BERFIKIR PRODUKTIF

Setelah berorientansi menang-menang dan berprinsip sinergis, seorang pribadi sukses pada setiap menit bahkan detik dalam kehidupannya senantiasa diisi dengan berpikir. Yakni berpikir produktif, kreatif dan inovatif. Karena itu ia haruslah seorang yang jenius. Menurut kalangan pakar psikologi, kecerdasan atau kejeniusan seseorang itu adanya diciptakan, bukan dilahirkan. Menurut penemu teori kecerdasan majemuk, Howard Gardner, setiap otak manusia itu paling sedikit memiliki tujuh kecerdasan yang dapat diukur dan ditumbuh-kembangkan. Ketujuh kecerdasan itu meliputi antara lain, kemampuan antarpribadi-sosial, intrapribadi, logis-matematis, verbal-linguistik, jasmaniah-kinestetik, spasial-mekanis, dan musik. Namun, masing-masing pribadi berbeda dalam hal penguasaan kecerdasan-kecerdasan itu. Berangkat dari keniscayaan atas diri manusia tersebut, dapatlah dipahami bahwasanya setiap sosok manusia itu pada dasarnya telah dilengkapi dengan perangkat yang amat canggih. Selanjutnya, tergantung bagaimana manusia tersebut mampu mengelola potensi-potensi alamiah yang sudah ada itu menjadi suatu kekuatan yang menggugah daya pikir menjadi sumber-sumber produktifitas. Hal itu berarti membutuhkan kecerdasan. Dengan mengikuti teladan Leonardo da Vinci, di bawah ini Michael J. Gelb dalam bukunya Menjadi Jenius seperti Leonardo da Vinci, mengungkapkan adanya 7 (tujuh) elemen dasar agar dapat menjadi jenius yang dipaparkan secara menarik, yaitu: 1. Curiosta, yakni timbulnya rasa keingintahuan yang tidak pernah terpuaskan tentang kehidupan, sehingga senantiasa merasa dituntut untuk mencari ilmu sebagai wujud upaya-upaya pencarian yang dilakukan secara terus-menerus tanpa mengenal lelah. Kita tahu bahwa guna memenuhi kebutuhan hidup, baik kebutuhan yang bersifat psikologi, fisiologi, maupun sosiologi, setiap manusia membutuhan ilmu pengetahuan. Bahkan sejak kehidupan manusia ada di bumi ini, dari masyarakat primitif yang sangat sederhana hingga pada masyarakat modern seperti sekarang ini. Tanpa ilmu pengetahuan individu yang disebut manusia tersebut akan kehilangan eksistensinya. Dia senantiasa akan menjadi obyek bagi kehidupan manusia yang lain. 2. Dimostrazione, adalah sikap keteguhan hati yang selalu berniat menguji segala pengetahuan yang diper-olehnya melalui pengalaman, ketangguhan/ keuletan, serta belajar dari kesalahan. Dari segala ilmu pengetahuan yang diperolehnya, manusia dituntut untuk berani mem-praktikannya dalam laboratorium kehidupan yang sebe-narnya. Sebab itulah manusia ada kemungkinan bakal meng-hadapi kegagalan, kesalahan, di samping kesuksesan. Kesemuanya itu tentunya akan melahirkan pengetahuan-pengetahuan baru, selain mampu menumbuhkan keta-ngguhan dan keteguhan diri dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Diakui atau tidak, kegagalan atau kesalahan bila dikelola dengan baik mampu melahirkan pikiran-pikiran produktif, kreatif, dan inovatif. 3. Sensazione, dinyatakan atau dipahami sebagai kemampuan diri dalam hal penghalusan/ penajaman pancaindera yang dilakukan secara terus-menerus, sehingga dapat menarik suatu kesimpulan-kesimpulan, dan selanjutnya mampu menghidupkan nilai-nilai yang tersirat dari pengalaman hidup. Berbagai kesulitan hidup yang timbul sebagai akibat terjadinya pergulatan manusia di dalam upayanya mencapai apa yang diharapkan sekaligus untuk memenuhi kebutuh-annya, bila direnungkan dengan cermat dan kritis, akan mampu menumbuhkan kepe-kaan diri. Sistem pancaindera akan semakin halus dan tajam dalam mencermati segala peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. 