profesi guru sekedar perbandingan


Alhamdulillah … saya dapat kesempatan mengunjungi 6 sekolah di Singapura, 4 sekolah negeri dan 2 sekolah Islam swasta. Ada hal yang luar biasa yang berkaitan dengan profesi guru di sana.

Pertama, GAJI GURU

Kata teman-teman, ya memang tidak bisa disamakan besarnya gaji guru di Indonesia dengan Singapura, kan Singapura negara maju. Indonesia belum. Dalam konteks ini saya ingin membawa pada suasana sebuah visi yang luar biasa, bukan besarnya angka-angka. Saat ini besarnya gaji guru negeri Singapura per bulannya sekitar 6.000 dollar Singapura (1 dollas Singapura = 6.700 rupiah). Sedangkan untuk guru sekolah swasta bervariatif, namun yang paling rendah sekitar 1.800 dollar Singapura.
Dr. Loh, seorang trainer dari dinas pendidikan Singapura bercerita kepada kami bahwa dahulu, tahun 1980, gaji guru di Singapura sangat rendah, namun pemerintahnya memang fokus memajukan dunia pendidikan dari banyak sisi, termasuk yang menjadi prioritas adalah gaji guru. Nah kalau kita balik ke negera kita. Semoga niatan pemerintah baik, suci dan berjalan lancar dengan program kenaikan kesejahteraan guru. Memang kita semua harus tahu dan bersabar, jumlah guru Indonesia dangat besar artinya kesejahteraan itu diberikan secara bertahap. Saya sendiri, sebagai pengamat dan praktisi pendidikan menyadari hal itu.
Namun di satu sisi, saya masih berharap pemerintah dapat melakukan percepatan untuk hal yang satu ini. Mengapa begitu? Sebab dengan pemberitaan informasi yang sangat terbuka dewasa ini, kita semua dapat mengetahui bahwa ternyata negara ini kaya raya, banyak pos-pos dana yang mestinya dapat diprioritaskan untuk pendidikan rakyatnya.

Kedua, HANYA SEKALI KESEMPATAN MENJADI GURU

Ini yang luar biasa dan mencengangkan saya. Di singapura, yang berhasil menjadi guru, lalu tidak harus santai-santai. Guru dituntut produktif, kreatif dan berkembang. Setiap sekolah mempunyai teacher’s assessment (penilaian guru). Jika kepala sekolah sudah menyatakan seorang guru tidak mampu bekerja dan diperhentikan, maka selesai sudah profesi guru bagi orang tersebut. Karena orang tersebut tidak akan pernah di terima kerja sebagai guru di sekolah manapun di Singapura.
Bayangkan. Hanya sekali kesempatan menjadi guru. Jika sudah diberhentikan orang tersebut dapat mencari profesi lain selain guru. Saya kenalan dengan seorang guru bernama miss Anita, keturunan India, dia menyatakan, bahwa bekerja menjadi guru di Singapura harus profesional, tidak bisa seenaknya sendiri. Dulu saya pikir ini terlalu ketat buat guru, ternyata setelah menjalaninya, manajemen yang sistematis dan teratur malah memantik kami untuk lebih kreatif dan profesional, sudah bukan merupakan tekanan lagi.

Bagaimana dengan di negara kita? Wow …

Pernah saya dihujat oleh guru dari salah satu sekolah binaan saya. Katanya Multiple Intelilgences System yang saya terapkan tidak manusiawi. Membuat guru repot. Membuat guru selalu diobservasi. Membuat guru tertekan. Membuat guru malah tidak kreatif dan pelatihan-pelatihan yang diberikan tidak mempunyai arti apapun.
Saya cuma mengelus dada pada saat itu. Betapa paradigma guru tersebut sangat ‘jadul’. Akhirnya dengan berjalannya waktu saya dapat menyimpulkan guru tersebut adalah guru PEMALAS, SOMBONG, menghancurkan kepercayaan walimurid, dan ikut memberi sumbangan terbesar terpuruknya kualitas pendidikan di negeri ini. Saya jadi membayangkan jika guru tersebut dipindahkan ke Singapura, mungkin hanya seminggu saja betah dan berprofesi guru, minggu berikutnya dipulangkan ke daerah asal.
Namun alhamdulillah saya ucapkan kehadirat Allah, ribuan guru bahkan jutaan guru yang lain ingin sekali menerapkan multiple intelilgence system. Mereka seperti tersentak dan tersadar bahwa ada banyak bagian yang penting yang hilang dalam dunia pendidikan dan mereka menemukan di sistem ini. Akhirnya atas dukungan banyak guru, saya tambah optimis untuk terus berjuang dan belajar mendalami segala macam ilmu yang berkaitan dengan pendidikan. Sungguh keberkahan waktu yang luar biasa.

Ketiga, 100 JAM PELATIHAN UNTUK GURU PER TAHUN

Nah ini yang juga ‘gila’. Setiap guru baru maupun guru lama berhak mendapatkan jatah 100 jam pelatihan yang diadakan oleh pemerintah. Yang lebih hebat lagi, kepala sekolahlah yang diminta merancang topik atau materi pelatihan untuk guru-gurunya. Usulan materi itu disetor ke dinas pendidikannya dan dari situlah dirancang pelatihan secara nasional.
Saya bertanya kepada seorang kepala sekolah tentang bagaimana caranya dia merancang topik pelatihan untuk guru-gurunya. Kepala sekolah tersebut mengatakan bahwa di sekolahnya mempunyai semacam mapping kompetensi gurunya. Saya mempunyai data materi pelatihan apa saja yang pernah diikuti oleh setiap orang guru. Kita punya petanya. Dan juga evaluasi pemahaman setiap guru terhadap materi pelatihan. Jika setelah kita evaluasi seorang guru masih lemah terhadap satu atau dua materi pelatihan maka saya akan ikutkan lagi pelatihan dengan topik tersebut. Kemudian kita juga meminta masukan dari guru sebagai self asessment, materi atau topik apa saja yang mereka ingin perdalam atauu yang ingin mereka ketahui sebagai sesuatu yang baru. Itu semua saya rancang dan saya serahan sebagai usulan kepada dinas pendidikan. Mereka nanti menyusun dan menjadwalkan pada waktu yang ditentukan. Kepala sekolah tersebut akhirnya menyimpulkan bahwa setiap guru yang aktif mengajar di sekolah tersebut akan mendapat pelatihan 100 jam setiap tahun dengan topik yang berbeda-beda. Luar biasa …
Saya tanya dengan seorang guru matematika tingkat secondary di sekolah HUAMIN SCHOOL tentang pelatihan guru apa yang akan diikut pada semester depan. Dengan serius dia menjawab, materi yang akan diikuti adalah MANAGEMENT DESK, artinya bagaimana mengatur meja kerja agar bersih, enak dilihat, malah menimbulkan kreatifitas, dan lain-lain.
Saya cuma geleng-geleng kepala mendengarnya. Betapa mereka menghargai ilmu, apapun itu topiknya. Mereka tidak sombong. Ketika saya tanya apa ada materi yang anda rasa tidak penting untuk pekerjaan guru. Mereka menjawab, tidak ada materi yang tidak penting. Semua kami anggap penting. Kami ingin terus mencari ilmu pada apa saja yang kami belum tahu dan itu masalah buat kami.
Ayo teman-teman guru sukseskan pekerjaan kita sebagai seorang guru.

Perbandingan Guru yang Profesional dengan Guru yang ada di Negara lain

Kita telah memasuki abad 21 yang dikenal dengan abad pengetahuan. Para peramal masa depan (futurist) mengatakan sebagai abad pengetahuan karena pengetahuan akan menjadi landasan utama segala aspek kehidupan (Trilling dan Hood, 1999). Abad pengetahuan merupakan suatu era dengan tuntutan yang lebih rumit dan menantang. Suatu era dengan spesifikasi tertentu yang sangat besar pengaruhnya terhadap dunia pendidikan dan lapangan kerja. Perubahan-perubahan yang terjadi selain karena perkembangan teknologi yang sangat pesat, juga diakibatkan oleh perkembangan yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan, psikologi, dan transformasi nilai-nilai budaya. Dampaknya adalah perubahan cara pandang manusia terhadap manusia, cara pandang terhadap pendidikan, perubahan peran orang tua/guru/dosen, serta perubahan pola hubungan antar mereka.

Trilling dan Hood (1999) mengemukakan bahwa perhatian utama pendidikan di abad 21 adalah untuk mempersiapkan hidup dan kerja bagi masyarakat.Tibalah saatnya menoleh sejenak ke arah pandangan dengan sudut yang luas mengenai peran-peran utama yang akan semakin dimainkan oleh pembelajaran dan pendidikan dalam masyarakat yang berbasis pengetahuan.

Kemerosotan pendidikan kita sudah terasakan selama bertahun-tahun, untuk kesekian kalinya kurikulum dituding sebagai penyebabnya. Hal ini tercermin dengan adanya upaya mengubah kurikulum mulai kurikulum 1975 diganti dengan kurikulum 1984, kemudian diganti lagi dengan kurikulum 1994. Nasanius (1998) mengungkapkan bahwa kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Profesionalisme sebagai penunjang kelancaran guru dalam melaksanakan tugasnya, sangat dipengaruhi oleh dua faktor besar yaitu faktor internal yang meliputi minat dan bakat dan faktor eksternal yaitu berkaitan dengan lingkungan sekitar, sarana prasarana, serta berbagai latihan yang dilakukan guru.(Sumargi, 1996) Profesionalisme guru dan tenaga kependidikan masih belum memadai utamanya dalam hal bidang keilmuannya. Misalnya guru Biologi dapat mengajar Kimia atau Fisika. Ataupun guru IPS dapat mengajar Bahasa Indonesia. Memang jumlah tenaga pendidik secara kuantitatif sudah cukup banyak, tetapi mutu dan profesionalisme belum sesuai dengan harapan. Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dan menyampaikan materi yang keliru sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar berkualitas (Dahrin, 2000).

Banyak faktor yang menyebabkan kurang profesionalismenya seorang guru, sehingga pemerintah berupaya agar guru yang tampil di abad pengetahuan adalah guru yang benar-benar profesional yang mampu mengantisipasi tantangan-tantangan dalam dunia pendidikan.

Pendidikan di Abad Pengetahuan
Para ahli mengatakan bahwa abad 21 merupakan abad pengetahuan karena pengetahuan menjadi landasan utama segala aspek kehidupan. Menurut Naisbit (1995) ada 10 kecenderungan besar yang akan terjadi pada pendidikan di abad 21 yaitu; (1) dari masyarakat industri ke masyarakat informasi, (2) dari teknologi yang dipaksakan ke teknologi tinggi, (3) dari ekonomi nasional ke ekonomi dunia, (4) dari perencanaan jangka pendek ke perencanaan jangka panjang, (5) dari sentralisasi ke desentralisasi, (6) dari bantuan institusional ke bantuan diri, (7) dari demokrasi perwakilan ke demokrasi partisipatoris, (8) dari hierarki-hierarki ke penjaringan, (9) dari utara ke selatan, dan (10) dari atau/atau ke pilihan majemuk.

