Membongkar El Nino dengan Syaraf Tiruan

Hingga kini ilmuwan terbaik sekalipun belum mengetahui apa sesungguhnya penggerak El Nino. Di tengah kebuntuan, sebuah tim dari ITB berusaha membongkarnya dengan artificial neuron system atau sistem syaraf tiruan. Bumi dipotret dari ruang angkasa

Bagai penyakit serius yang belum ketahuan penyebabnya, begitulah gambaran ‘fisik’ El Nino. Semula fenomena global yang berpusat di wilayah tengah hingga timur ekuatorial Samudera Pasifik ini dianggap biasa-biasa saja. Namun setelah gempurannya pada 1982-1983 menyebabkan penderitaan di berbagai tempat di dunia akibat gelombang cuaca ekstrim yang disebabkannya, para ilmuwan pun segera berkumpul untuk mencari tahu. Namun tak semudah membalik tangan, gejala alam yang biasa menghantui setiap ada pergantian musim seperti pada bulan-bulan September-Oktober ini ternyata sulit ditelusuri.

Meski berbagai metoda telah dikerahkan dan milyaran dollar diinvestasikan dalam bentuk peralatan pencacah, misterinya belum juga bisa terkuak. Padahal seluruhnya sudah yang terbaik. Peralatan tersebut tak kurang dari satelit khusus, pelampung (buoys) dengan instrumen pencacah data fisis otomatis yang sinyalnya dikirim lewat satelit, instrumen penganalisis muka laut, komputer besar, dan termometer canggih yag dikenal sebagai bathythermographs.

Penelitian dikendalikan sepenuhnya oleh gabungan peneliti atmosfer seluruh dunia (termasuk dari Indonesia) dalam tim yang dikenal sebagai WCRP TOGA.

Kesulitan utama dalam memecahkan teka-teka El Nino ini, seperti dijelaskan para ahli, adalah karena ‘kuncinya’ terpendam di dalam Samudera Pasifik yang begitu dalam dan luas, dan belum pernah ada peralatan yang sanggup menguaknya.

Namun para ahli tak kekurangan akal. Untuk memprediksi kehadiran El Nino, untuk sementara, mereka bisa mengakalinya dengan menera gejala-gejala fisik alam yang biasa menyertainya. Itu adalah perubahan tekanan udara di Darwin yang mewakili wilayah Pasifik barat dan di Tahiti yang mewakili wilayah Pasifik timur. Jika indeks kedua tekanan ini bergerak negatif, bisa dipastikan El Nino tengah mengintai. Begitu pula sebaliknya.

Tetapi itu tak berarti para ilmuwan menyerah begitu saja. Apa yang kini tengah dilakukan sebuah tim peneliti di Institut Teknologi Bandung boleh dibilang adalah salah-satu upaya terobosan alternatif. Berbekal time-series (serial tahunan) data iklim Indonesia dan seperangkat komputer canggih, mereka kini tengah berupaya menguaknya. Lebih dari semua itu adalah program komputer yang menjadi penuntun pencarian ini, yakni ANFIS atau Adaptive Neuro Fuzzy Influence Systems, sebuah ‘perkawinan’ antara sistem syaraf tiruan dengan logika samar dua bidang yang amat erat kaitannya dengan ilmu matematika dan fisika terapan.

“ANFIS dibuat secara khusus untuk menganalisis gejala-gejala fisik yang tidak jelas. Semula program ini sendiri biasa digunakan untuk menganalisis masalah-masalah otomatisasi dalam bidang industri. Ketika dicobakan untuk membedah perkara El Nino, hasilnya ternyata cukup menggembirakan,” demikian ujar salah seorang anggota tim, Drs. Zadrach L. Dupe, kepada Angkasa medio September lalu. “Di dunia sendiri baru kami yang melakukannya,” lanjutnya tentang tim yang digerakkan oleh ilmuwan ITB, Observatorium Bosscha, Universitas Gajah Mada, dan Badan Geofisika dan Meteorologi itu.

