Makna Pengalaman Mati Suri Near-Death Experience: Indonesian Cases

Bagaimana subjek mengartikan pengalaman mati surinya? Apakah pengalaman yang menyenangkan menimbulkan efek yang membahagiakan, dan sebaliknya pengalaman yang mengerikan menimbulkan efek yang sebaliknya? Hasil penelitian Atwater (1992) menyimpulkan bahwa pengaruh terbesar terletak pada makna atas pengalaman tersebut bagi subjek, bukan pada tipe pengalaman yang dijumpainya. Pengalaman yang terklasifikasikan sebagai menyenangkan dapat diartikan positif oleh subjek yang satu atau sebaliknya negatif atau mengerikan oleh subjek yang lain. Pengalaman yang mengerikan dapat menjadi pengalaman pribadi yang positif jika subjek terinspirasi untuk membuat perubahan-perubahan penting dalam hidup mereka karena pengalaman tersebut. Sebaliknya pengalaman yang menyenangkan atau bahkan yang bersifat transenden dapat memiliki makna yang negatif, karena yang bersangkutan tidak siap, tidak terbiasa dengan kemungkinan-kemungkinan alternatif mengenai realitas, dan juga tidak mau merubah pandangan hidupnya yang telah pasti. Sebagai contoh, cahaya di akhir terowongan dapat menimbulkan kengerian pada seseorang sementara pada bagi yang lain merupakan sesuatu yang mengundang, seperti halnya suara-suara atau kilatan cahaya dalam kegelapan, atau bahkan jika tidak ada sesuatu yang mengancam dapat dirasakan sebagai suara atau cahaya. Melewati cahaya yang terang benderang menuju sebuah pemandangan baru yang luas bagi seseorang merupakan suatu kejutan yang luar biasa, khususnya jika subjek menyaksikan aspek penciptaan dan dunia di dalam dunia, bahkan jika apa yang dialami tersebut tidak menimbulkan risiko pada subjek. Bertemu dengan makhluk yang bercahaya dapat menjadi sebuah tipuan setan atau bentuk hukuman, khususnya jika subjek lebih fundamentalis dalam pandangan agamanya.

Terlepas dari subjektivitas pemahaman bagi mereka yang mengalaminya, mati suri dapat dianggap sebagai proses yang sedang berlangsung pada spesies manusia dan bukan merupakan kejadian yang berdiri sendiri-sendiri. Pengalaman mati suri dapat dianggap sebagai suatu proses pertumbuhan jiwa manusia dari suatu tahapan kesadaran kepada tahapan kesadaran berikutnya.

Kasus Subur bin Saman dan Budhi Sarwono dari Indonesia merupakan salah satu contoh yang dapat diketengahkan di sini:

Subur Bin Saman

Karena perilaku Subur di penjara dianggap baik, ia mendapat remisi beberapa kali, sampai akhirnya dibebaskan pada tahun 2001. Ia kembali ke masyarakat dan bekerja sebagai montir di daerah Jakarta Selatan, tak jauh dari rumah almarhum Tan Kiong Liem.

Aku bersimpuh di kaki istri, anak-anak dan keluarga besar Tan Kiong Liem. Aku minta maaf dan mohon ampunan mereka. Kuceritakan semua kejadian dan apa yang kulihat saat aku mati suri. Alhamdulillah mereka memaafkan aku dan aku bersyukur mereka tak menyimpan dendam atas kejadian itu. Tapi pada mereka aku berjanji, tidak akan melakukan kejahatan lagi. Jangankan membunuh, mencubit orang lain pun, kuharamkan untuk dilakukan.”

Budhi Sarwono

Setelah pengalaman mati surinya, Budhi sadar akan kekhilafan masa lalunya. Ia membuang semua obat terlarang yang menjadi bisnisnya, meskipun sempat diprotes oleh istrinya. Ia ingin memulai hidup dari awal, serba bersih dan baru. Yang mengherankan para psikiater, Budhi dapat begitu saja sembuh dari kecanduan narkoba, sehingga ia mendapat surat keterangan bebas narkoba.

