MANUSIA PURBA TRINIL NGAWI MUSEUM MANUSIA PURBA NGAWI DI JAWA TIMUR


Jelajah Situs Purba di Trinil

 Ratusan tahun silam di Tanah Jawa, tepatnya di sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo, sebuah sejarah besar tentang manusia purba terkuak.Dari penggalian yang dilakukan Eugene Dubois, seorang dokter berkebangsaan Belanda ditemukan beberapa pecahan batu. Mulai dari gigi geraham, tulang paha, tengkorak manusia purba dan binatang.Upaya Dubois tidak bisa dibilang asal-asalan. Dirinya waktu itu, tertantang dengan teori Human Origin, yang dikemukakan Charles Robert Darwin (1809-1882). Dalam teori itu menyatakan bahwa manusia ini berasal dari evolusi kera.
Berdasar teori Human Origin, Dubois meninggalkan negeri kincir angin menuju Indonesia pada tahun 1887. Selain itu ada dua alasan yang dijadikan acuannya kali ini. Pertama, berdasarkan buku The Descent of Man, menceritakan bahwa nenek moyang manusia seharusnya hidup di daerah tropis. Karena manusia purba sudah kehilangan bulu selama perkembangannya.
Alasan kedua, di Hindia-Belanda (Indonesia) banyak gua-gua, jadi tak mustahil akan ditemui fosil-fosil atau bekas kehidupan manusia purba.
Beberapa teori dan alasan itulah Eugene Dubois, bertekad untuk membuktikan penelitiannya dengan menggali di beberapa daerah. Khususnya yang ada di Pulau Jawa di sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo. Namun, sebelumnya Dubois meneliti di Payah Kumbuh, Sumatera, tahun 1887.
Pada tahun 1891 Eugène Dubois, yang adalah seorang ahli anatomi menemukan bekas manusia purba pertama di luar Eropa yaitu spesimen manusia Jawa. Pada 1893 Dubois menemukan fosil manusia purba Pithecanthropus erectus serta fosil hewan dan tumbuhan purba lain.
Menurut penjelasan Indro Waluyo, Ketua penanggung jawab Museum Trinil, Ngawi, penggalian Dubois saat itu di sepanjang muara sungai, tepatnya di Desa Kawu, Desa Ngancar, dan Desa Gemarang. “Tiga tempat itulah yang menjadi penggalian manusia purba,” kata pria berusia 52 tahun ini.
Di samping itu, papar Indro lagi, keberadaan ketiga desa itu yang berada di pinggiran aliran sungai. Sehingga disebut dengan istilah Trinil. Yang konon, artinya tiga desa di muara Sungai Bengawan Solo.
MuseumUntuk mempelajari fosil-fosil manusia purba, dari semua penelitian dan penggalian yang dilakukan Dubois. Maka, dibuatlah replika fosil manusia purba yang kini disimpan di dalam sebuah museum. Sedangkan fosil yang asli dibawa dan disimpan di Belanda.
Indro Waluyo menjelaskan kembali, jika semua fosil yang ada di dalam museum adalah replika belaka. Yang mana terbuat dari bahan fiberglass (atom) dengan patokan ukuran dan bentuknya menyerupai asli.
Hingga kini museum itu dikenal dengan Museum Trinil, berlokasi di Dukuh Pilang, Desa Kawu, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi, Propinsi Jawa Timur. Atau kurang lebih 13 kilometer arah barat pusat kota Ngawi.
Untuk mencapai lokasi ini dapat ditempuh dengan semua jenis kendaraan. Sayang sekali di jalan arteri yang bisa menjadi petunjuk utama, tidak ada satupun patokan yang bisa mengarahkan kita ke Museum.
Museum yang berdiri di atas lahan seluas 3 hektar itu, diresmikan Gubernur Jatim Soelarso, pada 20 Nopember 1991. Kini di bawah kelolah Balai Pelestarian Purbakala (BP-3) Trowulan, Mojokerto. Dan situs ini dibangun atas prakarsa dari Teuku Jacob, seorang ahli antropologi dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Situs Museum Trinil dalam penelitian merupakan salah satu tempat hunian kehidupan purba pada zaman Pleistosen Tengah, kurang lebih 1 juta tahun yang lalu. Situs ini sangat penting sebab di sini selain ditemukan data manusia purba, juga tersimpan bukti konkrit tentang lingkungannya, baik flora maupun faunanya.