Berbagai implikasi kecenderungan di atas berdampak terhadap dunia pendidikan yang meliputi aspek kurikulum, manajemen pendidikan, tenaga kependidikan, strategi dan metode pendidikan. Selanjutnya Naisbitt (1995) mengemukakan ada 8 kecenderungan besar di Asia yang ikut mempengaruhi dunia yaitu; (1) dari negara bangsa ke jaringan, (2) dari tuntutan eksport ke tuntutan konsumen, (3) dari pengaruh Barat ke cara Asia, (4) dari kontol pemerintah ke tuntutan pasar, (5) dari desa ke metropolitan, (6) dari padat karya ke teknologi canggih, (7) dari dominasi kaum pria ke munculnya kaum wanita, (8) dari Barat ke Timur. Kedelapan kecenderungan itu akan mempengaruhi tata nilai dalam berbagai aspek, pola dan gaya hidup masyarakat baik di desa maupun di kota. Pada gilirannya semua itu akan mempengaruhi pola-pola pendidikan yang lebih disukai dengan tuntutan kecenderungan tersebut. Dalam hubungan dengan ini pendidikan ditantang untuk mampu menyiapkan sumber daya manusia yang mampu menghadapi tantangan kecenderungan itu tanpa kehilangan nilai-nilai kepribadian dan budaya bangsanya.

Dengan memperhatikan pendapat Naisbitt di atas, Surya (1998) mengungkapkan bahwa pendidikan di Indonesia di abad 21 mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) Pendidikan nasional mempunyai tiga fungsi dasar yaitu; (a) untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, (b) untuk mempersiapkan tenaga kerja terampil dan ahli yang diperlukan dalam proses industrialisasi, (c) membina dan mengembangkan penguasaan berbagai cabang keahlian ilmu pengetahuan dan teknologi; (2) Sebagai negara kepulauan yang berbeda-beda suku, agama dan bahasa, pendidikan tidak hanya sebagai proses transfer pengetahuan saja, akan tetapi mempunyai fungsi pelestarian kehidupan bangsa dalam suasana persatuan dan kesatuan nasional; (3) Dengan makin meningkatnya hasil pembangunan, mobilitas penduduk akan mempengaruhi corak pendidikan nasional; (4) Perubahan karakteristik keluarga baik fungsi maupun struktur, akan banyak menuntut akan pentingnya kerja sama berbagai lingkungan pendidikan dan dalam keluarga sebagai intinya.

Nilai-nilai keluarga hendaknya tetap dilestarikan dalam berbagai lingkungan pendidikan; (5) Asas belajar sepanjang hayat harus menjadi landasan utama dalam mewujudkan pendidikan untuk mengimbangi tantangan perkembangan jaman; (6) Penggunaan berbagai inovasi Iptek terutama media elektronik, informatika, dan komunikasi dalam berbagai kegiatan pendidikan, (7) Penyediaan perpustakaan dan sumber-sumber belajar sangat diperlukan dalam menunjang upaya pendidikan dalam pendidikan; (8) Publikasi dan penelitian dalam bidang pendidikan dan bidang lain yang terkait, merupakan suatu kebutuhan nyata bagi pendidikan di abad pengetahuan.

Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan yang modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan diharapkan mampu mewujudkan peranannya secara efektif dengan keunggulan dalam kepemimpinan, staf, proses belajar mengajar, pengembangan staf, kurikulum, tujuan dan harapan, iklim sekolah, penilaian diri, komunikasi, dan keterlibatan orang tua/masyarakat. Tidak kalah pentingnya adalah sosok penampilan guru yang ditandai dengan keunggulan dalam nasionalisme dan jiwa juang, keimanan dan ketakwaan, penguasaan iptek, etos kerja dan disiplin, profesionalisme, kerjasama dan belajar dengan berbagai disiplin, wawasan masa depan, kepastian karir, dan kesejahteraan lahir batin. Pendidikan mempunyai peranan yang amat strategis untuk mempersiapkan generasi muda yang memiliki keberdayaan dan kecerdasan emosional yang tinggi dan menguasai megaskills yang mantap. Untuk itu, lembaga penidikan dalam berbagai jenis dan jenjang memerlukan pencerahan dan pemberdayaan dalam berbagai aspeknya.

Menurut Makagiansar (1996) memasuki abad 21 pendidikan akan mengalami pergeseran perubahan paradigma yang meliputi pergeseran paradigma: (1) dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat, (2) dari belajar berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik, (3) dari citra hubungan guru-murid yang bersifat konfrontatif ke citra hubungan kemitraan, (4) dari pengajar yang menekankan pengetahuan skolastik (akademik) ke penekanan keseimbangan fokus pendidikan nilai, (5) dari kampanye melawan buta aksara ke kampanye melawan buat teknologi, budaya, dan komputer, (6) dari penampilan guru yang terisolasi ke penampilan dalam tim kerja, (7) dari konsentrasi eksklusif pada kompetisi ke orientasi kerja sama. Dengan memperhatikan pendapat ahli tersebut nampak bahwa pendidikan dihadapkan pada tantangan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan yang bersifat kompetitif.

Gambaran Pembelajaran di Abad Pengetahuan
Praktek pembelajaran yang terjadi sekarang masih didominasi oleh pola atau paradigma yang banyak dijumpai di abad industri. Pada abad pengetahuan paradigma yang digunakan jauh berbeda dengan pada abad industri. Galbreath (1999) mengemukakan bahwa pendekatan pembelajaran yang digunakan pada abad pengetahuan adalah pendekatan campuran yaitu perpaduan antara pendekatan belajar dari guru, belajar dari siswa lain, dan belajar pada diri sendiri. Praktek pembelajaran di abad industri dan abad pengetahuan dapat dilihat pada Tabel berikut;

Abad Industri

1. Guru sebagai pengarah
2. Guru sbgai smber pengetahuan
3. Belajar diarahkan oleh kuri- kulum.
4. Belajar dijadualkan secara ketat dgn waktu yang terbatas
5. Terutama didasarkan pd fakta
6. Bersifat teoritik, prinsip- prinsip dan survei
7. Pengulangan dan latihan
8. Aturan dan prosedur
9. Kompetitif
10. Berfokus pada kelas
11. Hasilnya ditentukan sblmnya
12. Mengikuti norma
13. Komputer sbg subyek belajar
14. Presentasi dgn media statis
15. Komunikasi sebatas ruang kls
16. Tes diukur dengan norma
Abad Pengetahuan

1. Guru sebagai fasilitator, pembimbing, konsultan
2. Guru sebagai kawan belajar
3. Belajar diarahkan oleh siswa kulum.
4. Belajar secara terbuka, ketat dgn waktu yang terbatas fleksibel sesuai keperluan
5. Terutama berdasarkan proyek dan masalah
6. Dunia nyata, dan refleksi prinsip dan survei
7. Penyelidikan dan perancangan
8. Penemuan dan penciptaan
9. Colaboratif
10. Berfokus pada masyarakat
11. Hasilnya terbuka
12. Keanekaragaman yang kreatif
13. Komputer sebagai peralatan semua jenis belajar
14. Interaksi multi media yang dinamis
15. Komunikasi tidak terbatas ke seluruh dunia
16. Unjuk kerja diukur oleh pakar, penasehat, kawan sebaya dan diri sendiri.


Berdasarkan Tabel dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa;
1. Pada abad industri banyak dijumpai belajar melalui fakta, drill dan praktek, dan menggunakan aturan dan prosedur-prosedur. Sedangkan di abad pengetahuan menginginkan paradigma belajar melalui proyek-proyek dan permasalahan-permasalahan, inkuiri dan desain, menemukan dan penciptaan.
2 Betapa sulitnya mencapai reformasi yang sistemik, karena bila paradigma lama masih dominan, dampak reformasi cenderung akan ditelan oleh pengaruh paradigma lama.
3. Meskipun telah dinyatakan sebagai polaritas, perbedaan praktik pembelajaran Abad Pengetahuan dan Abad Industri dianggap sebagai suatu kontinum. Meskipun sekarang dimungkinkan memandang banyak contoh praktek di Abad Industri yang "murni" dan jauh lebih sedikit contoh lingkungan pembelajaran di Abad Pengetahuan yang "murni", besar kemungkinannya menemukan metode persilangan perpaduan antara metode di Abad Pengetahuan dan metode di Abad Industri. Perlu diingat dalam melakukan reformasi pembelajaran, metode lama tidak sepenuhnya hilang, namun hanya digunakan kurang lebih jarang dibanding metode-metode baru.
4. Praktek pembelajaran di Abad Pengetahuan lebih sesuai dengan teori belajar modern. Melalui penggunaan prinsip-prinsip belajar berorientasi pada proyek dan permasalahan sampai aktivitas kolaboratif dan difokuskan pada masyarakat, belajar kontekstual yang didasarkan pada dunia nyata dalam konteks ke peningkatan perhatian pada tindakan-tindakan atas dorongan pembelajar sendiri.
5. Pada Abad Pengetahuan nampaknya praktek pembelajaran tergantung pada piranti-piranti pengetahuan modern yakni komputer dan telekomunikasi, namun sebagian besar karakteristik Abad Pengetahuan bisa dicapai tanpa memanfaatkan piranti modern. Meskipun teknologi informasi dan telekomunikasi merupakan katalis yang penting yang membawa kita pada metode belajar Abad Pengetahuan, perlu diingat bahwa yang membedakan metode tersebut adalah pelaksanaan hasilnya bukan alatnya. Kita dapat melengkapi peralatan lembaga pendidikan kita dengan teknologi canggih tanpa mengubah pelaksanaan dan hasilnya.

Akhirnya yang paling penting, paradigma baru pembelajaran ini memberikan peluang dan tantangan yang besar bagi perkembangan profesional, baik pada preservice dan inservice guru-guru kita. Di banyak hal, paradigma ini menggam-barkan redefinisi profesi pengajaran dan peran-peran yang dimainkan guru dalam proses pembelajaran. Meskipun kebutuhan untuk merawat, mengasuh, menyayangi dan mengembangkan anak-anak kita secara maksimal itu akan selalu tetap berada dalam genggaman pengajaran, tuntutan-tuntutan baru Abad Pengetahuan menghasilkan sederet prinsip pembelajaran baru dan perilaku yang harus dipraktikkan. Berdasarkan gambaran pembelajan di abad pengetahuan di atas, nampalah bahwa pentingnya pengembangan profesi guru dalam menghadapi berbagai tantangan ini.

Pengembangan Profesionalisme Guru
Menurut para ahli, profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.

