala sekolah adalah guru senior yang dipandang memiliki kualifikasi menduduki jabatan itu. Tidak pernah ada orang yang bukan guru diangkat menjadi kepala sekolah. Jadi, seorang guru dapat berharap bahwa jika “beruntung” suatu saat kariernya akan berujung pada jabatan kepala sekolah. Biasanya guru yang dipandang baik dan cakap sebagai guru diangkat menjadi kepala sekolah. Dalam kenyataan, banyak di antaranya yang tadinya berkinerja sangat bagus sebagai guru, menjadi tumpul setelah menjadi kepala sekolah. Umumnya mereka tidak cocok untuk mengemban tanggung jawab manajerial. Ingat salah satu prinsip Peter tentang inkompetensi? Orang-orang seperti ini telah terjerembab di puncak inkompetensinya dan akan tetap di situ hingga pensiun. Bayangkan nasib sekolah jika dipimpin oleh seseorang yang tidak lagi kompeten.

Setidaknya di Indonesia saat ini, secara finansial jabatan itu sebenarnya tidak pula memberi janji resmi bagi kehidupan yang jauh lebih layak dibandingkan para guru lainnya. Sedikit sekali fasilitas yang disediakan bagi pengemban tanggung jawab sebesar itu. Jangan bandingkan gaji kepala sekolah di negeri ini dengan gaji rata-rata kepala sekolah di negara yang sudah maju. Bagi mereka yang umumnya berpendapatan cukup besar, kenaikan BBM sampai lima ribu per liter pun tidak akan membuat mereka stress. Namun, sekalipun dengan fasilitas yang sangat minim itu dalam kenyataan para guru di Indonesia (umumnya) tampaknya berlomba-lomba, dan seolah-olah menghalalkan apa saja, untuk dapat diangkat sebagai kepala sekolah. Agaknya, dalam praktik, jabatan kepala sekolah telah memiliki nilai ekonomi yang lebih mengungguli nilai-nilai lainnya, bahkan nilai moral sekalipun. Akibatnya, banyak mereka yang menjabat sebagai kepala sekolah melakukan tindakan memalukan yang mengorbankan kepentingan peserta didik. Sayangnya, contoh yang tidak terpuji dari kepala sekolah ini kemudian menular ke para guru dan staf pendukung lainnya. Ini tentu saja sangat disayangkan karena para pengelola sekolah seyogianya lebih mengutamakan kepentingan pembelajaran peserta didik ketimbang kepentingannya sendiri atau kepentingan-kepentingan lainnya.
Kepala sekolah seharusnya merupakan jabatan yang istimewa. Untuk satu hal saja, jabatan kepala sekolah bukan sekadar jabatan manajer dengan segala macam sebutannya itu. Memang dalam artian sebagai pimpinan sebuah unit kerja, sebenarnya jabatan kepala sekolah tidak berbeda dari jabatan kemanajerialan lainnya. Setidaknya fungsinya sama, yaitu memaksimumkan pendayagunaan sumber daya yang tersedia secara produktif untuk mencapai tujuan yang ditetapkan bagi unit kerjanya. Dalam kadar tertentu, kepala sekolah sebagai pimpinan sebuah unit kerja, memainkan peran yang sama seperti halnya manajer unit kerja lainnya. Ia harus dapat memastikan bahwa sistem kerjanya berjalan lancar dan semua sumber daya yang diperlukan untuk mencapai hasil harus tersedia secukupnya dengan kualitas yang memadai. Namun, kepala sekolah mengelola sebuah lembaga yang sangat istimewa yaitu sekolah sebagai lembaga formal pendidikan yang akan sangat mewarnai masa depan anggota utamanya, peserta didik.
KEPALA SEKOLAH ADALAH PEMIMPIN PENDIDIKAN
Tentu saja kepala sekolah bukan satu-satunya determinan bagi efektif tidaknya suatu sekolah karena masih banyak faktor lain yang perlu diperhitungkan. Ada guru yang dipandang sebagai faktor kunci yang berhadapan langsung dengan para peserta didik dan masih ada lagi sejumlah masukan instrumental dan masukan lingkungan yang mempengaruhi proses pembelajaran. Namun, kepala sekolah memainkan peran yang termasuk sangat menentukan. Misalnya, studi dengan pendekatan sosiologi tentang efektivitas sekolah menengah menunjukkan bahwa kepemimpinan kepala sekolah memainkan peran yang sangat penting (Lightfoot, 1983; lihat juga telaahan mutakhir trends & issues manajemen pendidikan yang dikompilasi dalam ERIC, 2002). Kepala sekolah bukan manajer sebuah unit produksi yang hanya menghasilkan barang mati, seperti manajer pabrik yang menghasilkan sepatu, misalnya. Lebih dari para manajer lainnya, ia adalah pemimpin pendidikan yang bertanggung jawab menciptakan lingkungan belajar yang kondusif yang memungkinkan anggotanya mendayagunakan dan mengembangkan potensinya seoptimal mungkin. Dalam lingkungan seperti itu, para guru dan peserta didik termotivasi untuk saling belajar, saling memotivasi, dan saling memberdayakan. Suasana seperti itu memberi ruang untuk saling belajar melalui keteladanan, belajar bertanggung jawab, serta belajar mengembangkan kompetensi sepenuhnya, bukan sekadar kompetensi kognitif. Kepala sekolah seharusnya berada di garda paling depan dalam hal peneladanan, pemotivasian, dan pemberdayaan itu. Apakah ini barang baru? Sama sekali tidak karena jauh sebelumnya Ki Hadjar Dewantara telah berujar dengan pernyataannya yang terkenal itu: ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani.
Uraian singkat di atas telah menunjukkan betapa tidak ringannya tanggung jawab seseorang sebagai kepala sekolah. Sebenarnya pekerjaan kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan di sekolahnya tidak pernah ringan. Sudah sekian lama birokrasi pemerintahan negara kita tidak banyak membantu kepala sekolah mengatasi kerumitan itu. Sudah sejak lama pula para kepala sekolah berhadapan dengan situasi di mana mereka lebih banyak tergantung pada konteks dan periferal pekerjaannya. Mereka sering berada pada posisi nirdaya dalam situasi ketika kepemimpinan mereka benar-benar diperlukan. Oleh sebab itu, diperlukan paradigma baru untuk menanggalkan ketergantungan yang selama ini telah memerangkap para kepala sekolah yang sebagian sebenarnya mungkin telah bekerja dengan serius. Manajemen berbasis sekolah (MBS) dipandang banyak pihak dapat memberi ruang gerak lebih longgar bagi kepala sekolah untuk meningkatkan mutu sekolahnya. Konsepnya bagus karena MBS adalah strategi untuk meningkatkan kem andirian para pengelola pendidikan dengan memindahkan wewenang pengambilan keputusan penting dari pemerintah pusat dan daerah ke level paling operasional, yaitu sekolah. Hasilnya masih belum jelas karena penerapannya ternyata juga masih harus menunggu kerelaan birokrasi pendidikan (daerah dan pusat) untuk mendelegasikan powernya.
KUALITAS PEMIMPIN PENDIDIKAN
Setiap jabatan menggambarkan status yang diemban pemegangnya. Status itu, pada gilirannya, menunjukkan peran yang harus dilakukan pejabatnya. Peran utama yang harus diemban oleh kepala sekolah yang membedakannya dari jabatan-jabatan kepala lainnya adalah peran sebagai pemimpin pendidikan. Kepemimpinan pendidikan mengacu pada kualitas tertentu yang harus dimiliki kepala sekolah untuk dapat mengemban tanggung jawabnya secara berhasil. Apa saja kualitas itu? Pertama, kepala sekolah harus tahu persis apa yang ingin dicapainya (visi) dan bagaimana mencapainya (misi). Kedua, kepala sekolah harus memiliki sejumlah kompetensi untuk melaksanakan misi guna mewujudkan visi itu. Dan ketiga, kepala sekolah harus memiliki karakter tertentu yang menunjukkan integritasnya.
Visi dan Misi
Barangkali tidak banyak kepala sekolah yang tahu persis apa visi sekolah mereka dan bagaimana caranya mewujudkan visi itu. Bahkan barangkali pula tidak banyak yang memahami benar arti visi dan misi. Hal yang sama kemungkinan besar berlaku bagi para pejabat dalam jabatan-jabatan pimpinan lainnya. Kepala sekolah yang bertanggung jawab berusaha mengetahui visi sekolahnya. Jika belum ada, mereka akan berusaha merumuskannya dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Visi itu kemudian disosialisasikan sehingga menjadi cita-cita bersama. Selanjutnya ia akan berusaha secara konsisten untuk terus berupaya menggalang komitmen untuk mewujudkan visi itu. Ia tidak akan berdiam diri membiarkan visi itu menjadi rumusan indah yang menghiasi dinding kantornya.
Kompetensi
Kompetensi adalah kemampuan atau kecakapan yang diperlihatkan seseorang ketika melakukan sesuatu. Memahami visi dan misi serta memiliki integritas yang baik saja belum cukup. Agar berhasil, kepala sekolah harus memiliki kompetensi yang disyaratkan untuk dapat mengemban tanggung jawabnya dengan baik dan benar. Apa saja kompetensi yang harus dimiliki kepala sekolah? Setidaknya ada kesepakatan bahwa kepala sekolah perlu memiliki sejumlah kompetensi berikut (diadaptasi dari CCSSO, 2002).
  1. Memfasilitasi pengembangan, penyebarluasan, dan pelaksanaan visi pembelajaran yang dikomunikasikan dengan baik dan didukung oleh komunitas sekolah.
  2. Membantu, membina, dan mempertahankan lingkungan sekolah dan program pengajaran yang kondusif bagi proses belajar peserta didik dan pertumbuhan profesional para guru dan staf.
  3. Menjamin bahwa manajemen organisasi dan pengoperasian sumber daya sekolah digunakan untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman, sehat, efisien, dan efektif.
  4. Bekerja sama dengan orang tua murid dan anggota masyarakat, menanggapi kepentingan dan kebutuhan komunitas yang beragam, dan memobilisasi sumber daya masyarakat.
  5. Memberi contoh (teladan) tindakan berintegritas.
  6. Memahami, menanggapi, dan mempengaruhi lingkungan politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang lebih luas.