Masuk ke dalam museum terdapat ruangan yang dipenuhi dengan tulang-tulang manusia purba. Antara lain fosil tengkorak manusia purba (Phitecantropus Erectus Cranium, Karang Tengah Ngawi), fosil tengkorak manusia purba (Pithecantropus Erectus Cranium Trinil Area), fosil tulang rahang bawah macan (Felis Tigris Mandi Bula Trinil Area), fosil gigi geraham atas gajah (Stegodon Trigonocephalus Upper Molar Trinil Area), fosil tulang paha manusia purba (Phitecantropus Erectus Femur Trinil Area), fosil tanduk kerbau (Bubalus Palaeokerabau Horn Trinil Area), fosil tanduk banteng (Bibos Palaeosondaicus Horn Trinil Area) dan fosil gading gajah purba (Stegodon Trigonocephalus Ivory Trinil Area).
Disamping itu masih ada beberapa fosil tengkorak Australopithecus Afrinacus, Cranium Taung Bostwana Afrika Selatan, Homo Neanderthalensis Cranium Neander Dusseldorf Jerman dan Homo Sapiens Cranium.
Selain fosil-fosil tengkorak yang telah disebutkan, hal menarik lainnya adanya sebuah tugu tempat penemuan manusia purba. Dulu tak banyak orang tahu akan makna tugu itu, bahkan kemungkinan besar bisa rusak kalau tidak dpelihara oleh seorang sukarelawan yang ada di sana.
Di tugu putih yang ada di pojok museum itu bertuliskan P.E. 175M.ONO 1891/93. Tulisan itu menjelaskan titik pengamatan dari arah penggalian Pithecantropus Erectus di Sungai Bengawan Solo, dengan jarak 175 meter arah timur laut pada tahun 1891/93.
FasilitasSebagai salah satu tempat wisata minat khusus, dalam hal ini cagar budaya. Museum Trinil saat ini telah didukung beberapa fasilitas penunjang yang diperuntukkan bagi wisatawan.
Seperti ada lahan parkir yang luas, pendopo, kantor informasi, tempat istirahat bagi tamu yang ingin mengadakan penelitian beberapa hari, tempat makan, mushola, dan masih banyak fasilitas menarik lainnya.
Dari keterangan Suryono, staf penjaga museum pada EastJava Traveler mengatakan karena museum ini adalah tempat studi yang sangat penting. Maka, tidak boleh sembarangan orang yang datang ke sini. “Jadi tujuan mereka benar untuk penelitian atau sekadar mencari informasi tentang arti museum,” imbuh pria berusia 35 tahun ini.
Mengetahui kelengkapan wawasan yang dapat diperoleh. Juga didukung sarana dan fasilitas yang begitu memadai, tak salah bila pengunjung yang datang ke sana cukup banyak. Salah satunya M. Irfan, 33 tahun, pengunjung asal Solo. Dia mengaku datang ke museum ini untuk mengetahui detail cerita penemuan manusia purba. “Selain itu untuk mendapatkan nuansa rekreasi yang berbeda saja,” tambahnya.
Untuk pengunjung yang datang ke museum, Suryono menambahkan jika jumlah yang berkunjung ke museum setiap akhir pekan bisa dibilang selalu meningkat.
Bahkan menurut Indro Waluyo, mereka tak hanya datang dari dalam kota saja. Tapi ada yang dari luar kota bahkan luar negeri. Kalau luar kota ada yang datang dari Surabaya, Gresik, Jombang, Kediri, Nganjuk, Madiun, Magetan, Solo, Yogyakarta, Semarang, dan masih banyak lainnya.
Sedangkan wisatawan asing yang datang ke sini. Antara lain dari Jepang, Prancis, Belanda, Jerman, Amerika Serikat, dan beberapa negara luar lainnya. “Mereka terkadang menginap sampai tiga hari di sini, untuk melakukan penelitian yang mendalam,” tukas Indro.
naskah : m. ridloi | foto : wt atmojo

0 komentar:

Posting Komentar