Tidakkah kita, bangsa Indonesia, ikut pula hatinya berdebar-debar, kalau kita mendengar kabar tentang majunya usaha Ghasi Zaglul Pasha membela Mesir ? Tidakkah kita ikut berhangatan darah, kalau kita mendengar kabar tentang hebatnya pergerakan Mohandas Karamchand Gandhi atau Chita Ranjau Das membela India ? Tidakkah kita berbesar hati pula, menjadi saksi atas hasilnya usaha Dr. Sun Yat Sen, “Mazzini Negeri Tiongkok” itu ? ...
Bahwasanya, kebahagiaan yang melimpahi Negeri-negeri Asia kita rasakan sebagai melimpahi diri kita sendiri; malangnya negeri-negeri itu adalah malangnya negeri kita pula. Wafatnya Zaglul Pasha, wafatnya C.R. Das, wafatnya Dr. Sun Yat Sen tak luputlah menjadikan pula hati kita berkabung dan merasakannya sebagai kehilangan pemimpin sendiri; dan kabar-kabar tentang mundurnya pergerakan di India atau kacaunya susunan kaum nasionalis Tiongkok tahun yang lalu tak luputlah pula memasgulkan hati kita semua...
Di dalam menentang imperialisme Inggris dan lain sebagainya itu, maka rakyat Mesir, rakyat India, rakyat Tiongkok, dan rakyat Indonesia adalah berhadapan dengan satu musuh; mereka adalah kawan senasib, kawan seusaha, kawan sebarisan, yang perjalanannya harus rapat satu sama lain, rapat menjadi satu umat Asia yang seiman dan senyawa. Jikalau bersama-sama umat Asia ini menjalankan serangannya terhadap benteng imperialisme yang kokoh dan kuat itu; jikalau bersama-sama pada suatu ketika semua rakyat Asia itu masing-masing dalam negerinya mengadakan perlawanan yang hebat sebagai gelombang taufan terhadap benteng-benteng imperialisme itu, maka tidak boleh tidak, benteng itu pastilah rubuh pula karenanya.
Berakhirnya Perang Dunia II pada Agustus 1945, tidak berarti berakhir pula situasi permusuhan di antara bangsa-bangsa di dunia. Di beberapa belahan dunia masih ada masalah dan muncul masalah baru.
Penjajahan yang dialami oleh negara-negara di kawasan Asia dan Afrika merupakan masalah krusial sejak abad ke-15. Walaupun sejak tahun 1945 banyak negara, terutama di Asia, kemudian memperoleh kemerdekaannya, seperti : Indonesia (17 Agustus 1945), Republik Demokrasi Vietnam (2 September 1945), Filipina (4 Juli 1946), Pakistan (14 Agustus 1947), India (15 Agustus 1947), Birma (4 Januari 1948), Ceylon (4 Februari 1948), dan Republik Rakyat Tiongkok (1 Oktober 1949), namun masih banyak negara lainnya yang berjuang bagi kemerdekaannya seperti Aljazair, Tunisia, Maroko, Kongo, dan di wilayah Afrika lainnya. Beberapa Negara Asia Afrika yang telah merdeka pun masih banyak yang menghadapi masalah sisa penjajahan. Selain itu konflik antarkelompok masyarakat di dalam negeri pun masih berkecamuk akibat politik devide et impera.
Lahirnya dua blok kekuatan yang bertentangan secara ideologi, yaitu Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat (kapitalis) dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Sovyet (komunis), semakin memanaskan situasi dunia. Perang Dingin berkembang menjadi konflik perang terbuka, seperti di Jazirah Korea dan Indo-Cina. Perlombaan pengembangan senjata nuklir meningkat. Hal tersebut menumbuhkan ketakutan dunia akan kembali dimulainya Perang Dunia.
Walaupun pada masa itu telah ada badan internasional yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfungsi menangani masalah dunia, namun pada kenyataannya badan ini belum berhasil menyelesaikan persoalan tersebut, sementara akibat yang ditimbulkan oleh masalah-masalah ini sebagian besar diderita oleh bangsa-bangsa di Asia dan Afrika.