Integritas

Integritas adalah ketaatan pada nilai-nilai moral dan etika yang diyakini seseorang dan membentuk perilakunya sebagai manusia yang berharkat dan bermartabat. Ada ungkapan yang bagus untuk memahami pengertian integritas: integritas Anda tidak diukur dari kemampuan Anda menaklukkan puncak gunung, tetapi diri Anda sendiri. Setidaknya ada sejumlah ciri yang menggambarkan integritas kepala sekolah: dapat dipercaya, konsisten, komit, bertanggung jawab, dan secara emosional terkendali.
  1. Dapat dipercaya (amanah). Seorang kepala sekolah haruslah orang yang dapat dipercaya. Kepercayaan itu diperolehnya secara sukarela, tidak dengan meminta apalagi memaksa orang lain untuk mempercayainya. Kepala sekolah tidak perlu berpidato di depan para guru, murid, atau orang tua murid bahwa ia adalah orang yang dapat dipercaya. Perilakunya sehari-hari telah menyampaikan informasi yang akurat tentang keamanahan itu. Kepala sekolah yang dapat dipercaya memiliki kejujuran yang tidak diragukan.
  2. Konsisten. Kepala sekolah yang konsisten dapat diandalkan. Kepala sekolah seperti ini tidak mencla-mencle, perbuatannya taat asas dengan perkataannya. Kepala sekolah seperti ini tidak bermuka banyak. Ia mengoperasionalkan kebijakan pendidikan secara tegas dan bijaksana, dan tidak perlu menjadi anggota bunglon sosial untuk mengamankan kebijakan itu.
  3. Komit. Kepala sekolah yang komit, terikat secara emosional dan intelektual untuk mengabdikan diri sepenuhnya bagi kepentingan anak didiknya. Kepala sekolah seperti ini tahu persis bahwa tanggung jawabnya tidak mungkin dapat dipikulnya setengah-setengah. Pekerjaan sebagai kepala sekolah baginya bukan pekerjaan paruh waktu. Ia tidak boleh merangkap-rangkap pekerjaannya dengan pekerjaan lain, atau menjadi kepala sekolah di lebih dari satu tempat.
  4. Bertanggung jawab. Kepala sekolah memiliki kewajiban sosial, hukum, dan moral dalam menjalankan perannya. Kepala sekolah yang berintegritas tidak akan menghindar apalagi lari dari tanggung jawabnya. Kepala sekolah yang mengutamakan kepentingan anak didiknya sadar betul bahwa secara sosial, hukum, dan moral ia harus berperilaku yang dapat dipertanggungjawabkan.
  5. Secara emosional terkendali. Kepala sekolah yang berkecerdasan emosi tinggi sangat menyadari pengaruh emosinya dan emosi orang lain terhadap proses pemikirannya dan interaksinya terhadap orang lain. Kepala sekolah seperti ini mampu mengaitkan emosi dengan penalaran, menggunakan emosi untuk memfasilitasi penalaran dan secara cerdas menalarkan emosi. Dengan kata lain, ia menyadari bahwa kemampuan kognitif seseorang diperkaya dengan emosi dan perlunya emosi dikelola secara kognitif.

UKURAN KINERJA SERTA PENGETAHUAN DAN KETERAMPILAN UNTUK BERKINERJA SECARA KOMPETEN

Persoalannya sekarang adalah apa ukuran kinerja yang dapat disimak dari kepala sekolah yang kompeten serta apa saja pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki untuk berkinerja seperti itu? Kita akan membahas hal ini dengan mengacu pada kompetensi yang telah dikemukakan sebelumnya.
Kompetensi 1: Memfasilitasi penyusunan, penyebarluasan, dan pelaksanaan visi dan misi pembelajaran yang dikomunikasikan dengan baik dan didukung oleh komunitas sekolah.
Kepala sekolah harus dapat memastikan bahwa sekolahnya memiliki visi dan misi yang jelas dan disepakati bersama serta didukung oleh komunitas sekolahnya. Jika visi dan misi itu belum ada, ia harus berinisiatif untuk menyusunnya dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan atas sekolahnya. Ukuran kinerja yang dapat diidentifikasi bagi kompetensi ini adalah sebagai berikut.
  • Visi dan misi disusun bersama-sama dengan pihak-pihak yang berkepentingan.
  • Staf, keluarga murid, dan anggota masyarakat memahami visi dan misi sekolah.
  • Pihak-pihak berkepentingan yakin bahwa inti visi sekolah dipakai sebagai pedoman bagi semua yang terlibat dalam urusan sekolah.
  • Kontribusi anggota komunitas sekolah dalam pewujudan visi itu dihargai.
  • Pihak-pihak yang berkepentingan menerima informasi tentang kemajuan upaya pencapaian visi sekolah.
  • Komunitas sekolah terlibat aktif dalam upaya peningkatan sekolah.
  • Program, rencana, dan kegiatan sekolah telah tersusun berdasarkan visi sekolah.
  • Rencana berdasarkan tujuan dan strategi yang jelas dilaksanakan.
  • Data penilaian pembelajaran peserta didik digunakan untuk menyusun visi dan tujuan sekolah.
  • Data demografik murid dan keluarganya digunakan untuk menyusun misi dan tujuan sekolah.
  • Hambatan pencapaian visi dapat ditanggulangi.
  • Pengadaan sumber daya yang diperlukan untuk mendukung implementasi misi dan tujuan sekolah telah diupayakan.
  • Sumber daya yang ada untuk mendukung visi dan tujuan telah digunakan dengan efektif dan efisien.
  • Visi, misi, dan rencana telah dipantau, dievaluasi, dan direvisi secara teratur.
Pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk dapat berkinerja seperti itu adalah sebagai berikut.
    . Tujuan belajar dalam masyarakat yang pluralistik. . Teknik penyusunan dan penerapan rencana stratejik. . Teori dan pemikiran sistem. . Teknik pengumpulan, pengolahan, dan analisis data. . Komunikasi yang efektif. . Konsensus dan negosiasi yang efektif.
Kompetensi 2: Membantu, membina, dan mempertahankan lingkungan sekolah dan program pengajaran yang kondusif bagi proses belajar peserta didik dan pertumbuhan profesional para guru dan staf.
Kepala sekolah harus dapat memastikan adanya lingkungan sekolah yang kondusif. Sekadar mengingatkan, lingkungan belajar yang kondusif memungkinkan orang-orang di dalamnya untuk mendayagunakan dan mengembangkan potensinya seoptimal mungkin. Kepala sekolah misalnya harus berupaya keras agar masalah-masalah sosial, seperti penyalahgunaan narkoba, tidak mengimbas ke dalam lingkungan sekolahnya. Dalam lingkungan seperti itu, para guru dan peserta didik termotivasi untuk saling belajar, saling memotivasi, dan saling memberdayakan. Suasana seperti memberi ruang untuk saling belajar melalui keteladanan, belajar bertanggung jawab, serta belajar mengembangkan kompetensi sepenuhnya.
Ukuran kinerja yang dapat diidentifikasi bagi kompetensi ini adalah sebagai berikut.
  • Semua orang diperlakukan secara adil, setara, berharkat, dan bermartabat.
  • Pengembangan profesional terfokus pada pembelajaran peserta didik sesuai dengan visi dan tujuan sekolah.
  • Peserta didik dan staf sekolah dihargai dan dipandang penting.
  • Hambatan belajar diidentifikasi, diklarifikasi, dan ditanggulangi.
  • Keberagaman dalam pengembangan pengalaman belajar disimak dan dipertimbangkan.
  • Belajar seumur hidup didorong dan diberi contoh.
  • Terbangunnya budaya harapan tinggi bagi kinerja diri sendiri, peserta didik, dan staf.
  • Digunakannya teknologi dalam proses pembelajaran.
  • Prestasi peserta didik dan staf diakui dan dirayakan.
  • Tersedianya kesempatan beragam untuk belajar bagi semua peserta didik.
  • Sekolah ditata dan diarahkan untuk mencapai keberhasilan peserta didik.
  • Program kurikulum, ko-kurikulum, dan ekstra-kurikulum dirancang, dilaksanakan, dan disempurnakan secara berkala.
    Hasil riset, pendapat guru, dan rekomendasi dari anggota masyarakat terpelajar digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan penting.
  • Budaya sekolah dievaluasi secara teratur.
  • Hasil belajar peserta didik dinilai dengan menggunakan berbagai teknik.
  • Staf dan peserta didik diberi peluang menggunakan berbagai sumber informasi tentang prestasi.
  • Berbagai cara supervisi dan evaluasi dimanfaatkan.
  • Tersusunnya program-program untuk memenuhi kebutuhan peserta didik dan keluarganya.
Pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk dapat berkinerja seperti itu adalah sebagai berikut.
  • Psikologi perkembangan peserta didik.
  • Teori belajar terapan.
  • Teori motivasi terapan.
  • Desain, evaluasi, dan penyempurnaan kurikulum.
  • Prinsip-prinsip pengajaran yang efektif.
  • Teknik-teknik evaluasi belajar.
  • Keberagaman dan artinya bagi program pendidikan.
  • Model-model belajar dan pengembangan professional orang dewasa.
  • Proses perubahan bagi sistem, organisasi, dan individu.
  • Peranan teknologi dalam membantu proses belajar peserta didik dan pertumbuhan professional.
  • Budaya sekolah.
Kompetensi 3: Menjamin bahwa manajemen organisasi dan pengoperasian sumber daya sekolah digunakan untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman, sehat, efisien, dan efektif.
Kepala sekolah harus dapat memastikan bahwa apapun prinsip-prinsip dan teknik manajemen organisasi dan pengoperasian sumber daya sekolah yang diterapkan semata-mata digunakan bagi kepentingan peserta didik. Ia harus dapat menjamin bahwa lingkungan fisik sekolahnya aman dan sehat bagi peserta didik, guru, dan staf pendukung lainnya.
Ukuran kinerja yang dapat diidentifikasi bagi kompetensi ini adalah sebagai berikut.

