Mengukur Jarak Dengan Bintang Cepheid

Di tulisan terdahulu, kita dapat menentukan jarak bintang dengan menghitung paralaksnya. Namun metode paralaks itu hanya dapat digunakan untuk bintang-bintang dekat saja karena teknologi yang kita miliki belum dapat menghitung paralaks dengan ketelitian tinggi. Jarak terjauh yang bisa diukur dengan metode paralaks hanya beberapa kiloparsek saja. Lalu bagaimana kita menghitung jarak bintang-bintang yang lebih jauh? Atau bahkan menghitung jarak galaksi-galaksi yang jauh? Salah satu caranya adalah dengan menggunakan hubungan periode-luminositas bintang variabel Cepheid.

Sejarah metode penghitungan jarak ini berawal dari sebuah penelitian tentang hasil pengamatan terhadap bintang variabel (bintang yang kecerlangannya berubah-ubah) yang ada di galaksi Awan Magellan Besar dan Awan Magellan Kecil (LMC dan SMC). Saat itu Henrietta Leavitt, astronom wanita asal Amerika Serikat, membuat katalog yang berisi 1777 bintang variabel dari penelitian tersebut. Dari katalog yang ia buat diketahui bahwa terdapat beberapa bintang yang menunjukkan hubungan antara kecerlangan dengan periode variabilitas. Bintang yang memiliki kecerlangan lebih besar ternyata memiliki periode varibilitas yang lebih lama dan begitu pula sebaliknya. Bentuk kurva cahaya bintang variabel jenis ini juga unik dan serupa, yang ditandai dengan naiknya kecerlangan bintang secara cepat dan kemudian turun secara perlahan.

Bentuk kurva cahaya seperti itu ternyata sama dengan kurva cahaya bintang delta Cephei yang diamati pada tahun 1784. Karena itulah bintang variabel jenis ini diberi nama bintang variabel Cepheid. Penamaan ini tidak berubah walaupun belakangan ditemukan juga kurva cahaya yang sama dari bintang Eta Aquilae yang diamati beberapa bulan sebelum pengamatan delta Cephei.

Kurva cahaya variabel Cepheid. Sumber: rpi.edu

Kurva cahaya variabel Cepheid. Sumber: rpi.edu

Hubungan sederhana antara periode dan luminositas bintang variabel Cepheid ini bisa digunakan dalam menentukan jarak karena astronom sudah mengetahui adanya hubungan antara luminositas dengan kecerlangan/magnitudo semu bintang yang bergantung pada jarak. Dari pengamatan bintang Cepheid kita bisa dapatkan periode variabilitas dan magnitudonya. Kemudian periode yang kita peroleh bisa digunakan untuk menghitung luminositas/magnitudo mutlak bintangnya dengan formula M = -2,81 log(P)-1,43. Karena luminositas/magnitudo mutlak dan magnitudo semu berhubungan erat dalam formula Pogson (modulus jarak), maka pada akhirnya kita bisa dapatkan nilai jarak untuk bintang tersebut.

Kunci penentu agar metode ini dapat digunakan adalah harus ada setidaknya satu bintang variabel Cepheid yang jaraknya bisa ditentukan dengan cara lain, misalnya dari metode paralaks trigonometri . Jarak bintang akan digunakan untuk menghitung luminositasnya dan selanjutnya bisa digunakan sebagai pembanding untuk semua bintang Cepheid. Oleh karena itu, astronom sampai sekarang masih terus berusaha agar proses kalibrasi ini dilakukan dengan ketelitian yang tinggi supaya metode penentuan jarak ini memberikan hasil dengan akurasi tinggi pula.

Cepheid Di Galaksi M100

Cepheid Di Galaksi M100. Sumber: Hubblesite

Menghitung jarak bintang variabel Cepheid menjadi sangat penting karena kita jadi bisa menentukan jarak gugus bintang atau galaksi yang jauh asalkan di situ ada bintang Cepheid yang masih bisa kita deteksi kurva cahayanya. Di sinilah keunggulan metode ini dibandingkan dengan paralaks, yang hanya bisa digunakan untuk bintang-bintang dekat saja.

Lalu apa sebenarnya yang terjadi pada bintang Cepheid? Bintang ini mengalami perubahan luminositas karena radiusnya berubah membesar dan mengecil. Proses ini terjadi pada salah satu tahapan evolusi bintang, yaitu ketika sebuah bintang berada pada fase raksasa atau maharaksasa merah. Jadi dengan mempelajari bintang variabel Cepheid kita bisa menghitung jarak sekaligus mempelajari salah satu tahapan evolusi bintang.

0 komentar:

Posting Komentar