Memperhatikan kualitas guru di Indonesia memang jauh berbeda dengan dengan guru-guru yang ada di Amerika Serikat atau Inggris. Di Amerika Serikat pengembangan profesional guru harus memenuhi standar sebagaimana yang dikemukakan Stiles dan Horsley (1998) dan NRC (1996) bahwa ada empat standar standar pengembangan profesi guru yaitu; (1) Standar pengembangan profesi A adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembelajaran isi sains yang diperlukan melalui perspektif-perspektif dan metode-metode inquiri. Para guru dalam sketsa ini melalui sebuah proses observasi fenomena alam, membuat penjelasan-penjelasan dan menguji penjelasan-penjelasan tersebut berdasarkan fenomena alam; (2) Standar pengembangan profesi B adalah pengembangan profesi untuk guru sains memerlukan pengintegrasian pengetahuan sains, pembelajaran, pendidikan, dan siswa, juga menerapkan pengetahuan tersebut ke pengajaran sains. Pada guru yang efektif tidak hanya tahu sains namun mereka juga tahu bagaimana mengajarkannya. Guru yang efektif dapat memahami bagaimana siswa mempelajari konsep-konsep yang penting, konsep-konsep apa yang mampu dipahami siswa pada tahap-tahap pengembangan, profesi yang berbeda, dan pengalaman, contoh dan representasi apa yang bisa membantu siswa belajar; (3) Standar pengembangan profesi C adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembentukan pemahaman dan kemampuan untuk pembelajaran sepanjang masa. Guru yang baik biasanya tahu bahwa dengan memilih profesi guru, mereka telah berkomitmen untuk belajar sepanjang masa. Pengetahuan baru selalu dihasilkan sehingga guru berkesempatan terus untuk belajar; (4) Standar pengembangan profesi D adalah program-program profesi untuk guru sains harus koheren (berkaitan) dan terpadu. Standar ini dimaksudkan untuk menangkal kecenderungan kesempatan-kesempatan pengembangan profesi terfragmentasi dan tidak berkelanjutan.

Apabila guru di Indonesia telah memenuhi standar profesional guru sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat maka kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia semakin baik. Selain memiliki standar profesional guru sebagaimana uraian di atas, di Amerika Serikat sebagaimana diuraikan dalam jurnal Educational Leadership 1993 (dalam Supriadi 1998) dijelaskan bahwa untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal: (1) Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa, (3) Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4) Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, (5) Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.

Arifin (2000) mengemukakan guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan mempunyai; (1) dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21; (2) penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia; (3) pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah.

Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma baru untuk melahirkan profil guru Indonesia yang profesional di abad 21 yaitu; (1) memiliki kepribadian yang matang dan berkembang; (2) penguasaan ilmu yang kuat; (3) keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi; dan (4) pengembangan profesi secara berkesinambungan. Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru yang profesional.

Dimensi lain dari pola pembinaan profesi guru adalah (1) hubungan erat antara perguruan tinggi dengan pembinaan SLTA; (2) meningkatkan bentuk rekrutmen calon guru; (3) program penataran yang dikaitkan dengan praktik lapangan; (4) meningkatkan mutu pendidikan calon pendidik; (5) pelaksanaan supervisi; (6) peningkatan mutu manajemen pendidikan berdasarkan Total Quality Management (TQM); (7) melibatkan peran serta masyarakat berdasarkan konsep linc and match; (8) pemberdayaan buku teks dan alat-alat pendidikan penunjang; (9) pengakuan masyarakat terhadap profesi guru; (10) perlunya pengukuhan program Akta Mengajar melalui peraturan perundangan; dan (11) kompetisi profesional yang positif dengan pemberian kesejahteraan yang layak.

Apabila syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu terpenuhi akan mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan (1991) bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang invitation learning environment. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator (Soewondo, 1972 dalam Arifin 2000).

Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi. Tugas guru adalah membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan. Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai profesional.

Faktor-faktor Penyebab Rendahnya Profesionalisme Guru Kondisi pendidikan nasional kita memang tidak secerah di negara-negara maju. Baik institusi maupun isinya masih memerlukan perhatian ekstra pemerintah maupun masyarakat. Dalam pendidikan formal, selain ada kemajemukan peserta, institusi yang cukup mapan, dan kepercayaan masyarakat yang kuat, juga merupakan tempat bertemunya bibit-bibit unggul yang sedang tumbuh dan perlu penyemaian yang baik. Pekerjaan penyemaian yang baik itu adalah pekerjaan seorang guru. Jadi guru memiliki peran utama dalam sistem pendidikan nasional khususnya dan kehidupan kita umumnya.

Guru sangat mungkin dalam menjalankan profesinya bertentangan dengan hati nuraninya, karena ia paham bagaimana harus menjalankan profesinya namun karena tidak sesuai dengan kehendak pemberi petunjuk atau komando maka cara-cara para guru tidak dapat diwujudkan dalam tindakan nyata. Guru selalu diinterpensi. Tidak adanya kemandirian atau otonomi itulah yang mematikan profesi guru dari sebagai pendidik menjadi pemberi instruksi atau penatar. Bahkan sebagai penatarpun guru tidak memiliki otonomi sama sekali. Selain itu, ruang gerak guru selalu dikontrol melalui keharusan membuat satuan pelajaran (SP). Padahal, seorang guru yang telah memiliki pengalaman mengajar di atas lima tahun sebetulnya telah menemukan pola belajarnya sendiri. Dengan dituntutnya guru setiap kali mengajar membuat SP maka waktu dan energi guru banyak terbuang. Waktu dan energi yang terbuang ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya.

Akadum (1999) menyatakan dunia guru masih terselingkung dua masalah yang memiliki mutual korelasi yang pemecahannya memerlukan kearifan dan kebijaksanaan beberapa pihak terutama pengambil kebijakan; (1) profesi keguruan kurang menjamin kesejahteraan karena rendah gajinya. Rendahnya gaji berimplikasi pada kinerjanya; (2) profesionalisme guru masih rendah.

Selain faktor di atas faktor lain yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru disebabkan oleh antara lain; (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini disebabkan oleh banyak guru yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga waktu untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan diri tidak ada; (2) belum adanya standar profesional guru sebagaimana tuntutan di negara-negara maju; (3) kemungkinan disebabkan oleh adanya perguruan tinggi swasta sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi tanpa mempehitungkan outputnya kelak di lapangan sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan; (4) kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi.

Akadum (1999) juga mengemukakan bahwa ada lima penyebab rendahnya profesionalisme guru; (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara total, (2) rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan, (3) pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak terlibat. Hal ini terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan pencetak tenaga keguruan dan kependidikan, (4) masih belum smooth-nya perbedaan pendapat tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada calon guru, (5) masih belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang berupaya secara makssimal meningkatkan profesionalisme anggotanya. Kecenderungan PGRI bersifat politis memang tidak bisa disalahkan, terutama untuk menjadi pressure group agar dapat meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Namun demikian di masa mendatang PGRI sepantasnya mulai mengupayakan profesionalisme para anggo-tanya. Dengan melihat adanya faktor-fak tor yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru, pemerintah berupaya untuk mencari alternatif untuk meningkatkan profesi guru.

Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru
Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan profesionalisme guru diantaranya meningkatkan kualifikasi dan persyaratan jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi tenaga pengajar mulai tingkat persekolahan sampai perguruan tinggi. Program penyetaaan Diploma II bagi guru-guru SD, Diploma III bagi guru-guru SLTP dan Strata I (sarjana) bagi guru-guru SLTA. Meskipun demikian penyetaraan ini tidak bermakna banyak, kalau guru tersebut secara entropi kurang memiliki daya untuk melakukan perubahan.

Selain diadakannya penyetaraan guru-guru, upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah program sertifikasi. Program sertifikasi telah dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam (Dit Binrua) melalui proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar (ADB Loan 1442-INO) yang telah melatih 805 guru MI dan 2.646 guru MTs dari 15 Kabupaten dalam 6 wilayah propinsi yaitu Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB dan Kalimantan Selatan (Pantiwati, 2001).

Selain sertifikasi upaya lain yang telah dilakukan di Indonesia untuk meningkatkan profesionalisme guru, misalnya PKG (Pusat Kegiatan Guru, dan KKG (Kelompok Kerja Guru) yang memungkinkan para guru untuk berbagi pengalaman dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kegiatan mengajarnya (Supriadi, 1998).

Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Dalam proses ini, pendidikan prajabatan, pendidikan dalam jabatan termasuk penataran, pembinaan dari organisasi profesi dan tempat kerja, penghargaan masyarakat terhadap profesi keguruan, penegakan kode etik profesi, sertifikasi, peningkatan kualitas calon guru, imbalan, dll secara bersama-sama menentukan pengembangan profesionalisme seseorang termasuk guru.

Dengan demikian usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai penghasil guru, instansi yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarakat.

Dari beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah di atas, faktor yang paling penting agar guru-guru dapat meningkatkan kualifikasi dirinya yaitu dengan menyetarakan banyaknya jam kerja dengan gaji guru. Program apapun yang akan diterapkan pemerintah tetapi jika gaji guru rendah, jelaslah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya guru akan mencari pekerjaan tambahan untuk mencukupi kebutuhannya. Tidak heran kalau guru-guru di negara maju kualitasnya tinggi atau dikatakan profesional, karena penghargaan terhadap jasa guru sangat tinggi. Dalam Journal PAT (2001) dijelaskan bahwa di Inggris dan Wales untuk meningkatkan profesionalisme guru pemerintah mulai memperhatikan pembayaran gaji guru diseimbangkan dengan beban kerjanya. Di Amerika Serikat hal ini sudah lama berlaku sehingga tidak heran kalau pendidikan di Amerika Serikat menjadi pola anutan negara-negara ketiga. Di Indonesia telah mengalami hal ini tetapi ketika jaman kolonial Belanda. Setelah memasuki jaman orde baru semua ber ubah sehingga kini dampaknya terasa, profesi guru menduduki urutan terbawah dari urutan profesi lainnya seperti dokter, jaksa, dll.

Kesimpulan dan Saran
Memperhatikan peran guru dan tugas guru sebagai salah satu faktor determinan bagi keberhasilan pendidikan, maka keberadaan dan peningkatan profesi guru menjadi wacana yang sangat penting. Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan.

Kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.

Guru yang profesional pada dasarnya ditentukan oleh attitudenya yang berarti pada tataran kematangan yang mempersyaratkan willingness dan ability, baik secara intelektual maupun pada kondisi yang prima. Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai pencetak guru, instansi yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarakat.

BEST PROCESS – INDIKATOR SEKOLAH UNGGUL


Munif Chatib
Seorang kawan, Tom J. Parkins, yang akan menamatkan program doktoral di Harvard University meminta bantuan penulis untuk meneliti indikator-indikator sekolah unggul yang ada di Indonesia. Tentu saja penulis dibekali beberapa alat-alat riset, baik yang berupa questioner baku maupun yang harus “disesuaikan” dengan kondisi di Indonesia. Setelah bekerja sama selama 3 bulan, Tom J. Parkins memberikan kesimpulan yang luar biasa!