  • Pengetahuan tentang pembelajaran, pengajaran, dan perkembangan peserta didik digunakan dalam keputusan manajemen sekolah.
  • Prosedur operasional digunakan dan dikelola untuk memaksimumkan peluang keberhasilan belajar. . Diterapkannya teknik baru yang menguntungkan.
  • Tersusunnya dengan baik rencana dan prosedur operasional untuk mencapai visi dan tujuan sekolah.
  • Kesepakatan kontrak sekolah dikelola secara efektif.
  • Bangunan dan semua fasilitas sekolah diperasikan secara aman, efisien, dan efektif.
  • Waktu dikelola untuk memaksimumkan pencapaian tujuan organisasi.
  • Teridentifikasinya masalah dan peluang potensial.
  • Setiap masalah ditanggulangi secara tepat waktu.
  • Sumber daya manusia dan sumber daya lainnya dikelola untuk mencapai tujuan sekolah.
  • Sistem organisasi dipantau dan dimodifikasi secara teratur sesuai dengan kebutuhan.
  • Pihak-pihak berkepentingan dilibatkan dalam keputusan yang mempengaruhi sekolah.
  • Tanggung jawab dibagi-bagi untuk memasimumkan akuntabilitas.
  • Diterapkannya perangkaan masalah yang efektif dan keterampilan pemecahan masalah.
  • Diterapkannya keterampilan solusi konflik secara efektif.
  • Diterapkannya proses kelompok yang efektif dan keterampilan pencapaian konsensus.
  • Terpeliharanya lingkungan sekolah yang aman, bersih, indah, dan menyenangkan.
  • Fungsi-fungsi sumber daya manusia dijamin untuk mendukung pencapaian tujuan sekolah.
  • Terpeliharanya kerahasiaan dokumen sekolah.
Pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk dapat berkinerja seperti itu adalah sebagai berikut.
  • Prinsip-prinsip pengembangan organisasi.
  • Prosedur operasi di tingkat sekolah dan daerah.
  • Prinsip-prinsip dan isu tentang keamanan dan kesehatan lingkungan sekolah.
  • Manajemen sumber daya manusia.
  • Prinsip-prinsip penggunaan keuangan manajemen sekolah.
  • Prinsip-prinsip penggunaan fasilitas sekolah.
  • Aspek hukum pengoperasian sekolah.
  • Teknologi mutakhir yang mendukung fungsi-fungsi manajemen.
Kompetensi 4: Bekerja sama dengan orang tua murid dan anggota masyarakat, menanggapi kepentingan dan kebutuhan komunitas yang beragam, dan memobilisasi sumber daya masyarakat.
Kepala sekolah harus menyadari bahwa tujuan sekolah tidak mungkin dicapai tanpa melibatkan semua pihak yang berkepentingan, utamanya para orang tua murid. Manajemen sekolah adalah upaya bersama agar hal-hal yang tadinya terasa besar dan berat menjadi lebih terkendali. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Oleh sebab itu, kepala sekolah harus tidak boleh putus harapan untuk menghimbau dan merangkul semua pihak yang berkepentingan demi kemajuan sekolahnya.
Ukuran kinerja yang dapat diidentifikasi bagi kompetensi ini adalah sebagai berikut.