Pada awal tahun 1954, Perdana Menteri Ceylon, Sir John Kotelawala, mengundang para perdana menteri dari Birma (U Nu), India (Jawaharlal Nehru), Indonesia (Ali Sastroamidjojo), dan Pakistan (Mohammed Ali) dengan maksud mengadakan suatu pertemuan informal di negaranya. Undangan tersebut diterima baik oleh semua pemimpin pemerintah negara tersebut.
Pada kesempatan itu, Presiden Indonesia, Soekarno, menekankan kepada Perdana Menteri Indonesia, Ali Sastroamidjojo, untuk menyampaikan ide diadakannya Konferensi Asia Afrika pada pertemuan Konferensi Kolombo tersebut. Beliau menyatakan bahwa hal ini merupakan cita-cita bersama selama hampir 30 tahun telah didengungkan untuk membangun solidaritas Asia Afrika dan telah dilakukan melalui pergerakan nasional melawan penjajahan.
PERTEMUAN TUGU (Tugu, 9 – 22 Maret 1954)
Menteri Luar Negeri Indonesia Soenario, memimpin pertemuan para Kepala Perwakilan Indonesia se-Asia, Afrika, dan Pasifik
Sehubungan dengan diundangnya Indonesia oleh Perdana Menteri Ceylon, maka Pemerintah Indonesia mengadakan suatu pertemuan yang dihadiri oleh para kepala perwakilan Indonesia di Asia, Afrika, dan Pasifik, bertempat di Wisma Tugu, Puncak, Jawa Barat.
Pertemuan ini diketuai oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Sunario, membahas rumusan-rumusan yang akan menjadi bahan bagi Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dalam forum Konferensi Kolombo, sebagai dasar usulan Indonesia untuk meluaskan gagasan kerja sama regional di tingkat Asia Afrika.
Rumusan hasil Pertemuan Tugu :
- menolak pembentukan dua blok di dunia : Blok Barat dan Blok Timur, serta menolak ikut serta dalam aktivitas dua kekuatan besar tersebut;
- mengusulkan untuk membentuk kelompok yang memperjuangkan kemerdekaan dan kemakmuran dalam sebuah kerja sama yang didasari oleh kepentingan bersama untuk melawan kekuatan imperialis-kolonialis;
- mengusahakan terselenggaranya konferensi anti imperialis-kolonialis;
- meyakinkan peserta untuk memperhatikan sikap politik dunia dan kerja sama Asia Afrika;
- membawa kebijakan luar negeri yang bebas aktif dan kebijakan bertetangga baik.
KONFERENSI KOLOMBO (Kolombo, 28 April – 2 Mei 1954)
Gedung Parliament Ceylon, tempat berlangsungnya Konferensi Kolombo
Sir John Kotelawala pada pembukaan Konferensi Kolombo menyatakan bahwa tidak ada agenda formal yang disiapkan untuk konferensi ini, tetapi ada beberapa masalah penting dan cukup mendesak yang perlu dibicarakan. Masalah dimaksud diantaranya :
- konflik Indo-China yang mengancam keamanan dan perdamaian di Asia dan di seluruh dunia;
- agresi komunis internasional di Asia;
- persoalan kolonialisme di berbagai belahan dunia;
- perlombaan senjata yang mengancam penghancuran secara masal.
Suasana pada Konferensi Kolombo
Reaksi pertama atas usul Indonesia ini sangat skeptis dan pesimis. Namun hal ini tidak menyurutkan semangat Indonesia untuk merealisasikannya. Hal ini terlihat dalam pernyataan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang berkata:“Saya akan merasa puas apabila Konferensi Kolombo dapat menyetujui bahwa Indonesia akan mensponsori sendiri Konferensi Asia Afrika demikian”
Ketetapan hati delegasi Indonesia ini membuahkan hasil dengan dicantumkannya keinginan menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika di bagian terakhir Komunike Konferensi Kolombo.
KONFERENSI BOGOR (Bogor, 28 – 19 Desember 1954)
Istana Bogor, tempat pertemuan Lima Perdana Menteri Negar Sponsor Konferensi Asia Afrika
Pemerintah Indonesia mengadakan penjajagan ke berbagai negara di Asia dan Afrika. Dari 14 negara yang dijajagi, 12 negara telah memberikan jawaban positif. Mereka setuju konferensi diselenggarakan di Indonesia dan dalam waktu secepatnya.