Indikator sebuah sekolah dapat dilihat dari tiga komponen, yaitu INPUT, PROSES, dan OUTPUT.
Pada komponen INPUT, adalah dititikberatkan pada bagaimana sekolah tersebut menerima siswa baru. Ada dua konsep yang berbeda dalam cara sekolah menerima siswa barunya, yaitu:
1. Sekolah dengan konsep ”BEST INPUT”
Sekolah yang menganut konsep ”BEST INPUT”, yaitu bahwa siswa-siswa unggul yang diharapkan masuk dan mendaftar di sekolah tersebut dengan cara harus melewati beberapa tes formal dan kognitif. Sekolah tersebut meyakini bahwa keunggulan sekolahnya berdasarkan keunggulan akademik siswa-siswa baru yang lulus tes masuk. Artinya sekolah unggul adalah sekolah yang inputnya unggul.
Ciri-ciri sekolah yang menganut konsep ”BEST INPUT” adalah sebagai berikut:
· Menerapkan tes masuk kepada siswa-siswa yang akan mendaftar ke sekolah tersebut. Tes masuk ini bahkan menilai kemampuan akademik siswa dan moral siswa. Diharapkan siswa yang diterima adalah siswa-siswa yang mempunyai nilai akademik positif (baca: pandai) dan moral positif (baca: baik, tidak nakal).
· Apabila jumlah siswa yang mendaftar melebihi jumlah kapasitas sekolah, maka siswa yang berhasil diterima adalah hasil sortir dari nilai tes masuk yang tertinggi sampai sebatas jumlah kapasitas yang tersedia. Sedangkan siswa-siswa yang nilainya tidak masuk atau lebih dari kapasitas sekolah tersebut maka dianggap tidak berhasil diterima di sekolah tersebut.
· Biasanya sekolah tersebut tidak lagi menganggap perlu tahap proses pembelajaran. Terutama para guru sudah merasa cukup mengajar biasa-biasa saja sebab kebanyakan siswanya pandai-pandai.
· Biasanya sekolah tersebut mempunyai guru-guru yang cara mengajarnya konservatif dan tidak kreatif.
· Keberhasilan sekolah tersebut pada output lebih disebabkan keunggulan dan minat siswa dan keluarganya untuk dapat berhasil lulus. Sedangkan peranan guru dalam keberhasilan siswanya relatif kecil.
Kritik untuk sekolah ”BEST INPUT”:
· Menurut Tom J. Parkins, hampir 99% sekolah di Indonesia dalam model penerimaan siswa barunya menganut ”BEST INPUT”. Hal ini berlaku juga pada sekolah yang dikatakan unggul atau favorit. Hanya beberapa sekolah unggul saja di Indonesia yang sudah meninggalkan konsep ini.
· Sekolah ”BEST INPUT” mengkerdilkan fungsi sekolah sebenarnya. Menurut Tom, sekolah pada hakekatnya adalah wadah untuk untuk mengubah siswa-siswa yang belajar di dalamnya untuk dapat berhasil. Jadi sekolah dan guru adalah sebagai ”agen perubah” siswa-siswanya. Sekolah dan guru harus mampu mengubah siswa-siswa yang mempunyai kemampuan akademik dan moral negatif menjadi siswa-siswa yang mempunyai kemampuan akademik dan moral positif. Jadi dapat dikatakan naif sekali apabila sekolah malah tidak menginginkan siswa-siswa yang mempunyai kelemahan yang daftar dan masuk ke sekolah tersebut. Sekolah seperti itu berarti sekolah yang tidak melakukan fungsinya sebagai ”agen perubah”.
· Kualitas Tes Masuk pada sekolah BEST INPUT juga perlu dievaluasi. Artinya sangat tidak manusiawi. Menilai kemampuan siswa dengan besarnya angka-angka kognitif pada kualitas pengetahuan yang rendah sangat tidak adil. Penulis pernah menginterview seorang kepala sekolah sebuah SD di Surabaya tentang tes masuk penerimaan siswa baru. Kepala sekolah tersebut mengatakan bahwa di sekolahnya siswa yang dapat diterima di sekolahnya adalah yang mempunyai nilai 75 ke atas. Sedangkan nilai 74 ke bawah tidak diterima. Ketika penulis menanyakan kepada kepala sekolah tersebut tentang sebenarnya apa bedanya nilai 75 dan 74, hanya terpaut 1 digit saja, namun punya dampak yang berbeda. Seseorang tidak dapat masuk sekolah yang diinginkannya hanya karena kurang 1 digit. Tentu saja kepala sekolah tersebut tidak mampu menjawabnya.
· Kualitas guru pada sekolah yang menganut konsep ini, biasanya juga rendah atau biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa pada mutu guru. Bahkan menurut penelitian penulis pada sekolah yang favorit di Surabaya, beberapa guru bahkan dianggap ”gagap teknologi” (baca: gaptek) oleh siswa-siswanya dalam hal teknologi internet. Guru merasa tidak harus berusaha sekuat mungkin untuk mengubah siswanya menjadi pandai dan mengerti banyak ilmu pengetahuan, sebab kebanyakan siswanya sudah pandai. Apalagi biasanya siswa sudah kursus banyak bidang studi di luar sekolah.
2. Sekolah dengan konsep ”BEST PROCESS”
Sekolah yang menganut konsep bahwa sekolah unggul tidak menitikberatkan pada kualitas akademik siswa-siswa baru yang masuk ke sekolah tersebut. Sekolah model ini dengan suka cita menerima semua siswa dalam kondisi apapun.
Ciri-ciri sekolah yang menganut ”BEST PROCESS” ini adalah sebagai berikut:
  • Sekolah ini tidak menerapkan tes masuk pada siswa barunya. Biasanya sekolah ini menggunakan sebuah perangkat riset untuk mengetahuai kondisi kemampuan siswa yang masuk ke sekolah tersebut. Perangkat ini dikenal dengan Multiple Intelligence Research (MIR) yang mampu mengetahui banyak dimensi kondisi kemampuan dan kekurangan siswa terutama tentang bagaimana gaya belajar siswa.
  • Sekolah dan guru pada sekolah ini akan mendapatkan sebuah kenyataan tentang kemampuan akademik dan moral siswa-siswa barunya sangat beragam. Sehingga hal ini merupakan tantangan bagi guru untuk mengubah menjadi ke arah positif. Akhirnya guru-guru di sekolah ini dituntut menjadi ”agen perubah” . Mengubah kondisi akademik dan moral siswa yang negatif menjadi positif.
  • Menurut Tom J. Parkins, inilah sekolah yang sebenarnya, sekolah yang menerima segala kondisi siswanya. Kemudian kondisi itu dipelajari dan diteliti, lalu dengan data tersebut, para guru mencoba mengembangkan kemampuan siswa-siswanya dengan cara yang berbeda-beda. Sekolah unggul adalah sekolah yang menitik beratkan pada kualitas proses pembelajaran, dan ini ada pada pundak guru, bukan pada kualitas input siswanya.
  • Guru-guru pada sekolah ini biasanya kreatif, sebab meyakini bahwa gaya mengajar guru tersebut harus disesuaikan dengan gaya belajar siswanya. Tuntutan mengajar dengan pola demikian hanya dapat dilakukan oleh guru-guru yang handal, punya dedikasi dan kompetensi mengajar yang baik. Dengan demikian sekolah yang menerapkan konsep ini, biasanya jadwal pelatihan guru sangat padat. Guru benar-benar diharapkan profesional dan menjadi agen perubah.


Hasil penelitian Tom J. Perkins terhadap sekolah-sekolah di Indonesia adalah sebagai berikut:
Keterangan
Jumlah % sekolah
Kategori
INPUT
a. Best Input
99%
Sekolah biasa
b. Best Process
1%
Sekolah unggul
PROSES
a. Left Brain
99%
Sekolah biasa
b. Holistic Brain
1%
Sekolah unggul
OUTPUT
a. Cognitive Only
99%
Sekolah biasa
b. Cognitive (knowledge),
Affective (attitude),
Psychomotor (skills)
1%
Sekolah unggul
Riset ini dilakukan pada tahun 2003 dengan meneliti sebanyak 85 sekolah unggul di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah:
  • Masih sedikitnya (baca: 1%) sekolah di Indonesia yang dikategorikan sekolah unggul, baik pada komponen input, proses, dan output.
  • Paradigma sekolah unggul di Indonesia masih banyak yang harus dikoreksi dan ditata lagi, terutama pada input penerimaan siswa baru.