  • Diutamakannya kemunculan yang sering, keterlibatan aktif, dan komunikasi dengan masyarakat luas.
  • Terbinanya hubungan dengan para pemimpin masyarakat.
  • Digunakannya informasi dari keluarga dan masyarakat.
  • Terciptanya hubungan dengan organisasi bisnis, agama, politik, dan pemerintah.
  • Disikapinya dengan baik orang-orang dan kelompok yang memiliki nilai-nilai dan opini yang mungkin bertentangan.
  • Sekolah dan masyarakat diusahakan saling mengisi dalam hal sumber daya.
  • Diamankannya sumber daya masyarakat untuik membantu sekolah memecahkan masalah dan mencapai tujuan.
  • Terciptanya kemitraan dengan dunia bisnis, lembaga pendidikan lain, kelompok masyarakat di sekitar untuk memperkuat program dukungan pencapaian tujuan sekolah.
  • Anggota masyarakat diperlakukan secara sama.
  • Diakui dan dihargainya keberagaman.
  • Tercipta dan terbinanya hubungan media yang efektif.
  • Diadakannya program hubungan masyarakat yang komprehensif.
  • Digunakannya sumber daya publik secara tepat dan bijaksana.
  • Adanya contoh kolaborasi masyarakat bagi staf.
  • Diadakannya kesempatan yang layak bagi staf untuk mengembangkan keterampil-an berkolaborasi.
Pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk dapat berkinerja seperti itu adalah sebagai berikut.
  • Isu dan trend yang mungkin berdampak pada komunitas sekolah.
  • Kondisi dan dinamika komunitas sekolah yang beragam.
  • Sumber daya masyarakat.
  • Hubungan masyarakat serta strategi dan proses pemasaran.
  • Model yang berhasil tentang kemitraan sekolah, keluarga, bisnis, masyarakat, pemerintah, dan pendidikan tinggi.
Kompetensi 5: Memberi contoh (teladan) tindakan berintegritas.
Kepala sekolah pastilah berada dalam posisi yang serba kikuk jika tidak menujukkan kualitas perilaku yang dapat diteladani. Dapat dipercaya, konsisten, komit, bertanggung jawab, dan secara emosional terkendali adalah kualitas yang seharusnya dimiliki para pimpinan. Karakter moral seperti itulah sebenarnya yang memiliki dampak jangka panjang. Kepala sekolah yang hanya mengandalkan kewenangan jabatannya untuk mempengaruhi lingkungan, hanya akan menimba hasil jangka pendek.
Ukuran kinerja yang dapat diidentifikasi bagi kompetensi ini adalah sebagai berikut.
  • Diperagakannya kode etik pribadi dan profesional.
  • Diperlihatkannya nilai-nilai, keyakinan, dan sikap yang mengilhami munculnya tingkat kinerja yang tinggi.
  • Diperlihatkannya contoh prilaku yang dapat diteladani.
  • Dipertanggungjawabkannya pelaksanaan kegiatan operasi sekolah.
  • Dipertimbangkannya dampak praktik manajerial terhadap orang lain.
  • Digunakannya pengaruh jabatan untuk meningkatkan program pendidikan dan bukan untuk kepentingan pribadi.
  • Orang lain diperlakukan dengan adil, sederajat, serta berharkat dan bermartabat.
  • Hak-hak dan kerahasiaan peserta didik dan staf dilindungi.
  • Terlihat adanya apresiasi terhadap dan kepekaan atas adanya keragaman dalam komunitas sekolah.
  • Wewenang orang lain diakui dan dihormati.
  • Nilai-nilai yang hidup di kalangan komunitas sekolah yang beragam diperiksa dan dipertimbangkan.
  • Ditegakkannya integritas dan perilaku yang etis dalam komunitas sekolah.
  • Dipenuhinya kewajiban hukum dan perjanjian.
  • Dilaksanakannya hukum dan prosedur secara adil dan bijaksana.
Pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk dapat berkinerja seperti itu adalah sebagai berikut.
  • Tujuan pendidikan dan peran kepemimpinan dalam masyarakat modern.
  • Berbagai kerangka dan perspektif tentang etika.
  • Nilai-nilai dari komunitas sekolah yang beragam.
  • Kode etik profesi.
  • Filsafat dan sejarah pendidikan.
Kompetensi 6: Memahami, menanggapi, dan mempengaruhi lingkungan politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang lebih besar.
Kepala sekolah perlu menyadari bahwa kehidupan di sekolahnya adalah bagian dari lingkungan kehidupan yang lebih luas. Kehidupan lain di luar sekolahnya ikut berpengaruh dalam upayanya mengelola sekolah dengan baik. Berpikir sistem membantunya untuk memahami posisi sekolahnya dalam gambaran yang lebih besar. Sekolahnya sendiri adalah bagian dari subsistem sosial yang terkait dengan sistem politik, ekonomi, dan lain-lainnya.
Ukuran kinerja yang dapat diidentifikasi bagi kompetensi ini adalah sebagai berikut.
  • Tampak adanya upaya sungguh-sungguh untuk mempengaruhi lingkungan operasi sekolah bagi kepentingan peserta didik dan keluarganya.
  • Terjadinya komunikasi di kalangan komunitas sekolah tentang kecenderungan, isu, dan kemungkinan perubahan dalam lingkungan operasi sekolah.
  • Diadakannya dialog terus-menerus dengan wakil-wakil kelompok masyarakat.
  • Difungsikannya komunitas sekolah sesuai dengan kebijakan, hukum, dan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dan pusat.
  • Ada upaya mempengaruhi pembentukan kebijakan publik untuk menyediakan pendidikan yang bermutu.
  • Dikembangkannya jalur komunikasi dengan para pengambil keputusan di luar komunitas sekolah.
Pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk dapat berkinerja seperti itu adalah sebagai berikut.
  • Prinsip-prinsip birokrasi pendidikan yang mendasari sistem sekolah Indonesia.
  • Peranan pendidikan umum dalam mengembangkan dan memperbarui masyarakat demokratis.
  • Hukum yang berkaitan dengan pendidikan dan persekolahan.
  • Sistem dan proses politik, sosial, budaya, dan ekonomi yang mempengaruhi sekolah.
  • Model dan strategi perubahan dan resolusi konflik seperti yang diterapkan dalam konteks politik, sosial, budaya, dan ekonomi sekolah.
  • Isu-isu dan faktor global yang mempengaruhi proses pembelajaran.
  • Dinamika pengembangan dan pendukungan kebijakan dalam sistem politik yang demokratis.
  • Pentingnya keragaman dan persamaan dalam masyarakat demokratis.
KEYAKINAN/PENDIRIAN KEPALA SEKOLAH
Kepala sekolah harus memiliki sejumlah keyakinan atau pendirian untuk dapat berkinerja sebagaimana yang dituntut baginya. Misalnya, ia harus yakin bahwa KKN adalah perbuatan tercela yang tidak bertanggung jawab dan merusak. Keyakinan ini yang besumber dari nilai-nilai moral yang dianutnya ikut mewarnai perilakunya dalam mengelola sekolah yang dipimpinnya. Dengan keyakinan itu, misalnya, ia tidak akan memberi kesempatan terjadinya praktik-praktik KKN yang tidak terpuji itu di sekolahnya. Ia tahu persis bahwa perilakunya adalah contoh yang kemungkinan besar akan menular di kalangan bawahannya dan bahkan para murid. Berikut adalah keyakinan/pendirian yang harus dimiliki kepala sekolah untuk dapat berkinerja sebagaimana yang diharapkan.
  • Kepala sekolah yakin bahwa bekerja adalah ibadah. Ia dengan rela menerima tanggung jawabnya secara mantap. Oleh sebab itu, ia tidak akan melebih-lebihkan arti penting pekerjaannya. Ia tidak menonjolkan kelebihan dan keberhasilannya. Semua yang perlu dilakukan semata-mata untuk memberikan peluang agar setiap peserta didik memperoleh pendidikan yang berkualitas. Pada saat yang sama ia secara ikhlas menerima konsekuensi penegakan prinsip dan tindakan yang dilakukannya.
  • Semua pengaruh yang dimilikinya digunakan semata-mata demi kepentingan peserta didik, bukan untuk kepentingan lain. Tujuan utama sekolah adalah membelajarkan peserta didik. Ia akan berusaha mengendalikan diri sendiri dan bawahannya agar tidak merugikan kepentingan masa depan anak didiknya. Ia berpendirian bahwa semua peserta didik perlu memiliki pengetahuan, keterampilan, dan karakter yang diperlukan untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna bagi lingkungannya.
  • Semua orang dapat dididik dan semua peserta didik dapat belajar. Ada beragam cara yang dapat digunakan agar peserta didik dapat memiliki cara belajar seumur hidup. Oleh sebab itu, kepala sekolah perlu menekankan bahwa sumber belajar tidak cuma guru, tetapi masih banyak yang lain seperti teman, buku, orang tua, dan sebagainya. Ia perlu menekankan bahwa dalam masyarakat modern, pendidikan adalah peluang untuk hidup lebih bermakna dan memberi kesempatan berperan dalam mobilitas sosial.
  • Kepala sekolah harus yakin bahwa anggota sekolahnya memerlukan standar, harapan, dan kinerja bermutu tinggi. Oleh sebab itu, ia harus yakin bahwa visi sekolah harus menekankan standar pembelajaran yang tinggi. Ia juga perlu yakin perlunya menempuh risiko yang nalar untuk meningkatkan mutu sekolanya. Menggunakan pengaruh jabatan secara produktif untuk melayani peserta didik dan keluarganya.
  • Kepala sekolah harus yakin tentang pentingnya pengikutsertaan seluruh anggota komunitas sekolah. Keputusan manajemen sekolah adalah untuk meningkatkan mutu pembelajaran sehingga ia mempercayai para guru dan staf pendukung dan pertimbangan mereka dalam keputusan manajerialnya. Ia juga melibatkan keluarga dan pihak-pihak berkepentingan lainnya dalam proses pengambilan keputusan sekolah. Ia yakin tentang perlunya membangun dan memelihara semangat komunitas sekolah yang yang peduli. Dengan cara ini ia akan dapat memfasilitasi penggalian sumber daya keluarga dan masyarakat untuk mendukung pendidikan peserta didik.
  • Kepala sekolah harus yakin bahwa belajar berlangsung sepanjang hayat (life-long learning). Ia harus dapat memberi contoh yang pas mengenai hal ini, sehingga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari praktik sehari-hari dalam manajemen sekolahnya. Dengan demikian, ia menunjukkan keterbukaan dan penerimaan gagasan baru, tidak jadi soal dari manapun datangnya gagasan itu.
  • Kepala sekolah yakin tentang perlunya pengembangan profesional sebagai bagian integral peningkatan sekolah. Ia tahu dunia tidak pernah berhenti dan terus berubah. Oleh sebab itu, ia akan selalu mencari peluang untuk terus meningkatkan profesionalitas diri dan stafnya.
  • Kepala sekolah harus yakin bahwa keragaman komunitas sekolah memperkaya sekolah. Ia mengakui dan memberi peluang adanya keragaman gagasan, nilai-nilai, dan budaya. Tindakannya menunjukkan pengakuan itu dengan tidak memberi peluang praktik-praktik diskriminatif di sekolahnya.
  • Kepala sekolah berpendirian bahwa lingkungan belajar haruslah aman, sehat, dan suportif. Ia akan berusaha keras agar imbasan masalah-masalah sosial tidak sangat berpengaruh terhadap efektivitas sekolahnya. Misalnya, ia akan mengerakkan anggota sekolahnya untuk memerangi penyalahgunaan narkoba, perjudian, pemerasan, dan perilaku asosial lainnya. Ia juga berkeyakinan bahwa kebersihan adalah bagian dari iman. Oleh sebab itu, ia akan menggerakkan anggotanya untuk bersih lahir-batin dalam semua hal dan memelihara kebersihan itu dengan konsisten.
  • Kepala sekolah yakin bahwa sekolahnya beroperasi sebagai bagian integral dari masyarakat yang lebih besar. Oleh sebab itu, ia menerapkan pendekatan sistem dalam setiap tindakan yang mempengaruhi kepentingan sekolahnya.
  • Kepala sekolah yakin bahwa publik memerlukan informasi yang cukup tentang sekolah dan kemajuan atau bahkan masalah yang dihadapi. Oleh sebab itu, ia merasa perlu bersikap terbuka dan bertanggung gugat atas praktik yang diterapkan dalam mengelola sekolahnya. Ia yakin bahwa jika ia jujur dalam keterbukaannya, pihak-pihak yang berkepentingan juga akan lebih dapat memahami kekeliruan yang mungkin telah dilakukan dan bahkan mungkin akan mau membantunya untuk memperbaiki kekeliruan itu.

IMPLIKASI KEBIJAKAN
Standar kompetensi dan kinerja yang dikemukakan disini akan berimplikasi pada penetapan kebijakan baru tentang persiapan, seleksi, penempatan, dan pengembangan kepala sekolah. Dengan standar kompetensi seperti itu, seleksi kepala sekolah harus dilakukan secara transparan, bertanggung gugat, dan demokratis. Setiap orang, terutama guru, dapat menjadi kepala sekolah jika memenuhi persyaratan kompetensi yang ditetapkan. Perguruan tinggi, utamanya mantan IKIP, perlu menyusun program studi manajemen pendidikan yang benar-benar dapat menyiapkan calon-calon kepala sekolah yang memiliki standar kompetensi sebagaimana yang diharapkan. Pusat Pengujian Depdiknas, misalnya, perlu menyusun alat (tes) yang dapat digunakan untuk menguji kompetensi calon kepala sekolah. Selain itu, kepala sekolah dipilih secara demokratis dari sekumpulan calon yang memiliki catatan perilaku berintegritas tinggi. Para pemilih adalah semua anggota atau pihak-pihak yang berkepentingan bagi kemajuan pendidikan di lingkungan sekolah yang bersangkutan. Cara pemilihan yang demokratis seperti ini harus dapat dipantau secara seksama untuk menghindari kemungkinan dicederai oleh praktik suap. Untuk pengembangan lebih lanjut, perguruan tinggi bekerja sama dengan lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan (Diklat) dapat melaksanakan program-program pengembangan yang disusun sesuai dengan kebutuhan unik bagi masing-masing kepala sekolah.
Tanpa adanya standar kompetensi yang cukup tinggi bagi para kepala sekolah rasanya sukar berharap bahwa pendidikan di Indonesia akan dikenal berkualitas baik di dunia. Apakah standar itu terlalu tinggi? Bagi mereka yang tidak peduli dengan masa depan anak didik, standar seperti itu jelas merupakan siksaan. Namun, masih banyak calobn atau kepala sekolah yang memang benar-benar serius melaksanakan pekerjaannya. Bagi mereka yang sungguh-sungguh berkemauan menjadi kepala sekolah yang bervisi, kompeten, dan berintegritas tinggi standar kompetensi sebagaimana yang diuraikan adalah masuk akal. Bagi mereka ini standar seperti itu adalah tantangan pekerjaan. Bagi mereka kinerja yang bagus dalam menciptakan lingkungan belajar yang kondusif bagi anggota sekolahnya telah merupakan penghargaan tersendiri. Orang-orang seperti ini layak mendapat penghargaan sepantasnya dalam posisinya sebagai kepala sekolah.
SUMBER ACUAN
Council of Chief State School Officers, “School Principal Standard of Competencies,” One Massachusetts Avenue, NW . Suite 700 . Washington, DC 20001-1431. Standar kompetensi ini antara lain diadaptasi oleh Negara Bagian California dan Illinois sebagai standar profesional para kepala sekolah, http://www.csla.org/
Encarta, Desk Encyclopedia © 1996-97 Microsoft Corporation, CD-ROM version.
ERIC, Clearinghouse on Educational Management, Trends and Issues: the Role of School Leader, downloaded April 2002, Direproduksi oleh Pusdiklat Pegawai Depdiknas April 2002, http://eric.uoregon.edu (semua informasi dimuat di public domain dan dapat direproduksi secara bebas).
Lightfoot, Sara (1983), The Good High School: Portrait of Character and Culture, New York, Basic Books
*) Staf Administrasi di Pusdiklat Depdiknas