Sesudahnya, ia belajar agama Islam dengan lebih mendalam pada seorang kyai. Budhi yang insyaf dan menjadi muallaf saat ini dijuluki sebagai ustadz, meskipun ia sendiri menolaknya. Ia mengungkapkan:

“Di mata Tuhan, kita semua sama. Jadi janganlah mendewakan jabatan, harta, atau pangkat. Yang penting dalam hidup ini cuma ketengan hati dan jiwa.”

Atwater, Brinkley, mau pun Shuterland secara eksplisit menyatakan bahwa mereka memiliki missi khusus setelah pengalaman mati suri mereka. Atwater mendapat tugas untuk menulis tiga buah buku dari tiga kali pengalaman mati surinya. Brinkley menjadi pendamping orang-orang yang mendekati ajal. Dengan bergurau Brinkley mengatakan bahwa ia memiliki gelar DOA (Death On Arrival) karena pendampingan yang dilakukannya terhadap orang-orang yang akan meninggal. Melalui vision yang dilihat dan dialaminya, Shuterland mendapati bahwa missinya adalah menyebarkan informasi mengenai bagaimana kehidupan setelah kematian pada anak-anak. Tujuannya adalah agar para orangtua yang ditinggalkan lebih kuat dan lebih dapat menerima kenyataan tersebut, karena sesungguhnya kehidupan mereka di alam sana penuh kebahagiaan dan kedamaian.

Menurut Atwater (1996) dibutuhkan minimum tujuh tahun bagi kebanyakan mereka yang mengalami mati suri untuk mengintegrasikan pengalamannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian, seseorang dapat menunda atau menyangkal pengalamannya.

Efek Mati Suri

Pengalaman mati suri menimbulkan efek yang signifikan pada mereka yang mengalaminya (Atwater, 1994, 1999; Ring dan Valarino, 1998). Efek tersebut meliputi perubahan psikologis, fisiologis, dan perkembangan spiritual. Mereka juga memiliki kemampuan psikis seperti menyembuhkan, dapat membaca pikiran orang lain, atau kemampuan melihat ke depan.

Perubahan Psikologis

Ring dan Valarino (1998) menyebutkan bahwa perubahan psikologis serta perilaku mereka yang mengalami mati suri meliputi penerimaan diri, peduli pada orang lain dan semua bentuk kehidupan, anti materialisme, anti kompetisi, menjadi lebih spiritual, haus dan memiliki rasa ingin tahu yang luar biasa akan ilmu pengetahuan, merasakan bahwa hidup ini bermakna, kematian bukan sesuatu yang menakutkan, percaya akan reinkarnasi, percaya akan Tuhan.

Pada saat yang sama mereka tertantang untuk memulai dan memelihara hubungan yang memuaskan, munculnya issu mengenai “inner child”, meyakini adanya suatu tujuan dalam hidup, terbebas dari batasan-batasan dan norma-norma, karismatik, memiliki kekaguman dan kenaifan kanak-kanak, mampu berjarak dan objektif.

Perubahan Fisiologis

Ring dan Valarino (1998) menyebut perubahan fisiologis akibat mati suri sebagai sindrom mati suri, yang meliputi empat hal:

1. Hiper estesia

Kondisi hiper estesia ditandai dengan sangat sensitifnya tubuh terhadap cahaya, suara, kelembaban dan berbagai stimulus atau kondisi lingkungan lainnya. Mereka juga sensitif terhadap rasa dan bau, alergi terhadap obat-obatan dan alkohol, sensitif terhadap listrik (listrik menjadi padam), dapat terjadi arloji digital yang dikenakan menjadi mati.

2. Hipo arousal

Kondisi hipo arousal ditandai oleh penurunan suhu tubuh, penurunan tekanan darah, dan metabolisme tubuh.