KECERDASAN ANAK TIDAK TERKAIT DENGAN HASIL TES STANDAR

Munif Chatib
Pernahkah kita sebagai guru atau orangtua terjebak dalam situasi seperti  di bawah ini. Dengan tangan gemetar, anak kita memberi secarik kertas hasil ulangan harian matematikanya. Gemetar dan mulai terisak, sebab dapat nilai 5. Bayangkan! Pasti banyak dari kita yang juga gemas dan mungkin ikut menangis melihat hasil kerja anak kita.
“Ya Allah nak …ini tahun udah hampir 2010 matematika dapat 5? Sudah gak musim nak! Kalau kamu begini terus nanti kamu jadi apaaaaa!!!
Biasanya adegan selanjutnya adalah anak dengan pasrah terdiam menampung amarah orangtua baik bola salju bergulir. Bahkan tidak sedikit yang berakhir dengan ‘pemukulan’
Saya sendiri heran, kejadian di atas ternyata masih banyak dialami oleh orangtua yang mempunyai background pendidikan yang lumayan tinggi, bahkan S2. Mengapa susah sekali memberi pemahaman kepada para orangtua bahwa kesuksesan dan kecerdasan anak kita sama sekali tidak terkait dengan hasil tes-tes standar. Mengapa tidak terkait?  Ada dua alasan yang perlu kita pahami.
Pertama, nilai hasil tes standar yang didapat oleh anak kita sangat tergantung dari kualitas soal-soal yang dibuat oleh guru atau pengawas (baca: pembuat soal). Dalam ‘penilaian modern’ yang dikenal dengan authentic assessment erdapat konsep yang harus diketahui banyak orang, yaitu: SOAL YANG BERKUALITAS ADALAH SOAL YANG DAPAT DIKERJAKAN OLEH SISWANYA.
Nah … sampai disini kita para orangtua jika mendapatkan nilai tes anak kita rendah, maka yang harus kita lihat dulu adalah ‘SOALNYA’ jangan buru-buru menghukum anak kita dengan kata-kata yang menyakitkan hati anak kita.
“Dasar kamu bodoh!”
“Masa soal semudah ini kamu gak bisa!”
“Dulu mama selalu dapat nilai bagus, kamu kog gak bisa sih seperti mama!”
Dan ratusan lagi kalimat yang akan membentuk ‘self image’ anak kita negatif.
Lebih baik evaluasi soal yang diberikan kepada anak kita. Terlalu banyak kejadian, sebenarnya anak kita mampu mengerjakan, hanya karena instruksi soal yang tidak jelas atau sengaja dibuat tidak jelas, maka akhirnya anak kita tidak mampu atau salah dalam menjawabnya.
Kriteria soal yang tidak berkualitas oleh beberapa ahli pendidikan dinamakan ‘disabillity test’ atau tes ketidakmampuan. Soal-soal tersebut mempunyai ciri-ciri di bawah ini:
  • Instruksi soal yang tidak jelas dan dibuat sulit dipahami.
  • Soal yang mempunyai satu jawaban tunggal.
  • Soal yang mempunyai rubrik penilaian tunggal.
  • Soal yang berhenti pada tangga terendah yaitu PENGETAHUAN.
  • Soal yang tidak mempunyai ‘range’ dan tidak familiar.
1. Instruksi soal yang tidak jelas dan dibuat sulit dipahami.
  • Contoh: Di bawah ini yang tidak termasuk kecuali ……
2. Soal yang mempunyai 1 jawaban tunggal.
  • Contoh 1: Peraturan dibuat untuk …
a)  Dilaksanakan
b)  Menjadi baik
c)  Dipahami
d)  Agar tidak melanggar
  • Contoh 2: Pintu kamar mandi terbuat dari …
a)  Bambu
b)  Kayu
c)  Seng
d)  Plastik
Sang pembuat soal model di atas mengharapkan siswa melingkari 1 jawaban yang benar menurut persepsinya. Hal inilah yang membuat anak-anak kita salah dalam menjawab, sebab persepsi anak kita berbeda dengan persepsi pembuat soal. Coba perhatikan betapa banyak soal-soal anak kita seperti yang dicontohkan di atas. Lalu jika anak kita salah melingkarinya, kita spontan memarahi anak kita. Kita menyakiti hatinya. Kita membangun kaki-kaki negatif pada ‘konsep diri’nya. Pembuat soal dan orangtua yang terjebak dalam kondisi seperti ini harus ‘istighfar’.
3. Soal yang mempunyai rubrik penilaian tunggal. Soal yang sesuai dengan konsep penilaian otentik, minimal harus mempunyai dua rubrik penilaian. Jika soal tersebut mempunyai 1 rubrik penilaian, maka soal tersebut bukanlah soal otentik. Soal tersebut tergolong dalam ‘disability test’ atau tes ‘ketidakmampuan’
  • Contoh soal multiple choice adalah soal yang mempunyai rubrik penilaian tunggal, yaitu benar atau salah. Itu saja.
  • Contoh soal penilaian otentik adalah “Tulislah dengan pemahaman anda apa saja yang menyebabkan terjadinya perang Diponegoro.” Rubrik penilaian yang dibuat oleh pembuat soalnya adalah:
a) Kualitas ketepatan jawaban
b) Jumlah paragraf yang ditulis siswa
c) Alur penjelasan
d) Dan lain-lain
Nah tentunya anda dapat menilai soal mana yang berkualitas. Sampai di sini, kita langsung tersentak dan tersadar. Bagaimana kuailtas soal UASBN /UNAS yang mana menggunakan multiple choice? Lalu hasil UASBN/UNAS digunakan menentukan standar kelulusan anak kita dari jenjang satu ke jenjang yang lain. Lalu dengan UASBN / UNAS jutaan orangtua kebingungan , was was dan stres menjelang UASBN / UNAS anaknya. Penekanan belajar kognitif ditingkatkan. Sampai otak anak kita mengalami ‘down shifting’ (mengkerut). Lalu paradigma orangtua berubah menjadi menyekolahkan anaknya dengan target tunggal yaitu nilai UASBN /UNAS nya berhasil dan tinggi. Saya membayangkan setiap tahun berapa banyak anak-anak kita dan kita sebagai orangtua tertimpa ‘musibah psikologis’ seperti ini.
Apalagi jika anak kita berhasil lulus, hasilnya masih dibandingkan dengan nilai yang didapat oleh anak lain atau sekolah lain. Lalu jika anak kita tidak lulus, langsung terjadi ‘kerapuhan mental beajar’, rasa ‘bodoh’, tidak percaya diri dan lain-lain. Bahkan banyak kasus di beberapa daerah yang ‘bunuh diri’ sebab TIDAK LULUS UASBN/UNAS.
4. Soal yang berhenti pada tangga terendah yaitu ‘PENGETAHUAN’. Betapa banyak soal-soal anak kita yang menghandalkan anak kita ‘hafal’. Namun tidak diikuti dengan naiknya tangga kualitas, yaitu pemahaman, aplikasi, analisa, sintesa, evaluasi, dan membuat produk kreatifitas. Sekali lagi hanya berhenti pada PENGETAHUAN dengan konsep pertanyaan klasik Who, What, When, Where.
Contoh:
  • Siapakah penemu listrik …
  • Dan lain-lain ….
  • Dimanakah Sunan Kalijaga di makamkan?
  • Apakah yang dimaksud dengan teori fisika quantum?
  • Pada tahun berapakah terjadi perang Babat?
5. Soal yang tidak mempunyai ‘range’. Artinya pembuat soal tidak memberikan batasan batas materi yang akan diujikan. Atau soal dibuat berbeda dengan ‘range’ yang sudah disepakati.
Contoh:
Guru berkata kepada siswa-siswanya, “Anak-anak minggu depan ulangan bab 1 dan bab 2 ya …” Begitu hari H, soal yang dikeluarkan adalah bab 5. Nah hal ini tidak sesuai dengan range.
6. Soal yang tidak familiar. Artinya, terutama soal matematika, sains dan lainnya harus lah melalui pelatihan reguler setiap harinya. Soal-soal kognitif yang sudah di ‘drill’ setiap harinya itulah mestinya menjadi bahan untuk membuat soal sesunguhnya. Sayang sekali, betapa banyak anak-anak kita waktu mengerjakan soal UASBN /UNAS menemukan jenis dan model soalnya baru diketahui pada detik itu juga. Anak-anak setiap harinya tidak pernah menjumpai soal dengan model seperti itu. Nah inilah yang dimaksud dengan soal kognitif yang ‘tidak familiar’.
Nah, sungguh tulisan ini saya maksudkan untuk memberi pemahaman terutama buat orangtua, agar lebih luas memandang hasil tes anak kita. Agar lebih cerdas menganalisa hasil tes anak kita. Tanpa kita buru-buru menyalahkan anak kita dengan kata-kata ‘bodoh’, ‘bahlul’, dan kata-kata lain yang menyakitkan hati.
Terakhir, saya memohon kepada para orangtua, agar sekolah anak kita tidak ditujukan untuk mencari nilai yang tinggi. Dengan beban bidang studi terbanyak di seluruh dunia, jangan lagi anak kita tertekan dengan adanya ‘pintu gerbang terakhir yang menyerapkan’ yaitu harus lulus tes dengan nilai tertinggi.
Ingat, sekolah itu tempatnya anak berbuat salah. Tempatnya anak tidak bisa. Untuk itulah anak kita disekolahkan agar cerdas dan baik. Sekolah bukan perusahaan yang di dalamnya harus berisi karyawan-karyawan yang menunjukkan produktivitas. Kalau bisa jangan ada kesalahan. Yang sering terjadi adalah konsep di perusahaan ditarik ke sekolah.
Beberapa teman, sudah sadar dan mengatakan kepada saya. “Pak Munif saya sekarang tenang. Saya tidak pernah menghukum dan mencela apalagi memaksa anak saya untuk mendapatkan nilai-nilai yang tinggi di sekolahnya. Saya sekarang lebih banyak berbicara tentang isi dari soal-soal dengan anak saya dan gurunya. Saya ulang kembali, kenapa anak saya salah menjawabnya. Eh ternyata anak saya bisa kok menjawabnya, meskipun dengan cara yang lain dan unik.

TERNYATA BANYAK KELAS GEMUK (40 SISWA) DI SINGAPURA


By Munif Chatib
Begitu tiba di sekolah South View Primary School saya sempat kaget kala dipersilahkan melihat bagaimana pembelajaran di sebuah kelas. Saya masuk di kelas 5 Primary (SD), siswanya belajar bidang studi matematika. Kaget sebab sangat banyak jumlah siswanya, sekitar 40 siswa perkelas. Saya langsung menghampiri Dr. Anthony Loo sebagai master training dalam program ini dan menanyakan apakah jumlah siswa yang banyak hanya di kelas ini atau juga terjadi di kelas lainnya? Dr. Loh menjawab jumlah 40 siswa rata-rata ada pada semua kelas. Dan ini sudah standart.