STRUKTUR SOSIAL BUDAYA, PRANATA SOSBUD


Struktur Sosial Budaya

1. Struktur sosial: pola perilaku dari setiap individu masyarakat yang tersusun sebagai suatu sistem
2. Masyarakat mrp suatu sistem sosial budaya terdiri dari sejumlah orang yang berhubungan secara timbal balik melalui budaya tertentu.
3. Setiap individu mempunyai ciri dan kemampuan sendiri, perbedaan ini yang menyebabkan timbulnya perbedaan sosial.
4. Perbedaan sosial bersifat universal, ini berarti perbedaan sosial dimiliki setiap masyarakat dimanapun.
5. Perbedaan dalam masyarakat seringkali menunjukkan lapisan-lapisan yang bertingkat.
6. Lapisan yang bertingkat dalam masyarakat disebut Stratifikasi sosial
7. Ukuran yang digunakan untuk menggolongkan penduduk dalam lapisan-lapisan tertentu yaitu:
a) Ukuran kekayaan (kaya miskin, tuan tanah penyewa, )
b) Ukuran kekuasaan (penguasa/ dikuasai) penguasa punya wewenang lebih tinggi
c) Ukuran kehormatan (berpengarug / terpengaruh) ukuran ini ada di masyarakat tradisional(pemimpin informal)
d) ukuran ilmu pengetahuan (golongan cendekiawan/ rakyat awam)

PRANATA SOSIAL

1. Pranata Sosial adalah wadah yang memungkinkan masyarakat untuk berinteraksi menurut pola perilaku yang sesuai dengan norma yang berlaku.-
2. Horton dan Hunt mengartikan pranata sosial sebagai suatu hubungan sosial yang terorganisir yang memperlihatkan nilai-nilai dan prosedur-prosedur yang sama dan yang memenuhi kebutuhan2 dasar teertentu dalam masyarakat.

KETERANGAN Contoh di skolah sbg lembaga sosial budaya untuk memperoleh pendidikan mempunyai aturan-aturan. setiap orang harus berperillaku sesuai dengan aturan-aturan tertentu sehingga proses pendidikan berjalan dg baik. Begitu juga di bank, mempunyai aturan sendiri, setiap karyawan hrs berperilaku sesuia dengan aturan yang berlaku.

MACAM-MACAM PRANATA SOSIAL

1. Pranata Ekonomi (memenuhi kebutuahan material) , bertani,industri, bank, koperasi dan sebagainya
2. Pranata Sosial/ memenuhi kebut. Sosial : perkawinan, keluarga, sistem kekerabatan, pengaturan keturunan.
3. Pranata politik/ jalan alat untuk mencapai tujuan bersama dlm hidup bermasyarakat. seperti sistem hukum, sistem kekuasaan, partai, wewenang, pemerintahan
4. Pranata pendidikan/memnuhi kebutuahn pendidikan, seperti PBM, sistem pengetahuan, aturan, kursus, pendidikan keluarga, ngaji.
5. Pranata kepercayaan dan agama/ memenuhi kebutuhan spiritual. seperti upacara semedi, tapa, zakat, infak, haji dan ibadah lainnya.
6. Pranata Kesenian/ memenuhi kebutuhan manusia akan keindahan, seperti seni suara, seni lukis, seni patung, seni drama, dan sebagainya

KONTROL SOSIAL

1. Berfungsi sbg alat agar anggotanya taat dan patuh thd norma yang telah ditentukan.
2. Kontrol sosial dapat dilakukan melalui prefentif yaitu dengan meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan keyakinan, thd kebenaran suatu norma.

Dapat juga dilakukan dg penanggulangan/ referensif dg jalan persuatif/ bujukan dan hukuman sanksi/ paksaan.

BEBERAPA PENGERTIAN

1. Enkulturasi adalah proses pengenalan norma yang berlaku di masyarakat.
2. Sosialisasi adalah; Proses pembelajaran terhadap norma-norma yang berlaku shg dapat berperan dan diakui oleh kelompok masyarakat.
3. Instutionalisasi: proses dimana norma dan perilaku sudah menjadi kebiasaan
4. Internalisasi: norma dan perilaku sudah menjadi bagian diri pribadi, dan sudah mendarah daging.

PROSES SOSIAL BUDAYA

Hubungan antarindividu yang saling mempengaruhi dlm hal pengetahuan, sikap dan perilaku disebut interaksi sosial
Interaksi sosial terjadi apabila tindakan atau perilaku sesorang dapat mempengaruhi, mengubah, memperbaiki, atau mendorong perilaku, pikiran, perasaan, emosi orang lain.

SIFAT INTERAKSI SOSIAL

1. Frekuensi interaksi makin sering makin kenal dan makin banyak pengaruhnya.
2. Keteraturannya interaksi, semakin teratur semakin jelas arah perubahan nya.
3. Ketersebaran interaksi, semakin banyak dan tersebar , semakin banyak yang dipengaruhi.
4. Keseimbangan interakasi, semakin seimbang posisi kedua belah pihak yang berinteraksi semakin besar pengaruhnya.
5. Langsung tidaknya interkasi, bila interaksi bersifat langsung kedua belah pihak bersifat aktif, maka pengaruhnya semakin besar.

INTERAKSI DAPAT MENIMBULKAN
A. Kerja sama (kooperation)
B. Persaingan (competition)
C. Pertikaian (conflik)

KOOPERATION

Kerja sama bisa terjadi bila individu atau kelompok mempunyai kesadaran akan tujuan yang sama, sehingga timbul aktivitas yang salling menunjang membantu untuk bersama-sama mencapai tujuan.

TIGA BENTUK KERJA SAMA

1. Bergaining yaitu pertukaran barang atau jasa
2. Cooptation yaitu penerimaan unsur-unsur baru sebagai salah satu cara untuk menghindari kegoncangan atau ketidak stabilan
3. Coalition yaitu penggabungan dua organisasi atau lebih yang mempunyia tujuan yang sama

ASIMILASI VS AKULTURASI

Asimilasi ; dua kelompok yang berbeda kebudayaannya saling berbaur menjadi satu kesatuan hingga menghasilkan kebudayaan baru yang berbeda dg kebudayaan aslinya.
Akulturasi: dua kelompok yang berbeda budaya saling bertemu dan melakukan kontak sosial yang intensif shg terjadi pembaharuan tanpa mengjhilangkan budaya aslinya
PERSAINGAN adalah proses sosial dimana dua individu atau kelompok berusaha mencari sesuatu yang menjadi pusat perhatian massyarakat tanpa kekerasan dan ancaman. contoh: dua orang siswa sama-sama memusatkan perhatiannya untuk memperoleh nilai IPS tertingi

KONFLIK
Pertentangan antar individu atau kelompok baik yang terlihat dg jelas /terbuka (perkelahian ) maupun yang tidak.
Akomodasi: usaha untuk mencegah, mengurangi, menghindari, dan menghentikan pertentangan

Akomodasi Dapat Dilakukan Dengan Cara:
1. Mediation: penyelesaian pertikaian dengan menggunakan pihak ketiga sebagai wasit yang netral.
2. Arbitration: penyelesaian pertikaian dengan menggunakan pihak ketiga yang statusnya lebih tinggi
3. Consiliation: mempertemukan pihak yang berselisih untuk mencapai suatu persetujuan bersama
4. Toleransi: saling menyadari untuk menghindari pertikaian
5. Stalemat: menyadari akan adanya kekuatan yang seimbang sehingga kalau diteruskan tidak akan ada yang menang dan yang kalah
6. Adjudication ; upaya penyelesaian perkara melalui pengadilan

MODEL KONSEPTUAL PENGENDALIAN SOSIAL PADA KOMUNITAS SITUS JEJARING SOSIAL

clip_image001
Abstrak
Kehadiran Situs Jejaring Sosial (SJS) telah memberikan fenomena baru pada penggunaan teknologi informasi dalam konteks sosial. Budaya manusia yang ada di dunia nyata kini telah meluas sampai ke SJS, tidak hanya yang positif tapi juga yang negatif, termasuk pornografi dan rasisme. Makalah ini mengajukan suatu model konseptual pengendalian sosial sehingga bentuk-bentuk budaya negatif dan menyimpang dapat dikurangi di komunitas SJS. Model mengusulkan pengendalian sosial dapat dilakukan pada dua lapisan, yaitu pada Lapisan Interaksi Sosial dan Lapisan Teknologi SJS. Terdapat tiga faktor: kepercayaan moral, keterikatan, dan komitmen dan keterlibatan, pada Lapisan Interaksi Sosial yang jika diperkuat dapat menurunkan penyimpangan. Pada Lapisan Teknologi Terdapat dua komponen: Teknologi Persuasif dan Teknologi Koersif, yang dapat dimanfaatkan SJS untuk mengurangi penyimpangan. Beberapa rekomendasi juga diberikan bagaimana menwujudkan pengendalian sosial pada komuitas SJS.
Kata kunci : model pengendalian sosial, penyimpangan, situs jejaring sosial, teknologi koersif, teknologi persuasif
clip_image002