3. Perubahan energi dan aktifnya kundalini

Perubahan energi yang terjadi antara lain berhubungan dengan aktifnya kundalini, yaitu aktifnya energi yang terletak di pangkal tulang belakang manusia naik ke atas sepanjang sushumna atau poros tengah tubuh manusia, hingga mencapai mahkota kepala di mana energi tersebut menimbulkan pencerahan mendalam, sukacita yang kuat dan kesadaran utuh yang tiada lagi mempersoalkan dualitas (Johnston, 2001). Kebangkitan kundalini dapat menimbulkan sensasi panas atau dingin.

Perubahan energi terjadi saat subjek memiliki kemampuan menyembuhkan melalui tangannya. Ring menyebutnya sebagai “tangan yang panas” karena dari telapak tangan tersebut mengalir energi yang dapat digunakan untuk menyembuhkan orang lain.

4. Perubahan otak dan saraf

Lebih dari 50% mereka yang mengalami mati suri, mengalami perubahan fungsi saraf. Secara fisiologis jalur saraf mengalami revitalisasi yang selanjutnya berpengaruh pada tingkat kesadaran seseorang. Otak secara fisik juga berubah. Mereka yang mengalami mati suri mengalami transformasi kesadaran yang disebut “brain shift” (Atwater, 1994). Efek “brain shift” ini bersifat universal, dan lebih daripada sekedar perubahan sikap. Berbagai studi yang dilakukan Atwater (1999) menunjukkan bahwa transformasi kesadaran merubah struktur dan kimiawi otak yang memberikan pengaruh baik secara fisiologis mau pun psikologis.

Perubahan ini mempengaruhi proses berpikir. Dari pola berpikir runtut/ selektif menjadi berpikir clustered dan menerima hal-hal yang bersifat ambigu. Mereka memiliki rasa ingin tahu yang luar biasa, mengalami peningkatan kecerdasan, lebih kreatif dan inventif. Mereka mengalami sinestesia (multiple sensing), menjadi vegetarian, serta tampak lebih muda.

Perkembangan Spiritual

Para peneliti mati suri seperti Atwater, Ring dan Valarino, Williams, mau pun Morse, sepakat bahwa pengalaman mati suri membuat seseorang mengalami pertumbuhan dan perkembangan spiritual. Mereka mengistilahkannya sebagai “kurang beragama lebih spiritual”. Mereka meyakini adanya Tuhan sebagai sumber kasih tanpa syarat kepada manusia. Keberadaan dan kebesaran Tuhan diyakini oleh mereka terlepas dari batasan-batasan agama. Mia (dalam Ring dan Valarino, 1998) mengungkapkannya demikian:

“Saya percaya bahwa semua agama hasil dari sumber yang sama. Yang kita bicarakan adalah Tuhan yang sama, apa pun yang kita pilih untuk menamaiNya”

Sementara pada kasus Marty yang dibesarkan dalam tradisi Katolik, mengungkapkannya sebagai berikut:

“Pengalaman mati suri memperkuat perasaan saya mengenai Tuhan, tetapi konsepnya melampaui tradisi Yudeo Kristiani. Saya melihat Tuhan sebagai pencipta alam semesta, berada di luar jangkauan ruang dan waktu. Tuhan tak terbatas, namun sekaligus sangat personal dan penuh kasih. Saya merasakan Tuhan yang penuh cinta, perhatian, dan penuh maaf. Konsep mengenai Tuhan yang bersifat timbal balik dan memberi hukuman serta memasukkan jiwa-jiwa ke dalam api neraka, benar-benar membingungkan saya.”

Ungkapan Atwater (1999) berikut ini menggambarkan hal tersebut:

Agama menstandarkan Tuhan

Spiritualitas mempersonalkan Tuhan

Mistisisme menerima Tuhan sebagai adanya

Kemampuan Paranormal dan Penyembuhan

Hasil studi Atwater (1994, 1999), Ring dan Valarino (1998), Long (2003) menunjukkan adanya kemampuan paranormal dan kemampuan menyembuhkan (healing) setelah pengalaman mati suri. Long menunjukkan bahwa mati suri memiliki efek pada kemampuan penyembuhan,[1] kemampuan psikis lainnya seperti kemampuan membaca pikiran orang lain, precognition atau kemampuan melihat apa yang akan terjadi. Kemampuan-kemampuan ini dimiliki oleh Ibu Asmauli, Atwater, Brinkley, Hannah, Marcella, mau pun Miranda.