Dalam hati saya menduga akan melihat sebuah pembelajaran yang kacau atau siswanya seperti robot. Guru akan terus memberikan instruksi agar efektif dengan banyak siswa. Namun ternyata bukan itu yang saya lihat. Seorang guru masuk kelas, memberi pengantar selama 10 menit. Pengantar itu ternyata adalah problem matematika yang harus diselesaikan. Guru tersebut memberitahukan cara menyelesaikannya. Saya memperhatikan betul, ternyata guru mengajarkan ada dua cara menyelesaikan masalah itu. Problem matematika yang saya maksud tentang variabel. Saya melihat jam tangan, sudah 15 menit berlangsung, dan guru memberi kesempatan siswanya bertanya. Ada dua orang siswa yang bertanya, dengan cepat dijawab oleh sang guru, sampai-sampai siswa tersebut mengangung-angguk pasti. Saya masih menunggu, apa yang akan dilakukan guru ini kemudian.
Nah ternyata kuncinya adalah pada menit-menit berikutnya, guru langsung membagi siswa menjadi 8 kelompok, masing-masing 5 siswa. Lalu ada 3 kelompok diberikan lembaran soal dengan kode A, 3 kelompok berikutnya dengan kode B, sedangkan 2 kelompok sisanya diberikan lembaran soal C. Kemudian guru tersebut menjelaskan, bahwa 3 kelompok yang mendapat lembaran A diminta menyelesaikan problem dengan solusi A, 3 kelompok yang lain menyelesaikan dengan solusi B dan yang luar biasa, 2 kelompok sisa diminta berpikir untuk menyelesaikan problem dengan solusi yang lain, maksudnya bukan A atau B.
Aba- aba diberikan oleh guru dengan memberikan informasi bahwa soal harus selesai dalam waktu 15 menit sambil menunjukkan jarum jam di belakang kelas. Siswa langsung membentuk kelompok dan mulailah kelas ramai dengan suara-suara siswa berdiskusi.
Saya diperbolehkan menghampiri setiap kelompok dan saya sempat lihat soal yang diberikan guru, ternyata hanya dua soal. Yang menarik, saya melihat terdapat kebingungan pada dua kelompok terakhir yang menerima lembaran soal C. Mereka tampaknya kesulitan. Sesekali menghampiri guru dan bertanya. Saya melihat sang guru hanya berkeliling memperhatikan masing-masing kelompok, sambil sekali-kali mengingatkan batasan waktu.
Begitu waktunya habis, meminta setiap kelompok berhenti berdiskusi, dan seperti yang saya duga, waktunya setiap kelompok presentasi. Tiga kelompok pertama (A) presentasi dalam waktu 5 menit, demikian juga tiga kelompok kedua(B) dan yang paling mengasyikkan adalah kelompok C yang maju namun tidak bisa mempresentasikan apa-apa, sebab mereka belum menemukan solusi selain A dan B.
Ternyata intinya di sini, guru mengambil peran lagi, bagaimana memberikan cara berpikir untuk menemukan solusi yang ketiga. Dan akhirnya mereka berhasil.
Setelah break sebentar, saya langsung mendatangi sang guru, dan bertanya tentang proses belajar selama 40 menit yang barusan berlangsung, tanpa kesulitan guru tersebut mengajar pada kelas yang gemuk. Sambil tersenyum guru tersebut menjawab, ada tiga kunci.
Kunci pertama adalah GROUPING. Bagilah para siswa menjadi group atau kelompok. Setiap saya mengajar, kata guru tersebut, pasti saya bagi menjadi beberapa kelompok. Sebelumnya saya memebrikan semacam prolog atau scene setting tentang materi. Untuk matematika, prolog itu berupa masalah riel sehari-hari dan bagaimana menyelesaikannya. Dalam group mereka mengerjakan kasus lain yang solusinya serupa. Namun selalu saya tantang siswa untuk menemukan solusi yang lain. Biasanya kelompok inilah yang akan menjadi kunci dalam diskusi nanti.
Kunci kedua adalah TIME FRAME. Setiap prosedur yang dilakukan siswa harus dibatasi waktu. Sebab itu saya tidak henti-hentinya mengingatkan batasan waktu kepada kelompok. Time Frame ini sangat penting agar guru dapat mengkontrol seluruh waktu yang ada untuk aktivitas semua kelompok. Kata guru tersebut Time Frame ini bermacam-macam modelnya, saat ini dengan jarum jam. Biasanya saya memakai timer, peluit atau musik.
Kunci ketiga adalah PRESENTATION. Kelompok yang sudah bekerja harus mempresentasikan hasil pekerjaannya. Biasanya kelompok yang mampu menyelesaikan problem matematikanya adalah kelompok yang sudah diberi contoh langkah-langkah pengerjaannya. Presentasi yang menarik biasanya pada kelompok yang diberikan tingkat kesulitan dengan mencari solusi yang lain untuk menyelesaikan tugasnya. Pada bagian inilah yang biasanya seru dan menarik. Mereka diajak untuk mencari sendiri jalan keluar dari sebiha permasalahan matematika.
Saya hanya bisa tersenyum dan mengucapkan selamat kepada guru tersebut atas demontrasi mengajarnya yang mengesankan. Meskipun awalnya saya pesimis mengingat kelas yang gemuk, namun saya melihat ruh management class yang baik sekali. GROUPING, TIME FRAME, dan PRESENTATION. Bisa kita contoh kan?

MANUSIA PEMBELAJAR

Tidak ada satu lembaga pendidikan pun di dunia ini yang mampu menciptakan anak didik menjadi manusia seutuhnya, baik di Indonesia maupun di negara-negara maju lainnya. Lembaga pendidikan, sampai kapanpun hanya bisa menghasilkan anak didik sebatas manusia yang belum selesai. Belum selesai di sini artinya, untuk menjadi manusia yang benar-benar manusia maka manusia harus menjadi manusia pembelajar sepanjang hidupnya sehingga sekolah sebenarnya hanyalah salah satu bagian dari proses panjang tersebut, bukan satu-satunya proses.

Menjadi manusia pembelajar berarti kapan pun dan di manapun manusia bisa belajar dengan segala hal yang berada di sekitarnya. Dia bisa belajar pada hewan, benda mati maupun pada hal-hal yang bagi orang kebanyakan adalah sesuatu yang biasa. Dengan menyadari bahwa batas maksimal kemampuan dari lembaga pendidikan hanyalah sampai pada titik pembentukan manusia yang belum selesai, maka sudah selayaknya apabila semua unsur-unsur pendidikan termasuk iklim keilmuan yang hendak dibangun seharusnya mengarah pada penciptaan anak didik yang memiliki mental alami untuk senantiasa mau belajar.

Naluri ilmiah sebagai manusia pembelajar harus menembus batas ruang dan waktu sehingga tolok ukur sejati dari kesuksesan sebuah lembaga pendidikan terletak pada bagaimana anak didik yang dihasilkan memiliki semangat keilmuan untuk siap belajar pada hal-hal yang berada di luar jangkauan kurikulum sekolah. Mereka bisa belajar pada penggalan pengalaman hidup mereka sendiri, belajar dari peristiwa sehari-hari, dan juga mereka bisa belajar pada benda atau hewan ciptaan Tuhan yang tersebar di muka bumi ini. Bahkan yang tidak kalah pentingnya, mereka akan mampu menciptakan tradisi belajar tidak hanya ketika ada pekerjaan rumah (PR) saja, namun sepanjang hari dan sepanjang usianya mereka akan senantiasa terus belajar dan belajar.

Lantas, yang menjadi pertanyaan mendasar sekarang adalah kenapa belajar itu begitu penting dalam kehidupan manusia? Kemauan dan kemampuan untuk senantiasa belajar merupakan sebuah bentuk pengakuan diri bahwa sebenarnya manusia bukanlah siapa-siapa di hadapan sang pemilik ilmu. Semakin banyak yang diketahui pada dasarnya akan menunjukkan semakin sedikit ilmu yang dimiliki. Maka semakin mampu dan mau belajar, manusia akan semakin menyadari bahwa dirinya bukan siapa-siapa dan tidak punya apa-apa yang layak untuk dibanggakan.

Kesadaran akan ketiadaan ini pada akhirnya akan mengantarkan pada pemahaman bahwa hidup ini (apapun kondisinya), sebenarnya sebuah anugerah yang harus dimaksimalkan untuk mengolah pikiran dan mengolah perasaan. Kemampuan olah pikir dan rasa dalam memandang kehidupan tidak akan datang dengan sendirinya tapi buah dari proses panjang untuk menjadi manusia pembelajar sepanjang hidup.

Kini, sebagai tenaga pendidik yang merupakan bagian dari elemen-elemen dasar pendidikan, kita tidak hanya berkewajiban menjadikan setiap anak didik untuk menjadi manusia pembelajar dalam kehidupan mereka di masa kini dan yang akan datang, namun kita sendiri juga harus menjadi manusia pembelajar terlebih dahulu. Kita tidak hanya mau dan siap untuk belajar dari buku-buku saja, melainkan juga harus mau belajar kepada anak didik sehingga dalam proses pembelajaran di kelas, kita tidak hanya mau mengajar tapi juga mau belajar.

MEMBACA MAKANAN SEHARI-HARI

Ada anak Sekolah Dasar (SD) sedang membaca buku di perpustakaan. Asyik sekali, bahkan ada temannya yang ingin bertanya sesuatu pun tidak dianggapnya. Ia memilih fokus berlayar bersama buku yang sedang dibacanya. Saking terlalu fokusnya, bel tanda masuk pun tidak didengarnya. Itulah membaca. Jika kita menghayati, menyenangi, menjadikannya sebagai hobi, membaca seperti makanan yang lezat. Makanan yang tidak membuat bosan, walau ia santap setiap hari.
Lalu ada yang beralasan membaca itu membosankan, dan membuat kita mengantuk. Alasan itu berjawab karena kita belum terbiasa. Maka wajar, kita menganggapnya bosan dan membuat mata lelah. Ibaratnya ketika berada di lingkungan yang baru kita tempati. Rasanya tidak enak, risih. Tetapi karena setiap hari menempati lingkungan itu, kita menjadi terbiasa. Apalagi kita berusaha enjoy. Membaca pun demikian.
Bahkan ada seseorang yang sangat gemar membaca, sampai ia tidak bisa tidur. Akhirnya ia habiskan waktunya untuk membaca buku yang ia punyai. Lalu, apakah dengan demikian membaca hanya menghabiskan waktu dengan percuma? Jawabannya, tentu tidak. Membaca adalah aktivitas mulia. Karena membaca adalah sebuah anjuran. Tentunya sebagai manusia bisa menempatkan situasi. Membagi waktu antara membaca dan melakukan kewajiban.
Aktivitas membaca untuk sementara ini bagi masyarakat Indonesia masih menjadi aktivitas yang kerap diabaikan. Maka tidak mengherankan jika kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia jika dibandingkan dengan negara lain sangat jauh berbeda. Membaca itu memupuk otak kita, oleh sebab itu membaca itu kebutuhan bagi otak kita. Jika tidak kita pupuk, seperti halnya tanaman akan mudah terserang hama yang mematikan.
Ada anekdot mengatakan demikian, “jalannya orang berduit itu berbeda dengan jalannya orang tak berdiut (miskin)”. Penulis pun memberanikan diri membuat anekdot demikian, “cara bertuturnya orang gemar membaca berbeda dengan bertuturnya orang tak gemar membaca”. Hal itu harus diakui. Orang yang gemar membaca bertuturnya cenderung sistematis dan jika berargumen selalu diselingi dengan referensi tepercaya. Tidak membual alias omong kosong. Tetapi bagi orang yang jauh dari bacaan, pandai ngomong, namun cenderung ‘tong kosong’.
Sayangnya hingga sekarang ini, kaum terdidik (pelajar) enggan menjadikan perpustakaan kota, daerah atau sekolah sebagai tempat paling nyaman. Mereka lebih memilih mengistirahatkan diri ke kantin, pacaran, atau bersendau gurau tidak jelas temanya dengan bergerombol di beberapa sudut tempat. Apakah itu salah? tentu tidak, tetapi akan lebih baik jika waktu luang yang kita punyai digunakan untuk mengasah otak.
Jika kondisi demikian (miskin membaca) semakin berlanjut. Mimpi untuk menyejajarkan diri dengan negara maju, seperti Jepang misalnya, perlu waktu yang sangat lama. Atau lebih kasar lagi, tidak mungkin menyejajarkan diri. Tidak dimungkiri mereka maju karena pendidikan, etos kerja yang tinggi, serta etos ‘membaca’ yang tinggi pula.
Sudah tak terhitung lagi, berapa orang menulis tentang kebiasaan orang Jepang di manapun tempat selalu membiasakan diri membaca. Mungkin penulis menjadi urutan keseribu orang yang menulis tentang hebatnya masyarakat Jepang dalam hal aktivitas membaca.
Sudah tak terhitung pula bukti sukses seseorang berkat aktivitas membacanya yang tergolong tinggi. Lalu apakah kita masih meremehkan budaya baca? Sedari dini, mari sisihkan uang jajan, penghasilan yang kita miliki untuk berburu bahan bacaan. Buku, majalah, browsing, koran, dan lainnya. Jika Anda telah menemukan nikmat dan manfaat dari membaca, ajak orang lain. Mengajak orang untuk melakukan hal baik itu merupakan perbuatan positif.
Dalam agama Islam sendiri, membaca menjadi poin tersendiri dalam amalan ibadah. Tercantum dalam Al Quran surat Al Alaq, berbunyi Iqra’ bismirabbikalladzi khalaq. Yang memiliki arti “Bacalah dengan atas nama Tuhanmu yang menciptakan’. Ayat tersebut menjadi bukti otentik sebagai penguat bahwa aktivitas membaca pun disebutkan di dalam kitab suci yang merupakan kalam Tuhan yang kudus. Ayo membaca, kita buka pintu dunia, kita jelajahi lebat hutan dunia, kita selami dalamnya lautan dan jejahi angkasa raya, kita buka lembar cakrawala.