1. Pendahuluan


Sebagaimana produk teknologi informasi dan komunikasi—seperti ponsel dan internet—telah mengubah pola kehidupan masyarakat, SJS juga telah melakukannya. SJS telah memberikan fenomena baru pada penggunaan teknologi informasi dalam konteks sosial. Pernyataan ini sejalan dengan perspektif Social Informatics yang menyatakan bahwa fenomena sosial baru muncul ketika orang-orang menggunakan teknologi [8]. Interaksi sosial yang terjadi di dunia nyata telah diperluas dengan mengambil tempat baru di dunia maya. Budaya manusia yang ada di dunia nyata kini juga telah sampai di dunia maya. Tidak hanya budaya yang positif saja yang hadir tapi juga yang negatif, termasuk subbudaya menyimpang, seperti pornografi dan rasisme. Di sisi lain, sesuai dengan prinsip Social Informatics, pengguna adalah aktor sosial yang berarti bahwa pengguna dalam penggunaan teknologi informasi juga dibatasi oleh nilai-nilai dan norma yang mengatur bagaimana mereka berperilaku dan berinteraksi dengan pengguna lain [14]. Bentuk-bentuk penyimpangan pornografi dan rasisme dapat dianggap sebagai sesuatu yang mengganggu, tidak pantas, bahkan kriminal bagi komunitas SJS. Oleh karena itu, pengendalian sosial (PS) dibutuhkan untuk mengarahkan pengguna agar berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma SJS.
Makalah ini mengajukan suatu model konseptual pengendalian sosial bagi komunitas SJS sehingga bentuk-bentuk budaya menyimpang dapat dikurangi. Model mengusulkan pengendalian sosial dapat dilakukan pada dua lapisan, yaitu pada Lapisan Interaksi Sosial dan Lapisan Teknologi SJS. Terdapat tiga faktor—kepercayaan moral, keterikatan, dan komitmen dan keterlibatan—pada Lapisan Interaksi Sosial yang jika diperkuat dapat menurunkan penyimpangan. Pada Lapisan Teknologi Terdapat dua komponen—Teknologi Persuasif dan Teknologi Koersif—yang dapat dimanfaatkan SJS untuk mengurangi penyimpangan.
Makalah ini diawali dengan pendahuluan yang berisi latar belakang dan tujuan penulisan serta penjelasan singkat sistematika penulisan. Selanjutnya untuk memberikan pengertian dasar dan landasan teori bagi penyusunan model, penelitian terkait akan dijelaskan secara singkat pada bagian 2. Pada bagian 3, model konseptual pengendalian sosial pada komunitas SJS dikemukakan dan dijelaskan. Bagian 4 berisi rekomendasi bagi para stakeholder, penyusunan strategi, dan implikasi perancangan dalam mewujudkan pengendalian sosial pada SJS. Pada bagian terakhir, bagian 5, makalah ini ditutup dengan kesimpulan dan beberapa penelitian yang masih perlu dilakukan.

2. Kajian Terkait

SJS atau Social Networking Sites diartikan oleh Boyd dan Ellison sebagai situs yang memberikan layanan berbasis web yang memungkinkan pengguna untuk (1) membangun suatu profil publik atau semi-publik dalam suatu sistem terbatas, (2) membangun daftar teman yang melaluinya para pengguna dapat saling berbagi relasi, dan (3) memperlihatkan dan mengubah daftar relasi mereka dalam sistem tersebut [3]. Ofcom mendefinisikan SJS sebagai situs yang menyediakan layanan bagi pengguna untuk membuat profil atau halaman pribadi, dan membangun jejaring sosial online. Halaman profil berisi informasi pribadi (nama, kelamin, agama, hobi, dsb.). SJS juga menyediakan modifikasi halaman, layanan berbagi foto, video, dan musik. Pengguna dapat membangun jejaring sosial yang dapat ditampilkan dalam bentuk daftar teman [12]. Teman di sini dapat berarti teman atau kenalan mereka di dunia nyata, atau orang-orang yang hanya mereka kenal secara online, atau bahkan yang tidak mereka kenal sama sekali.
Melalui eksplorasinya pada isu-isu SJS, Ryano mengemukakan bahwa SJS sebagai salah satu produk teknologi telah mampu mengubah perilaku, nilai, dan budaya para penggunanya [13]. Beberapa perubahan tersebut, yaitu pengguna yang tetap membuka privasi ke publik walaupun mereka sadar identitas pribadi mereka akan diketahui orang lain [1][16], kaburnya nilai pertemanan [2][6], budaya gossip perempuan yang telah berpindah dari kamar pribadi ke SJS [9] , penggunaan SJS yang terlalu lama, menggunakan profil untuk mempromosikan diri berlebihan, dan disalahgunakan untuk tindakan menyimpang seperti penipuan dan pencurian identitas [12]. Budaya menyimpang yang dulunya hanya berada di dunia nyata kini juga telah memanfaatkan SJS. Dua judul berita situs berita nasional “Penjaja Seks Virtual Banjiri Second Life[1] dan “Rasisme Merebak di Facebook”[2] menandakan penyimpangan telah hadir di SJS. Itulah sebabnya mengapa Pengendalian Sosial diperlukan untuk mengurangi atau menghilangkan penyimpangan-penyimpangan tersebut.
Pengendalian Sosial dapat dihasilkan melalui ikatan sosial, yaitu ikatan seseorang dengan entitas sosial (keluarga, pekerjaan, sekolah, komunitas, masyarakat). Pengendalian sosial ini dibangun di atas 4 faktor, yaitu keterikatan, komitmen, keterlibatan, dan kepercayaan moral [15]. Semakin seseorang terikat dalam masyarakat dan semakin banyak investasi sosial mereka, maka mereka cenderung semakin tidak akan menyimpang. Ketika ikatan tersebut lemah, mereka cenderung menyimpang. Pengendalian Sosial juga dihasilkan melalui pengendalian diri, yaitu seseorang tidak akan menyimpang karena ia dapat mengekang dirinya [9]. Mereka yang lemah dalam pengendalian diri cenderung berpikir pendek dan tidak tahan terhadap godaan dari kenikmatan berbuat menyimpang, sementara mereka dengan pengendalian diri yang lebih baik lebih dapat membatasi diri [17].
Baik ikatan sosial maupun pengendalian diri tidak akan mampu mendefinisikan seseorang berbuat menyimpang atau tidak jika nilai-nilai dan norma-norma komunitas tidak jelas. Nilai-nilai berperan sentral karena mengarahkan individu dan komunitas bagaimana seharusnya bersikap dan berperilaku. Sayangnya, nilai-nilai, khususnya nilai-nilai moral, sering kali diabaikan dalam perancangan aplikasi, termasuk aplikasi SJS [7]. Dengan memperjelas nilai-nilai, diharapkan konflik-konflik kepentingan dan tujuan penggunaan SJS dapat dikurangi.
Berdasarkan teori-teori tersebut, Model Konseptual Pengendalian Sosial bagi komunitas SJS dirancang dan dijelaskan pada bagian selanjutnya.