Setelah mati suri, Ibu Asmauli merasakan bahwa ia memiliki kemampuan khusus yang tidak dimiliki sebelumnya yaitu kemampuan menyembuhkan serta kemampuan melihat apa yang akan terjadi. Sementara Brinkley mengalami kebingungan karena ia melihat orang-orang yang dijumpainya bagaikan menonton televisi. Ia tahu apa yang ada dalam pikiran orang tersebut karena ia melihatnya semudah melihat gambar pada layar televisi.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengalaman mati suri berpengaruh terhadap perubahan kehidupan seseorang. Namun demikian menurut Chapman (1995), bukan berarti bahwa mereka lebih baik daripada yang tidak mengalaminya. Perbedaannya, mereka melihat hidup sebagai kesempatan bagi pertumbuhan spiritual mereka. Jika sebelumnya mereka ateis, sesudahnya mereka percaya adanya Tuhan. Jika sebelumnya memiliki komitmen terhadap satu agama tertentu, sesudahnya percaya bahwa setiap agama akan membawa seseorang kepada Tuhan, dan mereka percaya bahwa jiwa mereka akan tetap abadi bahkan setelah kematian fisik datang menjemput.

Bagaimana Mengatasi Pengalaman yang Menekan?

Secara umum para pemerhati dan peneliti mati suri menunjukkan ada efek yang positif pada mereka yang mengalami mati suri, baik pengalaman yang menyenangkan mau pun yang tidak menyenangkan. Namun demikian pada sebagian subjek, mereka masih harus berjuang untuk dapat mengatasi berbagai problem psikologis yang membuatnya mengalami ketakutan akan kematian. Mereka seringkali bertanya: ”Mengapa saya? Mengapa saya mengalaminya sementara kebanyakan orang menjumpai pengalaman yang menyenangkan?”

Rommer bersama rekan-rekan peneliti lainnya (Holden dkk., 2003) menyimpulkan bahwa dalam jangka panjang akhirnya mereka yang mengalamai pengalaman menekan menemukan bahwa pengalaman mereka amat bermanfaat. Sebagai contoh: seseorang yang memiliki pola mengisolasi emosi mereka untuk menghindari penolakan dari orang lain, mengalami pengalaman kekosongan yang abadi. Pengalaman mati suri ini menimbulkan wawasan dalam dirinya bahwa isolasi yang tak berkesudahan bukanlah yang benar-benar ia inginkan. Sesudahnya, ia mungkin akan mengembangkan kemampuannya untuk peka terhadap orang lain, menikmati hubungan yang intim dengan orang lain.

Subjek lain melaporkan bahwa ia berjuang mati-matian untuk melawan makhluk jahat dalam proses mati suri yang dialaminya. Untuk yang pertama kalinya dalam hidupnya ia memohon pertolongan Tuhan, dan untuk yang pertama kalinya ia mengalami kehadiran yang murni dan mengalami komunikasi dengan Tuhan.

Keduanya mengatakan bahwa tanpa pengalaman mati suri, mereka tidak akan mengalami perkembangan pribadi mau pun spiritual lebih lanjut. Dengan demikian Rommel menyimpulkan bahwa meskipun mereka yang mengalami pengalaman menekan harus berjuang secara emosional, kebanyakan mereka akhirnya melihat pengalamannya sebagai “rahmat yang tersembunyi.”

Bush (Holden dkk., 2003) memiliki pandangan yang agak berbeda. Ia mengamati bahwa akibat pengalaman yang menekan ini tidak selalu mudah. Ia memberikan contoh subjek yang memohon pertolongan Tuhan tetapi ternyata tidak ada respon. Bush memberikan tiga pola respon atas pengalaman mati suri yang menekan:

1. Adanya perubahan haluan, yaitu mereka yang mengartikan pengalaman mati suri mereka sebagai peringatan, mereka yang mampu menghubungkannya dengan perilaku mereka sebelumnya yang dirasakannya tidak bijaksana atau keliru, sehingga mereka harus merubah kehidupan mereka. Tipe ini secara cepat dapat menyembuhkan dirinya dibandingkan dua tipe berikutnya.