STRATEGI MENGUASAI KELAS

Pertama: jangan lupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Sebagian dari kita, para guru, biasanya merasa enggan untuk membuat RPP. Kalaupun kita membuatnya, niatnya pun terkadang hanya untuk persiapan jika ada pengawas atau kepala sekolah mengadakan pengecekan perangkat mengajar. Kesalahan niat inilah yang akhirnya berakibat pada keteledoran dalam pengajaran. Oleh karena itu, buatlah RPP untuk diri Anda sendiri!
Kedua: ketua kelas menyiapkan kelas di awal dan di akhir pelajaran.
Satu hal lagi yang tidak kalah penting mengenai kontrol kelas adalah pembiasaan peserta didik untuk membuat pelaporan baik sebelum pelajaran dimulai atau pun sesudah pelajaran berlangsung. Laporan ini juga memudahkan guru untuk melakukan kontrol kelas. Berikut contoh pelaporannya.
Ketua kelas melapor. “Lapor, peserta didik kelas … berjumlah … lengkap siap mengikuti pelajaran ….”
Atau bila tidak lengkap. “Lapor, peserta didik kelas … berjumlah … tidak masuk … keterangan … siap mengikuti pelajaran….”
Ketiga: mengawali pelajaran dengan informasi aktual/permainan.
Saat Anda memasuki kelas jangan memulai pelajaran terlebih dahulu. Sebab, bisa jadi siswa Anda sedang merasa masih capek dengan pelajaran sebelumnya atau cuaca sedang membuat mereka gerah. Hal yang harus Anda lakukan adalah dengan membacakan berita terbaru, cerita lucu, buku terbaru, film, atau tebakan-tebakan sederhana. Kegiatan ini bisa Anda lakukan selama lima sampai dengan 10 menit. Saat mereka sudah merasa terhibur, baru mulailah pelajaran.
Keempat: Media Pembelajaran.
Setelah Anda membuat RPP, tentunya Anda bisa memperkirakan kebutuhan media yang hendak Anda gunakan. Media yang sudah Anda dapatkan selanjutnya diurutkan sesuai dengan kronologi pembelajaran. Kita sekarang sudah memasuki era multimedia. Jadi, tidak ada alasan lagi untuk tidak mengikuti perkembangan informasi dan teknologi. Walaupun demikian, bukan berarti kita harus memaksakan keadaan sekolah kita untuk memasang internet atau pengadaan laptop. Media pembelajaran bisa berupa apa saja. Misalnya berupa buku, kliping, artikel internet, dan sebagainya.
Kelima: perlunya permainan.
Anda tentunya bisa merasakan situasi di mana siswa Anda merasa tidak nyaman di kelas. Tanda-tandanya antara lain malas, mengantuk, berbicara dengan temannya, atau membuat gaduh. Pada saat inilah Anda harus menghentikan pembelajaran dan mencoba membuat penyegaran kelas.
Beberapa contoh permainan yang bisa Anda lakukan adalah membacakan anekdot (bisa Anda temukan di www.ketawa.com), instruksikan kepada mereka untuk membetulkan rumus XI + I = X atau menyuruh mereka menebak kode rahasia berikut: >I7VqJ3+ $w$ V>vq 063q 6uVJo vpv.
Jawabannya adalah dengan membalik kertas ini. Anda harus banyak membaca untuk mengumpulkan permainan-permainan semacam ini.
Keenam: memberi siswa poin.
Poin menjadi semangat anak-anak untuk aktif. Poin merupakan salah satu bentuk rewards.
Ketujuh: perlu ketegasan terhadap peserta didik yang bermasalah.
Disiplin tidak harus keras. Disiplin adalah bagaimana seorang guru menegakkan aturan secara konsisten. Apabila terdapat satu peserta didik yang bermasalah tetapi tidak segera ditindak, maka ia akan menjadi seperti ulat dalam apel: merusak bagian-bagian baik yang lainnya.
Itulah ketujuh strategi yang bisa Anda coba di kelas. Selamat mengajar.

RASI BINTANG

Darimana asal-usul zodiak?
Zodiak adalah rasi bintang istimewa. Pada tahun 1928, organisasi Himpunan Astronomi Internasional telah menetapkan penggunaan 88 buah rasi bintang untuk keperluan pemetaan langit.
Bentuk dari sekumpulan bintang lalu secara sederhana kita sebut sebagai rasi atau konstelasi. Dari ke-88 buah rasi bintang tersebut, terdapat beberapa buah yang menempati tempat istimewa, yang membuatnya dikenal sebagai zodiak.
zodiak.jpg
Saat rasi bintang ini menempati ekliptika tertentu, lantas ia akan disebut sebagai zodiak. Bidang khatulistiwa langit dan ekliptika diketahui masing-masing tampak berputar dalam arah yang berlawanan. Kedua ekuinoks yakni the first point of Aries dan the first point of Libra tidak selalu berada di tempat yang sama di bidang ekliptika setiap tahunnya. Kedua ekuinoks bergerak (berpresesi) melalui zodiak-zodiak.

DAMPAK HANCURNYA REAKTOR NUKLIR DI JEPANG

Badan Keselamatan Nuklir, otoritas yang menangani masalah nuklir di Jepang, mengatakan, setidaknya 160 orang diduga terpapar radiasi nuklir.

Pasca gempa besar dan terjangan tsunami dahsyat yang memorak-porandakan sejumlah wilayah di pantai timur, Jepang kini menghadapi ancaman baru, yaitu bocornya Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Fukushima Daiichi yang dioperasikan Tokyo Electric Power Co (Tepco).

Badan Keselamatan Nuklir, otoritas yang menangani masalah nuklir di Jepang, mengatakan, setidaknya 160 orang diduga terpapar radiasi nuklir. Sementara itu, kantor berita Jiji tanpa mengutip sumber mengatakan, 19 orang telah terpapar radiasi nuklir.

Pihak Pemerintah Jepang sendiri belum memberikan pernyataan resmi terkait korban yang terpapar radiasi nuklir. Juru Bicara Pemerintah Jepang Edano mengatakan, radiasi yang disebabkan ledakan memang melampaui batas normal. Namun, hal tersebut tak memiliki ancaman langsung terhadap kesehatan manusia.

Warga pun mulai memeriksakan diri apakah mereka terpapar oleh radiasi nuklir. “Awalnya saya khawatir dengan gempa bumi. Namun, kini saya khawatir dengan radiasi. Saya tinggal di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Saya ke sini untuk memeriksakan diri, apakah saya baik-baik saja,” kata Kenji Koshiba, pekerja konstruksi di pusat gawat darurat di Koriyama.

Hingga saat ini, Pemerintah Jepang sebagaimana dilansir Reuters telah mengevakuasi 110.000 orang yang tinggal di wilayah dengan radius 20 kilometer dari lokasi PLTN. Edano mengatakan, pemerintah telah berupaya untuk mengurangi risiko radiasi nuklir. Pemerintah, tambahnya, fokus mengeluarkan udara dari reaktor nuklir yang rusak akibat gempa 8,9 magnitude yang disertai tsunami tersebut.

Selain itu, saat ini jutaan penduduk Jepang tak memiliki akses terhadap air bersih dan listrik. Sejak Jumat, mereka hanya bertahan hidup dengan mi instan. Hal ini juga dialami sejumlah tempat penampungan dan rumah sakit. “Saat ini tetap belum ada air atau listrik. Padahal, kami memiliki pasien yang perlu dirawat,” kata pejabat RS Sengen General Hospital, Ikuro Matsumoto.

Pemerintah Jepang telah mempersiapkan langkah antisipasi dini terhadap ancaman radiasi yang ditimbulkan. “Kehancuran parsial sangat mungkin terjadi. Kami memang tidak dapat secara langsung memeriksa bagian dalam reaktor, namun kami telah mengambil langkah-langkah dengan asumsi reaktor tersebut mengalami kehancuran parsial,” kata Edano kepada wartawan.

Belum ada informasi potensi tingkat radiasi yang ditimbulkan akibat kemungkinan terjadinya kerusakan parsial tersebut. Belum ada informasi pula terkait adanya peningkatan pengosongan wilayah di sekitar PLTN. Hingga saat ini, 170.000 orang pada wilayah dalam radius 20 kilometer telah dievakuasi. Pakar nuklir Rusia, Yaroslov Shtrombakh, mengatakan, kebocoran reaktor nuklir itu dipastikan tidak akan separah yang pernah terjadi di Chernobyl, Rusia, pada tahun 1986.

Sementara kelompok lingkungan Greenpeace sudah mengingatkan kerusakan akibat gempa pada dua pembangkit nuklir Jepang berarti negara itu berada di tengah krisis nuklir dengan konsekuensi yang mungkin mengerikan. ”Pembebasan sejumlah radiasi ke atmosfer membawa risiko kesehatan bagi masyarakat di daerah sekitarnya,” kata Kepala Kampanye Nuklir Greenpeace Internasional Jan Beranek, sebagaimana dilaporkan AFP.

”Fakta bahwa pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima bocor atau dengan terpaksa sengaja melepaskan gas yang terkontaminasi dari reaktor ke atmosfer menandakan bahwa semua proteksi fisik yang seharusnya mampu mengisolasi aktivitas radioaktif dari lingkungan telah gagal. Perlu peringatan berapa banyak lagi hingga orang mampu memahami bahwa reaktor nuklir secara inheren berbahaya?” kata Beranek.