4. Sfumato, yakni kesadaran diri dalam hal memahami peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan ini, seperti adanya ambiguitas, paradoksal, serta ketidakpastian sebagai suatu keniscayaan. Adalah suatu realitas-faktual bahwa dalam kehidupan ini kita akan menghadapi kenyataan-kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan. Dalam lingkup kehidupan yang bagaimana pun, manusia tidak dapat menghindarkan diri dari perilaku alam semesta maupun manusia yang jahat, bodoh, seenaknya sendiri, dan lainya sebagainya, yang pada pokok-nya selalu menciptakan keadaan yang menyeng-sarakan. 5. Artescienza, adalah kemampuan mengembangkan kesadaran diri dalam hal menciptakan keseimbangkan antara ilmu dan seni, logika serta imajinasi. Sebagaimana diketahui, dalam sistem kerjanya otak manusia itu dibagi menjadi dua, yakni otak kiri dan otak kanan. Sebelah yang satu, otak kiri berkemampuan dalam hal wicara, bahasa, menulis, mengeja, mengingat fakta, dan berhitung. Pola kognitifnya bersifat logis-analistis. Sedangkan sebelah yang lain, otak kanan memiliki potensi dalam hal berimajinasi, kreatif, mandiri, serta visioner. Pola kognitifnya bersifat intuitif-holistik. Dengan demikian, kemampuan manusia dalam hal memadukan kedua sistem kerja otak tersebut, tentunya akan menghasilkan sebuah karya yang memenuhi unsur-unsur kesempurnaan. 6. Corporalita, adalah kemampuan menciptakan keterpaduan antara keanggunan, ketrampilan, kebugaran, serta sikap tubuh yang benar. Dalam kehidupan modern, apa yang dinyatakan oleh Michael J. Gelb ini adalah tentang sebuah penampilan sosok manusia, yang sering disebut sebagai self appearance atau tampilan diri. Dengan tampilan diri yang sempurna, maka seseorang akan mampu menempati “tempat duduk” atau positioning yang sesuai dalam tatanan kehidupan sosialnya. Seseorang dengan kemampuan dan kecerdasan yang mumpuni sekalipun bakal tidak mendapatkan peng-hargaan yang positif dari orang lain bilamana tampilan dirinya terkesan urakan, awut-awutan, serta tidak memiliki kedisiplinan diri. 7. Connesisione, yaitu kesadaran diri untuk berpikir secara sistemik atas keselu-ruhan hal dan fenomena kehidupan yang terjadi, dengan memberikan peng-hargaan atau apresiasi bahwasanya kesemuanya itu saling berkaitan sebagaimana hukum sebab dan akibat. Disadari atau tidak, apa yang berlaku dalam kehidupan ini pada dasarnya adalah sebuah perjalanan dari suatu causa (sebab), yang selanjutnya menimbulkan akibat. Dan, akibat tersebut, seterusnya menjadi kausa yang bakal menimbulkan akibat-akibat baru. Itulah sebabnya, adalah sebuah kesalahan berpikir jika ada manusia yang menghukum dirinya dengan menyatakan bahwa sesuatu yang menimpanya semata kesalahannya. Padahal, seharusnya ia berpikir setiap kesalahan dapat terjadi terhadap siapa pun, dengan sebab apa pun, sebagai wujud proses sebab-akibat yang wajar. Kegagalan yang terjadi tetap wajib diakui sebagai adanya kesalahan yang diperbuat oleh manusia, namun hal itu bukanlah satu-satunya sebab. Itu berarti ada sebab-sebab lain yang mesti diperhatikan, dicermati, kemudian diperbaiki.

0 komentar:

Posting Komentar