Atas undangan Perdana Menteri Indonesia, para perdana menteri peserta Konferensi Kolombo (Birma, Ceylon, India, Indonesia, dan Pakistan) mengadakan pertemuan di Bogor. Konferensi Bogor membicarakan persiapan Konferensi Asia Afrika.
Konferensi tersebut berhasil merumuskan kesepakatan tentang tujuan, waktu, tingkat delegasi yang diminta hadir, agenda, dan negara yang diundang dalam Konferensi Asia Afrika.
Suasana Konferensi Bogor
Sejarah Konferensi Asia Afrika (lanjutan)
KONFERENSI ASIA AFRIKA (Bandung, 18 – 24 April 1955)
Negara-negara Peserta Konperensi Asia-Afrika :
- Afghanistan
- Birma
- Kamboja
- Ceylon
- Republik Rakyat Tiongkok
- Mesir
- Ethiopia
- Pantai Emas
- India
- Indonesia
- Iran
- Irak
- Jepang
- Yordania
- Laos
- Libanon
- Liberia
- Libya
- Nepal
- Pakistan
- Filipina
- Arab Saudi
- Sudan
- Suriah
- Thailand
- Turki
- Vietnam (Utara)
- Vietnam (Selatan)
- Yaman
Langkah bersejarah delegasi Indonesia
Sekitar pukul 08.30 WIB, para delegasi dari berbagai negara berjalan meninggalkan Hotel Homann dan Hotel Preanger menuju Gedung Merdeka secara berkelompok untuk menghadiri pembukaan Konferensi Asia Afrika. Banyak di antara mereka memakai pakaian nasional masing-masing yang beraneka corak dan warna. Mereka disambut hangat oleh rakyat yang berderet di sepanjang Jalan Asia Afrika dengan tepuk tangan dan sorak sorai riang gembira. Perjalanan para delegasi dari Hotel Homann dan Hotel Preanger ini kemudian dikenal dengan nama “Langkah Bersejarah” (The Bandung Walks). Kira-kira pukul 09.00 WIB, semua delegasi masuk ke dalam Gedung Merdeka.
Tidak lama kemudian rombongan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, Soekarno dan Mohammad Hatta, tiba di depan Gedung Merdeka dan disambut oleh rakyat dengan sorak-sorai dan pekik "merdeka". Di depan pintu gerbang Gedung Merdeka kedua pemimpin Pemerintah Indonesia itu disambut oleh lima perdana menteri negara sponsor.
Presiden Indonesia, Soekarno, menyampaikan pidato Pembukaan Konferensi Asia Afrika, 18 April 1955
Saya berharap konferensi ini akan menegaskan kenyataan, bahwa kita, pemimpin-pemimpin Asia dan Afrika, mengerti bahwa Asia dan Afrika hanya dapat menjadi sejahtera, apabila mereka bersatu, dan bahkan keamanan seluruh dunia tanpa persatuan Asia Afrika tidak akan terjamin. Saya harap konferensi ini akan memberikan pedoman kepada umat manusia, akan menunjukkan kepada umat manusia jalan yang harus ditempuhnya untuk mencapai keselamatan dan perdamaian. Saya berharap, bahwa akan menjadi kenyataan, bahwa Asia dan Afrika telah lahir kembali. Ya, lebih dari itu, bahwa Asia Baru dan Afrika Baru telah lahir!
Pidato tersebut berhasil menarik perhatian dan mempengaruhi hadirin yang dibuktikan dengan adanya usul Perdana Menteri India dan didukung oleh semua peserta konferensi untuk mengirimkan pesan ucapan terimakasih kepada presiden atas pidato pembukaannya.
Pada pukul 10.45 WIB., Presiden Indonesia, Soekarno, mengakhiri pidatonya, dan selanjutnya sidang dibuka kembali. Secara aklamasi, Perdana Menteri Indonesia terpilih sebagai ketua konferensi. Selain itu, Ketua Sekretariat Bersama, Roeslan Abdulgani, dipilih sebagai sekretaris jenderal konferensi.