”Kami diberi tahu oleh industri nuklir bahwa hal-hal seperti ini tidak dapat terjadi dengan reaktor modern, tetapi saat ini Jepang berada di tengah krisis nuklir dengan konsekuensi potensial yang mengerikan. Sementara fokus segera saat ini adalah untuk meminimalkan pelepasan radiasi dan menjaga masyarakat setempat tetap aman, ini merupakan satu peringatan akan risiko yang melekat pada pembangkit nuklir, yang selamanya akan selalu rentan terhadap kombinasi berpotensi mematikan akibat kesalahan manusia, kegagalan desain dan bencana alam,” katanya.

Hancurnya reaktor nuklir Jepang dampaknya, Jepang yang biasa gemerlap pun mengalami krisis listrik. Alhasil, Jepang berencana melakukan pemadaman listrik bergilir. “Di bagian timur negara ini cenderung menghadapi masalah kekurangan listrik setelah gempa bumi lalu,” ujar Menteri Ekonomi, Perdagangan dan Industri Banri Kaieda dalam jumpa pers seperti dilansir dari AFP, Minggu (13/3).

Wilayah timur ini dilayani perusahaan listrik Tokyo Electric Power (Tepco) dan Tohoku Electric Power. Dalam kasus Tepco, akan dibagi untuk melayani 5 blok dan setiap wilayah akan digilir pemadaman setiap 3 jam sehari, demikian dikatakan Badan Energi dan Sumber Daya Alam. “Jadwal pemadaman diharapkan akan berlanjut beberapa minggu,” ujar Kepala Badan Energi dan Sumber Daya Alam Tetsuhiro Hosono. Hosono menambahkan Tepco diharapkan akan memenuhi 25 persen pasokan listrik dari total suplai energinya per tahun.

Untuk Tohoku Electric Power Co, yang melayani bagian utara Pulau Honshu, skala pasokan listrik diharapkan tergantung seberapa cepat wilayah dan industrinya bisa dibangun kembali. Prospek langsung untuk industri tenaga atom Jepang merupakan perhatian utama menyusul kebocoran radioaktif dan ledakan di pabrik pada hari Sabtu. Industri nuklir Jepang menyediakan sekitar 30 persen dari kebutuhan listrik Jepang. Secara keseluruhan, 11 dari sekitar 50 reaktor nuklir di Jepang, terletak di wilayah yang terkena dampak terburuk, ditutup setelah gempa. *

DAMPAK HUJAN ASAM

Hujan Asam yang Memusnahkan Tanaman
Abdur Rahman Al-Wasithi
Dari: 100 Hadits Tentang Nubuat Akhir Zaman
Az-Zahra Mediatama
Hal. 96-101
 
 Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
"Tidak akan tiba hari kiamat hingga manusia dihujani dengan hujan secara merata, tetapi bumi tidak menumbuhkan sesuatu."1)
Revolusi industri yang ditandai dengan ditemukannya mesin uap telah menjadi babak baru bagi beragam penemuan-penemuan penting lainnya. Dan abad 20 ini telah menjadi bukti betapa ramainya penemuan-penemuan teknologi susulan, dan berikutnya telah mendorong mereka untuk mengkonsumsi bahan bakar fosil lebih banyak dari sebelumnya.  Sejak tahun 1950 sampai 1979, konsumsi energi fosil dunia telah meningkat empat kali lipat dan terus meningkat sekarang ini. Efek yang ditimbulkan dari pembakaran bahan-bahan ini dalam industri dan mobil bercampur dengan uap air dan oksigen di atmosfer dan membentuk asam nitrat serta asam belerang. Kalau larut dalam hujan, asam-asam ini jatuh ke tanah dengan akibat hancumya hutan, tanaman pangan, dan berbagai organisme yang hidup di air tawar.2)
Pertumbuhan jumlah penduduk dan peningkatan peradaban umat manusia yang diiringi dengan meningkatnya konsumsi bahan bakar fosil telah memunculkan masalah krisis ekologi besar berupa pencemaran lingkungan skala dunia. Dalam batubara terdapat belerang atau sulfur (S) yang apabila dibakar berubah menjadi oksida sulfur. Masalah utama berkaitan dengan peningkatan penggunaan bahan bakar fosil adalah dilepaskannya gas-gas polutan penyebab hujan asam, seperti carbon dioksida (C02), oksida nitrogen (NOx) dan oksida sulfur (SOx).
Sebagian kota besar utama di dunia dewasa ini harus berjuang menanggulangi masalah pencemaran udara tingkat tinggi yang menjurus ke arah terjadinya hujan asam. Di samping itu, kabut asap pencemar udara dari kota-kota besar dan industri dapat terbang menuju ke tempat-tempat lainnya. Sebagai contoh adalah Los Angeles dan California yang tidak memiliki komplek industri berat dan hanya sedikit membakar batubara atau minyak bumi. Namun kedua kota tersebut merupakan kota besar yang paling dilanda asap dan kabut sejak sekitar tahun 1950an. Sejak tahun 1960-an, masalah ini telah menjadi lebih komplek.
Pada tahun 1970-an, para ilmuwan dari AS dan Kanada menemukan bahwa hujan dan salju asam jatuh di seluruh wilayah AS bagian timur, di Kanada bagian tenggara, dan di beberapa wilayah sekitar kota-kota di bagian barat. Pada tahun 1980-an, hujan asam menyebar ke wilayah bagian selatan dan barat hingga menyebrangi AS. Para ilmuwan telah berhasil mempelajari penyebab terjadinya hujan asam tersebut. Sumber S02 yang paling utama adalah di Mississipi bagian hulu dan lembah Ohio, keduanya merupakan tempat yang banyak terdapat pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara.
Senyawa SO2 yang dilepaskan ke udara berubah menjadi asam sulfat dalam waktu 2-3 hari, dan hujan asam yang diakibatkannya dapat Il)encapai wilayah sejauh 800-1.600 km.
gambar: visual.merriam-webster.com
Masalah hujan asam mulai terasa sejak awal tahun 1950-an.  Masalahnya menjadi bertambah parah karena jumlah total SO2 yang terlepas ke udara terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah permintaan energi listrik. Sebagai akibatnya adalah terjadi peningkatan secara cepat derajat keasaman hujan sejak tahun 1960-an. Keadaan ini telah menimpa AS bagian timur laut serta beberapa bagian Kanada sebelah timur, Norwegia bagian selatan dan Swedia. Di daerah-daerah tersebut, sungai dan danau telah menjadi terlalu asam bagi ikan dan kehidupan lainnya. Hujan asam dapat menarik keluar logam beracun seperti merkuri dari sedimen sehingga masuk ke dalam air dan membahayakan kehidupan.
Sesungguhnya Allah telah menjadikan air sebagai sumber utama kehidupan. Kehidupan bumi sepenuhnya sangat tergantung dengan ketersediaan air bersih yang ada. Di dalam Al-Qur' an Allah menjelaskan:
"Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran". (QS Al-A'raf [7]:57)
"Dia lah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih, agar Kami menghidupkan dengan air itu negeri (tanah) yang mati, dan agar Kami memberi minum dengan air itu sebagian besar dan makhluk Kami, binatang-binatang ternak dan manusia yang banyak". (QS Al-Furqan [25]:48-49)
Meski Allah Azza wa Jalla menyebutkan bahwa air hujan itu turun dari langit, namun setiap orang telah mengetahui bahwa air yang turun dari langit itu sebenarnya berasal dari bumi.3) Secara alami, hujan memunyai derajat keasaman pH sekitar 5,6. pH normal air hujan adalah 5,6 karena adanya CO2 di atmosfer. Apabila hujan dengan pH kurang dari 5,6, apalagi jika sampai di bawah 5,1 maka akan berdampak negatif dan menyebabkan berbagai kerusakan, di antaranya sebagai berikut.
 Dapat mematikan berbagaijenis tanaman dan binatang.
 Pada ibu hamil, akan menyebabkan bayi lahir prematur dan meninggal.
 Memengaruhi kualitas airpermukaan
 Merusak tanaman
 Air hujan asam itu bersifat korosif sehingga merusak material dan bangunan seperti properti, monumen/patung, bahan logam seperti mobil atau komponen bangunan mobil.
 Melarutkan logam-logam berat yang terdapat dalam tanah sehingga memengaruhi kualitas air tanah dan air permukaan.
Semua efek yang ditimbulkan itu bukan hanya memunculkan efek material, namun juga akan berdampak secara sosial. Betapa miripnya kondisi itu dengan apa yang disebutkan dalam berbagai nubuwat.  Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
"Kiamat tidak akan terjadi sehingga langit menurunkan hujan, tapi air hujan ini tidak bisa mendorong dibangunnya rumah-rumah tanah liat yang kuat dan tidak menyebabkan berhimpunnya penduduk perkampungan, namun hanya bisa mendorong dibangunnya rumah-rumah dari bulu. 4)
Dan diriwayatkan dari Anas ra, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
"Tidak akan tiba hari kiamat hingga manusia dihujani dengan hujan secara merata, tetapi bumi tidak menumbuhkan sesuatu. "'5)
Dalam hadits dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
"Paceklik bukanlah berarti kalian tidak mendapat hujan, tetapi paceklik adalah, kalian mendapat hujan, tetapi tanah tidak bisa menumbuhkan apa-apa.6)
 WaIlahu a'lam bish shawab, nampaknya tidak ada penjelasan yang lebih tepat tentang hakikat hujan yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam riwayat - riwayat di atas melainkan hujan asam ini.




Republika, Kamis 23 April 2009, hal. 15



 
1. Musnad Ahmad (IIl/140, Muntakhab Kanz).
2. Jika seseorang melakukan pembakaran pada energi fosil berupa batubara dan minyak, maka akan keluar emisi SO, partikel, dan nitrogen oksida. SO2 dan NO. Jika gas-gas tersebut bereaksi di udara, maka terbentuklah polutan sekunder seperti NO2, asam nitrat, butiran asam sulfat dan garam nitrat serta garam sulfat. Polutan yang jatuh ke bumi akan menjadi hujan asam, embun asam, dan partikel asam.
3. Air yang turun dari langit, baik berupa hujan maupun salju, merupakan bagian dari suatu siklus yang terus berulang. Siklus ini mulai saat air menguap dari permukaan bumi dan menyatu dengan udara. Udara membawa uap itu naik. Makin tinggi udara, makin turun suhunya. Uap lantas berubah menjadi butir-butir air. Butir air ini begitu kecil sehingga dapat melayang di udara berbentuk awan. Jutaan butir air lalu bergabung membentuk butiran yang lebih besar. Kalau sudah terlalu berat, butir~butir air itu jatuh ke tanah sebagai hujan. Lalu siklus di atas berulang kembali. Jika udara terlalu dingin, kandungan air di awan akan membeku menjadi serpihan salju atau es.
4. HR. Ahmad. Ahmad Syakir menshahihkan isnadnya.
5. Musnad Ahmad (III/140, Muntakhab Kanz).
6. HR. Muslim (7475)