Lebih lanjut Zadrach mengungkap, input yang diolah oleh ANFIS adalah data iklim Indonesia selama sekian ratus tahun ke belakang. Data tersebut dipecah-pecah menurut parameternya, lalu disusun ulang, untuk selanjutnya dicari koneksitasnya terhadap aktivitas bintik matahari salah satu fenomena alam yang diyakini bertanggung-jawab atas sejumlah gejala alam di Bumi, termasuk di dalamnya fenomena El Nino.

Mengapa bintik matahari?

Terpilihnya bintik matahari sendiri, dikemukakan, berangkat dari hipotesa bahwa bagaimana pun tak ada sumber energi lain yang bisa ‘menggerakkan dan menghidupi’ Bumi selain matahari. Nah, dari pusat tata surya kita ini tak ada fenomena lain selain bintik matahari yang kemunculannya bersifat pereodik. Sifat ini amat penting menjadi pertimbangan ilmiah mengingat kemunculan El Nino yang juga sama-sama pereodik. Jika bintik matahari muncul tiap yang sebelas tahun sekali, El Nino kira-kira menggeliat setiap empat-lima tahun.

“Disinilah peran ANFIS. Walau masih tahap pengembangan ini kami bisa memanfaatkannya untuk menelusuri kaitannya. Pada prinsipnya yang harus kami lakukan adalah membuat model harmonis sederhana dari kedua data (bintik matahari dan El Nino) serial, lalu mencari korelasinya,” ujar Zadrach Dupe.

“Ini adalah upaya ilmiah kedua, karena yang pertama kandas. Ketika itu nilai korelasi yang didapat hanya 0,1 – 0,18. Kecil sekali alias tak diperoleh kaitan antara satu dengan yang lain,” akunya.

Hasilnya berbeda banyak dengan upaya yang kedua. Setelah setahun ‘mencari-cari dan merekayasa metoda’ kerja keras tim ANFIS ternyata berbuah hasil yang mengagumkan. Mereka mendapatkan korelasi yang begitu tinggi, yakni sekitar 0,8. Jauh lebih tinggi dari persyaratan koneksitas yang hanya perlu nilai 0,5. Artinya, kedua fenomena memang memiliki keterkaitan atau bisa diartikan pula bahwa gejala El Nino kemungkinan besar memang dipengaruhi secara nyata oleh gejala bintik matahari. Namun memang keterkaitan apa persisnya yang terjalin, masih perlu penelitian lebih lanjut.

Keberhasilan tersebut jelasnya, bisa dikatakan, fenomena El Nino tak serta-merta terbongkar dengan didapatkannya korelasi yang begitu besar antara bintik matahari dengan kejadian El Nino. Masih terlampau dini bertanya tentang keterkaitan itu. Lalu apa sesungguhnya bintik matahari itu?

Seperti dijelaskan dalam Perjalanan Mengenal Astronomi (UPT Onservatorium Bosscha ITB, 1995), bintik matahari adalah bagian dari matahari, berwarna hitam, dan merupakan daerah yang relatif lebih dingin daripada daerah sekitarnya. Jika berdiri sendiri, ia akan bersinar terang karena suhunya cukup tinggi, yakni sekitar 3.000° sampai 4.000° Kalvin. Dengan lebar sekitar 800 sampai 800.000 kilometer, Ia bagaikan magnet raksasa karena tak ada satupun di tatasurya ini yang mampu mengalahkannya. Dibanding yang dimiliki Bumi sekalipun, medan magnetnya 1.000 kali lebih besar.

Kebanyakan bintik matahari berjalan melintasi permukaan matahari dalam pasangan dan berbaris satu per satu. Fenomena ini pertama kali diamati oleh Galileo Galilei pada tahun 1610, dan pada tahun 1850 diketahui bahwa ia berlangsung berkala, yakni setiap 11 tahun. Pereodisitasnya ini disimak dari berbaliknya urutan kutub-kutubnya. Sama dengan El Nino, bintik matahari pun masih menyimpan banyak misteri.

(sumber:http://www.angkasa-online.com/10/01/fenom/fenom1.htm)

0 komentar:

Posting Komentar