2. Kelompok yang kedua disebut reduksionis. Ia berargumentasi bahwa pengalamannya kurang sah atau kurang nyata dibandingkan pengalaman subjek lain yang menyenangkan. Bush menduga bahwa mereka dengan kategori ini mungkin menemukan kedamaian psikologis, tetapi hanya sementara.

3. Mereka yang membutuhkan waktu lama sekali, bertahun-tahun untuk mencari berbagai cara mengakomodasikan pengalaman mati surinya ke dalam realitas yang lebih mendalam.

Meskipun Bush mengklasifikasikan subjek ke dalam tiga tipe di atas, seperti halnya Rommel, Bush memiliki pandangan yang optimistik: Pengalaman psikospiritual masuk ke dalam neraka juga dialami oleh orang-orang suci sepanjang cerita sejarah, merupakan tema mistik dalam perjalanan kepahlawanan mereka. Mereka yang gigih menemukan berkat, rahmat dari pengalaman mereka, pada akhirnya memiliki potensi untuk menyadari adanya kesatuan yang lebih besar.

Atwater (1997) merekomendasikan lima hal sebagai cara membantu subjek menyesuaikan diri:

1. Adanya partisipasi aktif dari pendengar yang empatetik yang lebih menunjukkan minat daripada tanggapan yang negatif. Berikan subjek waktu yang banyak untuk bercerita. Jika subjek adalah anak-anak, doronglah mereka untuk menceritakannya melalui gambar yang dibuatnya atau melalui peragaan peran.

2. Tidak adanya tekanan untuk melanjutkan rutinitas kehidupan sehari-hari. Biarkan mereka kembali pada kesehariannya dengan mudah. Sementara waktu, jangan harapkan subjek menjadi orang yang sama seperti sebelumnya, dan janganlah terkejut apabila subjek tiba-tiba membuat perubahan yang tidak biasa dalam kehidupan mereka.

3. Membiarkan subjek secara bebas mengeksplorasi ide-idenya dan menanyakan berbagai hal tanpa rasa malu, diolok, atau rasa bersalah.

4. Adanya bentuk-bentuk terapi yang mendukung, bahkan jika hanya sebuah sessi perbincangan keluarga yang diadakan dalam suasana yang tidak menghakimi. Terapi kelompok dengan mereka yang pernah mengalami mati suri merupakan bentuk yang ideal, tetapi dalam hal ini diperlukan hadirnya seorang yang profesional atau orang lain yang peduli untuk memberikan umpan balik secara jernih.

5. Paparan terhadap sebanyak mungkin informasi mengenai fenomena mati suri dan efek sesudahnya, termasuk temuan hasil penelitian ilmiah, buku-buku, serta artikel-artikel.

Sekali subjek menyadari bagaimana normalnya mereka dan normalnya masalah yang mereka alami, semakin cepat mereka menstabilkan efek mati suri dan semakin mudah berintegrasi kembali dengan masyarakat.

Fenomena mati suri menunjukkan bahwa kehidupan tidak berakhir dengan kematian, dan bahwa kematian tidak lain adalah sebuah peralihan tingkat kesadaran dari satu tingkatan keberadaan kepada tingkatan keberadaan yang lain. Subjek dapat memperoleh pemahaman bahwa kehidupan di bumi merupakan hal yang istimewa dan masing-masing dari kita memiliki suatu tugas yang menggambarkan rencana illahi.

Sumber: Mati Suri: Kemanakah Kita Setelah Mati?


[1] Yang dimaksudkan dengan penyembuhan di sini meliputi penyembuhan secara fisik, psikis, sikap hidup, dan bahkan memberikan penyembuhan kepada planet Bumi. Penyembuhan dilakukan melalui sentuhan, secara mental, melalui Reiki, doa, mau pun empati.

0 komentar:

Posting Komentar