3. Model Konseptual Pengendalian Sosial pada Komunitas SJS

Pembuatan model konseptual pengendalian sosial pada komunitas SJS (Gambar 1) dilatarbelakangi oleh banyaknya penggunaan SJS untuk penyimpangan. Kebutuhan untuk mengurangi penyimpangan pun muncul, sehingga SJS dapat menjadi tempat yang nyaman, aman, dan kondusif bagi penggunanya. Model ini dibuat dengan tujuan memberikan gambaran besar pengendalian sosial bagi SJS. Model ditujukan bagi para stakeholder, yaitu pemilik, sebagai penyelengara SJS, dan para perancang dalam merancang SJS yang memperhatikan pengendalian sosial. Model bekerja pada tingkat konseptual dengan memetakan pengendalian sosial ke dalam lapisan-lapisan, faktor-faktor pengendalian sosial yang perlu diperhatikan, pendekatan-pendekatan teknologi yang dapat digunakan, dan bagaimana interaksi antara elemen-elemen tersebut sehingga dapat mengurangi penyimpangan. Model berfungsi sebagai alat bantu bagi penggunanya untuk memahami bahwa pengendalian sosial dapat dilakukan dengan memperkuat faktor-faktor pengendalian sosial pada lapisan interaksi sosial dan juga penggunaan teknologi untuk mendukung pengendalian sosial pada SJS.
Model pengendalian sosial pada komunitas SJS disusun dengan menyertakan faktor-faktor pengendalian sosial Hirschi [15]—faktor kepercayaan moral, faktor keterikatan, dan faktor komitmen dan keterlibatan. Faktor-faktor ini digabung dengan dua komponen teknologi: Teknologi Koersif dan Teknologi Persuasif. Model dibagi ke dalam dua lapisan, yaitu lapisan interaksi sosial dan lapisan teknologi jejaring sosial. Elemen-elemen model pengendalian sosial dijelaskan lebih rinci sebagai berikut.
3.1 Lapisan Pengendalian Sosial pada SJS
Model pengendalian sosial dibagi ke dalam dua lapisan: lapisan interaksi sosial dan lapisan teknologi jejaring sosial. Lapisan interaksi sosial adalah segala interaksi sosial yang terjadi di SJS. Pada lapisan ini pengguna saling berinteraksi satu sama yang lain. Mereka saling berbagi informasi, foto, video, dan cerita pengalaman pribadi, berdiskusi dalam grup, mengikuti kabar terbaru teman-teman mereka, menyatakan diri mereka dalam bentuk profil, berkomunikasi dengan kenalan, mencari kenalan baru, dll. Faktor-faktor pengendalian sosial Hirschi dimasukkan ke dalam Lapisan Interaksi Sosial ini. Faktor-faktor tersebut diperkuat melalui interaksi sosial, baik melalui interaksi antara pengguna maupun interaksi pengguna dengan teknologi.
Lapisan teknologi jejaring sosial adalah teknologi yang digunakan pada SJS, mulai dari aplikasi, seperti blog, berbagi musik dan video, chatting, dan personal message sampai kepada teknologi yang digunakan aplikasi-aplikasi tersebut, seperti XML, semantic web, JavaScript, internet, dan sebagainya. Lapisan ini memungkinkan terjadinya interaksi antar pengguna SJS. Perancangan mengajukan dua komponen teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk pengendalian sosial pada SJS, yaitu Teknologi Persuasif dan Teknologi Koersif.
image
Gambar 1 Model Konseptual Pengendalian Sosial pada komunitas Situs Jejaring Sosial.
Pengendalian sosial koersif dan persuasif sebenarnya telah dilakukan pada SJS, tetapi sebagian besar masih dilakukan melalui pendekatan konvensional, langsung dari manusia ke manusia. SJS juga telah menyediakan fasilitas untuk itu. Contoh pengendalian sosial koersif, yaitu penggunaan fasilitas report abuse dan user block. Contoh pengendalian sosial persuasif, yaitu pengguna memberikan pujian, kritik, saran, dan nasehat pada content yang dimiliki oleh pengguna. Pendekatan pengendalian sosial yang diusulkan pada model pengendalian sosial ini adalah penggunaan teknologi dalam melakukan koersi dan persuasi. Koersi dan persuasi dapat dilakukan oleh sistem dan dilakukan secara otomatis.
3.2 Faktor-faktor Ikatan Sosial pada Lapisan Interaksi Sosial
Terdapat 3 faktor penguat ikatan sosial pada lapisan interaksi sosial, Yaitu faktor Kepercayaan Moral, Keterikatan, Kepercayaan dan Keterlibatan. Faktor kepercayaan moral (moral belief) adalah kepercayaan terhadap sistem nilai bersama komunitas SJS. Sistem nilai tersebut mencerminkan nilai-nilai yang dipegang oleh komunitas SJS mengenai apa yang baik dan buruk, benar dan salah, berharga dan tidak berharga. Jika sistem nilai yang dimiliki SJS kabur maka kepercayaan moral pengguna pun menjadi kabur—tidak jelas mana yang boleh dan tidak boleh.
Faktor keterikatan (attachment) dalam konteks SJS adalah keterikatan seorang pengguna dengan pengguna lainnya. Faktor ini menempatkan ikatan, jenis dan kualitas, sebagai penentu tingkat penyimpangan pengguna SJS.
Faktor keterlibatan (involvement) dan komitmen (commitment) menyatakan keterlibatan pengguna terhadap aktivitas-aktivitas yang dianggap baik pada SJS misalnya terlibat aktif dalam forum, dan juga komitmen terhadap tujuan-tujuan komuitas SJS. Faktor komitmen dan keterlibatan menyatakan bahwa besarnya investasi pengguna ke dalam komunitas SJS melalui kontribusi aktif positif berpengaruh negatif terhadap tingkat penyimpangan.
3.3 Komponen Teknologi Persuasif
Komponen Teknologi Persuasif adalah teknologi yang bekerja secara non-koersif, yaitu tidak menggunakan paksaan, tipuan, atau manipulasi [5], untuk meningkatkan kepercayaan moral, keterikatan, komitmen dan keterlibatan penggunanya sehingga tidak menyimpang.
Proses persuasi terjadi selama pengguna berinteraksi dengan sistem. Teknologi Persuasif bekerja dengan: (1) Memberikan pengertian dengan menjelaskan secara logis dan masuk akal manfaat yang akan diperoleh jika pengguna patuh atau melakukan penyesuaian, dan kerugian yang akan diperoleh jika pengguna melakukan penyimpangan; (2) Mengevaluasi dan memonitor kinerja pengguna sehingga pengguna merasa memegang kendali atas dirinya. (3) Memberikan saran atau anjuran melakukan aktivitas tertentu; (4) Mengingatkan apa yang akan atau sebaiknya dikerjakan; (5) Menggunakan teknik pervasif, yaitu menyampaikan pesan secara berulang-ulang sehingga tertanam di alam bawah sadar pengguna; dan (6) Cara kerjanya disesuaikan dengan natur manusia—fisik, psikis, dan sosial.
Untuk memperkuat argumen bahwa Teknologi Persuasif dapat digunakan untuk memperkuat faktor-faktor pengendalian sosial, beberapa contoh penerapan diberikan, yaitu: (1) Faktor kepercayaan moral—Teknologi Persuasif dapat mengubah sikap penggunanya sampai kepada tingkat kepercayaan moral. Misal: Quitnet.com[3] memotivasi penggunanya berhenti merokok dan Baby Think It Over[4], boneka untuk mencegah remaja hamil muda. (2) Faktor keterikatan—Teknologi Persuasif memperkuat faktor ikatan dengan mendorong pengguna SJS berinteraksi dengan jejaringnya. Beberapa elemen pada Facebook telah dirancang untuk mendorong penggunanya saling berinteraksi [4], misalnya fasilitas Status dan Quiz mendorong pengguna saling berkomentar pada status dan hasil Quiz satu sama lain. (3) Faktor komitmen dan keterlibatan—Teknologi Persuasif mendorong pengguna menginvestasikan dirinya ke dalam komunitas SJS. Beberapa forum (misalnya Kaskus.us) menggunakan sistem penghargaan, semacam ‘terima kasih’ atau ‘pujian’ bagi pengguna yang berkontribusi positif. Ini memberikan kesan investasi mereka di forum tidaklah sia-sia.
3.4 Komponen Teknologi Koersif
Yang dimaksud dengan Teknologi Koersif adalah pendekatan koersif untuk mengurangi penyimpangan dengan menggunakan teknologi. Koersif berarti pemaksaan fisik maupun psikologis, atau membuat lingkungan seideal mungkin sehingga mengurangi atau menghilangkan kemungkinan terjadinya penyimpangan walaupun keinginan menyimpang tetap ada. Ide teknologi ini pada [11], mengenai penggunaan teknologi pada Rekayasa Pengendalian Sosial. Teknologi Koersif bekerja tanpa harus berinteraksi dengan pengguna secara langsung. Teknologi Koersif bekerja dengan menggunakan data karakteristik pengguna yang dikumpulkan selama aktivitasnya di SJS dan digunakan untuk mengidentifikasi, mengawasi, membatasi, memanipulasi, memaksa, hingga mengeliminasi penyimpangan pada SJS. Komponen Teknologi Koersif diperlukan karena tidak bisa diharapkan bahwa semua pengguna akan mematuhi aturan dan norma SJS. Teknologi Koersif juga sangat berguna jika faktor-faktor pengendalian sosial komunitas lemah, di mana pengawasan antar pengguna tidak berjalan dengan baik.
Yohannis menemukan bahwa penyimpang pada SJS memiliki atribut-atribut yang membedakan mereka dari bukan penyimpang [18]. Ada prospek menggunakan atribut-atribut tersebut untuk identifikasi dan pengawasan SJS.