Sidang konferensi terdiri atas sidang terbuka untuk umum dan sidang tertutup hanya bagi peserta konferensi. Dibentuk tiga komite, yaitu Komite Politik, Komite Ekonomi, dan Komite Kebudayaan. Semua kesepakatan tersebut selanjutnya disetujui oleh sidang dan susunan pemimpin konferensi adalah sebagai berikut :
- Ketua Konferensi
- Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri Indonesia
- Ketua Komite Politik
- Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri Indonesia
- Ketua Komite Ekonomi
- Roosseno, Menteri Perekonomian Indonesia
- Ketua Komite Kebudayaan
- Muhammad Yamin, Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Indonesia
- Sekretaris Jenderal Konferensi
- Roeslan Abdulgani, Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri Indonesia
Dalam sidang-sidang selanjutnya muncul beberapa kesulitan yang bisa diduga sebelumnya. Kesulitan-kesulitan itu terutama terjadi dalam sidang-sidang Komite Politik. Perbedaan pandangan politik dan masalah-masalah yang dihadapi antara Negara-negara Asia Afrika muncul ke permukaan, bahkan sampai pada tahap yang relatif panas.
Namun berkat sikap yang bijaksana dari pimpinan sidang serta hidupnya rasa toleransi dan kekeluargaan di antara peserta konferensi, maka jalan buntu selalu dapat dihindari dan pertemuan yang berlarut-larut dapat diakhiri.
Suasana Sidang Komite Politik di Gedung Dwiwarna
Setelah melalui sidang-sidang yang menegangkan dan melelahkan selama satu minggu, pada pukul 19.00 WIB. (terlambat dari yang direncanakan) tanggal 24 April 1955, Sidang Umum terakhir Konferensi Asia Afrika dibuka. Dalam Sidang Umum itu dibacakan oleh sekretaris jenderal konferensi rumusan pernyataan dari tiap-tiap panitia (komite) sebagai hasil konferensi. Sidang Umum menyetujui seluruh pernyataan tersebut, kemudian sidang dilanjutkan dengan pidato sambutan para ketua delegasi. Setelah itu, ketua konferensi menyampaikan pidato penutupan dan menyatakan bahwa Konferensi Asia Afrika ditutup.
Konsensus itu dituangkan dalam komunike akhir, yang isinya adalah mengenai :
- Kerja sama ekonomi;
- Kerja sama kebudayaan;
- Hak-hak asasi manusia dan hak menentukan nasib sendiri;
- Masalah rakyat jajahan;
- Masalah-masalah lain;
- Deklarasi tentang memajukan perdamaian dunia dan kerja sama internasional.
Deklarasi yang tercantum pada komunike tersebut, selanjutnya dikenal dengan sebutan Dasasila Bandung, yaitu suatu pernyataan politik berisi prinsip-prinsip dasar dalam usaha memajukan perdamaian dan kerja sama dunia.
Dasasila Bandung:
- Menghormati hak-hak asasi manusia dan menghormati tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip dalam Piagam PBB.
- Menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah semua negara.
- Mengakui persamaan derajat semua ras serta persamaan derajat semua negara besar dan kecil.
- Tidak campur tangan di dalam urusan dalam negeri negara lain.
- Menghormati hak setiap negara untuk mempertahankan dirinya sendiri atau secara kolektif, sesuai dengan Piagam PBB.
- Tidak menggunakan pengaturan-pengaturan pertahanan kolektif untuk kepentingan khusus negara besar mana pun.
- Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain mana pun.
- Tidak melakukan tindakan atau ancaman agresi atau menggunakan kekuatan terhadap keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara mana pun.
- Menyelesaikan semua perselisihan internasional dengan cara-cara damai, seperti melalui perundingan, konsiliasi, arbitrasi, atau penyelesaian hukum, ataupun cara-cara damai lainnya yang menjadi pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan Piagam PBB.
- Meningkatkan kepentingan dan kerja sama bersama.
- Menjunjung tinggi keadilan dan kewajiban-kewajiban internasional.
0 komentar:
Posting Komentar