4. Rekomendasi

Berdasarkan penelitian yang dilakukan yang dibuat dan model yang diajukan pada makalah ini, beberapa rekomendasi diberikan yang dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu peran stakeholder, strategi organisasi, dan implikasi perancangan.
4.1.1 Peran Stakeholders
Pemilik SJS bertanggung untuk mendefinisikan latar belakang dan tujuan SJS, nilai-nilai dan norma yang berlaku pada SJS, hingga kepada bentuk formalnya. Pemilik SJS juga bertanggung jawab menetapkan strategi pengendalian sosial yang tepat bagi SJS-nya.
Pengembang SJS adalah pihak yang membangun SJS. Pengembang SJS bertanggung jawab merancang dan menyediakan teknologi demi terwujudnya strategi dan tujuan yang ditetapkan oleh pemilik SJS dalam rangka pengendalian sosial.
Komunitas SJS adalah pengguna SJS dan mereka dapat dilibatkan dalam usaha pengendalian sosial. Mereka memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi positif bagi pembangunan komunitas SJS, termasuk mematuhi peraturan penggunaan dan turut serta dalam pengendalian sosial, saling mengawasi satu sama lain.
4.1.2 Strategi Organisasi
Karena nilai-nilai memiliki peran yang sentral bagi komunitas, maka pada tingkat strategi organisasi, diperlukan memperjelas nilai-nilai pada SJS: termasuk mendefinisikan latar belakang dan tujuan SJS, sistem nilai, norma-norma, hingga wujud formalnya berupa aturan penggunaan SJS, dan dipertegas melalui sosialisasi dan edukasi pengguna.
Strategi pengendalian sosial komunitas SJS juga perlu dibuat. Strategi pengendalian sosial dapat dilakukan melalui integrasi sosial dan penggunaan teknologi. Teknologi Persuasif dapat digunakan untuk mendukung faktor-faktor pengendalian sosial. Pada kondisi di mana integrasi sosial lemah dan pengendalian diri kurang, kehadiran Teknologi Koersif sangat penting karena kita tidak bisa mengharapkan pengguna SJS saling mengendalikan satu sama lain.
4.1.3 Implikasi Perancangan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan [18][19] dan model Pengendalian Sosial yang dikemukakan pada makalah ini, beberapa implikasi perancangan diajukan, yaitu:
1.) Perlunya memperhitungkan nilai-nilai dalam perancangan SJS, khususnya nilai-nilai moral. SJS sebaiknya memiliki rancangan yang dapat memperkuat faktor-faktor kepercayaan moral, keterikatan, dan komitmen dan keterlibatan, jika hendak melakukan pengendalian sosial melalui pendekatan integrasi sosial. Value Sensitive Design [7] dapat digunakan untuk melibatkan nilai-nilai moral dalam perancangan SJS.
2.) Teknologi Persuasif dapat dimanfaatkan untuk memperkuat faktor kepercayaan moral, keterikatan, dan komitmen dan keterlibatan pengguna. Teknologi tersebut ditujukan untuk mengubah sikap dan perilaku pengguna terhadap faktor-faktor tersebut.
3.) Perlunya memfasilitasi komunitas melakukan pengendalian sosial karena komunitas SJS juga (dapat) melakukannya. Saat ini, mereka dapat melakukan pengendalian sosial informal melalui fasilitas komunikasi yang ada, seperti personal message, comment, atau chat, atau juga melalui fasilitas yang khusus dirancang untuk pengendalian sosial, seperti report abuse, block users, dan reputation building.
4.) Karena faktor keterikatan penting dalam pengendalian sosial dan [2][6][18] menemukan makna label pertemanan di dunia maya tidak sama dengan makna pertemanan di dunia nyata, maka dua sikap direkomendasikan, yaitu: (a) Sikap yang pertama, situs jejaring sosial tidak lebih dari sekedar alat atau perluasan buku telpon yang memuat berbagai informasi tentang orang-orang yang berada pada daftar teman. Dengan demikian arti kata teman bertambah satu lagi, yaitu teman pada jejaring sosial. (b) Sikap kedua, memberikan makna terhadap setiap ikatan yang terbentuk pada SJS. Makna ikatan dapat diperjelas dengan membuat arti ikatan tidak berstatus tunggal, tetapi perlu diperkaya dalam jenis (teman, keluarga, rekan kerja) dan kualitasnya (kenalan, teman, teman dekat) [2][6] [18]. Makna tersebut diharapkan bukan hanya sekedar variasi pemberian nama pada label ikatan, tetapi benar-benar merepresentasikan makna label ikatan tersebut. Makna ikatan juga dapat diperjelas dengan memberikan alasan dibalik interaksi mereka, misalnya interaksi karena persamaan hobi.
5.) Karena komitmen dan keterlibatan soial merupakan faktor penting bagi pengendalian social, diusulkan perlunya: (a) Mendorong pengguna menginvestasikan diri ke dalam SJS dengan menerapkan sistem penghargaan, pembangunan reputasi, atau menekankan keuntungan yang akan mereka peroleh jika mereka menginvestasikan diri pada SJS. (b) Mengintegrasikan SJS dengan SJS, forum, atau blog lain. Dengan melakukannya, pengguna tidak perlu berluang-ulang berinvestasi sosial jika hendak bergabung dengan aplikasi sosial baru. Keterlibatan mereka di berbagai aplikasi sosial dapat digabungkan dan dimonitor untuk menilai investasi sosial pengguna secara keseluruhan.
6.) Menggunakan perbedaan karakteristik penyimpang dan bukan penyimpang untuk identifikasi dan pengawasan. Dengan menggunakan karakteristik tersebut, penyimpang dapat diidentifikasi, diawasi, dan dieliminasi jika diperlukan.
7.) Karena adanya keragaman nilai yang dimiliki oleh para pengguna SJS dan sukarnya menentukan apakah content dianggap menyimpang atau tidak oleh pengguna, maka dapat dilakukan personalisasi content berdasarkan nilai-nilai yang pengguna miliki (personalized contents based on user values). Contents yang ditampilkan pada pengguna SJS hanyalah contents yang sesuai dengan nilai-nilai yang dimilikinya.

5. Penutup

Penelitian ini merancang suatu model pengendalian sosial pada SJS. Model dapat dijadikan sebagai referensi bagi implementasi pengendalian sosial pada komunitas SJS. Model pengendalian sosial terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan teknologi jejaring sosial dan lapisan interaksi sosial. Pada lapisan sosial, terdapat 3 faktor penentu penyimpangan, yaitu kepercayaan moral, keterikatan, dan komitmen dan keterlibatan. Pada lapisan teknologi, terdapat 2 komponen, yaitu Teknologi Persuasif dan Teknologi Koersif. Model pengendalian sosial pada komunitas SJS yang dirancang pada penelitian ini masih perlu diuji lebih lanjut, misalnya melalui simulasi atau penerapan pada kondisi dunia nyata.
Model pengendalian sosial pada komunitas SJS yang diusulkan pada penelitian ini bukanlah model yang statis. Model dapat dikembangkan lebih lanjut dengan penambahan lapisan baru, faktor-faktor pengendalian sosial baru, atau komponen-komponen lain pada lapisan teknologi. Pada perancangan model, aspek-aspek pengendalian sosial, seperti preventif, represif, punitif, korektif, kompulsif, pervasif, formal, dan informal, belum diperhitungkan. Oleh karena itu, penelitian mengenai aspek-aspek pengendalian sosial dalam konteks SJS dan bagaimana mengintegrasikan aspek-aspek tersebut ke dalam model masih perlu dilakukan.

Daftar Pustaka

[1] Aquisti, A., & Gross, R., 2006, Imagined Communities: Awareness, Information Sharing, and Privacy on the Facebook, dalam P. Golle, & G. Danezis (Penyunt.), Proceedings of 6th Workshop on Privacy Enhancing Technologies (hal. 36-58), Cambridge, U.K: Robinson College.
[2] Boyd, D. M., 2004, Friendster and Publicly Articulated Social Networks, Proceedings of ACM Conference on Human Factors in Computing Systems (CHI 2004), 1279-1282.
[3] Boyd, D. M., & Ellison, N. B., 2007, Social Network Sites: Definition, History, and Scholarship, Dipetik September 20, 2008, dari Journal of Computer-Mediated Communication: http://jcmc.indiana.edu/vol13/issues1/ boyd.ellison.html
[4] Enrique., 2008, Dipetik Mei 18, 2009, dari http://credibility.stanford.edu/captology/notebook/archives.new/psychology_of_facebook
[5] Fogg, B. J., Cueller, G., & Danielson, D., 2008, Motivating, Influencing, and Persuading Users: An Introduction to Captology, dalam A. Seears, & J. A. Jacko, The Human–Computer Interaction Handbook: Fundamentals, Evolving Technologies, and Emerging Applications (2nd Edition ed., hal. 133-144, Oxon & New York: Lawrence Erlbaum Associates Taylor & Francis Group.
[6] Fono, D., & Kate, R. G., 2006, Hyperfriends and Beyond: Friendship and Social Norms on LiveJournal, M. Consalvo, & Haythornthwaite, Penyunt.) Internet Research Annual: Selected Papers from the AOIR Conference , 4, hal. 91-103.
[7] Friedman, B., Khan Jr., P. H., & Borning, A., 2008, Value Sensitive Design and Information System, dalam K. E. Himma, & H. T. Tavani, The Handbook of Information and Computer Ethics (hal. 69-101, New Jersey: John Wiley & Sons.
[8] Kling, R., 1999, What is Social Informatics and Why Does it Matter? Dipetik Juni 18, 2009, dari www.dlib.org: http://www.dlib.org/dlib/ january99/kling/01kling.html
[9] Larsen, M. C., 2007, Understanding Social Networking: On Young People’s Construction and Co-construction of Identity Online, Internet Research 8.0: Let’s Play. Vancouver: Association of Internet Researchers.
[10] Longshore, D., Chang, E., & Messina, N., 2005, Self-Control and Social Bonds: A Combined Control Perspective on Juvenile Offending, Journal of Qualitative Criminology , 21 (4), December.
[11] Marx, G. T., 2001, Technology and Social Control: The Search for the Illusive Silver Bullet. Dipetik Agustus 26, 2008, dari web.mit.edu: http://web.mit.edu/gtmarx/www/techandsocial.html
[12] Ofcom., 2008, Social Networking: A Quantitative and Qualitative Research Report into Attitudes, Behaviours, and Use, England: Office of Communication.
[13] Ryano, A., 2009, Bridging Theories and Applications: Learn from Social Networking Sites Issues, National Conference of Information System 2009, Yogyakarta, Indonesia, January 17, 2009.
[14] Sawyer, S., & Tyworth, M., 2006, Social Informatics: Principles, Theory, and Practice., J. Berleur, M. I. Numinen, & J. Impagliazzo, Penyunt.) IFIP Federation of Information Processing , 233 (Social Informatics: An Information Society for All? In Remembrance of Rob Kling), hal. 49-62.
[15] Stolley, K. S., 2005, The Basic of Sociology, U.S.A: Greenwood Press.
[16] Tufekci, Z., 2008, Can You See Me Now? Audience and Disclosure Management in Online Social Network Site. Bulletin of Science and Technology Studies.
[17] Welch, M. R., Tittle, C. R., Yonkovski, J., Meidinger, N., & Grasmick, H. G., 2008, Social Integration, Self-Control dan Conformity, Journal of Quantitative Criminology , 24, hal. 73-92.
[18] Yohannis, A.R. and Sastramihardja, H., 2009, Recognizing Deviants in Social Networking Sites: Study Case Fupei.com, International Congress of Electrical Engineering and Informatics 2009, Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, Malaysia, August 5-7 2009.
[19] Yohannis, A.R., 2009, Designing Conceptual Model of Social Control on Social Networking Site Communities (Case Study Fupei.com and Kombes.com), Master Thesis, Master of Informatics, School of Electrical Engineering and Informatics, Institut Teknologi Bandung, Bandung, Indonesia.